Jumat, 31 Desember 2010

CEO PLN Note : Tahun 2011, Tahun Mencangkul Yang Dalam

Apa yang akan berubah di tahun 2011?
Akan banyak sekali. Salah satunya mengenai Rapat Direksi PLN. Akan ada lima orang setingkat Kepala Cabang yang diminta ikut Rapat Direksi setiap Selasa jam 07.00 sampai jam 10.00 itu. Berarti dalam sebulan akan ada 20 orang setingkat Kepala Cabang yang ikut merasakannya. Siapa mereka? Mereka bisa saja Kepala Cabang atau Kepala Sektor atau Manajer Proyek.
Untuk Kepala Cabang yang diundang adalah Kepala Cabang yang sudah berhasil mengalahkan Malaysia di daerahnya! Bukan untuk membalaskan dendam timnas sepakbola yang gundul 0-3 di stadion Bukit Jalil Kuala Lumpur, tapi itulah memang target PLN tahun 2011: mengalahkan Malaysia. Rupanya harus PLN dulu yang mengalahkan Malaysia. Baru, kelak, sepak bolanya.
Apa ukuran “mengalahkan Malaysia” itu? . Ukurannya adalah masyarakat mengakui bahwa kita sudah menang. Tapi tidak ada ukuran sama sekali juga –meminjam istilah Srimulat—hil-hil yang mustahal. Maka kita akan memakai standar internasional yang sudah baku: berapa kali mati lampu, berapa lama mati lampu, berapa banyak pengaduan, berapa lama menangani pengaduan dan –apa boleh buat: ratio elektrifikasi.
Malaysia sendiri, seperti halnya Indonesia, bukan merupakan kesatuan sistem kelistrikan. Ada sistem Semenanjung, sistem Serawak dan sistem Sabah. Agar pertandingan ini head-on, maka PLN di Indonesia Timur dalam tahun 2011 harus sudah bisa mengalahkan Malaysia Timur, khususnya Sabah! Seperti apa listrik di Sabah, akan ada parameter dari sana. Saya sering sekali ke Sabah tapi tidak pernah memperhatikan listriknya. PLN Indonesia Barat, harus bisa mengalahkan Serawak! Sehebat apakah kelistrikan di Serawak? Saya juga belum tahu. Saya memang sering ke Kuching tapi sudah lama, sebelum masuk PLN dulu. Tidak pernah memperhatiman kualitas listriknya.
Sedang PLN Jawa-Bali harus bisa mengalahkan Malaysia-Semenanjung. Saya juga sering ke Semenanjung (termasuk pernah merasakan satu malam suntuk naik kereta api Senandung Malam) tapi juga tidak tahu kualitas kelistrikan di situ.
Maka dalam Rapat Direksi pertama tahun 2011 hari Selasa 4 Januari 2011 sudah akan diketahui siapa lima Kepala Cabang pertama yang ikut Rapat Direksi. Silakan para Pimpinan Wilayah mendaftarkan ke Sekper siapa saja anak buahnya yang sudah pantas ikut Rapat Direksi itu. Pimpinan Wilayah sendiri tidak ikut diundang karena sudah sering ikut Rapat Direksi dan bahkan Pimpinan Wilayah adalah bagian dari Direksi itu sendiri.
Ada maksud tertentu untuk mengajak setingkat Kepala Cabang dalam Rapat Direksi: kaderisasi kepemimpinan. Kepala Cabang umumnya adalah generasi muda yang akan menjadi sumber utama rekrutmen pemimpin masa depan. Inilah bentuk magang kepemimpinan yang nyata. Saya dan seluruh Direksi PLN sekarang sangat mempercayai bahwa magang adalah proses penting dalam pendidikan. Kami juga menyadari hanya anak muda yang bisa membuat perubahan besar. Dengan sekolah, seseorang mendapatkan ilmu. Dengan magang seseorang mendapatkan ilmu sekaligus sikap karakternya. Pemimpin tidak hanya harus pandai, tapi juga harus berkarakter. Yang terakhir itu tidak akan bisa didapat di jenjang pendidikan formal.
Dengan kehadiran lima orang setingkat Kepala Cabang dalam Rapat Direksi, perusahaan juga mendapat manfaat yang besar. Program yang dibuat Direksi bisa ditanyakan langsung ke tingkat pelaksana. Dengan demikian Direksi akan langsung tahu apakah program tersebut workable atau hanya program kuntilanak –yang tidak menginjak bumi.
Dari rapat-rapat itu pula kami akan mengetahui dan memonitor siapa saja Kepala Cabang dan kepala-kepala unit yang punya potensi besar untuk memikul tanggung jawab ke depan.
Ya. Tidak hanya Kepala Cabang. Dalam rapat itu juga akan diundang kepala-kepala unit PLN lain, yang juga akan jadi sumber rekrutment pemimpin masa depan. Hanya ukurannya masih sedang dirumuskan. Untuk unit pembangkit mungkin akan mengenakan ukuran world class. Untuk unit pemeliharaan juga demikian. Termasuk P3B. Unit pembangkit besar yang operasinya sudah mencapaiworld class akan diundang ke Rapat Direksi. Demikian juga unit pemeliharaan dan P3B. Unit PLTU, PLTG dan diesel tidak akan dibedakan. Sebab mengoperasikan diesel pun ada kelas dunianya.
Target program ini adalah juga untuk melihat siapa saja orang-orang yang setingkat Kepala Cabang yang bisa dan mau “mencangkul”. Perusahaan tidak mau lagi memiliki seorang Kepala Cabang atau Kepala Unit yang pekerjaannya hanya “mengasah cangkul sehari penuh”, tapi tidak mau “mencangkul”. Harus ada keseimbangan porsi antara “mengasah dan memelihara cangkul” dengan menggunakan cangkulnya. Tidak mungkin perusahaan maju kalau orang-orangnya mengasah cangkul selama tujuh jam dan hanya menggunakan cangkulnya satu jam!
Sesekali rapat juga akan mengundang mereka yang levelnya atau umurnya yang sudah di atas tingkat Kepala Cabang. Tapi akan dipilih dari mereka yang benar-benar tua-tua keladi –meski sudah lebih tua tapi masih mau berkelahi!
Tahun 2011 adalah juga tahun ketika kita memasuki semester tiga. Pelajaran dua semester sudah kita lewati –entah dengan nilai berapa.
Di semester ketiga ini Direksi sudah tidak akan mau lagi mengurus penyulang yang sering gangguan, penyulang yang terlalu panjang, penyulang yang tidak aman oleh pohon, trafo distribusi yang hamil, trafo yang kapasitasnya terlalu besar (1000 atau 630), salahgrounding, tidak adanya arrester dan persoalan-persoalan sekelas itu lainnya.
Semua itu adalah pelajaran semester satu dan dua. Kalau di semester tiga nanti kita masih juga berkutat dengan tetek-bengek itu maka –maaf– PLN hanya akan mendapat bengek-nya saja!
Soal-soal tetek-bengek itu sepenuhnya sudah menjadi urusan Kepala Cabang dan Ranting. Kalau di suatu daerah masih juga mengalami masalah kronis di bidang itu, tindakannya sudah akan sangat berbeda. Bukan trafonya yang diganti, tapi Kepala Cabang atau Rantingnya.
Maka kita tidak akan lagi mau mendengar penyulang sering terganggu sampai menjatuhkan diesel seperti  di Mataram itu. Betapa tidak pedulinya struktur kepemimpinan di situ kalau di akhir tahun 2010 (setelah dua semester), masih ada persoalan seperti itu. Kita juga tidak mau lagi mendengar kasus di Jambi yang listrik masih begitu sering padam.
Mula-mula saya tidak percaya ketika orang-orang yang ikut gerak-jalan pagi di Jambi dulu itu mengeluh bahwa di kawasannya listrik masih sering mati. Saya pikir itu hanya omongan orang yang nyinyir. Tapi ketika majalah TEMPO kemudian menulis hal yang sama, mau tidak mau saya ikut pusing.
Saya juga tidak ingin lagi mendengar bahwa seorang Kepala Cabang dengan bangga mengemukakan bahwa gangguan penyulang dan trafo di wilayahnya “sudah tinggal di atas 50 kali sebulan”! Saya tahu “tinggal di atas 50 kali sebulan” itu sudah satu prestasi besar. Sebab di masa lalu gangguan itu bisa ratusan kali. “Tinggal di atas 50 kali sebulan” memang sebuah peningkatan yang drastik, tapi masyarakat hanya akan ingat 50 kali itu. Tidak akan ingat meningkat drastisnya itu.
Dalam dua semester kemarin saya juga sering mendapat kesan bahwa orang PLN di daerah masing terkotak-kotak. Saya mendapat kesan bahwa satu bagian di PLN masih seperti dipisahkan oleh lautan yang luas dengan bagian lainnya. Bahkan seorang Kepala Cabang tidak merasa gelisah ketika di daerahnya mati lampu –hanya karena penyebab matinya itu adalah gangguan transmisi. Di mata dia seolah transmisi itu bukan PLN! Demikian juga, seorang Kepala Cabang tidak merasa gelisah ketika di wilayahnya mati lampu –hanya karena dieselnya rusak. Seolah-olah mati lampu karena diesel rusak bukan tergolong mati lampu!
Tahun 2011, karena itu, ada perubahan ini: Kepala Wilayah memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengganti Kepala Cabang. Pusat tidak banyak ikut lagi. Pimpinan Wilayah bisa langsung mengusulkan penggantian seorang Kepala Cabang. Pusat akan menyodorkan lima calon pengganti untuk dipilih salah satunya. Tidak ada backing-backing-an. Tidak ada tangis. Tidak ada rayuan –rayuan seindah pulau kelapa sekali pun. Semua proses itu akan berlangsung hanya satu minggu! Sejak Kepala Wilayah minta penggantian sampai ditetapkannya pengganti. Tidak ada lagi penggantian Kepala Cabang yang Kepala Wilayahnya tidak tahu. Kini justru Kepala Wilayah yang lebih menentukan.
Ada jalan lain yang lebih elegan. Para Kepala Cabang atau Ranting yang kira-kira memang tidak mampu mengalahkan Malaysia di daerahnya akan lebih baik kalau segera melapor kepada Kepala Wilayah: minta diganti. Saya akan lebih menghargai teman-teman yang punya sikap demikian. Jabatan bukanlah untuk gagah-gagahan. Banyak tempat pengabdian lain di luar jabatan yang lebih diridhoi oleh Tuhan.
Tahun 2011 adalah tahun melupakan prestasi apa saja yang sudah kita lakukan di tahun 2010. Kita lupakan “perasaan berjasa” bahwa di tahun 2010 kita pernah berjasa menyelesaian krisis listrik yang begitu berat. Pujian orang itu ada batasnya. Pujian bahwa PLN hebat karena bisa mengatasi krisis listrik tidak akan lama. Dua bulan lagi jangan harap kita masih akan mendengar pujian seperti itu. Orang yang terlalu lama berharap terus mendengar pujian seperti itu ibarat orang berjalan sambil melamun: tiba-tiba saja kepalanya akan menabrak tiang listrik!
Demikian juga pujian dari Komisi VII DPR itu. Memang langka! DPR memuji unsur pemerintah, seperti PLN. Di DPR biasanya hanya caci-maki yang kita dengar. PLN, di samping mendengar caci-maki juga mendapat pujian. Resmi. Dalam sebuah keputusan sidang komisi. Tapi lupakan pujian itu. Kalau ada yang masih menyimpan risalah putusan Komisi VII DPR itu, jangan buka lagi. Itu bisa membuat kita, seperti judul lagu dangdut, terlena.
Lupakan juga undangan minum teh di Istana Presiden SBY. Anggap saja peristiwa itu sudah terjadi satu abad yang lalu.
Apalagi penghargaan tutup tahun sebagai “Marketer of The Year 2010” itu. Gombal! Lupakan. Itu bukan hanya racun, tapi racun berbungkus madu. Sangat membahayakan. Membunuh dengan cara manis!
Tahun 2011 adalah tahun ketika pujian belum tentu datang.
Semester tiga ini juga akan seperti mesin jam. Akan berjalan sangat cepat. Apalagi kita sudah menetapkan bahwa kita hanya punya waktu lima semester! Bukan delapan semester apalagi 10 semester.
Transformasi PLN harus sudah selesai dalam lima semester. Kalau ini bisa terwujud maka transformasi  PLN akan lebih cepat dari Bank Mandiri maupun Garuda Indonesia. Saya sendiri berkeyakinan penuh bahwa transformasi itu bisa selesai tepat waktu. Saya melihat orang-orang PLN adalah orang-orang yang jauh lebih berkualitas dibanding orang-orang BUMN mana pun!
Sumpah!
Asal jangan direpoti oleh tetek-tetek bengek yang tadi!!!
Dahlan Iskan
CEO PLN

Jumat, 12 November 2010

CEO PLN Note : Mutiara Indah dan Keladi Enak Itu

Banyak yang mengirim SMS kepada saya menanyakan mengapa CEO’s Note yang baru tidak muncul-muncul. Sebulan terakhir ini intensitas saya berkunjung ke berbagai wilayah memang luar biasa : jalan darat dari palangkaraya ke Banjarmasin, jalan darat dari Pontianak ke dekat Singkawang, ke Jambi, ke palembang, Bangka, ke beberapa daerah di Jawa dan akhirnya ke kepulauan Tanimbar nun di laut Aru Tenggara. Lalu ke Kolaka dan jalan darat membelah kaki Sulawesi ke Kendari. Setelah itu masih ke Papua menyusuri pantai Kepala Burung : Sarong, singgah ke Fak-fak, bermalam di Kaimana, mampir di Manokwari dan akhirnya ke Jayapura.
Ketika satu-dua hari berada di Jakarta saya masih sempat memanfaatkan waktu sela itu berkunjung ke beberapa area pelayanan diJakarta. Misalnya ke area Ciputat yang kini, di bawah kepemimpinan yang baru Pak Agus Suwandi, lagi seru-serunya mengatasi gangguan trafo yang masih relatif tinggi. Juga ke area Cikotok yang meski tidak bertemu pimpinannya tapi saya bahagia : sang pimpinan lagi melakukan pemeriksaan dari trafo ke trafo. Untuk Jawa-Bali, wilayah Jakarta memang tergolong “desa tertinggal” dalam gerakan “mengalahkan Malaysia” di bidang listrik ini. Kini Jakarta lagi berusaha mengejar ketertinggalan itu. Bahkan saya dengar di area Pondok Gede, ada gerakan bersih-bersih gardu yang umumnya sudah penuh dengan rumput dan ilalang.
Di Kalbar saya, bersama Dirop Indonesia Barat Pak Harry Jaya Pahlawan, tidak sempat bertemu karyawan dalam sebuah dialog seperti kalau biasanya saya berkunjung ke satu wilayah. Di Kalbar persoalan pembangunan pembangkit listrik menyita perhatian lebih banyak. Wilayah ini sudah terlalu lama jadi sumber pemborosan karena “rakus” dalam meminum solar. Tidak ada jalan lain kecuali mempercepat dimulainya pembangunan PLTU yang lelet itu. Sayang memang proyek-proyek PLTU di Kalbar sangat-sangat lama macet. Baik yang di Pontianak maupun yang di dekat Singkawang. Akibatnya seluruh listrikdi provinsi ini harus diproduksi dengan membakar solar yang mahal.
Kini ada titik-titik terang di Kalbar. Kesulitan fondasi di PLTU Parit Baru sudah teratasi meski amat mahal. Tiang pancang sudah dikerjakan. Tinggal tugas tim proyek setempat untuk mengejar sejarah : bagaimana caranya rekor paling lama persiapannya ini, bisa diubah menjadi paling cepat pelaksanaannya. Bisakah?
Dengan organisasi proyek yang baru tidak ada alasan untuk tidak bisa. Demikian juga proyek PLTU yang di dekat Singkawang. proyek ini juga memegang rekor paling lambat dimulai.lnilah proyek yang persiapannya lebih lama dari pembangunan proyeknya kelak. Dari tender sampai sekarang sudah memakan waktu lebih dari tiga tahun. Padahal pembangunan proyeknya nanti, seperti ditargetkan kepala proyeknya, hanya 18 bulan. Ini karena pimpinan proyek yang baru, Pak Wayan Semudiarsa, benar-benar ingin berprestasi untuk kemajuan PLN.
Di Kalteng nasib proyek PLTU Pulang Pisau juga tidak lebih baik. Saat saya meninjau lokasi proyek ini (Ietaknya di dekat ibukota kabupaten baru Pulang Pisau yang masih sangat sepi di pertengahan antara palangkaraya dan Banjarmasin) belum banyak kegiatan. Padahal uang muka sudah dikucurkan. Pengurugan lokasi pun belum dimulai. Baru rintisan jalan masuk ke lokasi yang mulai dibuat sekedarnya. Saya benar- benar minta perhatian untuk proyek yang oleh masyarakat dikira sudah hampir jadi ini. Apalagi tanah urug untuk lokasi proyek ini harus didatangkan dari tempat yang jaraknya lebih dari 60 km. Itu pun tanahnya tidak bisa diangkut dengan truk melainkan harus dengan tongkang me nyusuri sungai Kahayan.
Belajar dari pengalaman yang seperti itu Direksi PLN membuat kebijakan baru : setiap proyek harus ada kepala proyeknya. Bahkan sang kepala proyek harus tinggal di lokasi proyek. PLN memang sudah lama tidak pemah punya proyek. Mungkin sudah hampir 10 tahun. Sejak krisis finansial tahun 1998 lalu. Akibatnya banyak ahli-ahli proyek di PLN sudah pada pensiun. Sedang tenaga baru PLN belum terlatih untuk menangani proyek. Akibatnya ketika tiga tahun lalu PLN diberi proyek yang sekaligus luar biasa banyak: 10.000 MW, terjadilah apa yang kini terjadi.
Di satu pihak hal itu tentu menjadi beban yang tak tertahankan. Tapi di lain pihak, ini adalah tantangan yang sangat menggoda. Inilah saatnya generasi baru PLN membuktikan bahwa PLN bisa membuat proyek-proyek yang sudah sangat terlambat itu untuk tidak lebih terlambat lagi. Tantangan itu tidak akan mengecil ke depan. Justru PLN akan terus mengerjakan proyek-proyek besar Iainnya dalam jumlah yang lebih banyak. Sungguh satu dekade yang akan sangat menantang.
Untunglah saya segera ke Jambi. Bisa sedikit terhibur. Di Jambi saya agak lega. Persiapan untuk menghadapi tantangan besar “membuat tahun depan adalah kemarau pertama yang tidak terjadi krisis listrik di Jambi” kelihatannya cukup baik. Entah sudah berapa puluh tahun Jambi selalu “menderita listrik” di setiap musim kemarau. Dirop Indonesia Barat sudah memprogramkan tahun depan adalah sejarah baru: tahun pertama kemarau tanpa krisis listrik. penambahan-penambahan mesin di komplek PLTG Payau Selincah kelihatannya berjalan lancar. Bahkan kami sepakat untuk memperbesar komplek Payau Selincah ini. Di sinilah akhirnya kita menetapkan Payau Selincah harus menjadi pusat listrik Jambi yang akan membanggakan wilayah itu.
Setelah dari Jambi sebenarnya saya ingin ke Ternate. Sekaligus ke Tidore. Lalu ke Halmahera dan sekitarnya. Namun saya harus mengikuti kunjungan Wapres Budiono ke Tanimbar, kepulauan paling luar yang sudah dekat ke Darwin, Australia itu. Saya harus ikut karena ada penilaian bahwa di Saumlaki, ibukota kabupaten terpencil ini, tidak ada listrik. Tentu saya berangkat dengan hati cemas. Jangan-jangan PLN akan malu karena terungkap bahwa masih ada satu wilayah yang tidak ada Iistriknya. Pada hal pulau ini termasuk daerah tertinggaI yang harus mendapat perhatian ekstra.
Ketika pesawat kepresidenan mendarat di Saumlaki, saya lega : listrik di sini ternyata sangat cukup. Bahkan sudah N-l. Maka saya pribadi tidak setuju kalau daerah ini dimasukkan daerah tertinggal. Kantor bupatinya saja amat megah. Rumah-rumah penduduknya tidak ada yang kumuh. Jalannya bagus-bagus. Ada SMA unggulan segala. Teman-teman PLN juga membanggakan karena meski bertugas di pulau yang begitu terpencil tapi melayani masyarakat dengan sepenuh hati. Selama di Saumlaki saya selalu bersama-sama dengan karyawan PLN. Bahkan saya sempat dicari-cari Wapres karena tidak menghadiri salah satu acara di situ.
Saya memang sedang keliling bersama teman-teman PLN : makan siang dengan mereka. Juga makan malam di pinggir pantai itu. Kalau toh ada yang kurang dari PLN adalah ini : PLTD-nya sudah berada di tengah-tengah kampung. Bisingnya bukan main. Rumah-rumah terdekat hanya berjarak kurang dari 15 meter. Sebenarnya ini bukan salah PLN. Saat PLTD ini dibangun, daerah itu masih kosong.
Saya setuju PLTD ini dipindah. Kami pun ramai-ramai mencari lokasi. Akhirnya saya memilih yang di sebelah penjara itu. “Apakah nanti tidak menganggu penghuni penjara pak,” tanya kepala PLN setempat, pak Nanaryain. “Biar saja,” jawab saya sekenanya. “Salah mereka sendiri mengapa sampai masuk penjara,” lanjut saya sambil bergurau. “Iya pak,” jawab Manajer PLN Saumlaki yang rupanya tidak kalah rasa humornya. “Sekalian kita tambah hukuman mereka dengan ke bisingan,”.
Kembali keJakarta saya tidak ikut pesawat kepresidenan. Saya singgah sebentar di pulau lain yang jaraknya setengah jam penerbangan pesawat kecil. Di sini saya kaget. Kok ada karyawan PLN yang tahu saya singgah di situ. Ternyata karyawan itu datang ke bandara hanya untuk menyerahkan oleh-oleh yang rupanya tidak sempat diberikan saat kunjungan saya kesana dua bulan sebelumnya. Mungkin karyawan PLN setempat menyesal mengapa dalam kunjungan dulu tidak memberikan oleh-oleh yang menjadi kebanggaan wilayah itu : mutiara. Daerah ini adalah penghasil mutiara yang terbesar di Indonesia.
Semula saya tidak tahu hadiah apa yang diserahkan itu. Bungkusnya amat kecil. Tentu saya bertanya apa gerangan isinya. Seperti sudah saya kemukakan berkali-kali saya tidak mau menerima oleh-oleh yang berharga. Ketika saya tahu isinya mutiara, saya harus bertanya berapa harga oleh-oleh itu di toko. Mula-mula karyawan tersebut tidak mau membuka. Saya terus mendesak. “Kalau Anda tidak mau mengatakan berapa harganya, saya tidak akan mau menerima ini,” kata saya.
Akhirnya saya tahu harga mutiara itu Rp 2 juta. Saat itu juga saya kirim SMS ke staff di Jakarta yang selama ini juga memegang uang pribadi saya. “Kirimkan uang Rp 2,5 juta,” kata saya. Maklum saya jarang membawa uang lebih dari Rp 500 ribu. Pengiriman uang itu juga saya beritahukan ke atasan mereka yang lebih tinggi agar lain kali tidak perlu menyiapkan oleh-oleh semacam itu.
Saya memang dalam kesulitan setiap menghadapi keadaan seperti ini. Saya tahu bahwa maksud pemberian itu mungkin untuk menghormati. Atau merasa tidak enak kalau tidak memberi oleh-oleh. Saya sebenarnya juga bisa merasakan ketulusan di situ. Namun saya harus bersikap untuk jangan menyulitkan teman-teman di daerah. Karena itu saya tidak bisa menolak hadiah seperti itu begitu saja. Kalau saya tolak saya tahu hal itu akan lebih menyulitkan. Sebab hadiah itu sudah terlanjur dibeli. Tentu tidak bisa dikembalikan ke toko. Maka lebih baik saya terima dengan senang hati, lalu saya kirim uang pribadi sebagai gantinya.
Beberapa kali saya melakukan hal seperti ini di beberapa daerah. Maafkan. Termasuk ketika saya menerima pakaian daerah, namun saya lihat harganya mahal. Saya langsung memberi uang sebagai gantinya agar pimpinan di unit tidak mengeluarkan uang perusahaan untuk membeli hal-hal seperti itu.
Saya bersyukur bahwa kini umumnya tidak ada lagi teman di daerah yang menyiapkan oleh-oleh. Tinggal satu-dua saja yang bisa sayaatasi dengan memberikan uang penggantinya.
Tentu tidak semua oleh-oleh saya tolak. Saya menerima dengan senang hati oleh-oleh seperti yang diberikan teman-teman di Jayapura ini: ubi talas dan pisang rebus. Atau oleh-oleh dari teman-teman PLN Kupang, NTT: jagung dan singkong rebus. Talas Papua maupun jagung NTT adalah salah satu makanan yang terlezat yang pernah say a makan. Apalagi semua itu bisa dimakan ramai-ramai di dalam penerbangan yang panjang kembali ke Jakarta.

Senin, 18 Oktober 2010

CEO PLN Note : Nasib di Tangan Trafo

Ketika dilantik sebagai direktur utama PLN pada 23 Desember 2009, saya menyadari sepenuhnya risiko ini: harus berhenti, mengundurkan diri atau diberhentikan, dalam waktu yang pendek. Mungkin satu bulan, dua bulan, tiga bulan, atau enam bulan. Nasib saya benar-benar di ujung tanduk. Di Jakarta ini, di pusat kekuasaan ini, listrik bisa saja tiba-tiba padam masal untuk wilayah yang amat luas dan untuk jangka waktu yang sangat panjang. Kalau itu terjadi, sudah bisa dibayangkan betapa marahnya orang se-Jakarta. Kejadian yang menimpa PLN pada akhir 2009 sangat mungkin menimpa saya dalam waktu sebelum satu tahun masa jabatan saya.
Penyebabnya jelas. Gardu induk tegangan ekstratinggi (GITET) di sekitar Jakarta ini sangat mendebarkan. Seluruh (enam) GITET yang menyangga listrik Jakarta itu tidak memiliki trafo cadangan. Padahal, beban setiap GITET tersebut sudah sangat tinggi. Sudah lebih dari 85 persen. Pada saat-saat suhu udara Jakarta meningkat di siang hari, beban sepenuh itu sangat-sangat rawan.
Apalagi gangguan gelombang harmonisa di Jakarta ini luar biasa besar. Yakni gelombang yang ditimbulkan oleh lampu hemat energi dan oleh peralatan yang serbakomputer di Jakarta. Beban yang kelihatannya 85 persen tersebut bisa-bisa sudah “terbaca” 95 persen oleh sistem di dalam trafo. Ini bisa membuat trafo salah baca dan terganggu.
Saya memang memimpikan bahwa kelak era lampu hemat energi tersebut harus diakhiri. Tapi, itu sepenuhnya memerlukan kebijakan nasional. Di luar jangkauan PLN. Lampu hemat energi itu sudah harus diganti dengan lampu LED. Di Tiongkok lampu sudah begitu semua. Hematnya superhemat. APBD kabupaten/kota tidak akan tersedot ke lampu jalan raya.
Tidak menimbulkan gelombang harmonisa pula. Kalau semua lampu jalan raya di Jawa ini diganti dengan LED, bangsa ini bisa menghemat listrik paling tidak 500 MW. Ini sama dengan nilai investasi Rp 8 triliun sendiri. Juga bisa mengurangi subsidi listrik dalam angka yang juga triliunan.
Saya sungguh berterima kasih kepada Tuhan yang membuat musim hujan tahun ini panjang sekali. Praktis, tidak ada musim kemarau. Suhu di Jakarta juga tidak pernah tinggi. Musim hujan yang panjang ini juga membuat waduk-waduk yang menghasilkan listrik bisa bekerja 100 persen sepanjang siang dan malam. Tuhan sungguh mahamurah kepada PLN tahun ini. Alhamdulillah. Puji Tuhan. Kalau tidak, sangat mungkin salah satu di antara enam GITET di Jakarta itu meledak. Seperti yang terjadi di Cawang, Jakarta, tahun lalu. Yang membuat Jakarta mengalami pemadaman bergilir yang luar biasa dalam jangka waktu lebih dari dua bulan.
Sekarang sudah aman? Belum. Nasib saya masih tetap tergantung di tangan trafo GITET-GITET itu. Setidaknya sampai dua bulan lagi. Saya terus bedoa semoga Tuhan yang sudah menyelamatkan saya delapan bulan ini (sampai September 2010) masih memberkati saya seterusnya. Setidaknya sampai dua bulan lagi. Saya berjanji bahwa saya akan mensyukuri nikmat itu dengan bekerja keras.
Seperti yang sering dikemukakan almarhum Nurcholis Madjid bahwa bentuk bersyukur yang paling baik adalah kerja keras. Saya masih ingat ayat Tuhan “barangsiapa mensyukuri nikmatku?.” dan seterusnya itu. Karena itu, dalam sebulan terakhir ini, saya melakukan perjalanan darat ribuan kilometer di seluruh pelosok Indonesia. Untuk melihat apa yang masih harus diperbuat. Di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai ke Papua.
Mengapa Jakarta belum aman sampai dua bulan lagi? Penyebabnya, trafo-trafo GITET (IBT) yang dibeli PLN dengan tender enam bulan lalu baru akan tiba bulan depan dan bulan depannya lagi. Itulah trafo IBT yang akan kami pasang untuk cadangan di GITET Gandul, Bekasi, Kembangan, Cibatu (semua di sekitar Jakarta), Krian (Jatim), dan Ungaran (Jateng). Sebelum trafo-trafo IBT cadangan tersebut terpasang, detak jantung kami akan terus kacau.
Maka, ketika pekan lalu ada laporan bahwa GITET Kembangan meledak, saya langsung memikirkan ujung persoalan ini: sebagian besar Jakarta akan gelap dalam waktu yang lama dan saya harus sudah siap menerima akibat apa pun karenanya. Banyak yang sudah menduga, lamanya dampak meledaknya IBT Kembangan itu akan sampai satu bulan.
Syukurlah, ledakan itu tidak sampai menimbulkan kebakaran seperti di GITET Mandirancan, Cirebon, dua bulan lalu. Bersyukur juga bahwa yang meledak adalah sisi 150 kv-nya. Bukan sisi 500 kv-nya. Kalau yang meledak sisi 500 kv-nya, ampun-ampun akibatnya. Tapi, meski di sisi 150 kv, ledakan tersebut mencemari minyak di dalam trafo yang harus bersih-murni itu. Minyak sebanyak 120 ton tersebut harus dikuras dulu. Penelitian ilmiah harus dilakukan untuk mengetahui berapa lama perbaikan diperlukan. Satu minggu” Satu bulan” Tergantung luas tidaknya dampak ledakan tersebut.
Bahwa akibat ledakan GITET Kembangan tersebut tidak terlalu luas di masyarakat, itu disebabkan seluruh energi dan pemikiran dicurahkan untuk mengatasinya. Manuver-manuver daya dilakukan. Termasuk bisa “ditemukannya” daya tambahan 80 MW dari PLTG Muara Karang. Saya sungguh memuji kecerdikan tim yang mengatasi dampak meledaknya GITET Kembangan itu. Cara lainnya: PLN menemui pemilik-pemilik genset besar. Kami minta pemilik-pemilik genset besar agar mencukupi daya dari gensetnya sendiri. PLN akan memberikan ganti rugi. Selama ini pemilik genset-genset tersebut hanya menjadikannya cadangan karena listrik dari PLN jauh lebih murah.
Cara-cara mengatasi dampak tersebut cepat ditemukan karena sudah berlatih sejak GITET Mandirancan meledak sampai terbakar dua bulan lalu. Waktu GITET Mandirancan meledak, kami sudah siap menerima akibat yang sangat fatal. Ternyata, kami bisa mengatasi dengan lebih cepat. Dampak pemadamannya tidak luas dan perbaikannya bisa hanya perlu tiga minggu. Tidak perlu dua bulan.
Hasil penelitian yang di Kembangan itu juga melegakan: kerusakan tersebut bisa diperbaiki dalam lima hari. Di antara lima hari itu, yang dua hari jatuh pada Sabtu dan Minggu. Itu berarti dampak pemadamannya hanya tiga hari. Sebab, ketika Sabtu dan Minggu pemakaian listrik amat kecil.
Dalam waktu delapan bulan terakhir ini, dalam masa jabatan saya ini, memang terjadi empat kali gangguan GITET. Semua bisa diatasi dengan cepat. Tapi?, ya Tuhan, trafo cadangan kami belum datang. Mohon trafo-trafo GITET yang masih ada ini diberkati. Jantung kami sudah Engkau uji selama delapan bulan.
Tapi, menunggu dua bulan lagi jantung kami belum tentu kuat, Tuhan! Selamatkan Cawang. Selamatkan Gandul. Selamatkan Kembangan. Pernyataan Abah :
RELEASE:
Penetapan saya sebagai tersangka ini saya terima dengan penuh tanggungjawab. Setelah ini saya akan mempelajari apa yang sebenarnya terjadi dengan proyek-proyek gardu induk tersebut karena sudah lebih dari tiga tahun saya tidak mengikuti perkembangannya.
Saya ambil tanggungjawab ini karena sebagai KPA saya memang harus tanggung jawab atas semua proyek itu. Termasuk apa pun yang dilakukan anak buah. Semua KPA harus menandatangani surat pernyataan seperti itu dan kini saya harus ambil tanggungjawab itu.
Saya juga banyak ditanya soal usulan-usulan saya untuk menerobos peraturan-peraturan yang berlaku. Saya jawab bahwa itu karena saya ingin semua proyek bisa berjalan. Saya kemukakan pada pemeriksa bahwa saya tidak tahan menghadapi keluhan rakyat atas kondisi listrik saat itu. Bahkan beberapa kali saya mengemukakan saya siap masuk penjara karena itu.
Kini ternyata saya benar-benar jadi tersangka. Saya harus menerimanya. Hanya saya harus minta maaf kepada istri saya yang dulu melatang keras saya menerima penugasan menjadi Dirut PLN karena hidup kami sudah lebih dari cukup.
Saya akan minta teman2 direksi PLN untuk mengijinkan saya melihat dokumen-dokumen lama karena saya tidak punya satu pun dokumen PLN.
Dahlan Iskan Bekasi! Juga GITET-GITET lainnya. Hanya kepada-Mu kami berserah. La haula wa la quwwata?. Wolo-wolo kuwato, Gusti!?
Sumpah Gusti! Kami akan bekerja keras untuk mensyukuri nikmat-Mu itu, (***)
*Penulis adalah CEO PLN

Sabtu, 04 September 2010

CEO PLN Note : Dari Cicurug : Boasa Ingkon Mabiar!

Saya merasakan wabah semangat kini melanda jajaran PLN di seluruh Indonesia. Semangat untuk bangkit dan semangat untuk mandiri berkibar tinggi. Teman-teman kita nun di Cabang Sibolga pun menemukan jalan terangnya sendiri. Di sana wilayahnya terbagi dalam dua tipe : pegunungan yang jarang pelanggannya dan perkotaan yang padat penduduknya. Yang di pegunungan itu penyulangnya panjang-panjang karena desanya saling berjauhan. Pohonnya juga sering tumbang menganggu jaringan kita. Hujan, angin dan petir menjadi setan utama yang mengganggu tidur kita. Celakanya, gangguan di daerah yang penduduknya jarang ini menyebabkan listrik di perkotaan yang padat ikut terganggu. Yang sedikit mencelakakan yang banyak.
Kris Cahyono, Kepala Cabang Sibolga, tentu tidak terima dengan kenyataan seperti itu. Maka dia pisahkan wilayah pegunungan dan perkotaan itu dengan recloser. Dengan demikian kalau ada pohon tumbang di gunung, listrik di kota seperti Tarutung tidak ikut mati. Cara ini sangat sukses untuk menekan tingkat gangguan. Karena itu dia menjadi pe-de untuk menciptakan jargon sendiri dalam bahasa Batak. Dia memang kepingin mengadopsi jargon dari wilayah Jatim “ojo byar-pet, yen pet, cepetl” itu (apalagi dia memang berasal dari Sidoarjo), tapi dia pikir orang Sibolga harus punya caranya sendiri.
Lalu di depan forum untuk menyambut rombongan saya yang tiba di Tarutung pekan lalu, dia menayangkan jargon ini : Udan Alogo, Boasa Ingkon Mabiar! Semula saya mengira artinya mirip “ojo byar-pet, yen pet cepetl” itu. Ternyata beda sama sekali. Saya tidak bisa merasakan apakah jargon itu cukup puitik atau tidak. Yang penting, bagi saya, sikap kemandiriannya sangat terasa.
Tapi masih ada satu hal yang mengganjal pikirannya. Dia kepingin tahu di mana cabang yang telah mempraktekkan membungkus penyulang dengan selang plastik itu. Atau yang membungkus penyulang dengan pipa paralon itu. Tentu saya jelaskan dengan bangga bahwa teman-teman di Distribusi Jateng-Iah yang pernah bercerita kepada saya soal pemakaian selang plastik untuk membungkus kabel yang melewati pepohonan itu. Atau teman di Distribusi Jabar-Iah yang sudah mempraktekkan penggunaan pipa paralon itu.
Semangat ternyata bisa cepat merata.
Di Distribusi Jatim semangat itu bahkan sudah menghasilkan. Sudah ada dua cabang yang berhasil gangguannya menjadi 0 dalam satu bulan Juli lalu. Salah satunya yang saya ingat adalah Madiun. Maklum saya memang baru saja melewati daerah itu. Yakni dalam perjalanan darat dari Jogja-Pacitan-Ponorogo-Magetan dan Solo. Hari itu 16 jam saya berada di mobil dalam perjalanan darat yang panjang.
Prestasi Madiun itu menunjukkan bahwa ternyata kita bisa. Sangat bisa. Kenyataan inilah yang membuat semangat itu kian menyala. Tidak mengenal jenis kelamin pula. Bayangkan, saya sampai mendapat kiriman toto yang membuat saya geleng-geleng kepala : seorang wanita, naik ke atas trafo yang begitu tinggi. Rekan kita itu Erna Purnamawati, Manajer UPJ Sumberrejo – APJ Bojonegoro. Saya lihat (di foto) dia mengenakan celana (tentu!) dan baju lengan panjang disertai helm. Kecantikannya tetap menonjol, antara lain karena saingan di sebelah-sebelahnya semua jelek : tiang listrik, trato dan kabel – kabel yang ruwet.
Nun dari Bau-Bau saya juga bisa bicara langsung dengan para karyawan di sana melalui HP-nya GM Ahmad Siang : para karyawan itu baru saja menemukan cara memperbaiki radiator diesel dengan cara mereka sendiri. Saya sudah minta agar cara itu ditulis dalam satu naskah untuk dimasukkan dalam website PLN. Agar bisa ditiru, dinilai atau bahkan disempurnakan oleh teman-teman yang lain.
Semua itu kita lakukan demi kepuasan pelanggan kita.
Kadang kita memang harus berterima kasih kepada pelanggan yang kelewat cerewet. Misalnya yang di Cicurug, Jabar itu. Gara-gara pelanggan ini, teman-teman Distribusi Jabar harus membentuk tim khusus untuk mengatasinya. Problemnya kurang lebih sama dengan yang di Sibolga itu. Di Jawa pun ternyata masih ada penyulang yang panjangnya sampai 15 km tanpa LBS satu pun.
Maka satu bulan penuh tim Jabar ini merombak sistem di Cicurug tersebut. Sampai-sampai harus mengganti 61 titik penyulang, memasang tiga buah PMT (LBS otomatis), memasang recloser, menggelar kawat proteksi petir sampai 9 km, memasang 66 buah arrester dan harus me-resetting rele segala.
Alangkah beratnya pekerjaan yang harus dilakukan gara-gara satu pelanggan yang super cerewet tersebut. Begitu cerewetnya pelanggan ini sampai-sampai secara guyon kita pernah kepingin memindahkan saja rumahnya ke jalur distribusi yang lebih aman. Biaya merombak sistem tadi, jangan-jangan lebih mahal dibanding membelikan rumah bagi pelanggan itu di dekat kota!
Kalau saja semua pelanggan kita secerewet yang satu ini, pasti PLN sudah jaya sejak dulu-dulu! Dengan selesainya persoalan di Cicurug ini, teman-teman Distribusi Jabar pun kayaknya sudah bisa mengibarkan jargon “udan alogo boasa ingkon mabiar!”.Keberhasilan membungkam kecerewetan Cicurug ini tampaknya menjadi hadiah lebaran yang istimewa bagi saya. Saya berharap selama lebaran nanti tidak ada lagi rentetan pengaduan dan caci-maki dari Cicurug.Itu bukan satu-satunya hadiah lebaran. Hadiah lebaran lain, yang juga menyenangkan, adalah ini : dokter di Tiongkok menyatakan kesehatan saya sangat baik.
Saya memang baru pulang dari Tiongkok untuk check-up. Akhirnya saya memang harus menyempatkan diri memeriksakan liver baru saya itu. Sudah telat 9 bulan dari jadwal check-up yang semestinya. Dua hari saya “ngamar” di rumah sakit di kota Tianjin. Hasilnya, seperti kata dokter, “Iebih sehat dari dokternya”.
Karena itu, di hari ketiga saya sudah berani melakukan perjalanan 600 km untuk melihat tower transmisi tertinggi di dunia. Tower itu tingginya 346 meter, lebih tinggi dari menara Eiffel di Paris itu (324 meter). Lebar kaki-kakinya 68 x 68 meter. Bentangan “tangan” di atasnya sampai 77 meter agar dalam keadaan angin apa pun jarak antar kabel masih berjauhan. Tower satunya lagi berada di seberang sana dengan jarak 2,3 km. Satu tower saja beratnya 4.192 ton.Saya perlu melihat tower ini untuk membangun satu keyakinan bahwa kita pun akan mampu membangunnya. Yakni untuk menyeberangkan kabel dari Banyuwangi (Jawa) ke Gilimanuk (Bali). Proyek ini sudah dirancang sejak 15 tahun yang lalu, namun belum kunjung bisa dilaksanakan. Padahal tanahnya sudah lama sekali dibeli.
Setelah melihat apa yang dilakukan Tiongkok, muncul keyakinan saya bahwa kita pun akan bisa melaksanakannya. Maka meski hari Minggu saya minta Direksi kumpul. Dari bandara saya langsung Rapat Direksi membicarakan proyek yang sudah berumur 15 tahun ini. Semua Direksi ternyata juga sangat konfiden. Maka Minggu sore itu pun dibuat keputusan : bangun tahun ini juga. Tim Direktorat Perencanaan langsung bekerja. Oktober nanti tower ini sudah bisa ditenderkan.
Kalau tower tertinggi di dunia yang ada di Tiongkok itu tingginya 346 meter, saya minta yang akan kita bangun nanti minimal 347 meter. PLN akan tercatat dalam peta dunia sebagai pemilik tower yang tingginya satu meter lebih tinggi dari yang tertinggi.
Tentu ini bukan soal tinggi-tinggian tower. Listrik di Bali memang harus diselesaikan dengan baik. Jangan sampai Bali krisis listrik. Nanti bisa ribut seperti saat bandara Soekarno-Hatta padam listriknya tempo hari. Meski bukan salah PLN tapi apa pun yang terkait dengan listrik PLN terimbas.
Terakhir: di mana saya akan berlebaran?
Sebelum sakit dulu, bertahun-tahun saya selalu berlebaran di Mekah. Biasanya saya berada di sana untuk ibadah selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Sejak sakit, karena harus tinggal di Tiongkok, tiga tahun saya berlebaran di Tiongkok.Tahun ini, saya akan berlebaran di Surabaya. Karena keluarga saya kecil, satu hari cukup untuk lebaran. Hari kedua saya ingin lebaran di beberapa lokasi pembangkit yang terjangkau pesawat. Para karyawan pembangkit dan Dinas Gangguan tentu tidak bisa lebaran. Saya ingin mengunjungi mereka.
Ada satu permintaan saya : karyawan PLN tidak perlu kirim SMS untuk mengucapan selamat Idul Fitri kepada saya. Terlalu banyak jumlahnya. Kalau saya tidak membalas, saya akan merasa tidak sopan. Kalau harus membalas, terus terang, terlalu banyak. Bisa-bisa saya dianggap a-sosial karena hanya sibuk membuka hand phone. Ucapan selamat Idul Fitri lebih baik via email. Saya lewat kawan-kawan IT juga akan menyiapkan sarana silaturahmi lewat chatting pada tanggal14 September untuk seluruh karyawan, silakan bergabung.
Maafkanlah.
Minai aidin wal faidzin!

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost