Jumat, 20 Mei 2011

CEO PLN Note : Perlu Revolusi Mental Tahap Kedua

Perjalanan Penuh Nikmat tanpa SPPD
Tidak terasa “puasa perjalanan dinas sebulan penuh” di PLN sudah berjalan 20 hari. Setelah dijalani dengan sungguh-sungguh, ternyata tidak juga terlalu berat. Seluruh jajaran PLN, tampaknya, akan mampu menjalani “puasa perjalanan dinas” hingga akhir Mei 2011 ini. Toh tinggal sepuluh hari lagi. Ini berarti pegawai PLN yang melakukan perjalanan dinas yang sebulan mencapai 28.200 orang itu kini tidak ada yang meninggalkan posnya.
Apa sajakah pengalaman berat selama dua minggu dilarang melakukan perjalanan dinas? Adakah kejadian mahaberat yang sampai membuat batal puasa” Adakah yang sampai kelaparan yang tidak tertahankan?
Ternyata baik-baik saja. Memang ada tanah longsor di Aek Sibuan, nun di luar kota Padang Sidempuan, Sumut, yang membuat delapan tiang listrik roboh sekaligus. Tetapi, Sudirman, kepala PLN cabang Padang Sidempuan, yang baru sebulan bertugas di sana (pindahan dari Jatim) bisa mengatasi tanpa mengeluarkan SPPD (surat perintah perjalanan dinas).
Pimpinan Wilayah PLN Sumut Krisna Simbaputra juga tetap bisa menegakkan integritas anak buahnya di bulan puasa SPPD ini. Minggu kedua Mei 2011, seorang kepala ranting di kawasan yang jauhnya hampir 100 km dari Medan dilaporkan menerima suap dari pelanggan. Meski nilainya tidak sampai puluhan juta rupiah, yang beginian tidak bisa ditoleransi lagi di PLN. Tindakan untuk kepala ranting itu tetap bisa dilakukan tanpa terhambat oleh program puasa SPPD.
Ujian terberat tentu di Lampung. PLN Lampung memang sedang mendapat tugas darurat dalam skala besar. Tiba-tiba saja PLN harus mengambil alih pelayanan listrik untuk lebih dari 70.000 pelanggan koperasi yang mendadak pindah ke PLN. Izin kelistrikan koperasi itu dicabut pemerintah. Padahal, jaringan maupun meteran milik koperasi yang ada di rumah-rumah pelanggan sebanyak itu sudah dalam keadaan parah yang harus diganti semua. Ada syarat lain: tidak boleh ada gejolak. Peralihan itu harus berjalan mulus.
Jajaran PLN Lampung, terutama di tiga kabupaten sekitar Metro, bekerja sangat keras di bulan puasa SPPD ini. “Tapi, teman-teman PLN Cabang Metro bertekad menyelesaikannya tanpa bantuan dari cabang lain,” ujar Pimpinan Wilayah PLN Lampung Agung Suteja.
Bagi Kepala PLN Cabang Metro Syarbani Sofyan, inilah kesempatan untuk menorehkan sejarah hidup yang berarti: mampu melaksanakan tugas sangat besar dengan risiko politik yang tinggi tanpa harus bersandar kepada cabang lainnya. Padahal, Syarbani baru sebulan menduduki jabatan itu.
Selama dua minggu ini saya sendiri hanya dua kali keluar kota. Pertama, ke Bandung untuk berbicara di hadapan rapat kerja jajaran PT Pos dan Giro se-Indonesia. Saya diminta sharing mengenai pengalaman memimpin perubahan besar di PLN. PT Pos dan Giro bukan BUMN pertama yang minta sharing seperti itu. Sudah banyak. Di forum seperti itu biasanya saya ceritakan apa saja yang dilakukan teman-teman PLN pada masa perubahan seperti sekarang ini.
Keluar kota saya yang kedua adalah ke Ambon, Seram, Saparua, dan Makassar. Semua itu saya lakukan hanya dengan menginap semalam di Masohi, Pulau Seram. Tiba di Ambon pukul 15.00, saya langsung ke proyek PLTU Wai. Saya tidak menduga bahwa ada persoalan di sini. Semula saya ingin menyenangkan diri untuk melihat proyek yang sedang seru-serunya dibangun. Eh, ternyata sedang ada sengketa harga tiang pancang. Mau tidak mau harus saya selesaikan.
Dari proyek ini, kami langsung naik speedboat ke Pulau Seram. Menjelang magrib barulah kami tiba. Langsung melakukan perjalanan darat menyusuri Pulau Seram. Karena harus berhenti di setiap kantor subranting PLN, perjalanan ini memakan waktu empat jam. Menjelang pukul 24.00 kami baru tiba di Masohi. Maka, dialog dengan karyawan PLN Masohi baru bisa dilakukan tengah malam itu di halaman kantor yang diterangi cahaya lampu mercury dan diselingi suara deburan ombak dari pantai Masohi.
Saya melihat betapa banyak PLTD kecil di sepanjang Pulau Seram. Kondisi mesinnya juga sudah sangat tua. Begitu rumit penyediaan listrik di Seram. Karena itu, kami memutuskan segera mengganti diesel-diesel itu dengan membangun pembangkit listrik besar di Seram. Kami putuskan untuk mendayagunakan sumber air terjun di sana sebagai pembangkit listrik yang baru.
Saya melihat, sepanjang sistem penyediaan listrik masih menggunakan diesel-diesel kecil yang berserakan di berbagai tempat seperti itu, pelayanan listrik kepada masyarakat akan sangat ruwet. Misalnya, di salah satu ranting di situ, Ranting Kairatu, yang hanya punya dua penyulang masih megap-megap.
Meski listrik sudah cukup, sebulan terakhir ini jumlah gangguannya masih 63 kali. Itu berarti setiap hari satu kali mati lampu di kawasan Kairatu. Semula saya merasa aneh mengapa kepala ranting PLN Kairatu tidak terlihat gelisah. Lalu, saya pun mengira-ngira: mungkin di dalam hatinya justru bangga. Bisa jadi dia punya pikiran bahwa gangguan yang 63 kali itu sudah merupakan prestasi. Ini terjadi karena dulu-dulunya gangguannya 102 kali sebulan!
Saya merenungkan dalam-dalam situasi seperti itu. Saya hampir tidak bisa tidur di sisa malam yang pendek itu. Saya memang tidak puas akan sikap mental yang tidak gelisah ketika melihat ada gangguan 63 kali sebulan. Apalagi, yang demikian itu menjadi gejala yang luas di luar Jawa. Tapi, di lain pihak saya bisa mengerti mengapa harus gelisah kalau jumlah gangguan itu sudah berhasil diturunkan secara drastis. Dari 102 kali ke 63 kali”
Walhasil PLN memang masih perlu melakukan revolusi mental tahap kedua. Revolusi mental tahap pertama sudah berhasil dilakukan tahun lalu: menyadari gangguan ratusan kali sebulan itu tidak boleh terjadi. Revolusi mental tahap kedua ini harus menghasilkan kesadaran bahwa mati lampu 63 kali itu pun belum bisa diterima masyarakat. Jumlah mati lampu sebanyak itu masih jauh daripada target hanya boleh sembilan kali setahun. PLN memang bertekad untuk membatasi jumlah mati lampu hanya sembilan kali per pelanggan per tahun untuk bisa disebut berhasil mengalahkan Malaysia.
Teman-teman PLN di Jawa/Bali sudah berhasil melakukan revolusi kedua itu. Tapi, saya melihat teman-teman PLN luar Jawa, baik di Indonesia Barat maupun Indonesia Timur, masih harus berjuang untuk menghadapi dan memenangkan revolusi kedua tersebut tahun ini. Termasuk, misalnya, yang terjadi di Palembang. Bagaimana bisa dan bagaimana masih terjadi di Palembang mati lampu, di satu lokasi, di dalam kota, yang sampai sembilan kali selama sebulan.
Saya hampir bisa tidur, tapi pintu kamar sudah diketok: sudah pukul 05.00. Sudah waktunya harus menuju ke dermaga. Pagi-pagi itu kami dari Masohi ingin ke Pulau Saparua. Ini agar tidak telat menghadiri acara pokok di Ambon pukul 10.00. Pagi itu, ketika mulai meninggalkan dermaga, cuaca sangat cerah. Pagi yang indah di Pantai Masohi.
Namun, ketika speedboat sudah meraung selama 15 menit, mulailah gelombang datang. Teman PLN Maluku masih bisa menenangkan hati saya. “Biasa Pak Dis, kalau meninggalkan wilayah teluk mesti bergelombang begini,” katanya. “Inilah gelombang yang diakibatkan bertemunya arus laut terbuka dengan laut di kawasan teluk,” tambahnya.
Ternyata tidak begitu. Ketika speedboat kian ke tengah laut pun, gelombang kian tinggi. Speedboat pun terhentak-hentak keras. Saya sudah mulai melirik di mana pelampung-pelampung diletakkan. Oh, tidak jauh dari jangkauan tangan saya. Kalau?mendadak situasi darurat, saya akan bisa meraih pelampung itu dengan mudah. Cuaca ternyata benar-benar dengan cepat memburuk. Langit gelap. Mendung tebal menggelayut. Hujan pun bresss, turun di tengah laut.
Pengemudi speedboat tiba-tiba menoleh ke belakang. Dia mengucapkan kata-kata dengan nada minta keputusan. “Kian ke depan gelombang kian tinggi. Kita tidak bisa meneruskan perjalanan ke Saparua. Baiknya membelok ke arah Pulau Haruku,” katanya. Yah, apa boleh buat. Niat ke Saparua pun batal. Bahkan, ke Haruku pun tidak mampu. Speedboat membelok langsung ke arah Pulau Ambon. Berarti masih akan menempuh perjalanan 1 jam lagi. Saya lihat dari delapan jeriken bensin masih tersisa dua jeriken. Rasanya masih cukup untuk sampai di Ambon.
Jam 9 pagi kami sudah tiba di Ambon. Acara kami berikutnya adalah dialog dengan seluruh wali kota di wilayah Indonesia Timur di Swissbel Hotel, Ambon. Namun, saya minta disempatkan mampir di Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Tulehu. Pengeboran di sini sudah dimulai, tetapi mengalami hambatan.
Di kedalaman 900 meter mata bornya terjepit batu. Kini pengeboran dihentikan. Minggu depan akan dimulai lagi, mengebor dalam posisi miring. Meski ada hambatan, PLTP ini sudah kelihatan memberikan harapan. Dari kedalaman 900 meter tersebut sudah “tercium” potensi geotermal yang sesungguhnya.
Dalam waktu yang sangat mepet (karena begitu banyak wali kota yang mengajukan pertanyaan) dan dalam keadaan lalu lintas Kota Ambon yang padat, ditambah hujan, kami harus mengejar pesawat Sriwijaya Air yang terbang ke Makassar. Teman-teman PLN Makassar sudah menunggu rapat penting untuk konsep ke depan kelistrikan di Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara.
Malam itu juga, tanpa SPPD, saya menyelesaikan perjalanan ini dengan penuh nikmat.
Dahlan Iskan
CEO PLN

Rabu, 18 Mei 2011

CEO PLN Note : Nuklir Tidak Habis Pikir

Saya tak habis pikir: tetangga terdekat Jepang ini sama sekali tak terpengaruh oleh heboh pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima.
Korea Selatan tetap bersemangat, bukan saja menjalankan PLTN yang sudah ada, melainkan juga terus membangun PLTN baru.
Gempa dan tsunami hebat yang menghancurkan PLTN Fukushima pada Maret lalu ternyata sebatas membuat Korsel lebih waspada.
Tak ada satupun PLTN di Korsel yang berjumlah 20 unit itu yang dihentikan operasinya. Bahkan, yang sedang dibangun pun tetap dikebut penyelesaiannya.
Akhir bulan lalu, setelah memeriksakan liver baru saya di rumah sakit di Tianjin, saya mampir ke Korsel. Jarak ke negara itu, dari Tianjin, hanya satu jam penerbangan.
Saya ingin menyaksikan benarkah pemerintah Korsel tak terpengaruh tekanan antinuklir yang dengan kejadian di Fukushima mendapat momentum yang tepat.
Ternyata benar. Saya dibawa ke pantai tenggara Korsel yang posisinya menghadap ke arah Fukuoka, Jepang. Korsel memiliki 20 PLTN dan semuanya di pantai. Praktis, sepanjang pantai timur dan selatan Korsel padat dengan PLTN.
Di lokasi yang saya tinjau ini, misalnya. Bukan hanya PLTN yang sudah ada sebanyak 4 unit tetap beroperasi, bahkan akan ditambah lagi dua unit baru.
Dua unit baru ini saya lihat sedang giat-giatnya diselesaikan. Terlihat begitu banyak pekerja di kedua proyek itu. Korsel yang dikenal disiplin pada jadwal proyek itu memang ingin menyelesaikan dua proyek PLTN itu satu bulan lebih cepat dari jadwal seharusnya: akhir tahun ini juga.
Dua unit yang sedang dalam penyelesaian itu salah satunya dibangun grup Samsung. Rupanya, Samsung pun sudah merambah ke bidang pembangunan PLTN. Ini bukan kunjungan saya yang pertama ke PLTN.
Tahun lalu saya ke PLTN Genka di Kyushu, Jepang. Namun, baru kali ini saya melihat proyek PLTN yang sedang dikerjakan. Inilah kesempatan baik bagi saya untuk melihat ‘jantung’-nya PLTN yang tak mungkin bisa dilihat lagi setelah proyek itu selesai.
Kebetulan tahap pembangunan PLTN oleh Samsung ini sudah mencapai titik menjelang akhir. Bangunan fisik reaktornya sudah jadi, namun masih bisa dimasuki untuk melihat dalamnya.
Bagian-bagian yang berada di bawah air sudah dipasang. Tapi, karena airnya sangat jernih, bagian ini masih bisa dilihat samar-samar.
Reaktornya sendiri yang kelak diisi uranium itu belum dipasang, tapi sudah siap di sebelah ‘kolam’ itu. Tinggal mengangkat dan memasukkannya ke kolam, disatukan dengan bagian bawahnya yang sudah berada di dalam air.
Peralatan-peralatan lain juga sudah dipasang, tapi masih bisa ditinjau dari jarak dekat: proses steam (uap), turbin, generator, dan ruang kontrol.
Berada di dalam kubah besar bangunan PLTN yang sudah jadi, kita bisa melihat tebal dan berlapis-lapisnya material yang sangat khusus untuk dinding kubah itu. Kita juga bisa melihat sistem pendingin yang berlapis-lapis yang sudah tidak akan seperti Fukushima yang memang masih menggunakan teknologi 40 tahun lalu itu.
Ketergantungan Korsel akan PLTN memang tak bisa dihindari lagi. Sudah terlalu besar peran PLTN untuk pasokan listrik di Korsel: sudah 30 persen (30 persennya lagi PLTU batubara dan sisanya PLTG).
Kalau PLTN di Korsel dihentikan, ekonomi Negara Ginseng yang sedang ingin mengalahkan Jepang itu bisa langsung runtuh.
Apalagi Korsel telanjur mengandalkan PLTN bukan hanya untuk kecukupan pasokannya, tapi juga untuk menjaga keandalan listriknya, efisiensinya, dan murahnya harga listrik.
Soal murah ini saya hampir-hampir tak percaya. Sebab, ketika di Jepang tahun lalu saya mendapat keterangan harga listrik dari PLTN masih 17 cent dolar AS per kWh.
Rasanya saya tak salah dengar saat itu. Rasanya saya juga sudah mengulangi beberapa kali pertanyaan saya itu dan jawabnya sama: 17 cent dolar AS per kWh. (Baru setelah di PLN saya tahu bahwa dalam menulis kWh, huruf W-nya harus besar karena berasal dari nama orang yang menemukan listrik, James Watt).
Tapi, di Korsel ini saya dapat penjelasan yang sangat mengejutkan. Harga listrik dari PLTN hanya 3,9 cent dolar AS per kWh. Untuk rupiah sekarang, ini hanya sekitar Rp350 per kWh.
Bandingkan dengan harga listrik dari PLTU batubara yang kini sudah mencapai Rp600 per kWh. Atau bandingkan dengan harga listrik yang diproduksi dengan minyak solar di Tambak Lorok (Semarang) atau di Muara Tawar, Tanjung Priok dan Muara Karang (semuanya di sekitar Jakarta) yang saat ini mencapai Rp3.000 per kWh. Praktis, 10 kali lipat lebih mahal daripada listrik nuklir Korsel. Apalagi, kalau dibanding dengan produksi listrik di pulau-pulau luar Jawa yang mencapai Rp3.500 per kWh.
Saya sungguh mengira salah dengar. Lebih lima kali saya mengulangi pertanyaan saya itu. Khawatir masih salah dengar, saya minta dituliskan di atas kertas.
Mula-mula saya yang menuliskannya. Dia pun membenarkan. Lalu saya minta dia sendiri yang menulis. Ternyata sama: 3,9 cent dolar AS per kWh.
Saya masih takut teperdaya. Ketika mengunjungi PLTA (pembangkit listrik tenaga air) pumped storage di Yang Yang, tiga jam naik mobil dari Seoul, saya bertanya ke pejabat tinggi Kepco (PLN-nya Korsel). Ini berarti saya bertanya ke pihak pembeli.
Saya ingin membandingkan keterangan pihak PLTN (penjual listrik) dengan keterangan Kepco sebagai pihak pembeli (untuk disalurkan ke masyarakat). Pertanyaan saya: berapakah Kepco membeli listrik dari pembangkit-pembangkit nuklir? Jawabnya: 3,9 cent dolar AS per kWh.
Bahkan, pejabat tinggi ‘PLN Korsel’ itu menuliskan daftar harga listrik yang dia beli dari berbagai jenis pembangkit. Nuklir 3,9 cent, PLTU batubara: 6,0 cent, PLTA: 13,8 cent, PLTA pumped storage: 20,1 cent.
PLTA pumped storage jadi paling mahal karena sifatnya yang khusus. Inilah pembangkit listrik yang menggunakan air, tapi hanya dijalankan lima jam sehari, yang disebut waktu beban puncak.
Kalau di Indonesia, beban puncak itu terjadi antara pukul 6 sore sampai 10 malam, ketika semua orang menyalakan listrik di rumah masing-masing.
Pada jam-jam seperti itu semua air di waduk yang di atas sana ditumpahkan ke turbin untuk menghasilkan listrik. Setelah pukul 10 malam, ketika rumah-rumah mulai mematikan listrik, operasi dihentikan.
Air yang sudah diterjunkan ke waduk bawah tadi dipompa lagi ke atas dimasukkan ke waduk atas. Begitulah terus-menerus sepanjang hari. Airnya diputar dengan cara yang amat mahal.
Untuk kali pertama PLN akan membangun proyek seperti ini di Cisokan, dekat Bandung. Setelah diadakan penelitian, untuk seluruh Jawa hanya satu tempat ini yang bisa dipakai untuk pembangkit listrik sistem khusus ini.
Setelah dapat keyakinan harga tadi, barulah saya mengerti mengapa industri di Korsel bisa dapat harga listrik lebih murah dari Indonesia. Padahal, di Cina saja, yang harga-harga barangnya lebih murah, listrik untuk industrinya lebih mahal dari Indonesia.
Dari sini juga saya tahu bahwa mati lampu di Korsel jadi yang terbaik di dunia. Setahun hanya mati lampu 3 menit. Salah satunya karena pasokan listriknya sangat andal. (Indonesia: 2009 mati lampu 150 kali; 2010 turun jadi 50 kali; 2011 ini ditargetkan hanya 9 kali rata-rata per pelanggan per tahun).
Dari sini pula saya bisa maklum mengapa pemerintah Uni Emirat Arab tak membatalkan proyek nuklirnya. Samsung juga yang akan mengerjakan empat unit PLTN di Uni Emirat Arab, masing-masing 1.400 MW itu. ‘’Kami terus bekerja di sana,’’ ujar pejabat tinggi Samsung yang menemani saya.
Tapi, tidakkah rakyat Korsel takut akan terjadi seperti di Fukushima? Itu yang membuat saya bertanya-tanya. Kalaupun pemerintahnya tak terpengaruh, apakah rakyatnya juga tak takut? Saya pun mencari kesempatan untuk menanyakan hal itu pada orang biasa di keramaian Kota Seoul. Ada yang pekerjaannya supir, ada juga yang pegawai kantor swasta.
Pertanyaan yang saya ajukan sama: apa tak takut dengan listrik nuklir? Jawabnya mirip-mirip: ada juga ketakutan itu, tapi tak seberapa besar.
Lalu saya bertanya lagi: seandainya rasa takut itu dibuat skala antara 1 (tidak takut sama sekali) sampai 100 (sangat takut), di skala berapakah ketakutan Anda itu? Jawab mereka juga mirip-mirip: di antara skala 15 sampai 20.Wallahualam.***

Senin, 09 Mei 2011

CEO PLN Note : Tahan Banting dengan Tradisi Keilmuan dan Bazari

Bagaimana Iran ke depan? Mengapa setelah lebih 30 tahun diisolasi dan diembargo Amerika Serikat, Iran tidak kolaps seperti Burma, Korut atau Kuba? Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, saat mulai diisolasi dulu kondisi Iran sudah cukup maju. Kedua, tradisi keilmuan bangsa Iran termasuk yang terbaik di dunia. Ketiga, Iran penghasil minyak dan gas yang sangat besar. Keempat, jumlah penduduk Iran cukup besar untuk bisa mengembangkan ekonomi domestik. Kelima, tradisi dagang masyarakat Iran sudah terkenal dengan golongan bazari-nya.
Tradisi dagang itu tidak mudah dikalahkan. Pedagang selalu bisa berkelit dari kesulitan. Ini berbeda dengan tradisi agraris. Seperti Cina, meski 60 tahun dikungkung oleh komunisme Mao Zedong yang kaku, penduduknya tetap tidak lupa kebiasaan dagang. Demikian juga warga Iran. Ini terbukti sampai sekarang pun. Setelah lebih 20 tahun diisolasi pun sektor jasa masih menyumbang sampai 40 persen GDP negara itu. Penduduk Iran yang 75 juta orang juga menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Apalagi saat mulai diisolasi oleh Amerika tahun 80-an, kondisi Iran sudah tidak tergolong negara miskin. Kelas menengah di Iran sangat dominan. Inilah faktor yang dulu membuat revolusi Islam Iran tahun 1979 berhasil menumbangkan diktator Syah Pahlevi.
Keberhasilan itu disebabkan masyarakat di Iran didominasi kaum bazari. Pedagang kelas menengah. Yakni bukan konglomerat yang ketakutan ditebas penguasa, dan bukan pedagang kecil yang takut kehilangan tempat bergantung. Belum lagi kekayaan alamnya. Iran adalah negara kedua terbesar penghasil minyak dan gas alam. Bukan hanya memiliki cadangan besar, tapi juga mampu melakukan drilling dan pengolahan sendiri. Tidak ada lagi ketergantungan akan teknologi drilling dan pengolahan.
Salah satu sumber gasnya, yang baru saja ditemukan, akan membuat negara itu kian berkibar. Di lepas pantainya, di Teluk Parsi, ditemukan ladang gas terbesar di dunia. Ladang itu setengahnya berada di wilayah Qatar dan setengahnya lagi di wilayah Iran. Tahun 1999 lalu Qatar sudah berhasil menyedot gas bawah laut itu dari wilayah Qatar. Kalau Iran tidak menyedotnya dari wilayah Iran tentu semua gas itu akan disedot Qatar. Karena itu Iran juga bergegas menyedotnya dari sisi timur. Tahun 2003 lalu Iran sudah berhasil menyedot gas itu dan akan terus meningkatkan sedotannya. ‘’Tiga tahun lagi kemampuan Iran menyedot gas itu sudah sama dengan Qatar,’’ ujar CEO perusahaan gas di sana.
Untuk menggambarkan seberapa besar potensi gas itu baiknya dikutip kata-kata CEO yang saya temui di atas. ‘’Seluruh gas Iran di situ harganya 12 triliun dolar Amerika,’’ katanya. Ini sama dengan 12 kali seluruh kekuatan ekonomi Indonesia yang 1 triliun dolar Amerika saat ini. ‘’Kalau gas itu diambil dalam skala seperti sekarang baru akan habis dalam 200 tahun,’’ tambahnya.
Gas itu letaknya memang 3.000 meter di bawah laut, namun dalamnya laut sendiri hanya 50 meter. Secara teknis ini jauh lebih mudah pengambilan gasnya daripada misalnya gas bawah laut Indonesia di Masela, di laut Maluku Tenggara. Memang masih ada kendala ekonomi yang mendasar. Defisit anggaran masih menghantui, subsidi masih besar, laju inflasi masih tinggi dan akses perdagangannya masih terjepit oleh sanksi Amerika. Inflasi yang tinggi itu akibat naiknya harga bahan makanan, gas dan BBM. Bahkan akibat inflasi itu Iran harus mencetak mata uang dengan pecahan lebih besar dari rupiah. Kalau pecahan rupiah paling besar Rp100 ribu, real Iran terbesar adalah 500 ribu real (1 real hampir sama dengan Rp1). Bahkan ada juga real lembaran 1 juta, meski penggunaannya hanya di lingkungan terbatas.
Seperti Indonesia, Iran juga merencanakan menghapus empat nol di belakang real yang terlalu panjang itu. Hanya saja, penghapusan nol tersebut baru akan dilakukan setelah inflasinya stabil kelak. Itulah sebabnya Pemerintah Iran kini mati-matian memperbaiki fondasi ekonominya. Tahun lalu parlemen Iran sudah menyetujui dilaksanakannya reformasi ekonomi. Sebuah reformasi yang sangat penting dan mendasar. Inti dari reformasi itu adalah menjadikan ekonomi Iran sebagai ‘’ekonomi pasar’’. Artinya harga-harga harus ditentukan oleh pasar. Tidak boleh lagi ada subsidi. Reformasi ekonomi itu ditargetkan harus berhasil dalam lima tahun ke depan.
Begitu pentingnya reformasi untuk meletakkan dasar-dasar ekonomi Iran itu, sampai-sampai Presiden Ahmadinejad berani mengambil resiko dihujat dan dibenci rakyatnya dua tahun terakhir ini. Subsidi pun dia hapus. Harga-harga merangkak naik. Ahmadinejad tidak takut tidak popular karena ini memang sudah masa jabatannya yang kedua, yang tidak mungkin bisa maju lagi jadi presiden.
Bahwa kini Iran memilih jalan ekonomi pasar sungguh mengejutkan. Alasannya pun sangat ekonomi: untuk meningkatkan produktivitas nasional dan keadilan sosial. Subsidi (subsidi BBM tahun lalu mencapai 84 juta dolar Amerika), menurut pemerintah, lebih banyak jatuh kepada orang kaya. Karena itu daripada anggaran dialokasikan untuk subsidi lebih baik langsung diarahkan untuk golongan yang berhak.
Pemikiran reformasi ekonomi seperti itulah yang tidak ada di negara-negara lain yang diisolasi Amerika Serikat. Inilah juga faktor yang membuat Iran tidak akan tertinggal seperti Burma, Kuba atau Libya. Dengan bendera sebagai Negara Islam pun Iran tetap menjunjung tinggi ilmu ekonomi yang benar. Tradisi keilmuan di Iran, termasuk ilmu ekonomi, memang sudah tinggi sejak zaman awal peradaban. Inilah salah satu bangsa tertua di dunia dengan peradaban Arya yang tinggi.
Dalam situasi terjepit sekarang pun, tradisi keilmuan itu tetap menonjol. Iran kini tercatat sebagai satu di antara 15 negara yang mampu mengembangkan nanoteknologi. Iran juga termasuk 10 negara yang mampu membuat dan meluncurkan sendiri roket luar angkasa.
Di bidang rekayasa kesehatan, Iran juga menonjol: teknologi stemcell, kloning, dan jantung buatan sudah sangat dikenal di dunia. Bahkan untuk stemcell Iran masuk 10 besar dunia. Maka tidak heran kalau Iran juga tidak ketinggalan dalam penguasaan teknologi perminyakan, pembangkit listrik, dan otomotif. Jangankan jenis teknologi itu, nuklir pun Iran sudah bisa membuat, lengkap dengan kemampuannya memproduksi uranium hexaflourade yang selama ini hanya dimiliki oleh enam negara.
AS kelihatannya berhasil membuat Burma, Korut, Kuba dan Libya menderita dengan embargonya. Tapi tidak untuk Iran. Ke depan posisi Iran justru kian baik, antara lain karena dibantu oleh Amerika Serikat sendiri. Sudah lama Iran ingin menumbangkan Saddam Husein di Irak, namun selalu gagal. Perang Iran-Irak yang sampai delapan tahun pun tidak berhasil mengalahkan Saddam Husein. Iran tidak menyangka bahwa Saddam dengan mudah ditumbangkan oleh Amerika. Dengan tumbangnya Saddam Husein maka Irak kini dikuasai oleh para pemimpin yang hati mereka memihak Iran. Banyak pemimpin Irak saat ini adalah mereka yang di masa Saddam dulu terusir ke luar negeri, dan mereka bersembunyi di Iran. Bahkan saat terjadi perang Iran-Irak dulu, mereka ikut angkat senjata bersama tentara Iran menyerbu Irak.
Demokrasi yang diperjuangkan AS di Irak telah membuat golongan mayoritas berkuasa di Irak. Padahal mayoritas rakyat Irak adalah Islam Syi’ah. Golongan Sunni hanya 40 persen, itu pun tidak utuh. Yang separo adalah keturunan Arab sedang separo lagi keturunan Kurdi. Ada kecenderungan keturunan Kurdi memilih berkoalisi dengan Syi’ah. Padahal yang golongan Arab itu pun masih juga terpecah-pecah ke dalam berbagai kabilah. Saddam Husein, misalnya, datang dari suku Tikrit yang jumlahnya hanya sekitar 10 persen dari penduduk Irak.

Sabtu, 07 Mei 2011

CEO PLN Note : Di Antara Sepuluh Wanita, Sebelas Yang Cantik

Kami mendarat di Bandara Internasional Imam Khomeini, Teheran, menjelang waktu salat Jumat. Maka, saya pun ingin segera ke masjid: sembahyang Jumat. Saya tahu tidak ada kampung di sekitar bandara itu. Dari atas terlihat bandara tersebut seperti benda jatuh di tengah gurun tandus yang mahaluas. Tapi, setidaknya pasti ada masjid di bandara itu.
Memang ada masjid di bandara itu, tapi tidak dipakai sembahyang Jumat. Saya pun minta diantarkan ke desa atau kota kecil terdekat. Ternyata saya kecele. Di Iran tidak banyak tempat yang menyelenggarakan sembahyang Jumat. Bahkan, di kota sebesar Teheran, ibu kota negara dengan penduduk 16 juta orang itu, hanya ada satu tempat sembahyang Jumat.
Itu pun bukan di masjid, tapi di Universitas Teheran. Dari bandara memerlukan waktu perjalanan 1 jam. Atau bisa juga ke kota suci Qum. Tapi, jaraknya lebih jauh lagi. Di negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan di satu tempat di setiap kota besar.
“Jadi, tidak ada tempat Jumatan di bandara ini?” tanya saya.
“Tidak ada. Kalau kita mau Jumatan, harus ke Teheran (40 km) atau ke Qum (70 km). Sampai di sana waktunya sudah lewat,” katanya.
Salat Jumat ternyata memang tidak wajib di negara Islam Iran yang menganut aliran Syiah itu. Juga tidak menggantikan salat Duhur. Jadi, siapa pun yang salat Jumat tetap harus salat duhur.
Karena Jumat adalah hari libur, saya tidak dijadwalkan rapat atau meninjau proyek. Maka, waktu setengah hari itu saya manfaatkan untuk ke kota suci Qum. Jalan tolnya tidak terlalu mulus, tapi sangat OK: enam jalur dan tarifnya hanya Rp 4.000. Tarif itu kelihatannya memang hanya dimaksudkan untuk biaya pemeliharaan.
Sepanjang perjalanan ke Qum tidak terlihat apa pun. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya  gurun, gunung tandus, dan jaringan listrik. Saya bayangkan alangkah enaknya membangun SUTET (saluran udara tegangan ekstratinggi) di Iran. Tidak ada urusan dengan penduduk. Alangkah kecilnya gangguan listrik karena tidak ada jaringan yang terkena pohon. Pohon begitu langka di sini.
Begitu juga letak kota suci Qum. Kota ini seperti berada di tengah-tengah padang yang tandus. Karena itu, bangunan masjidnya yang amat besar, yang berada dalam satu kompleks dengan madrasah yang juga besar, kelihatan sekali menonjol sejak dari jauh.
Tujuan utama kami tentu ke masjid itu. Inilah masjid yang luar biasa terkenalnya di kalangan umat Islam Syiah. Kalau pemerintahan Iran dikontrol ketat oleh para mullah, di Qum inilah pusat mullah. Demokrasi di Iran memang demokrasi yang dikontrol oleh ulama. Presidennya dipilih secara demokratis untuk masa jabatan paling lama dua kali. Tapi, sang presiden harus taat kepada pemimpin tertinggi agama yang sekarang dipegang Imam Khamenei. Siapa pun bisa mencalonkan diri sebagai presiden (tidak harus dari partai), tapi harus lolos seleksi oleh dewan ulama.
Tapi, sang imam bukan seorang diktator mutlak. Dia dipilih secara demokratis oleh sebuah lembaga yang beranggota 85 mullah. Setiap mullah itu pun dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat.
Dalam praktik sehari-hari, ternyata tidak seseram yang kita bayangkan. Amat jarang lembaga keagamaan itu mengintervensi pemerintah. “Dalam lima tahun terakhir, kami belum pernah mendengar campur tangan mullah ke pemerintah,” ujar seorang CEO perusahaan besar di Teheran.
Saya memang kaget melihat kehidupan sehari-hari di Iran, termasuk di kota suci Qum. Banyak sekali wanita yang mengendarai mobil. Tidak seperti di negara-negara di jazirah Arab yang wanitanya dilarang mengendarai mobil. Bahkan, orang Iran  menilai negara yang melarang wanita mengendarai mobil dan melarang wanita memilih dalam pemilu bukanlah negara yang bisa menyebut dirinya negara Islam.
Dan lihatlah cara wanita Iran berpakaian. Termasuk di kota suci Qum. Memang, semua wanita diwajibkan mengenakan kerudung (termasuk wanita asing), tapi ya tidak lebih dari kerudung itu. Bukan jilbab, apalagi burqa. Kerudung itu menutup rapi kepala, tapi boleh menyisakan bagian depan rambut mereka. Maka, siapa pun bisa melihat mode bagian depan rambut wanita Iran. Ada yang dibuat modis sedikit keriting dan sedikit dijuntaikan keluar dari kerudung. Ada pula yang terlihat dibuat modis dengan cara mewarnai rambut mereka. Ada yang blonde, ada pula yang kemerah-merahan.
Bagaimana baju mereka? Pakaian atas wanita Iran umumnya juga sangat modis. Baju panjang sebatas lutut atau sampai ke mata kaki. Pakaian bawahnya hampir 100 persen celana panjang yang cukup ketat. Ada yang terbuat dari kain biasa, tapi banyak juga yang celana jins. Dengan tampilan pakaian seperti itu, ditambah dengan tubuh mereka yang umumnya langsing, wanita Iran terlihat sangat modis.
Apalagi, seperti kata orang Iran, di antara sepuluh wanita Iran, yang cantik ada sebelas! Sedikit sekali saya melihat wanita Iran yang memakai burqa, itu pun tidak ada yang sampai menutup wajah.
Sampai di kota Qum, sembahyang Jumatnya memang sudah selesai. Ribuan orang bubaran keluar dari masjid. Saya pun melawan arus masuk ke masjid melalui pintu  15. Setelah salat Duhur, saya ikut ziarah ke makam Fatimah yang dikunjungi ribuan jamaah itu. Makam itu berada di dalam masjid sehingga suasananya mengesankan seperti ziarah ke makan Rasulullah di Masjid Nabawi. Apalagi, banyak juga orang yang kemudian salat dan membaca Alquran di dekat situ yang mengesankan orang seperti berada di Raudlah.
Yang juga menarik adalah strata sosialnya. Kota Metropolitan Teheran berpenduduk 16 juta dan dengan ukuran 50 km garis tengah adalah kota yang sangat besar. Sebanding dengan Jakarta dengan Jabotabek-nya. Tetapi, tidak terlihat ada  keruwetan lalu lintas di Teheran. Memang, Teheran tidak memiliki kawasan yang cantik seperti Jalan Thamrin-Sudirman, namun sama sekali tidak terlihat ada kawasan kumuh seperti Pejompongan dan Bendungan Hilir. Memang, tidak banyak gedung pencakar langit yang cantik, tapi juga tidak terlihat gubuk dan bangunan kumuh.
Kota Teheran tidak memiliki bagian kota yang terlihat mewah, tetapi juga tidak terlihat ada bagian kota yang miskin. Teheran bukan kota yang sangat bersih, tapi juga tidak terasa kotor. Di jalan-jalan yang penuh dengan mobil itu saya tidak melihat ada Mercy mewah, apalagi Ferrari, tapi juga tidak ada bajaj, motor, atau mobil kelas 600 hingga 1.000 cc.
Lebih dari 90 persen mobil yang memenuhi jalan adalah sedan kelas 1.500 hingga 2.000 cc. Saya tidak melihat ada mal-mal yang besar di Teheran. Tapi, saya juga sama sekali tidak melihat ada pedagang kaki lima, apalagi pengemis. Wanitanya juga tidak ada yang sampai pakai burqa, tapi juga tidak ada yang berpakaian merangsang. Orangnya rata-rata juga ramah dan sopan. Baik dalam sikap maupun kata-kata.
Pemerataan pembangunan terasa sekali berhasil diwujudkan di Iran. Semua rumah bisa masak dengan gas yang dialirkan melalui pipa tersentral. Demikian juga, 99 persen rumah di Iran menikmati listrik “untuk tidak menyebutkan 100 persen.
Melihat Iran seperti itu saya jadi teringat makna kata yang ditempatkan di bagian tengah-tengah Alquran: Wal Yatalaththaf! (bersambung)
Dahlan Iskan
CEO PLN

Jumat, 06 Mei 2011

CEO PLN Note : Kuasai Teknologi Pembangkit Canggih saat Kepepet

Baru sekali ini saya ke Iran. Kalau saja PLN tidak mengalami kesulitan mendapatkan gas dari dalam negeri, barangkali tidak akan ada pikiran untuk melihat kemungkinan mengimpor gas dari Negara Para Mullah ini.Sudah setahun lebih PLN berjuang untuk mendapatkan gas dari negeri sendiri. Tapi, hasilnya malah sebaliknya. Jatah gas PLN justru diturunkan terus-menerus. Kalau awal 2010 PLN masih mendapatkan jatah gas 1.100 MMSCFD (million metric standard cubic feet per day atau juta standar metrik kaki kubik per hari), saat tulisan ini dibuat justru tinggal 900 MMSCFD. Perjuangan untuk mendapatkan tambahan gas yang semula menunjukkan tanda-tanda berhasil belakangan redup kembali.Gas memang sulit diraba sehingga tidak bisa terlihat ke mana larinya. Bisa jadi gas itu akan berbelok-belok dulu entah ke mana, baru dari sana dijual ke PLN dengan harga yang sudah berbeda. Padahal, PLN memerlukan 1,5 juta MMSCFD gas. Kalau saja PLN bisa mendapatkan gas sebanyak itu, penghematannya bisa mencapai Rp 15 triliun setiap tahun. Angka penghematan yang mestinya menggiurkan siapa pun.Maka, saya memutuskan ke Iran. Apalagi, upaya mengatasi krisis listrik sudah berhasil dan menuntaskan daftar tunggu yang panjang itu pasti bisa selesai bulan depan. Kini waktunya perjuangan mendapatkan gas ditingkatkan. Termasuk, apa boleh buat, ke negara yang sudah sejak 1980-an diisolasi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya itu. Siapa tahu ada harapan untuk menyelesaikan persoalan pokok PLN sekarang ini: efisiensi.
Sumber pemborosan terbesar PLN adalah banyaknya pembangkit listrik yang “salah makan”. Sekitar 5.000 MW pembangkit yang seharusnya diberi makan gas sudah puluhan tahun diberi makan minyak solar yang amat mahal. Salah makan itulah yang membuat kembung perut PLN selama ini.
Kebetulan Iran memang sedang memasarkan gas dalam bentuk cair (LNG). Iran sedang membangun proyek LNG besar-besaran di kota Asaleuyah di pantai Teluk Parsi. Saya ingin tahu benarkah proyek itu bisa jadi” Bukankah Iran sudah 30 tahun lebih dimusuhi dan diisolasi secara ekonomi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dari seluruh dunia” Bukankah begitu banyak yang meragukan Iran bisa mendapatkan teknologi tinggi untuk membangun proyek LNG besar-besaran?
Saya pun terbang ke Asaleuyah, dua jam penerbangan dari Teheran. Meski Asaleuyah kota kecil, ternyata banyak sekali penerbangan ke kota yang hanya dipisahkan oleh laut 600 km dari Qatar itu. Bandaranya kecil, tapi cukup baik. Masih baru dan statusnya internasional. Pesawat-pesawat lokal, seperti Aseman Air, terbang ke sana.
Itulah kota yang memang baru saja berkembang dengan pesatnya. Iran memang menjadikan kota Asaleuyah sebagai pusat industri minyak, gas, dan petrokimia. Beratus-ratus hektare tanah di sepanjang pantai itu kini penuh dengan rangkaian pipa-pipa kilang minyak, kilang petrokimia, dan instalasi pembuatan LNG.
Saya heran bagaimana Iran bisa mendapatkan semua teknologi itu pada saat Iran sedang diisolasi oleh dunia Barat. Memang terasa jalannya proyek tidak bisa cepat, tapi sebagian besar sudah jadi. Kilang minyaknya, kilang petrokimianya, kilang etanolnya sudah beroperasi dalam skala yang raksasa. Hanya kilang LNG-nya yang masih dalam pembangunan dan kelihatannya akan selesai dua tahun lagi.
Memang, kalau saja Iran tidak diembargo, proyek-proyek itu pasti bisa lebih cepat. Namun, Iran tidak menyerah. Iran membuat sendiri banyak teknologi yang dibutuhkan di situ. Hanya bagian-bagian tertentu yang masih dia datangkan dari luar. Entah dengan cara apa dan entah lewat mana. Yang jelas, barang-barang itu bisa ada. Orang, kalau kepepet, biasanya memang banyak akalnya. Asal tidak mudah menyerah.
Demikian juga, Iran. Bahkan, untuk memenuhi keperluan listrik untuk industri petrokimia itu, Iran akhirnya bisa membuat pembangkit sendiri. Termasuk bisa membuat bagian yang paling sulit di pembangkit listrik: turbin. Maka, Iran kini sudah berhasil menguasai teknologi pembangkit listrik tenaga gas, baik open cycle maupun combine cycle.
Kemampuan membuat pembangkit listrik itu pun semula agak saya ragukan. Belum pernah terdengar ada negara Islam yang mampu membuat pembangkit listrik secara utuh. Karena itu, setelah meninjau proyek LNG, saya minta diantar ke pabrik turbin itu. Saya ingin melihat sendiri bagaimana Iran dipaksa keadaan untuk mengatasi sendiri kesulitan teknologinya.
Ternyata benar. Pabrik turbin itu sangat besar. Bukan hanya bisa merangkai, tetapi juga membuat keseluruhannya. Bahkan, sudah mampu membuat blade-blade turbin sendiri. Termasuk mampu menguasai teknologi coating blade yang bisa meningkatkan efisiensi turbin. Baru sepuluh tahun Iran menekuni alih teknologi pembangkit listrik itu.
Sekarang Iran sudah memproduksi 225 unit turbin dari berbagai ukuran. Mulai 25 MW hingga 167 MW. Bahkan, Iran sudah mulai mengekspor turbin  ke Lebanon, Syria, dan Iraq. Bulan depan sudah pula mengekspor suku cadang turbin ke India. Bulan lalu pabrik turbin Iran merayakan produksi blade-nya yang ke-80.000 unit!
Kesimpulan saya: inilah negara Islam pertama yang mampu membuat turbin dan keseluruhan pembangkit listriknya. Saya dan rombongan PLN diberi kesempatan meninjau semua proses produksinya. Mulai A hingga Z. Termasuk memasuki laboratorium metalurginya. Dengan kemampuannya itu, untuk urusan listrik, Iran bisa mandiri.
Bahkan, untuk pemeliharaan pembangkit-pembangkit listrik yang lama, Iran tidak bergantung lagi kepada pabrik asalnya. Mesin-mesin Siemens lama dari Jerman atau GE dari USA bisa dirawat sendiri. Iran sudah bisa memproduksi suku cadang untuk semua mesin pembangkit Siemens dan GE. Bahkan, mereka sudah dipercaya Siemens untuk memasok ke negara lain. “Anak perusahaan kami sanggup memelihara pembangkit-pembangkit listrik PLN dengan menggunakan suku cadang dari sini,” kata manajer di situ.
Pabrik tersebut memiliki 32 anak perusahaan, masing-masing menangani bidang yang berbeda di sektor listrik. Termasuk ada anak perusahaan yang khusus bergerak di bidang pemeliharaan dan operasi pembangkitan.
Bisnis kelihatannya tetap bisnis. Saya tidak habis pikir bagaimana Iran tetap bisa mendapatkan alat-alat produksi turbin berupa mesin-mesin dasar kelas satu buatan Eropa: Italia, Jerman, Swiss, dan seterusnya. Saya juga tidak habis pikir bagaimana pabrik pembuatan turbin itu bisa mendapatkan lisensi dari Siemens.
Rupanya, meski membenci Amerika dan sekutunya, Iran tidak sampai membenci produk-produknya. Iran membenci Amerika hanya karena Amerika membantu Israel. Itu jauh dari bayangan saya sebelum datang ke Iran. Saya pikir Iran membenci apa pun yang datang dari Amerika. Ternyata tidak. Bahkan, Coca-Cola dijual secara luas di Iran. Demikian juga, Pepsi dan Miranda. Belum lagi Gucci, Prada, dan seterusnya.
Intinya: dengan diembargo Amerika Serikat dan sekutunya, Iran hanya mengalami kesulitan pada tahun-tahun pertamanya. Kesulitan itu membuat Iran kepepet, bangkit, dan mandiri. Kesulitan itu tidak sampai membuatnya miskin, apalagi bangkrut. Justru Iran dipaksa menguasai beberapa teknologi yang semula menjadi ketergantungannya.
Banyaknya proyek yang sedang dikerjakan sekarang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Iran terus berjalan. Mulai pengembangan bandara di mana-mana, pembangunan jalan laying, hingga ke industri dasar. Tidak ketinggalan pula industri mobil.
Kegiatan ekonomi di Iran memang tidak gegap gempita seperti Tiongkok, tapi tetap terasa menggeliat. Pertumbuhan ekonominya sudah bisa direncanakan enam persen tahun ini. Mulai meningkat drastis jika dibandingkan dengan tahun-tahun pertama sanksi ekonomi diberlakukan. “Sebelum ada sanksi ekonomi, Iran hanya mampu memproduksi 300.000 mobil setahun. Sekarang ini Iran memproduksi 1,5 juta mobil setahun,” ujar seorang CEO perusahaan terkemuka di Iran. (bersambung)
Dahlan Iskan
CEO PLN

Senin, 02 Mei 2011

CEO PLN Note : Puasa Sebulan Tanpa Lebaran

Bulan puasa datang terlalu cepat di PLN. Mulai kemarin, 1 Mei 2011, orang-orang PLN sudah bertekad puasa sebulan penuh: puasa SPPD (surat perintah perjalanan dinas). Selama Mei ini tidak akan ada biaya perjalanan dinas. Orang-orang PLN ingin membuktikan bahwa upaya efisiensi juga harus menyentuh hingga hal-hal yang kecil. Orang-orang PLN juga bertekad bahwa SPPD tidak boleh lagi menjadi bagian dari sumber mata pencaharian tambahan. SPPD bukanlah perjalanan gratis untuk tujuan yang kurang penting. SPPD bukanlah sumber pemborosan perusahaan.
Tekad berpuasa itu sudah bulat. Itu diterapkan untuk membentuk suasana baru dan tekad baru. Maklum, SPPD sudah begitu besarnya di PLN. Sebulan rata-rata terdapat 28.000 orang PLN yang melakukan perjalanan dinas. Lengkap dengan tiket, hotel, dan uang saku.
Tentu banyak juga yang tidak setuju diberlakukannya “puasa SPPD”. Ada yang menggunakan alasan ilmiah, ada juga yang sekadar emosional. Bahkan, ada yang mengatakan ini bahaya: puasa SPPD ini akan membuat korupsi berkembang karena pada Mei tidak ada pengawasan. Pokoknya bermacam-macam alasan yang dikemukakan. Intinya, ada yang keberatan Mei ditetapkan sebagai bulan tanpa SPPD. Untunglah, mayoritas menyatakan bangga bahwa PLN berani mencoba berbuat radikal dalam memperbaiki dirinya.
Banyak hikmah yang akan didapat dari “puasa SPPD” sebulan penuh ini. Penggunaan teknologi telewicara akan meningkat. Selama ini PLN sudah menyewa mahal teknologi telewicara, tapi jarang sekali dimanfaatkan. Banyak juga persoalan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan e-mail. Tapi, cara modern dan murah itu masih belum sepenuhnya menjadi budaya.
Orang-orang PLN juga menyadari, di perusahaan ini sudah terlalu banyak rapat. Undangan rapat terbesar dilakukan PLN pusat. Bukan hanya banyak, tapi juga kurang hemat. Bahkan, sering tidak masuk akal. Rapatnya dua jam, tapi SPPD-nya bisa dua hari. Itu terjadi karena saat menentukan jam rapat tidak mempertimbangkan efisiensi SPPD. Misalnya, mengundang rapat pada jam 09.00. Peserta yang berasal dari luar Jakarta, mau tidak mau, harus sudah datang sehari sebelumnya. Ada juga persoalan “siapa” mengundang “siapa”. Terlalu banyak pejabat yang mengundang pejabat lainnya.
Memang agak gila juga penetapan “puasa SPPD” ini. Misalnya, bagaimana kalau terjadi bencana, katakanlah ada tower yang roboh? Masak, sih, tidak ada SPPD? Khusus untuk yang satu itu direksi berdebat panjang. Semula ada keinginan agar “untuk hal-hal yang emergency akan ada pengecualian”. Tapi, pendapat itu lemah karena di negeri ini terlalu gampang menetapkan yang kurang emergency menjadi sangat emergency. Lalu, ada pikiran bahwa “untuk hal-hal yang luar biasa boleh minta dispensasi”.
Itu pun diangap lemah karena akan menimbulkan administrasi birokrasi yang ruwet. Maka, akhirnya ditetapkan: tidak ada pengecualian, tidak ada dispensasi, tidak ada toleransi. Semua itu dianggap godaan yang harus dilawan. Sekali pemimpin tidak tahan akan godaan, maka godaan-godaan berikutnya akan menyusul. Bahkan, kemudian, terhadap godaan yang kecil pun tidak akan tahan.
“Tahan godaan” itulah yang menjiwai sikap “puasa SPPD” secara konsisten. Tentu ada korbannya. Salah satu korban itu adalah saya sendiri. Beberapa bulan lalu, jauh sebelum keputusan “puasa SPPD” ini ditetapkan, saya sudah menyetujui diadakannya konferensi internasional meteran listrik di Bali pada Mei. Acara itu adalah acara tahunan dan tuan rumahnya berganti-ganti. Tahun ini Indonesia yang menjadi tuan rumah.
Tentu harus ada orang PLN yang pergi ke Bali. Termasuk harus ada orang PLN yang menjadi panitianya. Itulah godaan setan paling nyata yang langsung menimpa saya. Adalah salah saya sendiri mengapa menyetujui acara itu. Adalah salah saya sendiri mengapa saya tidak minta jauh-jauh hari agar acara itu digeser sebulan. Adalah salah saya sendiri mengapa tidak memindah acara itu di Jakarta.
Tapi, nasi sudah menjadi sushi. Acara itu sudah terlalu dekat sehingga tidak mungkin diapa-apakan. Maka, dalam rapat direksi di Pangandaran akhir April lalu saya menyatakan bahwa saya harus bertanggung jawab atas kelemahan saya itu. Semua biaya orang PLN yang berangkat ke acara itu akan saya tanggung secara pribadi.
Ternyata masih ada kejadian lain yang juga membawa korban. Direktur Operasi Indonesia Timur Vickner Sinaga mengemukakan bahwa pertengahan Mei ini ada proyek yang akan jadi yang harus disertifikasi. Itu juga buah simalakama. Tidak disertifikasi berarti pemanfaatkan proyek tertunda. Disertifikasi berarti harus mengundang orang jasa sertifikasi ke lokasi yang berarti harus ada SPPD.
Mau tidak mau, simalakama membawa korban juga. Orang Minang memang bisa menyelesaikan problem buah yang satu itu dengan cerdas. Kalau dimakan mati ibu dan tidak dimakan mati ayah, orang Minang memilih untuk menjual saja buah itu: tidak ada yang perlu mati, bahkan bisa mendapatkan uang. Namun, dalam kasus sertifikasi ini harus ada yang mati. Pak Vickner harus menanggung secara pribadi biaya mendatangkan orang jasa sertifikasi itu ke lokasi. Kebetulan Pak Vickner punya restoran masakan Batak yang sangat maju di Balikpapan. Anggap saja ini zakatnya!
Adilkah Vickner harus menanggung ‘dosa’ itu? Menurut saya, adil. Sebab, proyek itu mestinya sudah selesai bulan-bulan sebelumnya. Kalau saja proyek itu tidak terlambat, tentu penyertifikasiannya bisa dilakukan pada April.
Hikmah lain yang ingin didapatkan dari “puasa SPPD” adalah seberapa sudah majunya proses perubahan manajemen di PLN. Manajemen yang baik tentu yang bisa mengatasi persoalan ketika persoalan itu muncul. Seberapa pun besarnya persoalan itu. Manajemen yang baik adalah yang juga baik sejak dari perencanaannya. Bulan tanpa SPPD ini diputuskan tiga bulan sebelumnya. Kalau saja sejak saat itu semua jenjang manajemen melakukan proses manajemen yang baik tentu antisipasinya sudah dilakukan dengan baik.
Maka, dengan datangnya bulan puasa SPPD ini, saya mengucapkan selamat berpuasa kepada seluruh jajaran PLN dan anak perusahannya. Inilah puasa yang benar-benar puasa karena setelah sebulan penuh berpuasa nanti tidak akan datang yang namanya hari raya! Mohon maaf lahir batin! (*)
Dahlan Iskan
CEO PLN

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost