Diperiksanya Dahlan Iskan untuk kasus pengadaan BBM Solar high speed diesel (HSD) kemarin membuat saya teringat cerita warga Blega-Madura empat tahun yang lalu.
Heboh. Sejumlah warga berdemo ke kantor PLN setempat. Warga memblokade jalan utama trans Madura. Tidak ketinggalan DPRD Bangkalan turun tangan dan memanggil pejabat PLN setempat.
Tuntutan pendemo tidak kalah hebohnya. Mereka demo karena PLN menurunkan biaya penyambungan listrik. Logika mereka, kalau sekarang begitu murah, berarti yang dulu-dulu kemahalan. PLN harus mengembalikan uang selisih yang dulu-dulu itu.
Memang gebrakan Dahlan Iskan saat itu membuat orang seluruh Indonesia kaget melihat murahnya biaya penyambungan listrik. Tapi, hanya di Blega yang menuntut pengembalian uang kemahalan di masa lalu.
Padahal menurut Dahlan Iskan. PLN sebenarnya tidak menurunkan biaya penyambungan, malah sedikit dinaikkan. Tapi terkesan diturunkan karena PLN menerapkan tarif resmi. Kalau sebelumnya biaya penyambungan bisa 3 juta, 4 juta, 5 juta, atau bahkan puluhan juta. Tergantung deal dengan calo. Dahlan Iskan bisa menekannya menjadi 650 ribu saat, terutama setelah membabat 2 juta daftar tunggu yang telah membeku puluhan tahun. Dan ini ternyata membuat orang marah. Demo.
Sekarang kasus itu terulang lagi. Bukan demo sih. Tapi intinya sama. Murah yang membuat marah, seperti judul tulisan Dahlan iskan saat itu. Juga bukan warga Blega lagi pelakunya, tapi Kepolisian Republik Indonesia.
Kejadian bermula pada tahun 2010 saat Dahlan Iskan menjabat Dirut PLN. PLN membutuhkan 9 juta ton solar. Selama ini PLN diharuskan membeli langsung di Pertamina. Sebagai bentuk sinergi antar BUMN. Harganya lebih mahal dari pasaran.
Berkali-kali PLN meminta menyesuaikan harga jual tapi tidak pernah ditanggapi Pertamina. PLN kemudian membuat terobosan (kemungkinan juga bentuk protes). Sebanyak 2 juta ton dari total 9 juta ton solar yang dibutuhkan ditender. Sedangkan 7 juta ton tetap dibeli dari Pertamina.
Tender 2 juta ton itu terbuka untuk produsen BBM dalam negeri maupun asing. Tender 2 juta ton dipecah menjadi 5 paket. Kemudian Pertamina berhasil memenangkan 1 paket. 4 paket lainnya dimenangkan asing: Shell.
Meski demikian PLN tidak serta merta membeli dari Shell, karena Shell adalah produsen asing. Harga terendah yang ditawarkan Shell sehingga menang tender ditawarkan dulu kepada produsen dalam negeri.
Selanjutnya dari 4 tender yang dimenangi Shell, 2 tender diambil alih Pertamina dan 2 diambil Trans Pacific Petrochemical/TPPI (perusahaan dalam negeri yang 70% sahamnya dikuasai pemerintah).
Dengan demikian terjadi perbedaan harga pembelian BBM yang dilakukan langsung dengan yang ditender. Terobosan Dahlan Iskan melalui tender menguntungkan PLN. Mampu menghemat pengeluaran dibanding dengan cara konvensional membeli langsung ke Pertamiana.
Sampai di sini saya tidak mengerti apa yang dipermasalahkan Polri. Kalau masyarakat Blega marah karena harga berubah terlalu murah masih bisa dimengerti. Tapi kalau Polri marah karena Dahlan Iskan membeli lebih murah, logikanya bagaimana sehingga dikatakan korupsi?
Ada sogokkah? Suapkah? Gratifikasi? Atau apalah-apalah? Tapi masak Pertamina menyogok Dahlan Iskan karena dia membeli lebih murah? Atau Dahlan Iskan menyebabkan kerugian negara, laba Pertamina dan TPPI berkurang? Waah…lebih tidak logis lagi. Apa hubungannya Dirut PLN dengan laba Pertamina dan TPPI?
Atau akan dituduhkan pasal penyalah gunaan wewenang karena membuat terobosan yang tidak ada dasar hukumnya seperti yang dilakukan Deny Indrayana? Tetap disalahkan bagaimanapun besar manfaat terobosan itu?
Warga Blega yang marah empat tahun lalu membuat saya tersenyum geli, tapi marah karena murah yang sekarang membuat saya sakit gigi.
(Sebenarnya ingin bilang sakit hati, tapi pura-pura sabar karena sedang puasa). *LBS*