Jumat, 28 November 2014

Kalau Saja Disewakan ke Indonesia…


“Pengin jadi jutawan?”
“Gampang!”
“Gampang bagaimana?”
“Jadikan diri Anda seorang miliader dulu.
Lalu, bikinlah perusahaan penerbangan. Anda akan segera jadi jutawan…”
***
Itu memang hanya humor. Tapi, di saat banyak orang ingin mendirikan perusahaan penerbangan dan kemudian ternyata banyak juga yang mengalami kesulitan, humor tersebut tentu cukup mengena.
Punya perusahaan penerbangan, rupanya, memang sangat menggoda. Punya pesawat saja sudah bisa membuat orang kagum, apalagi punya perusahaan penerbangan. Meski harga pesawat (bekas) belum tentu lebih mahal daripada sebuah pabrik kelas menengah, seseorang yang baru saja membeli pesawat akan jadi buah bibir di mana-mana. “Wah, dia beli pesawat” akan jadi kalimat yang bertebaran dari mulut ke mulut.
Sebelum krisis, ketika banyak pengusaha membeli pesawat pribadi, saya melihat seorang konglomerat yang tidak tergoda. Yakni Eka Tjipta Widjaya. Padahal, saat itu, dia konglomerat nomor tiga setelah Liem Sioe Liong dan William Soeryajaya. Saya pernah bertanya mengapa tidak ikut beli pesawat?
Jawabannya dua macam. Yang serius dan yang bercanda. “Bukankah untuk bisa makan sate tidak perlu memelihara kambing sendiri?” ujar Pak Eka setengah bercanda dan setengah berfilsafat. Lalu, dia memberikan jawaban yang serius, tapi juga ada nada candanya: “Kalau saya punya pesawat, dalam praktiknya, orang lain yang akan lebih sering memakai,” katanya. Mengapa? “Tentu akan banyak sekali penguasa yang pinjam. Dan, saya tidak mungkin bisa menolak,” jelasnya.
***
Saya juga ingat suatu saat kedatangan tamu penting. Orangnya sederhana. Tidak pakai dasi dan bajunya juga tidak perlente. Padahal, dia seorang lulusan MIT, sebuah perguruan tinggi paling beken di AS. Padahal, dia seorang presiden direktur sebuah perusahaan penerbangan.
Dia menceritakan optimismenya. Perusahaan penerbangan baru yang kepemimpinannya diserahkan kepadanya akan terus mengalami kemajuan. Dia bangga dengan pilihan strategi untuk menggunakan pesawat yang relatif baru: Boeing 737-300. Bukan seri 200 seperti perusahaan penerbangan swasta yang sudah ada. Dia juga bangga dengan strateginya untuk hanya berfokus melayani jurusan paling gemuk Jakarta-Surabaya.
Di sini dia head on dengan Garuda. Pesawatnya pun dibuat mirip Garuda, sedangkan harga tiketnya lebih murah. Jadwalnya juga dibuat mepet dengan Garuda, sedangkan keberangkatannya selalu diusahakan on time.
Sungguh tak disangka kalau tidak lama kemudian satu per satu jadwalnya hilang. Bahkan, akhirnya rute Jakarta-Surabaya ditutup sama sekali. Tapi, perusahaan tersebut barangkali memang belum sampai jatuh jadi jutawan. Buktinya masih terus berusaha hidup meski hanya menerbangi satu rute.
***
Siapa pun tentu juga masih ingat munculnya perusahaan penerbangan yang sangat spektakuler: Sempati. Pimpinannya seorang MBA dari Harvard. Terobosan manajemennya begitu banyak dan serba mengejutkan. Mulai memperkenalkan sistem city check-in sampai melakukan garansi tepat waktu. Ada pula undian di udara. Yang juga spektakuler adalah kemampuannya untuk hanya transit di suatu bandara selama 20 menit. Padahal, perusahaan penerbangan lain harus 30 atau 40 menit. Dengan waktu transit yang hanya 20 menit, maka kalau sebuah pesawat dari perusahaan penerbangan lain hanya mampu menjalani lima rute sehari, Sempati bisa enam rute.
Bagaimana cara mempersingkat waktu transit? Penumpang diminta keluar dari pintu depan. Sementara itu, dalam waktu hampir bersamaan, petugas kebersihan masuk dari pintu belakang. Dengan demikian, ketika penumpang terakhir keluar dari pesawat, bagian pembersihan sudah menyelesaikan 50 persen lebih tugasnya.
Maka, pimpinan perusahaan penerbangan tersebut menjadi amat terkenal. Di mana-mana ada seminar manajemen, dia jadi pembicaranya. Sering juga bersama saya. Atau, paling tidak, namanya disebut-sebut sebagai contoh jadi baik.
Sungguh tak dinyana kalau umur perusahaan penerbangan itu tidak panjang. Dia tidak hanya jatuh jadi jutawan, malah dinyatakan pailit sama sekali.
***
Lalu, pernah pula ada Awair. Semula banyak dirumorkan bahwa perusahaan penerbangan tersebut punya hubungan dengan Gus Dur sehingga Awair dikira singkatan dari Abdurrahman Wahid Air. Ternyata tidak.
Namun, dalam suatu pertemuan dengan Gus Dur, saya sempat juga terkesima. Waktu saya diterima Gus Dur, di situ sudah ada dua orang pimpinan Awair. Entah apa yang diceritakannya kepada Gus Dur, yang jelas Gus Dur kembali menceritakan kepada saya mengenai betapa membanggakannya Awair. “Sebentar lagi, Awair akan menerbangi rute internasional,” ujarnya. “Bahkan, sudah segera memesan Airbus XXX,” tambah beliau.
Airbus XXX adalah pesawat terbesar yang sedang dibuat yang akan menjadi pesawat terbesar di muka bumi. Pesawat itu begitu besarnya sehingga ada ruang olah raganya. Kabinnya dua tingkat dari muka sampai belakang.
Begitu besarnya pesawat ini sehingga pintu keluarnya pun akan ada yang atas dan ada yang bawah. Dengan begitu, kalau pesawat ini kelak benar-benar dipergunakan, harus banyak bandara yang menyesuaikan diri. Terutama dalam penyediaan “belalai gajah”-nya.
Saya tidak mengira bahwa tak lama setelah pertemuan dengan Gus Dur tersebut, Awair tidak lagi mengudara. Pemiliknya, seorang pengusaha kimia, rugi ratusan miliar. Nama pemilik Awair tetap harum karena bisa menyelesaikan seluruh kewajibannya tanpa cacat. Perusahaan kimianya pun masih terus bertambah besar.
***
Meski sudah banyak yang sulit, rupanya, minat untuk mendirikan perusahaan penerbangan tidak pernah surut. Dalam skala yang amat kecil, ini mirip dengan orang mau bikin koran.
Saya sendiri kini tidak hafal ada berapa perusahaan penerbangan di Indonesia. Begitu banyak nama baru. Sebagai orang yang sering ke berbagai daerah di seluruh Indonesia, saya amat tertolong. Banyak rute baru dibuka. Rute “aneh-aneh” seperti Pontianak-Batam atau Jogya-Balikpapan kini ada yang menerbangi.
Tarif pun luar biasa murahnya. Kini tidak merasa berat lagi ke Jayapura atau ke Medan. Tinggal kita terus berdoa mudah-mudahan tidak ada lagi yang tutup. Agar tetap banyak rute baru. Memang, terjadinya perang tarif seperti sekarang kadang-kadang menimbulkan pertanyaan: apakah cukup untuk biaya perawatan? Apakah perawatannya dilakukan dengan benar? Bukankah pesawat yang dipakai umumnya yang tahun 1980-an (Boeing 737-200 atau MD-80) yang tentu saja memerlukan perhatian lebih besar?
Begitu kerasnya perlombaan turun tarif tersebut sehingga iklan Sampoerna perlu dikutip di sini: how low can you go!
***
Di tengah lomba turun harga seperti itu, Garuda yang menggunakan pesawat lebih baru tentu tidak akan kuat melayani. Memang Garuda juga menyediakan tarif hanya Rp 199.000 untuk Surabaya-Jakarta, namun itu tidak untuk semua kursi. Sekadar untuk ikut ramai-ramai perang tarif, rupanya. Dengan banyaknya pesawat Lions dan Bouraq jurusan Jakarta-Surabaya, bisa jadi penumpang Garuda memang tersedot ke sana.
Maka, kini Garuda menempuh kiat baru. Balik menyedot penumpang dengan menggunakan pesawat besar untuk Surabaya-Jakarta. Pilotnya pun ikut promosi dengan memberikan pengumuman kepada penumpangnya begini: Selamat datang di dalam pesawat Garuda, pesawat yang paling canggih… Rupanya, dengan menggunakan kalimat “paling canggih”, Garuda ingin mengingatkan bahwa perusahaan lain menggunakan pesawat tahun 1980-an.
Benarkah pesawat yang digunakan Garuda itu yang paling canggih? Sabar dulu. Sang pilot masih meneruskan kata-kata “yang paling canggih” tersebut dengan lanjutan “yang dimiliki oleh Garuda…”
***
Kalau pesawat Concorde mulai kemarin tidak lagi terbang untuk selama-lamanya, tentu tidak ada hubungannya dengan perang tarif. Pesawat itu memang sudah waktunya tidak boleh terbang karena umurnya yang sudah 20 tahun. Kalau saja bisa disewakan ke Indonesia, barangkali saja masih bisa diberdayakan. Namun, mau untuk jurusan mana?
Saya tidak menyesal Concorde mengakhiri masa baktinya. Saya sudah pernah “makan sate”-nya. Saya pernah menggunakan Concorde ketika akan pergi dari London ke New York. Saya akan terus ingat pengalaman itu meski sertifikat saya sebagai orang yang pernah naik Concorde hilang entah di mana.
Yang selalu saya ingat adalah bahwa jarak London-New York hanya saya tempuh 3,5 jam. Saya berangkat dari London pukul 10.00, sampai di New York masih pukul 09.30. Malah lebih pagi setengah jam!
Saya juga masih ingat bagaimana rasanya percepatan laju pesawat itu hingga akhirnya mencapai dua kali kecepatan suara. Juga bagaimana melihat bumi yang melengkung dari ketinggian 60.000 kaki itu!**

Dahlan Iskan dengan Kemeja Putih tanpa Kerah



ADA  yang berubah dari penampilan Dahlan Iskan setelah tidak lagi menjabat menteri badan usaha milik negara (BUMN). Sebelumnya mantan direktur utama (Dirut) Perusahaan Listrik Negara (PLN) itu selalu mengenakan kemeja putih dengan lengan baju dilipat. Kostum itu sudah lama menjadi ciri khas Dahlan, bahkan sejak sebelum menjadi Dirut PLN maupun menteri BUMN.

Belakangan banyak pejabat yang meniru gaya berpakaian Dahlan tersebut. Termasuk Presiden Joko Widodo dan anggota Kabinet Kerja. Tidak hanya gaya berpakaian, slogan kerja..kerja..kerja.. yang selama ini identik dengan Dahlan juga dipakai di kabinet Jokowi-JK.
”Sekarang saya tidak punya jabatan apa-apa. Saya tetap memakai kemeja putih, tetapi tidak berkerah. Jadi tidak terkesan formal. Yang sebelumnya sudah banyak ditiru,” ujar Dahlan saat berdialog dengan para redaktur dan jajaran manajer Jawa Pos di Graha Pena Surabaya (12/11). Dahlan memadukan kemeja putih ”barunya” dengan celana panjang hitam dan sepatu DI.
Pria kelahiran Tegalarum, Magetan, itu mengatakan sudah memutuskan untuk tidak tinggal lagi di Surabaya. Aktivitas Dahlan setelah tidak menjadi menteri juga tetap padat. Suami Nafsiah Sabri tersebut tengah sibuk menanam kaliandra merah. Tanaman itu memiliki kalori tinggi sehingga cocok dijadikan sumber energi.
Kaliandra cocok ditanam di tanah tandus di luar Jawa. Kaliandra akan menjadi bahan bakar listrik di daerah-daerah terpencil yang belum dialiri listrik PLN. Setiap 200 hektare kaliandra mampu menggerakkan pembangkit listrik 5 megawatt. ”Nanti di kemeja saya akan ada tulisan kaliandra,” ucap Dahlan sambil menunjuk dada kirinya. (c9/tom)
http://m.jpnn.com/news.php?id=269577

Minggu, 02 November 2014

Dahlan Iskan Puji Bank Kambing Santrendelik

SEMARANG – Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan kemarin (2/11) meresmikan bank kambing yang digagas Santrendelik Kampung Tobat Semarang. Dia memuji pendirian bank kambing di pondok pesantren tersebut.

Dahlan ingin memantau perkembangan Yayasan Santrendelik tersebut. ”Kita lihat lima tahun ke depan, mereka (pengurus Yayasan Santrendelik) sudah bertengkar atau belum. Kalau belum, ditakdirkan Santrendelik akan menjadi pesantren yang istimewa,” paparnya.

Pondok pesantren kontemporer itu berlokasi di tengah hutan jati di Kampung Kalialang Lama, Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang.

Ponpes yang baru enam bulan berdiri tersebut dinamakan Santrendelik atau pondok pesantren yang lokasinya ndelik (tersembunyi).

Ketua Yayasan Santrendelik Ikhwan Saifullah mengatakan, bank kambing Santrendelik sudah memiliki 60 ekor kambing.

Nanti setiap empat bulan sekali, kambing tersebut dijual dan dibelikan kambing lagi. Keuntungannya digunakan untuk membangun pesantren. Juga akan dilakukan audit untuk pemantauan.

”Enam puluh ekor kambing dalam satu kandang akan didistribusikan ke setiap desa. Kami menargetkan dalam setahun bisa memiliki 5 juta ekor kambing sehingga dengan adanya bank kambing, pesantren bisa dihidupkan dan dikembangkan,” katanya. (mg9/aro/JPNN/c6/sof)

Slogan Kerja Kerja Kerja


Slogan Kerja Kerja Kerja memang sedang ngetrend. Inilah hebatnya bapak Presiden kita yang baru untuk membuat tagline lama menjadi mudah terkenal.
Semangatnya adalah tidak perlu lagi terlalu banyak pidato, protokoler, formalitas tapi langsung Kerja Kerja Kerja.
Di Era bapak SBY beberapa menteri sudah menerapkannya bahkan menjadi tagline instansi PLN dan BUMN. Tak ayal pemimpin dua instansi ini lansung berlari penuh. Berbagai terobosan dilakukan.
Slogan ini menjadi semangat untuk bekerja sepenuh hati. Bagus bukan? Karenanya pak Jokowi jatuh hati untuk menggunakan slogan ini dalam pidatonya dan bahkan kabinetnya di kasih nama kabinet kerja.
Semangat ini bagaimanapun bagus konsepnya namun tetap saja harus dilihat hasil nyatanya.
Pak Dahlan Iskan yang selalu menggunakan tagline ini sebagai revolusi mental sejak di PLN dan BUMN saja harus betul betul kerja sangat keras. Itupun tidak semua berjalan mulus. Beberapa diantaranya masih menyisakan soal seperti Leces dan Merpati.
Nah kabinet sekarang dengan tagline formal kerja kerja kerja mau tidak mau harus berlari kencang. Jangan lagi pakai hak tinggi dan sepatu pantofel. Yang cocok ya sepatu kets yang biasa dipakai berlari.
Tentu saja Kerja Kerja Kerja ini konsekuensinya adalah mendekatkan masalah, mencari solusi langsung dari lapangan tanpa harus selalu menunggu laporan yang tercetak.
Itu dinamakan blusukan oleh pak Jokowi, istilah yang terkenal di seantero alam.
Karena dekatnya dengan lapangan dan masyarakat, sedikit saja berlebihan, langsung bisa disematkan pencitraan.
Satu satunya cara membungkamya dengan menunjukkan hasil kerja kerja kerja tersebut. Harus betul betul dirasakan.
Masalah harus dihadapi tanpa harus menyalahkan bahwa sebelumnya kacau balau dan ujungnya menyalahkan karena menerima warisan masalah.
Pak presiden harus tahu mana yang bisa bekerja, mana yang hanya pesolek semata. Harus berani ganti menteri yang susah diajak lari.
Kalau kabinet ini tidak bisa menunjukkan hasil bagus dan selalu menyalahkan kebijakan sebelumnya maka sematan pencitraan belaka memang betul-betul layak tersemat.
Jangan sampai Kerja Kerja Kerja hanya jadi slogan KW2.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost