Selasa, 03 Desember 2013

Tulisan Dahlan Iskan : Saya Ini Orang Masa Lalu


12 Januari 1980 . UNTUK menuju kamarnya kita harus melalui pagar besi tujuh rangkap. Di situlah, di kamar ke-5 dari 9 ruangan serba beton di blok B-II penjara Kalisosok (Surabaya), Kusni Kasdut menunggu akhir hidupnya — yang agaknya sudah ditentukan tak lama lagi.
Ia sendirian.

Ruangan lain belum berpenghuni. “Barangkali hanya saya saja yang kuat membayar untuk kamar jenis ini,” ujar Kusni bergurau. Ia suka tetap berseloroh dan bersikap biasa-biasa saja. Maklumlah terpidana mati ini hingga awal bulan ini belum tahu perihal penolakan grasinya. Bangun pukul 5 ia memulai kegiatannya dengan sembahyang pagi. Agamanya Katolik.

Setelah itu ia mendapat kesempatan “jalan pagi” di halaman kamar, sebelum membenahi kamarnya sendiri. Menyusul waktu minum kopi dan sarapan roti. Setelah itu, seharian sampai malam, sepi. Tak ada teman ngobrol. Tak ada lagi keroncong, langgam dan tiupan trompet Louis Amstrong kegemarannya. “Saya ini memang orang masa lalu,” kata Kusni. Dulu ia boleh menikmati musik itu di penjara cipinang. Kini ia tak boleh lagi memiliki radio atau televisi.
Juga dibiarkan menganggur — suatu hal yang tak disukainya. Ia senang mengerjakan berbagai pekerjaan tangan. Masih lumayan ada kesempatan membaca Injil dan majalah ringan lainnya. Itupun sekarang terhenti. Karena satu-satunya kacamata yang dipunyainya sedang diperbaiki di luar.

Setiap 10 atau 15 menit sekali, sepanjang siang dan malam selalu ada petugas penjara yang mengecek ke dalam sel Kusni. “Asal tahu saja ia masih berada di dalam,” kata Kepala LP (Lembaga Pemasyarakatan) Kalisosok, Harry Marsudi. Dan bunyi pintu besi bergerit, menggelisahkan Kusni. Bahkan di malam hari suara itu membangunkannya dari tidur. Ia tidak tenteram. Sorot dua lampu neon membuatnya susah tidur telentang di atas “dipan” betonnya. “Saya senang tidur remang-remang — tapi maklumlah, demi pengamanan toh?” kata Kusni sambil melirik kepala jaga penjara.

Memang berlaku “pengamanan penuh” bagi narapidana yang satu ini. Menurut Marsudi ada “empat jangan” yang harus dijaga pada Kusni: jangan sampai lari, sakit, bunuh diri dan terbunuh oleh orang lain.

Untuk itu, sampai makanannya pun diatur dan diawasi dengan ketat. Ransum nasinya, setiap kali 500 gram, diperiksa oleh dokter sebelum diantar ke kamarnya. Sebelum dan sesudah makan badannya ditimbang. Ternyata berat badannya kini 50, bertambah 3 kg dari sebelum ia di penjara ini, walaupun ia tak selalu menghabiskan jatah makannya. Apa yang tampak pada Kusni Kasdut, sebenarnya tidak persis menggambarkan apa yang bergerak di dalam hatinya.
 Lihat saja. Dalam perjalanan ke Malang ketika ia hendak dipindahkan ke penjara Lowokwaru, ia bersikap manis walaupun cukup kesempatan untuk lari. Tapi ia memilih kabur pada saat ia diawasi dengan ketat. “Selama ini sikapnya memang sukar ditebak, unpredictable,” ujar Dirjen Pemasyarakatan Ibnu Susanto. Ekspresi yang sebenarnya, barangkali akan muncul pada saat ia diberitahu kapan pelaksanaan hukuman matinya akan dilaksanakan. Yaitu 3 x 24 jam sebelum eksekusi. Hingga kini Kusni Kasdut memang belum tahu. Petugas Kalisosok sangat berhati-hati mengenai hal itu. Jangan sampai bocor.

Dari Ninik anaknya yang datang membezuk bersama kedua anaknya bulan lalu, Kusni juga tak dapat mendengar nasib apa yang sebenarnya sudah ditentukan baginya. Dia gembira sekali menyambut anak dan kedua cucunya. Ia banyak berpesan, terutama untuk kedua cucunya. 
“Paling sedikit mereka harus sekolah sampai SMA — jangan sampai gagal hanya karena alasan tak ada uang,” katanya. Tak lupa ia juga mendesak Ninik, seperti, “apa yang kamu dengar di luar tentang ayah?” Ninik tentu saja tak bisa menjawab. Hanya air matanya saja yang keluar, seperti yang terlihat di wajah ayahnya juga. “Bilang saja, tak usah ragu-ragu, tak usah takut,” desaknya. Tentu saja Ninik diam. Juga tidak diutarakan keinginan hatinya: agar ayahnya kelak, setelah dihukum mati, mau dikuburkan — walaupun hanya rambutnya — di Bogor atau Jakarta. “Biar mudah menziarahinya,” kata Ninik. Tapi, “entah ia rela atau tidak,” lanjutnya, karena Kusni pernah berpesan: kalau mati ia ingin jenazahnya disumbangkan untuk penelitian di fakultas kedokteran.

Ada keinginan lain, yang juga tak bisa disampaikan kepada ayahnya: Ninik berharap bisa merasakan tinggal serumah dengan ayahnya, “walaupun hanya sehari.” Yaitu, sebelum pelaksanaan hukuman mati, yang didengarnya mungkin akan dilaksanakan Februari mendatang. “Saya ingin ngobrol panjang, masak dan mencuci pakaiannya sebelum ayah meninggal,” harap Ninik. Ngobrol panjang memang salah satu yang disukai Kusni Kasdut.

Di bawah ini beberapa cuplikan obrolannya dengan Slamet Djabarudi dan Dahlan Iskan dari TEMPO:
Apa kabar?
O, baaaik! Semua baik. Betul. Bukan saya main sandiwara atau takut kepada bapak-bapak penjaga. Sebenarnya, begini, kalau dipercaya mulai dibaptis tahun 1969 saya betul-betul sudah tobat. Mana saya pernah berbuat salah — sedikit pun tidak pernah. Saya tekun dalam agama. Tekun mengabdi pada hukuman saya.
Kok lari?
Nah, begini soalnya. Oka Gunawan yang sudah saya bina akan dipindah. Saya ingin agar Oka, yang pernah merampok toko emas itu, bisa baik nanti setelah keluar. Kalau Oka dipindah, saya juga minta dipindah.
Mengapa mengurusi Oka segala?
Kan, lembaga ini dasarnya pembinaan dan waktu itu tidak ada napi lain yang menerima Oka.
Mengapa lari dari Malang?
Waktu dibawa dari Cipinang ke Malang saya nginap di Tretes. Rantai saya dibuka. Bahkan Brimob yang mengawal saya tidur satu kamar — senjatanya tergeletak. Kalau saya mau lari ‘kan mudah. Tapi saya tidak lari. Karena saya berpikir, sesampai di Malang saya akan diperlakukan dengan wajar. Ternyata tidak. Saya pusing karena minta pekerjaan tidak diberi. Asal ngomong dengan narapidana lain dicurigai. Saya ingin ‘nyoba lari. Kebetulan ada beberapa kawan yang ngajak. Tapi gagal. Tapi waktu saya tambah pusing, maka saya lari saja.
Bagaimana menghadapi hukuman mati?
Hukuman saya ‘kan sudah tidak karu-karuan. Ada yang 50 tahun, ada yang 10 tahun, ada yang mati. Saya tidak pikir soal hukuman lagi. Kalau dipikir mungkin 15 hari saya sudah mati. Yang penting, kalau dibina di lembaga dengan baik, saya akan tobat dan mengabdi pada dunia yang sempit ini kalau diberi kesempatan. Cuma itu yang saya pikir. Kalau masih dipercaya, sekali lagi.
Kalau tidak diberi kesempatan?
Ya, terserah. Pasrah. Tapi namanya manusia, kalau terjepit terus, daripada mati konyol ya lebih baik berusaha. . .
Bagaimana sistem pemasyarakatan — bukankah Pak Kusni diperlakukan dengan baik selama di Cipinang?
Ya, untuk pribadi saya. Tapi untuk kepentingan umum seperti di Cipinang itu ‘ndak bener! Misalnya soal sogok orang bisa kerja asal bayar. Tapi yang seharusnya bekerja bisa ‘nggak usah kerja asal mampu bayar juga. Kasihan bangsa kita sendiri yang tidak mampu. Bapak-bapak di Cipinang secara tidak langsung mengizinkan main judi. Karena saya diajak membantu pembinaan, hal itu saya laporkan kepada petugas, tapi mereka tidak berani lapor ke atas.
Apa yang diharapkan pada Presiden?
Mudah-mudahan beliau diberi kekuatan oleh Tuhan. Mudah-mudahan lewat Bapak Presiden kami diberi kesempatan mengabdi dan menghabiskan sisa umur tua saya di luar. Betul-betul saya sudah sadar. Saya minta kebijaksanaan pemerintah. Bukannya saya ingin bebas lalu berbuat yang enggak-enggak. Saya ini sudah tua — apa sih gunanya saya dihukum?

Perjamuan Terakhir Ignatius Waluyo

16 Februari 1980 . DI atas makamnya kelak hanya akan tertulis: Ignatius Waluyo. Nama hitamnya, Kusni Kasdut, telah lama dinyatakannya sendiri habis.
Yang hendak ditinggalkan hanyalah nama baptis. Itu adalah semacam simbul dia bukan manusia yang dulu pernah mengumbar kejahatan dengan tidak semena-mena, tapi seorang biasa yang mati dalam iman. Dan ia tidak bergurau, di muka rumah penjara Kalisosok sebelum berangkat ke tempat eksekusi, ketika ia berkata. “Semoga dalam perjalanan terakhir saya ini tidak ketemu setan . . . Haleluya . . . Haleluya . . . !”
Tiga buah peluru tepat mengenai jantungnya dan lima yang lain di sekitar perutnya. Tugas 12 orang dari regu tembak polisi pagi itu, 6 Februari sekitar jam 04.35, selesai sudah: Kusni Kasdut, 52 tahun dinyatakan telah menjalani hukuman ditembak sampai mati.
Waktu itu di langit bersinar tigaperempat rembulan malam ke-18. Di cakrawala sebelah utara nampak pijar-pijar kilat yang tak berbunyi. Nasib Kusni telah ditentukan, sejak Presiden Soeharto menolak permohonan grasinya 10 November tahun lalu. Ada memang jasanya dalam perjuangan 1945. Kelakuannya juga baik sebagai narapidana teladan di Cipinang. Dan ia sendiri berharap dapat pengampunan. Tapi hukuman bagi kejahatan yang pernah dibuatnya memang, seperti katanya sendiri, sudah tidak tertanggungkan lagi.
Ia dipidana mati bagi kejahatannya membunuh anggota polisi di Semarang. Ia dihukum penjara seumur hidup untuk nyawa Ali Bajened. Ia divonis 12 tahun penjara untuk lakonnya memimpin perampokan berlian di Museum Pusat. Dan ia diganjar 50 tahun untuk kejahatannya — yang pertama — menculik seorang dokter. Selama sebagai “orang rantai”, narapidana, Kusni juga sudah 8 kali berusaha lari dari penjara dan tempat tahanan polisi. Hanya tiga kali ia gagal.
Demikianlah awal bulan ini, Kusni Kasdut dipanggil dari sel ke-5 blok B-II penjara Kalisosok (Surabaya) untuk diberitahu tentang penolakan grasinya oleh Presiden. Tak ada yang bisa meraba apa yang ada dalam pikirannya. Tapi petugas penjara melihat ia kembali ke selnya dengan langkah yang biasa-biasa saja. Tidak kaget? Kecewa? Mungkin. Sebelumnya Kusni sudah juga diberitahu: akhir hidupnya ditentukan pemerintah paling lama liga hari lagi. Upaya hukum, seperti “amnesti” yang masih diharapkannya, tentu saja tak mungkin bisa diperolehnya.
 Keinginannya terakhir hanya ia mau duduk di tengah keluarganya. Itu terpenuhi. Sembilan jam sebelum diantar pergi oleh tim eksekutor, di ruang kebaktian Katolik di LP Kalisosok Kusni Kasdut dikelilingi keluarganya: Sunarti (istri keduanya), Ninik dan Bambang (anak dari istri pertama), Edi (menantu, suami Ninik) dan dua cucunya, anak Ninik. Itulah jamuannya yang terakhir-dengan capcai, mi dan ayam goreng. Tapi rupanya hanya orang yang menjelang mati itu yang dengan nikmat makan.

Kusni, kemudian, memeluk Ninik. “Saya sebenarnya sudah tobat total sejak 1976,” katanya, seperti direkam seorang pendengarnya. “Situasilah yang membuat ayah jadi begini. Sebenarnya ayah ingin menghabiskan umur untuk mengabdi kepada Tuhan. Tapi waktu terlalu pendek. Ninik dan yang lain menangis. “Diamlah,” lanjut ayahnya, “Ninik ‘kan sudah tahu, ayah sudah pasrah. Ayah yakin Tuhan sudah menyediakan tempat bagi ayah. Maafkanlah ayah.” Kedua cucunya, Eka dan Vera, mulai mengantuk. Kusni banyak berpesan, misalnya agar keluarganya saling mengunjungi. Ia juga minta kerelaan Edi, menantunya, agar menyekolahkan Eka dan Vera di sekolah Katolik. “Syukur kalau salah scorang di antaranya bisa ada yang jadi biarawati.”
Lalu acara pemakaman juga dibicarakan. Mereka sepakat mengajukan permohonan agar jenazah dikuburkan di Probolinggo (Jawa Timur). Di saat terakhir Kusni menyerahkan sebuah bungkusan coklat kepada Bambang. Isinya sepotong kemeja safari, hem lengan panjang dan dua buah celana panjang.
Pesan penghabisan sederhana, seperti urusan bisnis agar honor dari penerbit Gramedia, untuk riwayat hidup yang dibukukan oleh pengarang Parakitri, agar diurus. Itu, kata Kusni, “merupakan persembahan terakhir bapak kepada anak-cucu.”
Lalu keluarga itu berpisah.
Di malam menjelang ajal, Kusni hanya duduk dekat terali besi, merokok kretek, mengobrol dengan sipir, dan sekali-kali bersembahyang. Ketika tim eksekutor menjemputnya, sekitar jam 03.00, Kusni masih tetap jaga. Ia menolak mandi pagi. Setelah menyalami petugas yang selama ini mengurusnya, Kusni pun diiring meninggalkan selnya. Di muka penjara menunggu dua orang polisi: Kol. Pol. Harsono dan Mayor Pol. Sujono.
Mereka adalah petugas yang menangkapnya setelah sebulan melarikan diri dari penjara Lowokwaru di Malang. Mereka memeluk dan mencium Kusni. Lalu dua buah mobil polisi pun memimpin iring-iringan 17 mobil meninggalkan Kalisosok. Banyak yang menyangka hukuman mati bagi Kusni Kasdut akan dilaksanakan di Pantai Kenjeran sebelah timur kota. Ternyata rombongan menuju barat laut. Di sekitar 8 km sebelum Gresik, iringan berhenti. Rombongan turun dari kendaraan dan berjalan kaki menuruti pematang-pematang tambak, untuk mencapai tanah yang agak datar berpohon rimbun dekat Selat Kamal. Di situ, segala sesuatunya telah siap.
Kusni terpancang di sebuah tiang dengan sehelai kain menutupi mukanya.
Romo Tandyo Sukmono membimbingnya berdoa.
Lalu “Amin”.
Dan peluru menggelegar.
Tuhan, selesai sudah.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost