Senin, 30 Maret 2015

New Hope : Dahlan Iskan : Orang-Orang yang Lebih Mudah Bangun Cerobong

Terserah. Itulah salah satu kata yang terbanyak saya ucapkan ketika ditanya anak buah, teman, atau keluarga. Biasanya saya memang hanya mengajukan usul atau ide dalam satu–dua kata. Saya sependapat dengan peribahasa ini.
”Satu kata cukup untuk orang bijaksana. Sebanyak apa pun kata tidak akan cukup untuk memenuhi piring.” Itu diciptakan oleh Benjamin Franklin, salah satu pendiri Amerika Serikat.
Tapi, kadang satu kata memang idak cukup. Maka, datanglah pertanyaan-pertanyaan susulan kepada saya. Biasanya saya menjawab, ”Terserah.” Saya percaya bahwa orang di sekitar saya, termasuk anak buah saya, adalah orang-orang yang pandai. Bahkan mungkin lebih pandai.
Bahwa mereka mengajukan pertanyaan, saya yakin itu karena kebiasaan saja. Kebiasaan banyak dinasihati. Atau kebiasaan minta petunjuk. Atau kebiasaan memiliki atasan yang kalau tidak dimintai petunjuk merasa diabaikan anak buah.
”Terserah,” jawab saya ketika anak buah mengajukan pilihan cara mengerjakan atau memutuskan. Tapi, kalau dia masih juga minta petunjuk, saya akan bilang bahwa saya ini bukan ”pabrik petunjuk”. Yang selalu memproduksi petunjuk. Kecuali mereka benar-benar tidak tahu, barulah saya bicara. Itu pun bukan petunjuk. Hanya usul. Bahwa usul saya itu dianggap baik, silakan. Kalaupun tidak, silakan pakai cara lain. Saya tidak marah kalau ”petunjuk” saya tidak dijalankan. Asal yang dia lakukan lebih baik.
Istri saya sering komplain. ”Kok terserah terus?” katanya.
Saya setuju dengan Benjamin Franklin. Kata-kata saja tidak akan bisa membuat seseorang kenyang. Kerjalah yang bisa mengatasinya. Tapi, banyak atasan yang ketika anak buahnya minta petunjuk mengira anak buah itu benar-benar minta petunjuk. Padahal, anak buah itu hanya ingin menghargai atasan. Atau sedikit menjilat. Lalu, sang atasan memaksakan diri untuk memberikan petunjuk. Dia merasa tidak pantas kalau tidak memberikan petunjuk. Atau merasa wibawanya turun. Atau merasa dikira kurang pandai. Atau merasa kokseperti bukan atasan.
Saya sendiri, ketika jadi bawahan, kurang senang minta petunjuk. Suatu saat saya diminta ”membereskan” kantor Tempo di Surabaya. Waktu itu saya belum lama ditugaskan untuk memimpin Jawa Pos. Sebagai mantan pimpinan Tempo di Jatim, saya tahu apa yang harus saya lakukan. Beberapa orang saya minta meninggalkan Tempo. Heboh. ”Lhokok sejauh itu?” ujar pimpinan Tempo di Jakarta. ”Kanberes,” kata saya. Goenawan Mohamad, pimpinan tertinggi Tempo, akhirnya melegakan saya. ”Dahlan orangnya memang begitu. Biar saja,” katanya.
Tahun 2000, saya ditugasi Gubernur Jatim Imam Utomo untuk menjadi Dirut perusahaan daerah PT Panca Wira Usaha (PWU). Saya sungkan. Saya mau. Tapi tidak mau digaji. Dan tidak mau mendapat fasilitas apa pun. Sebab, saya tidak mau meninggalkan Jawa Pos.
Salah satu perusahaan daerah itu adalah pabrik karet Ngagel. Entah sudah berapa tahun rugi. Pabriknya reyot, lantainya tanah berair, dan sarang laba-laba ada di mana-mana. Saya lihat, di situ ada seorang anak muda yang pandai dan pekerja keras. Namanya Budi Harahap. Saya tunjuk dia jadi Dirut.
Beberapa atasannya yang lebih tua terbalik jadi anak buahnya. Heboh. Karyawan demo. Gubernur kirim surat teguran. ”Perusahaan milik pemerintah kok sampai didemo. Tidak boleh terjadi lagi,” kira-kira begitu. Lantas, saya jawab, ”Pak Gubernur, demo itu biasa. Mungkin masih akan terjadi lagi.”
Sejak itu, pabrik karet Ngagel membaik. Lalu, Budi minta dibangunkan pabrik baru untuk memproduksi steel rubber conveyor. Itu akan menjadi satu-satunya. Semua steel rubber conveyor diimpor dari Jerman, Prancis, atau Tiongkok. Saya setuju. Tapi, perusahaan kantidak punya uang. Padahal, perlu investasi Rp 40 miliar. Memang bisa pinjam bank. Tapi, perusahaan belum dipercaya bank. Utang macet masa lalunya masih banyak di beberapa bank.
Bank juga tidak mau menerima jaminan milik pemerintah. Akhirnya, saya jaminkan pribadi saya, tentu dengan seluruh kekayaan saya pribadi, untuk pinjaman itu. Pabrik pun berdiri di Karangpilang. Sekarang maju sekali. Sangat menguntungkan.
Pabrik kulit yang sudah tidak berproduksi, hampir runtuh, dan jadi sumber polusi di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, juga harus dirombak. Tapi, juga tidak ada dana. Deposito pribadi pun saya jaminkan untuk memperoleh pinjaman bank. Jadilah Jatim Expo itu.
Di Jawa Pos, saya memiliki puluhan orang yang untuk mengerjakan banyak hal tidak perlu minta petunjuk. Bukan saja ”pabrik petunjuk”-nya memang jarang berproduksi, juga karena mereka memang tipe orang ”satu kata cukup untuk seorang yang bijaksana”.   Mereka juga bukan orang-orang yang menerima takdir begitu saja. Mereka seperti pepatah Benjamin Franklin, ”Hati-hati dengan pengeluaran, biarpun kecil. Karena kebocoran kecil bisa menenggelamkan kapal.” Mereka adalah para pekerja keras, mau menderita, dan tidak kesusu ingin menikmati. Seperti kata Benjamin Franklin, ”Barang siapa sarapan berlebihan, dia akan makan siang dengan kemiskinan dan makan malam dengan penderitaan.” Sebab, seperti pepatah Benjamin berikutnya, ”Lebih mudah membangun dua cerobong asap daripada menjaga salah satu cerobong untuk bisa terus mengepul.”
Saya tidak tahu mengapa Benjamin yang tidak pernah jadi presiden Amerika Serikat itu justru menjadi penanda mata uang dolar AS terbesar, USD 100. Dan tidak pernah diganti sejak 1929. Semua orang Amerika yang saya tanya tentang itu tidak tahu. Saya cari di internet, juga tidak ketemu.
George Washington, pendiri dan presiden pertama AS, justru hanya menjadi penanda uang 1 dolar. Yang jelas, penanda mata uang harus diputuskan oleh parlemen.
Jangan-jangan karena Benjamin Franklin adalah seorang filsuf (di samping seorang wartawan, penulis, dan penemu beberapa teori dalam kelistrikan) yang begitu mendorong orang untuk menjadi kaya melalui kerja keras serta menghargai uang. Dia juga anti kepada orang malas dan orang mengeluh.
Seseorang mengeluh atas tingginya pajak pemerintah. Benjamin bilang, ”Jangan terus mengeluh, nanti Anda tidak bisa membayar pajak. Bekerja keraslah, Anda akan punya uang, kehormatan, dan bisa membayar pajak.” Tapi, banyak orang tidak mau bekerja keras karena tidak tahu berharganya uang.
”Ingin tahu betapa berharganya uang?” tulis Benjamin dalam bukunya pada 1756 tentang cara menjadi kaya. ”Cobalah pinjam uang,” jawabnya.
Meski dia pendiri AS terkemuka, tapi tidak pernah ditanya oleh Thomas Jefferson ketika ketua tim penulis draf deklarasi kemerdekaan itu merumuskan deklarasi. Konon, Jefferson, yang akhirnya jadi presiden ketiga AS dan gambarnya menjadi penanda mata uang 20 dolar, khawatir akan terlalu banyak kalimat filsafat yang diusulkan dalam draf deklarasi.
Rupanya dia juga seorang humoris yang getir. Karya legendarisnya yang berjudul Cara Menjadi Kaya itu ditutup dengan dua kalimat yang pahit. ”Semua yang membaca cara-cara menjadi kaya ini mengaku sepenuhnya mengerti, menyadari, dan ingin melakukannya. Tapi, besoknya mereka mengerjakan sebaliknya, seperti juga ketika mereka baru pulang dari mendengar khotbah.” (*)

Senin, 23 Maret 2015

New Hope : Dahlan Iskan : Mencoba DNA untuk Setengah Manusia

Ini mode baru di Amerika: memeriksakan DNA. Tujuannya untuk menelusuri siapa nenek moyang kita. Caranya pun mudah. Beli tabung plastik kecil seharga Rp 1 juta lebih melalui internet. Perusahaan jasa pengiriman akan mengantarkan tabung sebesar jari tangan itu ke alamat pemesan.
Itulah tabung untuk diisi air liur sebanyak kira-kira dua sendok makan. Harus langsung dari mulut. Setelah berisi liur, tabung itu dikirim balik. Tiga minggu kemudian hasilnya di-e-mail-kan: darah siapa saja yang mengalir di tubuhnya.
Teman saya, orang Amerika, sudah memeriksakan DNA-nya. Neneknya pernah bercerita bahwa di dalam darahnya mengalir sedikit gen suku Indian. Itu dari perkawinan leluhurnya. Dia memperkirakan ada 5 persen darah suku American Indian di tubuhnya. Selebihnya adalah darah Jerman. Dia memang keturunan Jerman yang sudah beberapa generasi tinggal di Amerika.
“Dari tes ini saya tahu bahwa ada darah Inggris di tubuh saya,” katanya. “Cukup besar, lebih dari 30 persen,” tambahnya. Tentang cerita neneknya ternyata memang benar. Ada darah suku Indian. Namun, yang semula dia perkirakan 5 persen ternyata hanya 1 persen.
Yang dia tidak menduga adalah ini: ada darah makhluk Neanderthal sebesar hampir 2 persen. Neanderthal adalah makhluk yang hidup dalam gua sekitar 100.000 tahun lalu. Fosilnya ditemukan di desa dekat Kota Dusseldorf, Jerman. Bentuknya mirip manusia. Hanya, bidang dadanya lebar. Tingginya setinggi saya. Lebih pendek daripada umumnya orang Jerman sekarang. Rongga otaknya lebih besar daripada otak manusia. Mereka menggunakan tulang binatang untuk membuat gua.
“Mungkin pernah terjadi kawin-mawin di antara sejumlah Neanderthal dengan manusia,” ujar teman saya itu. “Atau jangan-jangan manusia adalah keturunan Neanderthal,” tambahnya.
Tentu masih sulit dipastikan siapa yang lebih dulu. Manusia atau Neanderthal. Kalau dipercaya bahwa semua manusia adalah anak cucu Adam/Hawa, lebih sulit lagi menghitungnya. Nabi Muhammad hidup 1.450 tahun lalu. Nabi Isa –umat Nasrani memercayainya sebagai Yesus– hidup 2.000 tahun lalu. Jarak antara Muhammad dan Isa sekitar 550 tahun.
Nabi Nuh yang beberapa generasi di atas Nabi Isa diperkirakan hidup 10.000 tahun lalu. Nabi Adam yang beberapa generasi di atas Nuh diperkirakan hidup 50.000 tahun lalu. Maka, kalau semua itu benar, berarti Neanderthal lebih dulu menjadi penghuni bumi. Wallahu a’lam.
Semua orang kulit putih diperkirakan memiliki darah Neanderthal. Dari sekian ribu generasi manusia, tentu kawin campur tidak terhindarkan. Baik yang karena jatuh cinta maupun karena terpaksa. Kesengajaan maupun kecelakaan. Karena kekerasan maupun pemaksaan.
Ini tentu tantangan terbesar bagi gerakan pemurnian ras. Ilmu pengetahuan ternyata membuktikan bahwa ras manusia sudah tercampur baur. Bahkan, di Negara Bagian South Carolina, yang paling sensitif masalah rasnya, terjadi kejutan. Menurut hasil tes itu, 30 persen dari orang kulit putih yang memeriksakan DNA-nya ternyata tercampur juga dengan darah orang kulit hitam.
Mungkin saja di zaman perbudakan dulu beberapa tuan kulit putih jatuh cinta pada budak mereka. Atau tepergok bercinta. Maklum, perbudakan waktu itu berlangsung lebih dari 200 tahun.
Keturunan Nabi Ibrahim, misalnya, pasti sudah tidak lagi satu ras. Istri pertama Ibrahim (dalam Injil disebut Abraham), Sarah, berkulit putih. Sarah-lah yang melahirkan Ishak (atau Isaac di dalam Injil). Nabi Ishak kemudian berputra Yakub yang memiliki nama lain Israel. Yakub “melahirkan” beberapa nabi seperti Daud, Sulaiman, Yusuf, dan akhirnya Nabi Isa. “Bani Israel dalam Alquran itu adalah anak-anak Yakub,” ujar Ustad Shamsi Ali, imam besar di New York yang asli Sulawesi itu. Bangsa Yahudi yang berkulit putih itu adalah keturunan Ibrahim dari Yakub.
Istri Ibrahim yang satunya, Siti Hajar, adalah perempuan kulit hitam yang konon asli Ethiopia. Ibrahim mengawini Hajar di umurnya yang sudah lebih 80 tahun. Ini atas kehendak istri pertama yang tidak memiliki anak. Dari perkawinan dengan Siti Hajar itulah lahir Ismail. Berkat kebesaran Allah, ternyata Sarah juga hamil. Lahirlah Ishak itu. Yakni ketika umur Ibrahim sudah 90 tahun.
Siti Hajar dan bayinya kemudian “diungsikan” ke Makkah, saat itu suatu kawasan pegunungan yang tidak berpenghuni. Ketika bayi Ismail kehausan dan Hajar lari dari satu bukit ke bukit lain sampai tujuh kali, Allah memberinya sumber air yang kemudian diberi nama zamzam.
Ismail inilah bapak bangsa Arab. Setelah Makkah ramai berkat adanya sumber air itu, datanglah bangsa Jurhum dari Yaman. Salah satunya Raja Abrahah yang ingin menghancurkan Kakbah. Keturunan Ismail bercampur pula darahnya dengan bangsa Jurhum.
Banyak ras yang berusaha menjaga kemurnian ras masing-masing. Tapi, kenyataan membuktikan, banyak juga orang Yahudi yang kawin dengan orang Arab. Atau sebaliknya. Juga dengan suku-suku lainnya. Termasuk dengan suku Jawa di Indonesia.
Maka semua orang Arab dan semua orang Yahudi pasti memiliki unsur darah yang sama: darah Nabi Ibrahim.
Mencampur ras juga dilakukan Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat. Dia juga dicatat sebagai salah satu proklamator negeri itu. Jefferson yang ditinggal mati istrinya memiliki enam anak dari budaknya yang berkulit hitam. Namanya Sally Hemings. Konon Jefferson sangat mencintainya. Sally tinggal di Monticello, Virginia, tetangga dekat Washington DC.
Semula ini hanya rumor yang banyak ditulis surat kabar saat Jefferson menjadi presiden periode pertama. Rumor itu tidak sampai merusak Jefferson. Dia terpilih lagi. Jefferson tidak pernah berkomentar. Betul atau salah sebatas rumor. Ini membuat soal itu menjadi perdebatan para sejarawan yang tidak henti-hentinya. Selama dua abad.
Keturunan Thomas Jefferson dari istri yang meninggal itu membantah keras rumor tersebut. Sampai tahun 1998. Ilmu pengetahuan ikut membuat sejarah. Tes DNA begitu maju. Pro-kontra pun berakhir. Tahun 1998 itu, ahli DNA Dr Eugene Forter melakukan tes pada mereka yang mengaku keturunan Jefferson dari ibu yang kulit hitam. Sally memang meninggalkan catatan untuk anak-anaknya. Lalu diwariskan turun-temurun.
Hasil tes DNA mereka positif: ada darah Jefferson di dalamnya. Ini menjadi fakta yang kemudian diterima semua pihak. Termasuk pihak keturunan dari istri yang berkulit putih. Beberapa tahun lalu keturunan Jefferson, baik yang kulit putih maupun yang kulit hitam, berkumpul bersama-sama ziarah ke monumen kakek moyangnya yang lahir tahun 1743 itu.
Kombinasi antar-ras mungkin mengakibatkan suatu ras merasa lebih tinggi daripada lainnya. Dalam novel Agus Sunyoto, Rahwana, persilangan-persilangan ras itu di-jlentreh-kan rinci. Termasuk antarmakhluk seperti dengan raksasa, bahkan dengan hewan tertentu. Yang merasa dari persilangan ras tertinggi akan menyebut persilangan yang melahirkan orang seperti saya bukan termasuk manusia. Tapi setengah manusia.
Saya menjadi ikut tertarik untuk memeriksakan DNA.
Sambil sekolah. Mumpung saya agak lama tinggal di Amerika. Selama ini saya termasuk yang kurang peduli dengan asal usul. Siapa tahu saya ternyata benar-benar manusia. Atau tidak. (*)

Senin, 16 Maret 2015

New Hope : Dahlan Iskan : Beras Menir yang Menggetarkan Samsung

KEJUTAN XIAOMI” menjadi istilah baru di Korea Selatan. Dalam bahasa Mandarin, xiaomi berarti beras menir (beras yang dihancurkan kecil-kecil). Tapi, beras menir inilah yang kini sangat ditakuti Samsung. Sampai-sampai Menteri Komunikasi Korsel Choi Yang-hee mengunjungi pabrik smartphone Xiaomi di Beijing bulan lalu.
Samsung rupanya merasa terancam. Memang perusahaan baru smartphone di Beijing itu tiba-tiba saja jadi meteor. Tahun lalu Xiaomi langsung mampu menjual 70 juta smartphone. Atau naik hampir tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Dengan demikian, tiba-tiba saja Xiaomi telah menjadi produsen telepon pintar terbesar ketiga di dunia. Setelah Samsung dan Apple.
Memang penjualan smartphone Samsung masih di atas 300 juta, catatan tahun lalu. Tapi, untuk pasar Tiongkok Samsung sudah anjlok lebih dari separonya. Samsung sudah kalah dari si beras menir. Bahkan sudah kalah jauh. Padahal, Tiongkok adalah pasar telepon pintar terbesar di dunia. Maka pantas kalau Samsung tersentak.
Kalau dulu kita terkejut mendengar BlackBerry mengalahkan Nokia, lalu iPhone mengalahkan BlackBerry dan akhirnya iPhone dikalahkan Samsung, kini kita lebih terkejut lagi bila si anak bawang beras menir akan mengalahkan Samsung segera. Dunia telekomunikasi memang ibarat roller coaster. Kita tidak pernah membayangkan Nokia yang begitu merajalela dengan cepat dikalahkan BlackBerry. Kejayaan BlackBerry pun hanya seumur jagung: dikalahkan Apple. Dan tak disangka-sangka, raja Amerika Serikat ini disalip perusahaan dari Asia: Samsung.
Semula Huawei-lah yang disangka akan menjadi penantang terberat Samsung. Produk terbaru Huawei, Ascend 4G LTE, yang saya gunakan saat ini, luar biasa canggihnya. Sambutan dari pasar di Tiongkok pun gegap gempita. Untuk bisa membeli Huawei Ascend 4G LTE, harus antre seperti dulu orang Amerika antre beli iPhone.
Tapi, tiba-tiba ada Xiaomi. Muncul langsung bikin kejutan. Perusahaan si beras menir ini baru didirikan tahun 2010. Bahkan, orang di Indonesia pun belum banyak yang tahu. Tiba-tiba saja menjadi nomor tiga di dunia: mengalahkan Lenovo dan LG. Juga mengalahkan Huawei.
Maka pertempuran akan kembali seru. Dulu Amerika melawan Eropa. Lalu Asia melawan Amerika. Kini pertempuran akan terjadi sesama Asia, bahkan sesama Tiongkok. Xiaomi langsung begitu hot. Bahkan tahun ini mulai masuk pasar internasional. Minggu lalu, saat launching di Singapura, Xiaomi bikin gempar: stoknya langsung habis dalam dua menit.
Bagaimana mungkin perusahaan yang belum berumur lima tahun sudah begitu suksesnya? Ini tak lain karena strategi pendiri perusahaan itu, Lie Jun: gerak cepat. Lei Jun kini baru berumur 45 tahun. Gayanya mirip sekali dengan Steve Jobs, pendiri Apple. Ke mana-mana Lei Jun hanya mengenakan kaus hitam dengan celana jins.
Seperti Steve Jobs, Lei Jun juga mencapai kekayaan pertama USD 1 miliar (Rp 12,5 triliun) saat berumur 41 tahun. Kini kekayaan Lei Jun sudah mencapai USD 12 miliar. Berarti setiap tahun naik Rp 30 triliun. Dia sudah menjadi orang terkaya nomor 26 di Tiongkok.
Sukses Lei Jun dimulai dari kejengkelannya saat bekerja di perusahaan sebelumnya. Dia merasa ide-idenya tidak cepat mendapat muara. Dia pun bertekad mendirikan perusahaan sendiri dan akan merespons dengan cepat ide apa pun dari siapa pun. Terutama dari pengguna Xiaomi. ”Kalau perlu dalam seminggu sudah menjadi kenyataan,” katanya seperti dikutip media.
Tahun 1992, ketika baru berumur 22 tahun, Lei Jun bekerja di perusahaan software antivirus: Kingsoft. Enam tahun kemudian, saat umurnya baru 29 tahun, dia sudah mencapai puncak karir sebagai CEO-nya. Tiba-tiba dengan alasan ”kesehatan” dia mengundurkan diri. Ternyata dia mendirikan perusahaan online penjualan buku: Joyo. Perusahaan ini lantas dia jual ke Amazon.com dengan nilai USD 75 juta atau hampir Rp 1 triliun.
Langkah besar pun disiapkan: mendirikan Xiaomi. Dia mengajak sepuluh partner untuk bergabung. Salah satunya adalah Temasek, BUMN Singapura. Termasuk perusahaan Taiwan Foxconn. Yang dulu sudah firm ingin masuk Indonesia, tapi tidak ada kabarnya lagi saat ini. Kini aset Xiaomi sudah mencapai USD 46 miliar.
Xiaomi ini dibuat sangat mirip (tampilan maupun kualitasnya) iPhone. Tapi dengan harga kurang dari separonya. Di Tiongkok, pasar smartphone terbesar di dunia, iPhone 4s dijual USD 790, sedangkan Xiaomi MI One dijual hanya USD 320. ”Harga itu hanya sama dengan harga pembelian material bahan baku,” ujar Lei Jun.
Ini berarti Xiaomi tidak ambil keuntungan dari penjualan telepon pintarnya. Xiaomi akan ambil keuntungan dari software, aksesori, dan bahkan merchandise-nya. Xiaomi memang menciptakan maskot. Dijual dalam berbagai bentuk. Termasuk boneka ini: anak yang dibuat mirip kartun Poyo. Berkalung kain merah dan bertopi. Ada bintang merah di topi itu. Khas Tiongkok dan cocok untuk pasar besar di sana.
Lei Jun, kelahiran Hubei yang menamatkan SMA di Mianyang dan menyelesaikan sarjana science engineering di Wuhan University, kini dapat julukan ”Steve Jobs”-nya Tiongkok. Rupanya gelar itu mengusiknya. ”Kalau Steve Jobs di Tiongkok, belum tentu dia bisa sukses.” Tentu Lei Jun juga tidak mau mati muda karena kanker seperti Steve Jobs. (*)

Senin, 09 Maret 2015

New Hope : Dahlan Iskan : Dari Berburu Berita ke Berburu Sengon

Saya melihat gejala baru. Kelilinglah pedesaan Jawa: begitu banyak pohon sengon sekarang ini. Tanpa ada program penghijauan dari pemerintah pun, rakyat sudah terdorong sendiri untuk menanam sengon. Ini karena nilai ekonominya yang sudah terbukti: tiap hektare bisa menghasilkan Rp 500 juta. Bersih. Seleksi alam kelihatannya sudah memutuskan ini: sengon juaranya. Juara di antara tanaman keras. Tentu jangan dibandingkan dengan, misalnya, tanaman buah tropik.
Dulu begitu banyak tanaman keras yang dianjurkan untuk digalakkan: jabon, kemiri sunan, jarak pagar, lamtoro gung, sengon buto, dan seterusnya. Hampir semuanya gagal. Karena tidak ada dorongan keuntungan ekonomi. Tidak ada yang terbukti bisa meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan.
Jabon terbukti kalah dari sengon. Harga jualnya sekitar 20 persen di bawah sengon. Ini karena warna kayu jabon kurang disukai industri mebel di luar negeri. Terlalu putih. Kemiri sunan, mungkin akan bernasib sama dengan jarak: lebih gagal lagi. Bahkan membuat rakyat marah. Jarak yang siap panen dibabat. Satu hektare tanaman jarak memang hanya menghasilkan kurang dari setengah juta rupiah setahun.
Sengon buto, ternyata juga tidak laku. Memiliki terlalu banyak cabang. Kurang laku dijual. Tidak bisa untuk bahan baku industri mebel. Lamtoro gung, ternyata membawa penyakit yang menular ke tanaman sekitar.
Sengon tradisionallah yang ternyata mengalahkan semua itu. Maka jelaslah, untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong di Jawa, sengon adalah pilihan utama. Jangan kaliandra. Biar saya dulu yang tanam kaliandra. Itu pun di luar Jawa. Begitu banyak yang ingin mengikuti saya menanam kaliandra. Biasanya saya tanya dulu: lahannya di mana? Begitu dia menyebut di Jawa, saya langsung tegaskan: jangan! Jangan tanam kaliandra. Jawa terlalu subur untuk kaliandra. Sama-sama menanam pohon, untuk di Jawa, lebih baik sengon. Apalagi, kini sudah berdiri banyak sekali pabrik pengolahan kayu sengon. Tidak mungkin lagi tidak ada pasarnya. Bahkan, pabrik-pabrik itulah yang kini haus sengon.
Biarlah kaliandra dicoba di daerah-daerah khusus di luar Jawa yang gersang dan yang tidak memiliki sumber listrik. Saya, bersama tim, baru mulai mencoba di Sumba, Sumbawa, Lingga, Singkep, Kaltim, dan Bolaang Mongondow. Kita lihat dulu berhasil atau tidak.
Memang tanaman sengon baru bisa ditebang setelah berumur lima tahun. Tapi, hasilnya sungguh menarik. Dalam lima tahun itu, per hektare, bisa menghasilkan Rp 500 juta. Bersih. Sudah dipotong biaya. Berarti satu tahun Rp 100 juta. Sama dengan gaji pegawai satu bulan Rp 8 juta. Tidak kecil, bukan? Dalam jangka panjang pasarnya pun terjamin. Gerakan anti penebangan hutan sedunia membuat industri kayu beralih ke tanaman rakyat.
Apalagi, hampir tidak ada hama. Satu-satunya hama adalah karat puru. Itu pun mudah ketahuan. Kanker itu muncul di dahan dalam bentuk benjolan besar. Dahan itu bisa langsung dipotong. Bagian yang terkena penyakit itu harus dikubur. Jangan dibuang begitu saja. Jangan juga dibakar. ”Hama” lainnya adalah kebakaran. Tapi, ini juga gampang terlihat. Yang tidak mudah terlihat adalah hama yang satu ini: ditebang orang di tengah malam.
Selebihnya tidak ada masalah. Memang ada yang mengkritik tanaman sengon membuat orang malas: tinggal tunggu hasil selama lima tahun sambil ongkang-ongkang kaki. Tidak perlu bekerja setiap hari seperti menanam padi. Atau menanam buah tropik. Para penggiat buah tropik pasti benci ini. Anak muda yang gigih seperti Mas Pratomo dari Ungaran tidak akan tergiur sengon. Mas Pratomo sudah membuktikan bahwa buah tropik bisa menghasilkan dua kali lipat dari sengon. Juga tidak perlu menunggu lima tahun. ”Memangnya perut kosong bisa disuruh menunggu lima tahun?” ujar Mas Pratomo.
Begitu banyak tanaman buah yang jadi pilihan: kelengkeng genjah, buah naga, durian pendek, dan tentu saja sirsat. Hanya, petaninya memang harus berpengetahuan, harus rajin (utun), dan harus berjiwa bisnis. ”Kita kan harus membangun masyarakat. Agar rajin dan kerja keras,” ujar Mas Pratomo. ”Biar bisa seperti bangsa Korea atau Jepang,” tambahnya.
Ke depan, sengon kelihatannya akan berfungsi sebagai tabungan pedesaan. Bukan sebagai mata pencaharian. Sawahlah mata pencaharian itu. Sedang ladangnya ditanami sengon. Tabungan itu diperlukan karena kelak anaknya minta sepeda motor. Atau meneruskan kuliah ke perguruan tinggi. Atau bagi daerah seperti Wonogiri yang bupatinya sangat getol menggalakkan penanaman singkong, mata pencahariannya adalah singkong itu. Toh juga sukses. Sengon untuk tabungan.
Saya perhatikan bupati Kepahiang di Bengkulu juga kampanye ini: rakyat yang mau kaya, tanamlah sengon. Demikian juga bupati Aceh Timur. Hanya Kalimantan dan Jambi-Riau yang kelihatannya tidak cocok untuk sengon.
Saya juga punya seorang teman. Mantan wartawan terkemuka Republika di Jakarta. Namanya Guntoro. Prestasinya sebagai wartawan sangat menonjol: gigih dan rajin mengejar berita. Kini dia gigih mengejar sengon. Dia tinggalkan dunia kewartawanan. Yang full stres itu. Dia tinggalkan Jakarta. Yang full ruwet itu. Dia beli tanah yang masih murah di desa di Jabar. Dia tinggal di desa itu. Pekarangan rumah yang dia tinggali sangat luas: 3 hektare. Dari segi luasan pekarangan, orang terkaya di Jakarta pun dia kalahkan. Tidak ada orang kaya di Jakarta yang pekarangan rumahnya 3 hektare. ”Tidak pernah lagi terkena macet,” guraunya.
Selama delapan tahun meninggalkan dunia hiruk pikuk kewartawanan di Jakarta, Guntoro sudah berubah total. Kini dia sudah memiliki tanaman sengon 800 hektare. ”Tiap tahun beli tanah sedikit-sedikit, Mas,” katanya. ”Saya ingin jadi raja sengon,” tambahnya.
Hitung sendiri berapa kekayaannya: 800 x Rp 500 juta = Rp 400 miliar! Percayailah separonya. Atau sepertiganya. Tetap saja menitikkan air liur. ”Jangankan jadi wartawan, jadi pemilik koran pun belum akan bisa dapat angka itu,” katanya bergurau.
Begitu banyak pilihan untuk kaya. Begitu luas lahan di Jawa yang dibiarkan telantar. Dengan sengon, Jawa bisa hijau. Juga warna mata penduduknya. (*)

Senin, 02 Maret 2015

New Hope : Dahlan Iskan : Militansi Kesuburan dari Keluarga Fisika

Salah satu tamu saya pekan lalu adalah seorang lelaki yang umurnya persis dengan saya, 64 tahun. Waktu datang, jalannya tertatih-tatih. Waktu mau duduk, dia harus menata dulu posisi pantatnya. Waktu mau bangkit lebih sulit lagi: Dua tangannya harus bisa menyangga pantatnya.
Tapi, otaknya cerdas. Melebihi saya. Dia seorang ilmuwan. Dia ahli fisika murni. Dia kelihatannya sengaja dilahirkan untuk menjadi peneliti. Sampai-sampai badannya jadi korban penelitiannya. Hampir seluruh tubuhnya mengalami luka bakar: Rangkaian peralatan penelitiannya meledak, menyambar bensin dan membakar dirinya.
Namanya sulit ditemukan di media: Ir Lulus Tjahyo Purnomo. Asli Peneleh, Surabaya.
Sudah 20 tahun Tjahyo melakukan penelitian di halaman rumahnya: mengisap udara, mengambil unsur tertentu dari udara itu, lalu menjadikannya zat untuk menyuburkan tanah. Dia begitu prihatin melihat rendahnya produksi kedelai di Indonesia. Penyebabnya jelas: Kesuburan tanah-tanah pertanian kita merosot. Itu akibat penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus. Sejak awal Orde Baru pada 1967. Dan terlalu banyak.
Kian turun kesuburan tanah, kian banyak pupuk kimia yang diperlukan. Kian banyak pupuk yang diberikan, kian tidak subur tanahnya.Muter. Seperti goyang Inul.
Tjahyo ingin mengembalikan kesuburan itu. Tiga tahun lalu, saat penelitiannya sudah mendekati berhasil, peralatannya meledak. Tjahyo terkapar dengan 70 persen badannya terbakar. Istrinya, yang guru SMA, lagi mengajar. Anak sulungnya tinggal di Jerman. Empat anak lainnya lagi kuliah.
Tinggal satu anaknya yang belum berangkat ke kampus: Muhammad Mughnii Caryophyllus Purnomo. Panggilannya Ari. Sore itu Ari lagi di ruang makan. Nonton TV. Tiba-tiba ada cahaya merah yang memantul kuat. Dia kaget. Lari ke asal cahaya. Di halaman terlihat ayahnya berguling-guling, menderita karena terbakar. Tanpa sedikit pun pakaian yang masih tersisa. Hampir seluruh badannya gosong. Kejang-kejang. Lalu terkulai diam. Ari panik. Bapaknya dikira tewas. Tidak ada respons sedikit pun.
Empat bulan Tjahyo dirawat di RSUD dr Soetomo, Surabaya. Sambil terbaring di RS itulah, Tjahyo terus memikirkan nasib hasil penelitiannya. Dia memang sudah berhasil menangkap zat yang dibutuhkannya. Yang masih dia risaukan: haruskah menggunakan alat yang bisa meledak seperti itu. Tidak. Harus ada jalan lain.
Pulang dari RS, Tjahyo sudah ditemani ide baru. Lima anaknya, yang juga sarjana fisika murni (hanya satu yang fisika teknik), menerapkannya di lapangan. Kini Ari dan adik-adiknya sedang berada di pedalaman Tulungagung. Meluaskan lahan percobaan. Tahun lalu mereka sudah berhasil menghidupkan tanah mati di satu petak sawah dekat Surabaya. Subur kembali. Hasil panen padinya meningkat 20 persen. Penggunaan pupuk kimianya pun tinggal 30 persen. Petani bisa menghemat banyak.
Tjahyo belum memberi nama produknya itu. Juga belum mematenkannya. ”Takut temuan ini dicuri orang,” katanya. Dia juga minta nama zat yang diambil dari udara itu dirahasiakan dulu.
Pentingkah temuan Tjahyo itu? ”Bukankah sudah banyak beredar zat penyubur
tanah?” tanya saya.
”Benar,” kata Tjahyo. ”Tapi, semuanya menggunakan mikroba,” katanya. ”Yang
saya temukan ini berbasis fisika,” tegasnya.
Bagi saya, upaya menyuburkan lagi tanah pertanian sangatlah penting. Tentu kita tidak boleh menyalahkan Pak Harto yang menggalakkan pupuk kimia. Waktu itu rakyat lagi sangat lapar. Perlu percepatan produksi beras.
Kini giliran kita merehabilitasi tanah. Sejak lima tahun lalu, program untuk itu sudah ada: melalui pupuk organik. Siapa saja boleh bikin pabriknya. BUMN bidang pupuk membelinya. Untuk disalurkan kepada petani dengan harga subsidi. Dikampanyekan juga doktrin 5-3-2: Organik 5 kuintal, pupuk NPK Ponska 3 kuintal, dan urea 2 kuintal saja per hektare (ha).
Tapi, kemampuan subsidi terbatas. Jumlah bahan baku pupuk organik juga tidak mencukupi. Merosotnya jumlah ternak ikut menurunkan jumlah kotorannya. Kekurangan pupuk penyubur yang sangat besar itulah yang dilihat sebagai peluang bisnis. Mereka tahu bahwa tanah sawah menjadi gersang karena mikroba mati oleh pupuk kimia. Tanah mengeras. Untuk menyuburkan kembali, harus dimasukkan mikroba baru ke dalam tanah. Berarti harus ada ”peternakan” mikroba.
Agar mikroba hasil pembiakan itu bisa berkembang di tanah yang sudah mati, diperlukan ”makanan” mikroba: energi. Itulah sebabnya jutaan mikroba tersebut dimasukkan ke tanah bersama dengan makanannya: tetes tebu. Atau bahan lain yang mengandung makanan mikroba.
Kini pupuk mikroba seperti membanjir. ”Pernah mencapai lebih 2.000 merek,” ujar Amal Gozali. Ketika jadi wartawan, Amal sukses mencapai karir tertinggi: jadi pemimpin redaksi. Ketika terjun ke bisnis mikroba, dengan produk Agrobost-nya, Amal sukses merajai pasar. ”Dari 2.000-an itu, yang bertahan sampai sekarang tinggal sekitar 40 merek,” kata Amal.
Saat sudah berkembang luas pun, jenis pupuk mikroba itu belum mendapat pengakuan pemerintah. Di mata pemerintah, yang bisa disebut pupuk hanya dua jenis: kimia dan organik. Produsen pupuk mikroba gelisah. Terutama ketika kian banyak produk yang mengecewakan petani. ”Kami terus berjuang agar diakui pemerintah,” ujar Amal. ”Agar segera ditentukan standarnya. Untuk melindungi petani,” tambahnya. ”Meluasnya pupuk mikroba sudah tidak bisa ditahan,” ujar Amal.
Perjuangan itu berhasil. Diakui. Namanya pun dibakukan: pupuk hayati. Maka, di dalam kamus birokrasi pertanian kini sudah ada tiga jenis pupuk: kimia, organik, dan hayati.
Lalu, untuk jenis baru lagi, temuan Tjahyo itu perlu berapa lama lagi mengubah kamus? (*)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost