Minggu, 25 Desember 2011

Dahlan Iskan - MH 03 "Mengabdikah di BUMN? Lebih Sulitkah?"

"Mengabdikah di BUMN? Lebih Sulitkah?"

Berhentilah mengeluh! Tetapkanlah tekad!

Kalau pilihan sudah dijatuhkan,
tinggallah kita fokus di pilihan itu.

Sepenuh hati.

Tidak ada pikiran lain kecuali
bekerja, bekerja, bekerja!

Daripada mengeluh terus,
berhentilah bekerja.

Masih banyak orang lain yang mau bekerja.
Masih banyak orang lain yang tanpa
mengeluh bisa menunjukkan kemajuan!

Sudah waktunya BUMN hanya sebagai
tempat membuat prestasi.

- Dahlan Iskan - Manufacturing Hope 03

Senin, 28 November 2011

Dahlan Iskan - Manufacturing Hope 02



Neraka dari “Manajemen Musyrik”

Alangkah hebatnya Indonesia kalau semua potensi tersebut disatukan dalam koordinasi yang utuh. 

Kalau saja ada kesatuan di dalamnya, kita bisa memproduksi pabrik apa pun, alat apa pun, dan kendaraan apa pun.

Hanya kepada orang-orang yang bisa fokuslah saya banyak berharap. Hanya di tangan pimpinan-pimpinan yang fokuslah negara bisa bangkit.


Mentri BUMN - Dahlan Iskan

Created by Roni Indrajaya

Manufacturing Hope 2
Minggu, 27 November 2011

Manufacturing hope tentu juga harus dilakukan untuk bandara-bandara kita. Selain mencarikan jalan keluar untuk hotel-hotel yang ada di Bali, selama mengikuti KTT ASEAN saya berkunjung ke pelabuhan perikanan Benoa, melihat aset-aset BUMN yang tidak produktif di Bali dan diajak melihat proyek Bandara Ngurah Rai yang baru.

Tanpa dilakukan survei pun semua orang sudah tahu betapa tidak memuaskannya Bandara Internasional Ngurah Rai itu. Semua orang ngomel, mencela, dan mencaci maki sesaknya, ruwetnya, dan buruknya. Bandara itu memang tidak mampu menanggung beban yang sudah empat kali lebih besar daripada kapasitasnya.

Memang, PT Angkasapura I, BUMN yang mengelola bandara tersebut, sudah mulai membangun terminal yang baru. Tapi, terminal baru itu baru akan selesai paling cepat dua tahun lagi.
Berarti selama dua tahun ke depan keluhan dari publik masih akan sangat nyaring. Bahkan, keluhan itu akan bertambah-tambah karena di lokasi yang sama bakal banyak kesibukan proyek. Bongkar sana, bongkar sini. Pindah sana, pindah sini. Membangun terminal baru di lokasi terminal yang masih dipakai tentu sangat repot. Lebih enak membangun terminal baru di lokasi yang baru sama sekali.

Menghadapi persoalan yang begitu stres, hanya hope-lah yang bisa di-manufacture! Karena itu, memajang maket bandara baru tersebut besar-besar di ruang tunggu atau di tempat-tempat strategis lainnya menjadi penting. Saya berharap, penumpang yang ngomel-ngomel itu bisa melihat gambar bandara baru yang lebih lapang dan lebih indah. Perhatian penumpang harus dicuri agar tidak lagi selalu merasakan sumpeknya keadaan sekarang, melainkan diajak merasakan mimpi masa depan baru yang segera datang itu.

Demikian juga, PT Angkasapura II yang mengelola Bandara Soekarno-Hatta harus membantu manufacturing hope itu. Caranya, ikut membantu memasangkan maket bandara baru Ngurah Rai di lokasi Bandara Soekarno-Hatta. Bahkan, maket baru Bandara Soekarno-Hatta sendiri juga harus lebih banyak ditampilkan secara atraktif.

Tentu, sambil menunggu yang baru itu, bandara yang ada harus tetap diperhatikan. Mungkin memang tidak perlu membuang uang terlalu banyak untuk sesuatu yang dalam dua tahun ke depan akan dibongkar. Tapi, tanpa membuat bandara yang ada ini lebih baik, orang pun akan kehilangan harapan bahwa bandara yang baru itu kelak bakal mengalami nasib tak terurus yang sama. Itulah sebabnya, khusus Bandara Soekarno-Hatta, manajemen Angkasapura II akan melakukan survei persepsi publik yang bakal dilakukan oleh lembaga survei yang kredibel dan independen.

***

Manufacturing hope kelihatannya juga harus lebih banyak diproduksi untuk industri rekayasa. PT Dirgantara Indonesia (pembuatan pesawat), PT PAL Surabaya (pembuatan kapal), PT Bharata Surabaya (mesin-mesin), PT Boma Bisma Indra Surabaya-Pasuruan (mesin-mesin), PT INKA (pembuatan kereta api), dan banyak lagi industri jenis itu sangat memerlukannya.

Semua BUMN di bidang ini sulitnya bukan main. Kesulitan yang sudah berlangsung begitu lama. Di barisan ini termasuk Dok Perkapalan IKI Makassar, Dok Perkapalan Koja Bahari Jakarta, dan industri sejenis?yang menjadi anak perusahaan BUMN seperti jasa produksi milik PLN dan perbengkelan di lingkungan BUMN lainnya. Beberapa di antaranya bahkan sangat-sangat parah. PT PAL, misalnya, sudah terlalu lama merah dalam skala kerugian yang triliunan rupiah.

PT IKI Makassar idem ditto. Sudah dua tahun perusahaan galangan kapal terbesar di Indonesia Timur itu tidak mampu membayar gaji karyawan. Perusahaan tersebut terjerumus ketika menerima order pembuatan kapal penangkap ikan modern sebanyak 40 unit, tapi dibatalkan pemerintah di tengah jalan. Kini 14 kapal ikan yang sudah telanjur jadi itu mengapung mubazir begitu saja. Sudah lebih dari sepuluh tahun kapal-kapal modern itu berjajar menganggur.

Bahan-bahan kapal yang belum jadi pun sudah menjadi besi tua dan berserakan memenuhi kawasan galangan kapal itu. Peralatan produksinya juga sudah menganggur bertahun-tahun. Salah satu di antaranya bisa membuat ngiler siapa pun: crane 150 ton! Dok Perkapalan Surabaya yang ordernya begitu banyak dan sibuk saja hanya punya crane terbesar 50 ton!

Dulu, sekitar 15 tahun yang lalu, saya pernah mengkritik pemerintah di bidang itu. Saya menulis di media mengapa nasib industri rekayasa kita begitu jelek.Mengapa kita impor permesinan bertriliun-triliun setiap tahun, tapi industri rekayasa di dalam negeri telantar berat. Bahkan, tokoh sekaliber B.J. Habibie pun tidak berhasil mengatasinya.

Waktu itu saya sudah membayangkan alangkah hebatnya Indonesia kalau semua potensi tersebut disatukan dalam koordinasi yang utuh. Kalau saja ada kesatuan di dalamnya, kita bisa memproduksi pabrik apa pun, alat apa pun, dan kendaraan apa pun. Pembangkit listrik, pabrik gula, pabrik kelapa sawit, pesawat, kapal, kereta, motor, mobil, dan apalagi sepeda, semua bisa dibuat di dalam negeri.

Sebagai orang yang kala itu sering mengunjungi pabrik-pabrik sejenis di Tiongkok, saya selalu mengeluh: alangkah lebih modernnya peralatan yang dimiliki pabrik-pabrik kita jika dibandingkan dengan pabrik-pabrik yang saya kunjungi itu. Peralatan yang dimiliki PT Bharata, misalnya, jauh lebih modern daripada yang saya lihat di Tiongkok saat itu. Ahli pesawat dari Eropa mengagumi modernya peralatan di PT Dirgantara Indonesia.

Kini, dalam posisi saya yang baru ini, saya tidak bisa lagi hanya mengkritik. Tanggung jawab itu kini ditumpukkan di pundak saya. Saya tidak boleh lupa bahwa saya pernah mengkritik pemerintah. Saya tidak boleh mencari kambing hitam untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab. Tentu saya juga menyadari bahwa saya bukanlah seorang yang genius seperti Pak Habibie. Saya hanya mengandalkan hasil dari manufacturing hope.

Tidak mudah perusahaan yang sudah mengalami kemerosotan yang panjang bisa bangkit kembali. Karena itu, saya harus menghargai dan memuji upaya yang dilakukan manajemen PT Dirgantara Indonesia (DI) belakangan ini. Rasanya, untuk bidang ini, DI akan bangkit yang pertama. Thanks to kesungguhan Presiden SBY yang telah menginstruksikan pengadaan seluruh keperluan militer dilakukan di dalam negeri. Kecuali peralatan sekelas tank Leopard, helikopter Apache, atau kapal selam yang memang belum bisa dibuat sendiri. Pesawat tempur sekelas F-16 Block 52 pun, tekad Presiden SBY tegas: harus diproduksi di dalam negeri meski harus bekerja sama dengan pihak luar.Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro juga sangat serius dalam mengontrol pelaksanaan instruksi presiden itu.

Maka, PT DI kelihatannya segera mentas. Kegiatan jangka pendek, menengah, dan panjangnya sudah tertata. Dalam waktu pendek ini, sampai dua tahun ke depan, pekerjaannya sudah sangat banyak: membuat pesawat militer CN-295 dalam jumlah yang besar. Order ini akan berkelanjutan menjadi program jangka menengah karena PT DI juga sekaligus diberi hak keagenan untuk Asia Pasifik. Sedangkan jangka panjangnya, PT DI memproduksi pesawat tempur setara Block 52 bekerja sama dengan Korea Selatan.

Adanya kebijakan yang tegas dari Presiden SBY, komitmen pembinaan yang kuat dari Kementerian Pertahanan, kapabilitas personel PT DI yang unggul (terbukti satu bagian dari sayap pesawat Airbus 380 yang gagah dan menarik itu ternyata selalu diproduksi di PT DI), dan fokus manajemen dalam melayani keperluan Kementerian Pertahanan adalah kunci awal bangkitnya industri pesawat PT DI.

Instruksi Presiden SBY itu juga berlaku untuk PT Pindad. Maka, kebangkitan serupa juga akan terjadi untuk PT Pindad. Semoga juga di PT Dahana. Karean itu, tidak ada jalan lain bagi PT PAL untuk tidak mengikuti jejak PT DI. Kalau saja PT PAL fokus melayani keperluan pembuatan dan perawatan kapal-kapal militer nasibnya akan lebih baik.

Apalagi, anggaran untuk peralatan militer kini semakin besar. Menyerap semaksimal mungkin anggaran militer itu saja sudah akan bisa menghidupi. Dengan syarat, pelayanan kepada keperluan militer itu sangat memuaskan: mutunya dan waktu penyelesaiannya.

Lupakan dulu menggarap kapal niaga yang ternyata merugikan PT PAL begitu besar. Lupakan menggarap bisnis-bisnis lain, apalagi sampai menjadi kontraktor EPC seperti yang dilakukan selama ini. Semua itu hanya mengganggu kefokusan manajemen dan merusak suasana kebatinan jajaran PT PAL sendiri. Memang ada alasan ilmiah untuk mengerjakan banyak hal itu.

Misalnya untuk memanfaatkan idle capacity. Tapi, godaan memanfaatkan idle capacity itu bisa membuat orang tidak fokus. Dalam bahasa agama, “tidak fokus” berarti “tidak mengesakan”. “Tidak mengesakan” berarti “tidak bertauhid”. “Tidak bertauhid” berarti “musyrik”. Memanfaatkan idle capacity di satu pihak sangat ilmiah, di pihak lain bisa juga berarti godaan terhadap fokus. Saya sering mengistilahkannya “godaan untuk berbuat musyrik”. Padahal, orang musyrik itu masuk neraka. Nerakanya perusahaan adalah negative  cash flow, rugi, dan akhirnya bangkrut.

Kalaupun PT PAL kelak sudah fokus menekuni keperluan militer, tapi masih juga rugi, negara tidak akan terlalu menyesal. Tapi, kerugian PT PAL karena menggarap kapal niaga asing sangatlah menyakitkan. Apalagi, kerugian itu menjadi beban negara. Rugi untuk memperkuat militer kita masih bisa dianggap sebagai pengabdian kepada negara. Tapi, rugi karena menggarap kapal niaga asing dan kemudian minta uang kepada negara sama sekali tidak bisa dimengerti.

Hanya kepada orang-orang yang bisa fokuslah saya banyak berharap. Hanya di tangan pimpinan-pimpinan yang fokuslah BUMN bisa bangkit. (*)

Dahlan Iskan
Menteri Negara BUMN

Senin, 21 November 2011

Dahlan Iskan - Manufacturing Hope 01


"Langkah Pertama: Manufacturing Hope!"

Kalau sebuah harapan bisa membuat hidup kita lebih bergairah, mengapa kita tidak manufacturing hope. 

Bahan bakunya gampang didapat: 
niat baik, ikhlas, kreativitas, tekad, dan totalitas.

Semuanya bisa diperoleh secara gratis!

- Dahlan Iskan - Manufacturing Hope 01


Create by Roni IndraJaya

Industri apakah yang harus pertama-tama dibangun di BUMN? Setelah sebulan menduduki jabatan menteri negara badan usaha milik negara (BUMN) dan setelah mengunjungi lebih dari 30 unit usaha milik publik ini, saya bertekad untuk lebih dulu membangun industri yang satu ini: manufacturing hope! Industrialisasi harapan.
Itu bisa saya lakukan setelah saya berketetapan hati untuk lebih memerankan diri sebagai seorang chairman/CEO daripada seorang menteri. Kepada jajaran Kementerian BUMN, saya sering” bergurau “lebih baik saya seperti chairman saja dan biarlah wakil menteri BUMN yang akan memerankan diri sebagai menteri yang sebenarnya”.
Sebagai chairman/CEO Kementerian BUMN, saya akan lebih fleksible, tidak terlalu kaku, dan tidak terlalu dibatasi oleh tembok-tembok birokrasi. Dengan memerankan diri sebagai chairman/CEO, saya akan mempunyai daya paksa kepada jajaran korporasi di lingkungan BUMN.
Meski begitu, saya akan tetap ingat batas-batas: seorang chairman/CEO bukanlah seorang president director/CEO. Ia bisa mempunyai daya paksa, tapi tidak akan ikut melaksanakan. Tetaplah penanggung jawab pelaksanaannya adalah president director/CEO di masing-masing korporasi BUMN.
Dengan peran sebagai chairman/CEO, saya tidak akan sungkan dan tidak akan segan-segan ikut mencarikan terobosan korporasi. Ini sesuai saja dengan arahan Presiden SBY bahwa menteri yang sekarang harus bisa berlari kencang. Dengan memerankan diri sebagai chairman/CEO, saya akan bisa memenuhi harapan tersebut.
Tengoklah, misalnya, bagaimana kita harus menghadapi persoalan hotel-hotel BUMN kita yang berada di Bali. Semuanya sudah berpredikat yang paling buruk. Inna Kuta Hotel sudah menjadi yang terjelek di kawasan Pantai Kuta. Inna Sanur (Bali Beach) sudah menjadi yang terjelek di kawasan Pantai Sanur. Inna Nusa Dua (Putri Bali) sudah pasti menjadi yang terjelek di kawasan Nusa Dua yang gemerlapan itu. Bukan hanya yang terjelek, tapi juga sudah mau ambruk.
Padahal, pada zaman dulu, hotel-hotel ini tergolong yang terbaik di kelasnya. Kini, di arena bisnis perhotelan di Bali, hotel-hotel BUMN telah menjadi lambang kemunduran, keruwetan, dan kekumuhan.
Memang pernah ada upaya untuk bangkit. Direksi kelompok hotel ini (Grup PT Hotel Indonesia Natour) pernah diperbarui. Bahkan tidak tanggung-tanggung. Jajaran direksinya diambilkan dari para profesional dari luar BUMN.
Dengan semangat profesionalisme, grup ini?ingin mulai merombak dua hotelnya: di Padang dan di Kuta. Tapi, dua-duanya mengalami kesulitan. Yang di Padang over investasi. Yang di Kuta sudah enam bulan mengalami slow-down. Yang di Padang itu bisa disebut over investasi karena?jumlah kamarnya jauh lebih besar daripada pasarnya. Ini akan sangat sulit mengembalikan investasinya. Sedangkan yang di Kuta ada persoalan desain yang cukup serius.
Mengapa yang di Padang bisa terjadi over investasi” Ini tak lain karena kultur BUMN yang belum bisa menghindar dari intervensi. Begitu ada perintah untuk membangun hotel dengan skala yang sangat besar, direksinya tidak mampu meyakinkan bahwa skala itu kebesaran. Terutama dilihat dari kemampuan perusahaan. Permasalahan yang di Kuta lebih rumit lagi karena ketambahan masalah birokrasi.
Dua proyek ini kemudian menjadi isu yang ruwet. Ujung-ujungnya, direktur utama yang didatangkan dari luar BUMN itu tidak tahan lagi dan mengundurkan diri. Dalam suasana ruwet seperti itu, tidak mungkin perusahaan bisa maju. Bahkan, moral manajemen dan karyawannya pun bisa rusak, down, dan lalu putus harapan.
Maka, dalam kesempatan tiga hari menghadiri KTT ASEAN di Bali pekan lalu, saya manfaatkan waktu untuk manufacturing hope. Selama di Bali, saya tidak tidur di hotel bintang lima di kompleks KTT berlangsung, tapi memilih tidur di Inna Hotel Kuta yang katanya terjelek itu. Saya ingin ikut merasakan kesulitan manajemen dan karyawan di hotel tersebut. Saya ingin mendalami persoalan yang menghadang mereka. Pagi-pagi saya turun naik di proyek setengah jadi itu.
Menjelang senja kembali turun naik lagi entah sampai berapa kali. Saya ingin, kalau bisa, menerobos hambatannya. Setidaknya saya ingin mereka tidak merasa sendirian dalam kesulitannya. Bahkan, pada malam kedua, saya tidur di kamar mock-up di tengah-tengah proyek yang lagi slow-down itu. Saya melakukan ini tidak lain untuk manufacturing hope.
Hasilnya, insya Allah, cukup baik. Pada hari kedua, semua persoalan bisa teruraikan. Proyek hotel yang sangat grand ini bisa dan harus berjalan kembali. Bahkan, tahun depan harus sudah jadi. Diputuskanlah hari itu: sebuah hotel baru dengan nama baru (Grand Inna Kuta) akan lahir dan menjadi sangat iconic. Apalagi, letaknya hanya di seberang Hard Rock Hotel dengan posisi yang jauh lebih baik karena langsung punya akses ke Pantai Kuta.
Pun, selesai upacara pembukaan KTT ASEAN (selesai melihat cantiknya Perdana Menteri Thailand yang baru, Yingluck Sinawatra) saya copot jas, ganti sepatu kets, dan langsung meninjau luar dalam Hotel Inna Putri Bali. Lokasinya tidak jauh dari gedung megah untuk KTT ASEAN di Nusa Dua itu.
Saya perhatikan mulai dapurnya, ruang cucinya, kamarnya, kebunnya, pantainya, hingga cottage-cottage-nya. Ternyata benar. Bukan hanya telah menjadi yang terjelek di Nusa Dua, tapi juga sudah mau ambruk. Di sini saya juga harus manufacturing hope. Tahun depan hotel yang sangat luas ini harus sudah mulai dibangun ulang.
Setelah membuat keputusan soal Nusa Dua, malam ketiga saya memilih tidur di Sanur. Hotel seluas (duile!) 41 hektare ini juga perlu dibangkitkan. Inilah hotel berbintang yang pertama di Bali. Inilah warisan Bung Karno. Kondisinya sudah kalah dengan tetangga-tetangganya. Hotel ini memiliki garis pantai matahari terbit sejauh 1 km! Alangkah hebatnya. Mestinya.
Saya tentu menginginkan tahun depan hotel besar ini juga ikut bangkit. Mengapa? Sebab, tiga-tiganya berada di Bali. Sebuah kawasan wisata yang pertumbuhannya sangat tinggi. Memang Grup Inna Hotel masih punya puluhan hotel lainnya di seluruh Indonesia (dan umumnya juga dalam keadaan termehek-mehek), namun sebaiknya fokus dulu di tiga hotel ini. Dari sinilah kelak hope akan ditularkan ke seluruh Indonesia.
Tiga hotel besar inilah yang lebih dulu akan menjadi titik tolak kebangkitan entah berapa banyak hotel BUMN ke depan. Saya sebut “entah berapa banyak” karena banyak BUMN yang kini juga memiliki hotel. Grup Inna punya banyak hotel. Garuda Indonesia punya banyak hotel.
Pertamina punya banyak hotel. Kontraktor seperti Perusahaan Perumahan punya banyak hotel. Bahkan, Jasa Marga, konon, juga sedang menyiapkan banyak hotel. Karena itu, keberhasilan tiga pioner di Bali tadi akan besar artinya bagi BUMN.
Memang sebulan pertama ini baru hope yang bisa dibangun. Tapi, kalau sebuah hope bisa membuat hidup kita lebih bergairah, mengapa kita tidak manufacturing hope. Bahan bakunya gampang didapat: niat baik, ikhlas, kreativitas, tekad, dan totalitas. Semuanya bisa diperoleh secara gratis!
Dahlan Iskan
Menteri Negara BUMN

Kamis, 21 Juli 2011

Dahlan Iskan - CEO PLN Note - Membangun Dua Pondasi Tanpa Banyak Bunyi

Meski sudah 1,5 tahun saya jadi direktur utama tapi belum juga hafal singkatan penting di PLN yang satu ini : P2APST. Singkatannya saja tidak hafal apalagi kepanjangannya! Padahal sesekali saya harus mengucapkannya. Misalnya kalau lagi rapat direksi. Setiap kali harus mengucapkannya saya harus menengok dulu ke Pak Murtaqi Direktur Bisnis dan Manajemen Resiko. Beliaulah yang paling fasih mengucapkan singkatan itu karena memang beliau yang membidani kelahirannya merancang sistemnya dan dengan antusias mengembangkannya. Biar pun tidak hafal singkatannya saya sangat paham kegunaannya : agar pembayaran listrik bisa dilakukan secara on-line real time dan terpusat. Inilah sistem untuk mengakhiri zaman pembayaran listrik tradisional : antri di loket PLN berjam-jam setiap menjelang tanggal 20.

Tentu tujuan utamanya bukan untuk menghilangkan antrian itu. Ada yang lebih mendasar: agar uang yang masuk ke PLN bisa terkontrol rapi sejak dari pembayaran oleh pelanggan sampai ke kas perusahaan di kantor pusat. Jangan lagi ada sistem uang dibayarkan di loket ranting baru disetorkan ke cabang lalu ke wilayah lalu ke pusat. Apalagi kalau pencatatan uang itu dilakukan secara manual dan transfer ke jenjang-jenjang berikutnya masih secara tradisional.

Lebih hebat dari itu sistem apa tadi —eh P2APST– itu mampu langsung tersambung ke komputer yang memproses pekerjaan keuangan berikutnya : pembuatan laporan dan audit. Maka, dengan sistem ini proses keuangan di PLN menjadi sangat terkontrol, canggih dan modern. Sudah bisa dipertandingkan dengan perusahaan kelas dunia lainnya.

Manfaat besar lain dari sistem ini adalah : menyelamatkan teman-teman PLN di seluruh Indonesia dari resiko terperosok lubang yang dalam. Peluang untuk menyeleweng bagi ribuan kasir PLN di seluruh pelosok nusantara menjadi hilang. Peluang untuk terjadinya sebuah kolusi juga berkurang.

Banyak sekali kasus seseorang itu mula-mula sangat jujur dan terpercaya. Dia berubah menjadi penyeleweng semata-mata karena diberi peluang untuk itu. Dalam kasus seperti ini mungkin dosa perbuatan tersebut harus dipikul bersama antara yang menyeleweng dan yang memberikan peluang untuk menyeleweng.

Tapi dengan sistem yang satu itu peluang untuk terjadi penyalahgunaan keuangan kian tertutup. Dengan sendirinya. Kadang sistem memang lebih efektif mencegah kejahatan daripada khotbah –terutama untuk hal-hal yang manusiawi seperti itu. Semoga pencipta sistem anti-kejahatan juga mendapatkan pahala sama besar dengan para pengkhotbah. Maka tak salah bila banyak tokoh Islam yang menyebutkan Amerika Serikat itu lebih islami dari banyak negara berpenduduk mayoritas Islam. Ini antara lain karena banyaknya sistem di sana yang menutup peluang orang untuk berbuat jahat.

Tentu masih banyak manfaat lain dari P2APST yang terlalu panjang untuk dirinci di sini. Yang pasti P2APST harus dicatat dalam sejarah PLN. Bahwa kita di tahun 2011 ini sudah mampu mengubah sistem pengelolaan pembayaran rekening listrik yang semula sangat ruwet itu.

Sebenarnya P2APST direncanakan baru akan berhasil diterapkan di seluruh Indonesia akhir tahun 2012. Namun berkat kerja keras dan kerja cerdas teman-teman PLN di bawah komando Pak Murtaqi ini P2APST bisa diselesaikan bulan lalu. Maju 1,5 tahun! Wilayah sejauh, seterpencil dan serumit Papua pun sudah melaksanakan P2APST.

Maka sejak Juli ini, kalau ada orang di Kaimana, atau Nabire, atau Wamena yang hari ini membayar listrik, hari ini juga, jam ini juga, uangnya sudah sampai di Bu Tjutju Kurnia yang berkantor di lantai 6 PLN Pusat di Jakarta. Ketika semua direksi rapat kerja di Melak, pedalaman Kaltim, dua minggu lalu sistem ini juga sudah bisa berjalan di “ibukota” suku Dayak itu. Warga di tengah hutan itu bisa membayar listrik di agen-agen pembayaran melalui sistem komputer dan uangnya langsung masuk ke sentral keuangan. Maka sekarang ini, Bu Tjutju sudah bisa tahu persis berapa uang masuk setiap hari dari seluruh Indonesia. Tidak lagi tergantung dari laporan yang berjenjang itu.

Saya sangat bersimpati pada teman-teman PLN yang menyiapkan dan mengembangkan sistem ini. Kerjanya siang malam tapi tidak banyak orang yang tahu. Inilah mereka yang bekerja secara diam-diam tapi menghanyutkan! Inilah teman-teman PLN yang bekerja keras tapi tidak akan pernah mendapat apresiasi secara luas. Kerja ikhlas lebih menonjol di sini.

Dengan selesainya P2APST masih ada pekerjaan berikutnya yang menanti kita. Kali ini menjadi giliran teman-teman yang ada di jajaran distribusi di seluruh Indonesia: mencocokkan jumlah kWh yang tersalur dengan berapa besar uang masuk yang seharusnya. Tanpa P2APST pengecekan seperti itu akan memakan energi yang luar biasa dan belum tentu kita mampu melakukannya. Tapi, sekarang, dengan sistem itu teman-teman di jajaran distribusi bisa lebih fokus untuk melihat pelanggan mana yang pembayaran listriknya tidak sesuai dengan jumlah kWh yang tersalur dari jaringan tegangan menengah di suatu lokasi.

Satu lagi pondasi penting yang lagi dibangun di PLN : Si Ujo. Teman-teman di jajaran SDM sedang menyiapkan program uji kompetensi untuk seluruh karyawan PLN. Inilah pekerjaan berat yang untuk menyelesaikannya diperlukan kecerdasan dan ketekunan. Inilah pekerjaan besar yang jauh dari pujian banyak orang.

Sistem uji kompetensi yang dirancang ini tidak kalah canggih dengan P2APST. Penyiapannya sudah selesai. Uji coba sudah dilakukan. Tinggal pelaksanaan uji kompetensinya saja yang Insya Allah dilakukan awal September, setelah lebaran.

Melihat materi uji kompetensi itu saya bisa membayangkan betapa besar pekerjaan ini. Kalau pemrakarsanya tidak memiliki passion yang tinggi tidak mungkin bisa terwujud. Begitu komplit materinya (untuk semua sektor pekerjaan di PLN) dan begitu canggih sistemnya. Sampai-sampai di dalam hati saya terpikir: alangkah cocoknya kalau ujian nasional sekolah menggunakan system Si Ujo ciptaan teman-teman direktorat SDM PLN ini.

P2APST dan Si Ujo adalah dua pondasi penting PLN yang ikut menentukan kejayaan PLN ke depan. Kalau uji kompetensi sudah terlaksana maka enam program besar utama telah terselesaikan oleh PLN tahun ini: mengakhiri krisis listrik, menyelesaikan daftar tunggu, mengakhiri wabah gangguan trafo, menerapkan P2APST di seluruh Indonesia, uji kompetensi untuk seluruh karyawan PLN dan mengakhiri wabah gangguan feeder (penyulang).

Bagaimana dengan mencukupi kebutuhan gas? Tentu direksi tidak akan mau kalah dengan anak buah!
*) P2APST : Pengelolaan dan Pengawasan Arus Pendapatan Secara Terpusat

Dahlan Iskan
CEO PLN

Sabtu, 16 Juli 2011

Dahlan Iskan - CEO PLN Note - Bagaimana dengan Lombok Barat?

Akhirnya saya memutuskan untuk menyerahkan perbaikan kualitas layanan di Lombok Barat kepada pimpinan PLN Lombok. Ini karena pimpinan PLN Lombok sudah bersama-sama saya membicarakan bagaimana cara, metode, dan terobosan untuk mengatasi persoalan Lombok Timur (lihat catatan edisi kemarin). Lombok Barat tentu bisa diselesaikan dengan cara yang sama. Itu juga sekaligus untuk membiasakan jajaran PLN di cabang menyelesaikan persoalan setempat tanpa harus, misalnya, menunggu saya datang. Saya percaya bahwa dengan pengalaman merumuskan penyelesaian kelistrikan Lombok Timur kemarin, cara-cara yang sama bisa ditemukan oleh temanteman PLN di Cabang Lombok untuk memperbaiki pelayanan di Lombok Barat.

Kemarin pagi, waktu saya lebih banyak untuk memecahkan persoalan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Jeranjang di Lombok Barat. Proyek PLTU itu mengalami keterlambatan yang parah. Karena itu dalam rapat yang amat detil kemarin pagi, saya menetapkan tanggal- tanggal yang harus dicapai. Misalnya, kapan water intake selesai, kapan back feeding terlaksana, kapan individual test, kapan komisioning, tanggal berapa penyelesaian pemasangan batu tahan api dan seterusnya. Semua itu disinkronkan agar bisa ditargetkan tanggal 15 Mei bulan depan sudah bisa dilakukan penyalaan api pertama. Yakni api untuk memanasi boiler secara pelan-pelan sehingga si boiler tidak kaget. Penyalaan api pertama ini akan dilakukan dengan menggunakan kayu agar panasnya tidak berlebihan. Setelah itu akan digunakan minyak solar. Setelah itu baru, kelak digunakan batubara.

Tahapan ini dilakukan agar boilernya tidak langsung dipanasi dengan batubara yang suhunya bisa mencapai 600 derajat Celcius. Boiler itu harus dipanaskan dulu 100 derajat, lalu naik pelanpelan mencapai 300 derajat dan akhirnya kelak 600 derajat. Tahapan penting yang masyarakat perlu tahu adalah apa yang akan terjadi di sekitar tanggal 20 Mei. Pada saat itu nanti PLTU akan mengeluarkan suara gemuruh seperti bunyi pesawat jet. Bunyi itu timbul dari boiler yang lagi “dicuci” dengan uap. Pipa-pipa boiler yang ketika dipasang kemungkinan ada kotoran di dalamnya harus dibersihkan. Caranya dengan memasukkan uap ke dalam pipa-pipa itu. Uap tersebut ditahan di dalam pipa sampai tekanan tertentu. Lalu dilepas ke udara. Saat melepas uap itulah timbul bunyi gemuruh. Bunyi itu akan berulang-ulang setiap sekitar 10 menit sampai selama satu minggu. Kalau dalamnya pipa-pipa tersebut sudah dinyatakan bersih bunyi seperti itu tidak pernah ada lagi. Dengan tanggal-tanggal pencapaian itu maka listrik pertama dari PLTU ini harus sudah keluar pada pertengahan bulan Juli. Memang masih banyak kesulitan, tapi harus diatasi dengan kesungguhan yang tinggi.

Misalnya masih banyak peralatan yang belum tiba dari Tiongkok. Temanteman PLN di proyek lantas menganalisis dengan teliti. Kalau kita harus menunggu alat-alat tersebut dari Tiongkok bisa jadi akhir tahun kelak pun belum bisa jadi. Karena itu, PLN minta mereka melakukan pembelian alat-alat tersebut di dalam negeri. Sebab semua yang diperlukan untuk mengganti alat yang ditunggu itu bisa dibeli di Indonesia.

Kontraktor menyetujui jalan keluar ini. Begitulah, sampai jam 12.00 siang rapat belum selesai. Tapi kami senang bisa mencari terobosan itu. Pukul 13,00 kami baru bisa ke Selong, Lombok Timur. Saat makan siang yang sudah kesorean itulah saya kaget. Bupati Lombok Timur tiba-tiba bergabung di restoran. Kami pun membicarakan tindak lanjut pengambilalihan jaringan di Rinjani. Pak Bupati sangat antusias sehingga persoalan pun bisa selesai dengan cepat. (*)

Dahlan Iskan - CEO PLN Note - Memecahkan Jeleknya Pelayanan Listrik di Lombok

Akhirnya saya harus ke Lombok. Begitu mendarat di Mataram kemarin sore, acaranya langsung rapat dengan seluruh jajaran PLN Lombok. Saya ingin tahu sendiri mengapa pengaduan mati lampu begitu luas di Lombok ini. Rapat pun berjalan amat detil. Bahkan saya ingin tahu wilayah per wilayah. Persoalan listrik di Lombok tidak boleh seperti ini. Apalagi, sejak Juni tahun lalu tidak ada lagi persoalan kekurangan daya. Jumlah pembangkit cukup untuk memenuhi beban puncak seluruh Lombok. Persoalan yang muncul sekarang ini murni masalah operasional di lapangan. Tadi malam saya minta soal Lombok Timur didahulukan untuk dibahas. Ternyata benar. Lombok Timur memang sangat menderita. Bayangkan satu jalur distribusi listrik sepanjang 153 kms di Lombok Timur mengalami gangguan 71 kali selama sebulan Maret kemarin. Ini sama saja dengan listrik mati dua kali sehari. Sangat memprihatinkan.
Karena itu kami bahas apa penyebab kejadian yang begitu parah. Inilah gangguan jaringan yang mencapai rekor terparah se Indonesia. Tidak ada di mana pun yang gangguan jaringannya separah Lombok Timur ini. Jaringan yang parah itu selama ini dikenal sebagai ’’Jaringan Rinjani’’. Yakni jaringan peninggalan koperasi listrik Rinjani. Akibat gangguan ini, pembangkit-pembangkit listrik milik PLN ikut mati. Maka dampaknya tidak hanya diderita para pelanggan di sepanjang jaringan 153 kms itu Melainkan juga ke pelanggan di luar itu. Mengingat jaringan sepanjang 153 kms ini menyumbang 60% gangguan di seluruh Lombok Timur, maka rapat saya fokuskan untuk menuntaskan persoalan jaringan Rinjani ini. Kami putuskan 12 langkah sekaligus yang harus dilakukan insan PLN di Lombok Timur. Satu di antara 12 langkah konkret tersebut adalah mengambil alih pengoperasian jaringan itu. Selama ini jaringan tersebut dikelola eks koperasi.
Akibatnya kalau ada gangguan di situ PLN tidak bisa intervensi. Paling-paling PLN hanya menelepon pengelolanya untuk memperbaiki. Soal kenyataannya diperbaiki atau tidak, itu terserah pada pengelola jaringan tersebut. Memang akan banyak masalah yang harus diselesaikan sebelum pengambilalihan itu. Termasuk sekitar 8.000 pelanggan yang belum mampu membayar biaya penyambungan. Untuk itu PLN sudah menyiapkan langkah agar pengambilalihan ini tidak terhambat oleh persoalan itu. Mengingat akhirnya nama baik PLN juga yang tercemar, maka saya putuskan agar jaringan ini diambil alih. Waktunya pun sudah kami tentukan: 15 April minggu depan. Mudah-mudahan tidak ada masalah dalam pengambilalihan ini. Dengan keputusan ini, maka jaringan yang menjadi penyumbang terbesar gangguan loistrik di Lombok Timur akan teratasi. Langkah-langkah lain adalah pertama, pemecahan penyulang Rinjani menjadi 2 penyulang dari PLTD Paokmotong.
Dengan demikian titik gangguan Rinjani ujung dapat terlokalisasi sehingga daerah padam dapat diminimalisasi. Kedua, penyulang yang rawan gangguan dari pohon diganti dengan A3CS/MVTIC. Ketiga, koordinasi relay proteksi dari PLTD Paokmotong sampai ujung jaringan dibetulkan. Keempat, percepatan pembongkaran jaringan eks KLP yang tidak standar (1 phasa). Kelima, total maintenance kontrak penyulang Rinjani dengan SLA yang jelas, baik pemeliharaan preventif maupun korektif. Keenam, mengganti recloser dengan pole mounted circuit breaker di penyulang Rinjani karena setting relay recloser tidak sensitif dengan beban kecil. Ketujuh, mengganti fuse link CO yang saat ini kapasitasnya besar disesuaikan dengan bebannya. Kedelapan, membangun GH di Aikmel untuk memecah menjadi 3 penyulang. Kesembilan, pemasangan LBS Motorized di setiap pencabangan.
Kesepuluh, penyeimbangan beban gardu distribusi/unbalance load. Kesebelas, mempercepat pengoperasian GI Selong dan Pringgabaya. Begitulah, Lombok Timur harus beres sebelum 30 April 2011. Dengan langkah-langkah itu mati lampu bisa dikurangi sangat drastis. Sebab, sekali lagi listrik untuk Lombok sudah cukup. Tinggal manajemennya harus lebih baik. Bagaimana dengan Lombok Barat? Karena sampai tadi malam baru bisa menyelesaikan persoalan Lombok Timur, maka akan diapakan Lombok Barat baru akan dibahas siang ini. Rasanya inilah rapat paling mendetil yang pernah saya lakukan untuk menyelesaikan persoalan pelayanan listrik di suatu daerah di tanah air. Hasil rapat untuk Lombok Timur ini harus sudah dirasakan masyarakat paling lambat akhir bulan ini. (*)

Dahlan Iskan - CEO PLN Note - “Balas Dendam” untuk Kalselteng

Senin, 28 Maret 2011
Saya merasa berhutang besar kepada Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Dua provinsi yang menjadi satu sistem kelistrikan itu termasuk yang kurang sukses dalam menjalankan program mengatasi pemadaman bergilir.
Penyebabnya adalah melesetnya janji pengusaha yang memenangkan tender pengadaan pembangkit di Kalsel-Kalteng (Kalselteng). Bahkan, pengusaha tersebut akhirnya gagal memenuhi kontraknya. PLN kehilangan waktu yang sangat mahal. PLN harus memperbaiki diri dalam kaitannya dengan penilaian terhadap bonafide tidaknya perusahaan yang menjadi pemasok.
Sebagai penebusan atas kekeliruan itu, PLN menetapkan empat langkah sekaligus untuk Kalsel dan Kalteng. Ini saya kemukakan dalam “rapat darurat” dengan para pimpinan PLN di Palangkaraya Sabtu pagi lalu. Saya menggunakan istilah “rapat darurat” karena rapatnya saya adakan di halaman Stadion Toeah Pahoe, Palangkaraya, jam 06.30. Yakni setelah saya bersama teman-teman PLN jalan pagi mengelilingi stadion itu.
Kebetulan di halaman stadion tersebut ada hamparan pasir yang sangat rata karena baru saja terkena hujan malam sebelumnya. Enak sekali pasir itu untuk menuliskan angka-angka kebutuhan listrik di Kalsel-Kalteng. Di situlah kami menganalisis kebutuhan listrik dan bagaimana mengatasinya.
Misalnya, untuk Palangkaraya. Selama ini hanya punya pembangkit 16 MW. Dalam rapat darurat itu, kami memutuskan untuk menambah 22 MW lagi. Kata-kata “menambah” itu sebenarnya kurang tepat karena justru lebih besar daripada pembangkit  yang sudah ada. Sampit yang semula direncanakan hanya akan bertambah 2,5 MW kami ubah untuk sekalian ditambah 10 MW.
Dengan demikian, sebelum hari kemerdekaan nanti Palangkaraya harus merdeka dari kekurangan listrik.Termasuk hotel dan mal yang selama ini masih diminta untuk menghidupkan genset sendiri-sendiri.
Dengan program ini, tidak perlu lagi seperti itu. Hotel, kalau harus memiliki pembangkit sendiri, akan sangat menderita. Bisa-bisa 25 persen hasil jualan kamarnya habis hanya untuk membiayai listrik. Kalau keadaan seperti itu dibiarkan berlangsung terus, iklim investasi di Kalsel-Kalteng sulit bersaing dengan Jawa.
Perbaikan juga akan dilakukan untuk dua daerah  yang selama ini kualitas listriknya jelek. Tegangannya sangat rendah. Tiga daerah itu adalah Kasongan daerah Tumbang Samba, Sampit daerah Parenggean, dan Panggkalan Bun daerah Pangkalan Banteng.
Penyebab buruknya tegangan di tiga daerah tersebut adalah lokasinya yang terlalu jauh dari gardu induk atau dari pusat pembangkit. Jarak dari gardu induk Palangkaraya ke Kasongan Tumbang Sambah  165  km, dari Pembangkit Sampit ke Parenggean 252 km, dan dari Pembangkit Pangkalan Bun ke Pangkalan Bangteng Asem Baru 268 km.
Tidak mustahil kalau listrik yang dikirim dari gardu induk atau pembangkit sudah banyak “hilang” di perjalanan. Untuk itu, di tengah-tengah jarak tersebut akan “diisi” dengan pembangkit skala 2 MW untuk memperbaiki tegangan tersebut.
Perbaikan juga akan dilakukan di Buntok. Beberapa kawasan yang selama ini dilayani dari gardu induk  yang terlalu jauh bakal dialihkan ke sistem Buntok. Demikian juga di Muara Teweh, penyulang yang terlalu panjang akan diawasi secara khusus.
Sabtu lalu saya memang melakukan perjalanan darat dari Muara Teweh, Buntok, hingga Palangkaraya. Meski pinggang serasa dikocok di sepanjang perjalanan, banyak juga ide keluar untuk memperbaiki sistem kelistrikan di wilayah itu.
Empat langkah sebagai “penebusan” dosa tersebut adalah, pertama, mengadakan pembangkit secara cepat yang harus sudah “menyala”. Dalam empat bulan ke depan sebelum 17 Agustus 2011, seluruh Kalsel-Kalteng harus merdeka dari kekurangan pembangkit. Khusus untuk Kalsel masih akan diputuskan minggu ini karena keperluannya jauh lebih besar.
Meski begitu, penambahan tersebut diperlakukan sama, yakni harus sudah beres sebelum 17 Agustus 2011. Dengan demikian, para pengusaha  mal dan hotel di Kalsel juga diperlakukan sama dengan di Kalteng.
Kedua, seluruh daftar tunggu sudah harus habis sebelum 30 Mei 2011. Itu berarti rumah-rumah  yang selama ini meminta listrik dan belum terlayani sudah harus dilayani. Kecuali yang rumahnya memang sangat jauh dari jaringan listrik.
Ketiga, keperluan listrik di beban puncak pun akan dipenuhi  PLN. Dengan begitu, tidak akan ada lagi permintaan dari  PLN agar mal dan hotel harus menyalakan genset sendiri. Permintaan seperti itu hanya akan dilakukan sesekali kalau keadaannya darurat. Misalnya, ada bencana yang mengakibatkan pembangkit PLN rusak. Itu pun PLN akan memberikan biaya kemahalan akibat menyalakan genset sendiri tersebut. Itu sudah harus terjadi sebelum 17 Agustus 2011.
Keempat, mencukupi jangka panjang listrik di Kalsel-Kalteng. Memang sekarang sudah ada dua proyek PLTU. Asam-Asam 2 x 65 MW dan Pulang Pisau 2 x 65 MW. Dua-duanya sudah dalam pengerjaan. Minggu lalu kami putuskan untuk mempercepat tambahan dua lagi. Asam-Asam akan kami tambah pembangkit yang lebih besar lagi, 2 x 100 MW, dan proyek Sampit 2 x 25 MW juga dipercepat.
Selama proyek-proyek besar tersebut belum jadi, listrik di Kalsel-Kalteng bukan berarti tidak cukup. Seperti yang saya sebutkan, dengan penambahan secara besar-besaran yang akan terjadi sebelum 17 Agustus  2011, listrik di dua provinsi tersebut sudah sangat cukup. Cadangannya juga sudah ada. Hanya, semua itu dilakukan PLN dengan harga energi  yang sangat mahal. Itu berarti PLN bakal rugi sangat besar.
Nah, kalau proyek-proyek besar tersebut selesai, harga energi yang didapat PLN akan lebih murah. Sebab, pembangkit-pembangkit besar tersebut menggunakan batu bara. Sedangkan pembangkit  yang bakal kami adakan dalam waktu dekat ini menggunakan BBM yang sangat mahal.
Persoalan lainnya lagi adalah byar-pet atau mati lampu. Kalau masalah-masalah pembangkit tersebut belum terselesaikan, target di bidang mati lampu masih sulit dirumuskan.
Misalnya, pada 2009, mati lampu terjadi sebanyak 150 kali per pelanggan per tahun. Tahun lalu sudah sangat membaik menjadi  50 kali per pelanggan per tahun. Tahun ini secara nasional sebenarnya sudah kami tetapkan harus turun lagi menjadi 9 kali per pelanggan per tahun rata-rata.
Kalau target jumlah mati lampu itu tercapai, kita sebenarnya sudah bisa mengalahkan Malaysia dari segi jumlah terjadinya mati lampu. Tanda-tanda ke arah sana sudah terlihat. Di Palangkaraya, misalnya, di antara 418 unit gardu trafo yang ada, yang dulu sering rusak, selama tiga bulan ini baru dua unit yang rusak. Itu terjadi gara-gara banyak trafo atau gardu  yang kelebihan beban.
Karena itu, jumlah trafo juga akan terus ditambah. Tahun lalu saja PLN membeli lebih dari 10.000 unit trafo distribusi. Tahun ini PLN akan membeli lagi 15.000 unit trafo sejenis. Tentu yang sebagian digunakan untuk Kalsel-Kalteng juga.
Kalau bebang trafo-trafo tahun ini berhasil diseimbangkan, persoalan di Kalsel-Kalteng tinggal ini: mengatasi bagaimana agar kabel-kabel penyulang yang  melewati hutan-hutan itu tidak terganggu oleh pohon yang tumbang. Itulah penyebab mati lampu terbesar di Kalsel-Kalteng tahun depan. (*)

Dahlan Iskan - CEO PLN Note - Tekan Pencurian Listrik dengan Sistem Tender

Komite Yang Tentukan Tarif Listrik
Kamis, 03 Februari 2011
Di India, badan otorita independen tidak hanya untuk jalan tol (lihat bagian pertama tulisan saya kemarin), tapi juga untuk listrik. India memang punya cara sendiri untuk membenahi keruwetan listriknya. “PLN” New Delhi selalu rugi besar dan pelayanannya sangat parah. Pembenahan itu sudah diuji coba di negara bagian New Delhi yang tak lain juga ibu kota India.
Pemerintah negara bagian New Delhi sudah tidak tahan lagi menanggung beban subsidi listrik. Kerugian “PLN”-nya dari tahun ke tahun terus meningkat. Padahal tarif listrik yang dikenakan kepada masyarakat sudah cukup mahal. Jauh lebih mahal dari tarif listrik di Indonesia. Rata-rata sudah sekitar Rp 1.000/kWh (Indonesia rata-rata Rp 730/kWh).
Dengan tarif seperti itu, seharusnya listrik di New Delhi sudah tidak lagi byar-pet. Tapi, kenyataannya byar-petnya gawat sekali. Sebulan 30.000 pengaduan masuk ke “PLN”-nya New Delhi. Padahal jumlah pelanggannya hanya sekitar 4 juta orang (pelanggan Jakarta 3,7 juta, tahun lalu pengaduannya 5.000).
Penyebab utama kerugian itu ternyata di sistem distribusi listrik. Peralatannya sudah tua dan, ini dia yang keterlaluan: pencurian listrik oleh penduduknya luar biasa. Kerugian tersebut kian lama kian besar sehingga “PLN” New Delhi tidak mampu memperbaiki jaringan, mengganti trafo, dan akhirnya jadi pengemis subsidi.
Yang sangat memalukan: kebocoran listrik (loses) di New Delhi mencapai 53 persen. Bandingkan dengan loses di Indonesia yang tahun lalu sudah berhasil diturunkan menjadi tinggal 9,85 persen. Loses yang tidak masuk akal itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Petugas “PLN” India kalah gesit oleh kepintaran rakyatnya mengakali meteran listrik. Operasi pemberantasan pencurian listrik tidak pernah berhasil dilakukan. Hari ini diberantas, besok sudah mencuri lagi.
Saya sempat berkeliling bagian kota yang disebut Old Delhi. Saya masuk gang-gang yang kumuh di kota itu. Saya perhatikan kabel-kabel listriknya malang-melintang dan saling bergulat dengan serunya. Saya membayangkan betapa sulit memang mengatasi pencurian listrik di sana.
Maka, sebagai senjata pemungkas, sampailah pada keputusan ini: mengubah sistem distribusi secara radikal. Distribusi listriknya dikerjasamakan saja dengan swasta. Kalau swasta yang menangani, mau tidak mau menggunakan pendekatan untung-rugi. Petugas penertiban dari swasta akan lebih ampuh dalam bekerja.
Untuk itu, diadakanlah tender. Pemerintah mencari partner swasta untuk mendistribusikan listrik di tiap wilayah. Di New Delhi diadakan tiga paket tender: wilayah utara-barat, wilayah timur-tenggara, dan selatan-barat daya. Peminat tender itu ternyata cukup banyak.
Mengapa? Tarif listrik yang rata-rata Rp 1.000/kWh rupanya cukup menarik bagi swasta. Itu akan berbeda kalau tarif listriknya masih rendah. Dengan tarif seperti itu, asal pencurian listriknya rendah, perusahaan sudah bisa untung.
Tingkat kebocoran itulah yang kemudian menjadi pokok yang ditenderkan. Barang siapa bisa menurunkan loses paling rendah, dialah yang menang tender. Di wilayah Delhi utara-barat, grup Tata (konglomerat nomor satu India) memenangi tender tersebut. Waktu tender, Tata menawarkan: sanggup menurunkan loses dari 53 menjadi 31 persen secara bertahap dalam lima tahun. Ternyata
Tata mampu. Bahkan terlampaui menjadi 24 persen. Dua tahun berikutnya menurun drastis lagi. Akhir Desember 2010, kebocoran listrik di Delhi sudah tinggal 13 persen.
Meski masih kalah oleh Jakarta (tahun lalu Jakarta berhasil menurunkan loses-nya menjadi 8,3 persen), pencapaian itu luar biasa. Dalam delapan tahun turun dari 53 menjadi 13 persen. Maka, Delhi Utara, setelah delapan tahun pembenahan, tercatat sebagai wilayah paling kecil kebocoran listriknya. Loses yang 13 persen tersebut sudah langsung menjadi buah bibir di seluruh negeri.
Di Indonesia saat ini sudah banyak daerah yang loses-nya tinggal 6 persen (sudah setara dengan di Korea). Misalnya, di Surabaya Barat, Bukittinggi, Salatiga, dan banyak lagi. Namun, masih ada satu daerah lebih buruk dari New Delhi. Yakni, di Madura yang loses-nya masih 15 persen (sudah turun dari 24 persen dua tahun lalu tapi masih yang tertinggi di Indonesia).
Kalau saja dalam beberapa tahun ke depan loses di New Delhi bisa mencapai apa yang terjadi di Jakarta, perusahaan patungan swasta-pemerintah tersebut bisa meraih untung yang cukup. Maksudnya, cukup untuk terus memperbarui peralatan listriknya.
Demikian juga, pemerintah negara bagian New Delhi tidak lagi direpotkan oleh subsidi. Dengan penanganan seperti sekarang saja, penghematan subsidinya mencapai USD 3 miliar (sekitar Rp 27 triliun) tahun lalu. Dan yang lebih penting, masyarakat tidak ribut karena byar-petnya teratasi dan pengaduannya menurun drastis.
Dari mana perusahaan distribusi tersebut mendapat pasokan listriknya?
Di India, seperti juga di banyak negara, perusahaan listriknya tidak monopoli dari hulu sampai hilir, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan, seperti PLN. Masing-masing negara bagian memiliki perusahaan khusus untuk mendistribusikan listrik.
Perusahaan-perusahaan distribusi itu masing-masing membeli listrik sendiri-sendiri pula dari perusahaan-perusahaan pembangkit listrik. Tiap tahun perusahaan distribusi listrik tersebut melakukan tender pembelian listrik. Perusahaan pembangkit yang menawarkan listrik termurah, dialah yang menang.
Bagaimana kalau perusahaan pembangkitnya itu berada jauh di selatan, sedangkan New Delhi di Utara? India, sebagaimana juga di negara lain, memiliki perusahaan transmisi secara nasional. Listrik dari pembangkit tersebut dialirkan ke perusahaan distribusi dengan cara membayar sewa transmisi. Dengan demikian, perusahaan transmisi mirip dengan perusahaan jalan tol. Mengenakan tarif untuk listrik yang lewat berdasar besarnya daya dan jauhnya jarak.
Di samping membeli listrik lewat tender seperti itu, perusahaan distribusi listrik kadang juga membeli listrik secara spot. Misalnya, kalau tiba-tiba ada lonjakan pemakaian listrik pada jam-jam tertentu. Mengingat banyaknya perusahaan distribusi dan perusahaan pembangkit, transaksi listrik itu terus terjadi sepanjang hari. Mirip dengan yang terjadi di bursa saham.
Dengan naiknya harga batu bara dan gas belakangan ini, pembelian listrik dari perusahaan pembangkit juga naik. Itu memukul perusahaan distribusi mengingat tarif listrik kepada pelanggan tidak bisa mengikuti kenaikan harga beli listrik. Perusahaan-perusahaan distribusi itu pun lantas meminta kenaikan tarif listrik kepada badan otorita yang independen tadi.
Di India, badan independen itulah yang menentukan tarif listrik. Bukan pemerintah atau DPR seperti di Indonesia. Komite tersebut memang ditunjuk pemerintah, tapi tidak bertanggung jawab kepada pemerintah. Komite itu benar-benar independen.
Seperti komite gaji wali kota dan anggota DPRD di Jepang. Di Jepang, gaji seorang bupati/wali kota dan anggota DPRD ditentukan oleh komite yang ditunjuk pemda. Anggota komite tersebut terdiri atas sembilan orang. Ada pengusahanya, petani, guru, pensiunan, dan sebagainya. Komite itulah yang menilai berapa sebaiknya gaji para pejabat tersebut.
Demikian juga komite listrik di India. Komite itu berisi berbagai unsur yang dianggap mengerti listrik dan bersifat independen. Komite tersebut bisa mewakili perasaan masyarakat, kalangan industri, dan bisa mengerti juga kesulitan perusahaan listrik. Tidak selalu permintaan kenaikan tarif dikabulkan.
Komite akan membahas usul kenaikan tarif secara komprehensif. Perusahaan listrik akan dievaluasi dulu, apakah permintaan kenaikan tarif tersebut wajar atau tidak. Bisa saja setelah dievaluasi ternyata ketahuan kinerja perusahaan listrik tersebut yang kurang baik. Misalnya, loses-nya yang masih tinggi. Karena itu, di dalam komite tersebut terdapat ahli-ahli manajemen, ahli loses, ahli pembangkitan, dan seterusnya.
Sebaliknya, kalau secara objektif melihat tarif listrik sudah seharusnya naik, komite akan menaikkannya. Kalau tidak, perusahaan listrik tersebut akan merugi dan ujung-ujungnya akan byar-pet lagi. Sekali komite itu sudah menetapkan tarif listrik yang baru, pemerintah dan DPR tidak bisa ikut campur.
Adanya komite listrik maupun komite jalan tol ternyata menjadi solusi bagi negara demokrasi untuk mempercepat kemajuan pembangunan infrastrukturnya.(***)

Dahlan Iskan - CEO PLN Note - “Pembunuhan Berencana” Bernilai Triliunan Rupiah Setahun

Uji Coba di Tanjung Perak Dulu, Indonesia Timur Bisa Maju
Inilah  “pembunuhan berencana” yang tidak melanggar pasal 340 KUHP (pasal tentang pembunuhan berencana, Red). Inilah “pembunuhan berencana” yang akan bisa menghemat minimal Rp 1 triliun setahun. Inilah “pembunuhan berencana” yang harus dilakukan karena kepepet: di satu pihak jengkel tidak mendapatkan gas, di pihak lain harus melakukan efisiensi secara besar-besaran.
Yang akan “dibunuh” adalah pembangkit listrik yang amat besar di berbagai lokasi. “Pembunuhan” pertama sedang dilakukan secara kecil-kecilan di Tanjung Perak, Surabaya. “Pembunuhan” kedua akan dilakukan secara besar-besaran di Tambak Lorok, Semarang, pertengahan tahun ini. Lokasi lain menyusul karena masih dikaji oleh teman-teman di PLN.
Semua orang tahu bahwa PLN selama ini memiliki banyak sekali pembangkit listrik yang “salah makan”. Pembangkit-pembangkit itu seharusnya diberi “makan” gas. Namun, karena tak ada gas, pembangkit-pembangkit tersebut terpaksa diberi “makan” solar. Mahalnya minta ampun. Di sinilah pemborosan triliunan rupiah terjadi setiap tahun. Entah sudah berapa lama.
Di Semarang, misalnya. Pembangkit listrik sebesar hampir 1.000 MW (kalau dibangun sekarang, menelan dana sekitar Rp 15 triliun) mestinya bisa diberi “makan” gas.
Ada dua skenario untuk mendapatkan gas di situ. Pertama, dari proyek yang disebut pipa gas trans-Jawa. Inilah “jalan tol” gas yang melintang dari Jakarta ke Surabaya lewat Semarang. Pemegang izin proyek tersebut  sudah lama ada, tetapi kabar pembangunannya tidak pernah nyata. Di atas kertas, kalau pipa gas trans-Jawa itu dibangun, fleksibilitas distribusi gas menjadi luar biasa.
Skenario kedua bisa mendapatkan gas dari lepas pantai Semarang. Sumur gasnya ada. Milik Petronas, perusahaan (BUMN) minyak dan gas Malaysia. Petronas sudah setuju menjual gas kepada PLN. PLN juga sudah setuju untuk membeli. Harganya pun sudah disepakati.
Tetapi, transaksi itu tidak bisa terjadi. Gara-garanya sepele: menentukan siapa yang harus membangun pipanya. Untuk membangun pipa dari sumur gas ke Semarang, Petronas tidak diperbolehkan. PLN juga tidak. Begitulah peraturannya. Harus ditunjuk tersendiri siapa yang boleh membangun pipa tersebut.
Kalaupun sampai sekarang pipa itu belum terbangun, bukan karena sulit. Justru karena proyek tersebut termasuk bisnis yang amat menggiurkan. Gula itu kian manis kian banyak semut yang mengincar. Padahal, antarsemut tidak dilarang untuk saling mendahului atau saling berebut.
Akibat perebutan antarsemut itu, PLN menjadi korban. Kesimpulannya: PLN tidak boleh terlalu berharap dari dua skenario tersebut. Harus dicari terobosan lain untuk melakukan efisiensi.
Memang, kalau saja Tambak Lorok bisa mendapatkan gas, akan bisa menghemat biaya separo. Kinerja pembangkit itu juga bisa meningkat 15 persen karena tidak lagi “salah makan”.
Memang, sudah lama teman-teman di PLN jengkel dalam menghadapi kelangkaan gas seperti itu. Tetapi, jengkel saja tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, bisa merugikan kejiwaan. Maka, saya meminta para ahli di PLN yang jumlahnya luar biasa banyak itu berpikir di luar kebiasaan. Energi jengkel dialihkan untuk menciptakan terobosan.
Maka, lahirlah ide besar ini: melakukan “pembunuhan berencana” secara besar-besaran. Yang harus “dibunuh” adalah pembangkit listrik di Semarang yang borosnya bukan main. Kalau sukses, “pembunuhan” itu akan bisa menghemat biaya sekurang-kurangnya Rp 1 triliun setiap tahun.
Ahli-ahli di PLN sudah menemukan caranya. Begini: Kebutuhan listrik di Semarang adalah 900 MW. Karena itu, di Semarang disediakan pembangkit listrik hampir 1.000 MW di Tambak Lorok. Alangkah besarnya. Hampir sama dengan listrik yang tersedia untuk seluruh Indonesia Timur. Untuk bisa mematikan pembangkit di Semarang itu harus bisa menemukan pasokan listrik dalam jumlah yang sama sebagai penggantinya.
Diskusi dilakukan berkali-kali. Ditemukanlah beberapa sumber listrik lain untuk Semarang. Pertama, dari GITET (gardu induk tegangan ekstratinggi) di Ungaran, selatan Semarang. Teman-teman PLN memutuskan untuk memasang trafo IBT (interbus transformer) tambahan di Ungaran. Tambahan IBT itu akan bisa mengalirkan listrik ke Semarang 400 MW. Sumber listriknya diambilkan dari sistem 500KV trans-Jawa.
Kekurangan 500 MW lagi akan diambilkan dari pembangkit baru di Rembang (2 x 300 MW) yang sudah hampir jadi. Dari Rembang, listrik akan dialirkan dengan sistem 150 KV ke Semarang. Di luar itu, masih akan ada back-up dari pembangkit baru Tanjung Jati yang juga segera selesai.
Maka, cukuplah listrik untuk Semarang tanpa harus menghidupkan pembangkit yang “salah makan” itu. Dari pemikiran tersebut, penghematan yang luar biasa besar bisa dilakukan segera. Tidak lagi menunggu gas yang entah kapan akan tiba di Semarang. Dengan demikian, fungsi pembangkit listrik di Tambak Lorok itu bakal berubah. Hanya akan disuruh jaga-jaga kalau-kalau ada kerusakan di sistem 500, di GITET Ungaran, atau di transmisi dari arah Rembang.
Sebagai “latihan” untuk “pembunuhan berencana” itu, teman-teman PLN kini sedang mencoba secara lebih kecil di Surabaya. Di Tanjung Perak, beroperasi pembangkit sebesar 100 MW (2 x 50 MW). Ini juga “salah makan”. Satu pembangkit itu saja besarnya sudah sama dengan seluruh pembangkit PLN di Provinsi NTT, Maluku Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat jika dijadikan satu. Kalau saja pembangkit di Tanjung Perak tersebut berhasil dimatikan dan BBM-nya dialihkan untuk melistriki provinsi-provinsi itu, alangkah majunya Indonesia Timur.
Setelah pembangkit di Tanjung Perak dimatikan, dari mana mendapatkan ganti 100 MW? Teman-teman PLN sudah menemukan sumbernya: dari GITET Ngimbang (antara Babat-Jombang). Saya sudah berkunjung ke GITET itu dan pembangunannya memang sudah selesai. Satu sirkuit sudah berfungsi dan satu sirkuit lagi sedang diuji coba.
Apalagi, fungsi pembangkit di Tanjung Perak tersebut ternyata lebih banyak sebagai penghasil tegangan reaktif. Listrik untuk Surabaya sendiri cukup dari sistem 500 KV. Terlalu boros kalau, untuk keperluan daya reaktif, harus menghidupkan pembangkit begitu besar, yang cukup untuk melistriki lima provinsi di Indonesia Timur.
Bagi Surabaya, yang rawan justru macetnya proyek GITET Surabaya Selatan sehingga bisa saja Surabaya terkena pemadaman berat kalau terjadi gangguan di sistem itu. Kini sedang diupayakan bagaimana proyek yang macet sejak 12 tahun lalu tersebut bisa bergerak lagi.
Kalau “pembunuhan berencana” di Tanjung Perak dan Semarang itu berhasil tahun ini, tidak tertutup kemungkinan cara yang sama akan dilakukan di beberapa lokasi lain di Jawa.
Entah berapa triliun rupiah lagi akan bisa dihemat!
Kepepet memang sering membuat orang lebih kreatif. Gara-gara kepepet tidak mendapat gas, ditemukanlah cara berhemat yang lain. Tetapi, bukan berarti tidak memberikan gas ke PLN bisa diterus-teruskan! (*)
Dahlan Iskan
CEO PLN

Dahlan Iskan - CEO PLN Note - Tahun 2011, Tahun Mencangkul Yang Dalam

Apa yang akan berubah di tahun 2011?
Akan banyak sekali. Salah satunya mengenai Rapat Direksi PLN. Akan ada lima orang setingkat Kepala Cabang yang diminta ikut Rapat Direksi setiap Selasa jam 07.00 sampai jam 10.00 itu. Berarti dalam sebulan akan ada 20 orang setingkat Kepala Cabang yang ikut merasakannya. Siapa mereka? Mereka bisa saja Kepala Cabang atau Kepala Sektor atau Manajer Proyek.
Untuk Kepala Cabang yang diundang adalah Kepala Cabang yang sudah berhasil mengalahkan Malaysia di daerahnya! Bukan untuk membalaskan dendam timnas sepakbola yang gundul 0-3 di stadion Bukit Jalil Kuala Lumpur, tapi itulah memang target PLN tahun 2011: mengalahkan Malaysia. Rupanya harus PLN dulu yang mengalahkan Malaysia. Baru, kelak, sepak bolanya.
Apa ukuran “mengalahkan Malaysia” itu? . Ukurannya adalah masyarakat mengakui bahwa kita sudah menang. Tapi tidak ada ukuran sama sekali juga –meminjam istilah Srimulat—hil-hil yang mustahal. Maka kita akan memakai standar internasional yang sudah baku: berapa kali mati lampu, berapa lama mati lampu, berapa banyak pengaduan, berapa lama menangani pengaduan dan –apa boleh buat: ratio elektrifikasi.
Malaysia sendiri, seperti halnya Indonesia, bukan merupakan kesatuan sistem kelistrikan. Ada sistem Semenanjung, sistem Serawak dan sistem Sabah. Agar pertandingan ini head-on, maka PLN di Indonesia Timur dalam tahun 2011 harus sudah bisa mengalahkan Malaysia Timur, khususnya Sabah! Seperti apa listrik di Sabah, akan ada parameter dari sana. Saya sering sekali ke Sabah tapi tidak pernah memperhatikan listriknya. PLN Indonesia Barat, harus bisa mengalahkan Serawak! Sehebat apakah kelistrikan di Serawak? Saya juga belum tahu. Saya memang sering ke Kuching tapi sudah lama, sebelum masuk PLN dulu. Tidak pernah memperhatiman kualitas listriknya.
Sedang PLN Jawa-Bali harus bisa mengalahkan Malaysia-Semenanjung. Saya juga sering ke Semenanjung (termasuk pernah merasakan satu malam suntuk naik kereta api Senandung Malam) tapi juga tidak tahu kualitas kelistrikan di situ.
Maka dalam Rapat Direksi pertama tahun 2011 hari Selasa 4 Januari 2011 sudah akan diketahui siapa lima Kepala Cabang pertama yang ikut Rapat Direksi. Silakan para Pimpinan Wilayah mendaftarkan ke Sekper siapa saja anak buahnya yang sudah pantas ikut Rapat Direksi itu. Pimpinan Wilayah sendiri tidak ikut diundang karena sudah sering ikut Rapat Direksi dan bahkan Pimpinan Wilayah adalah bagian dari Direksi itu sendiri.
Ada maksud tertentu untuk mengajak setingkat Kepala Cabang dalam Rapat Direksi: kaderisasi kepemimpinan. Kepala Cabang umumnya adalah generasi muda yang akan menjadi sumber utama rekrutmen pemimpin masa depan. Inilah bentuk magang kepemimpinan yang nyata. Saya dan seluruh Direksi PLN sekarang sangat mempercayai bahwa magang adalah proses penting dalam pendidikan. Kami juga menyadari hanya anak muda yang bisa membuat perubahan besar. Dengan sekolah, seseorang mendapatkan ilmu. Dengan magang seseorang mendapatkan ilmu sekaligus sikap karakternya. Pemimpin tidak hanya harus pandai, tapi juga harus berkarakter. Yang terakhir itu tidak akan bisa didapat di jenjang pendidikan formal.
Dengan kehadiran lima orang setingkat Kepala Cabang dalam Rapat Direksi, perusahaan juga mendapat manfaat yang besar. Program yang dibuat Direksi bisa ditanyakan langsung ke tingkat pelaksana. Dengan demikian Direksi akan langsung tahu apakah program tersebut workable atau hanya program kuntilanak –yang tidak menginjak bumi.
Dari rapat-rapat itu pula kami akan mengetahui dan memonitor siapa saja Kepala Cabang dan kepala-kepala unit yang punya potensi besar untuk memikul tanggung jawab ke depan.
Ya. Tidak hanya Kepala Cabang. Dalam rapat itu juga akan diundang kepala-kepala unit PLN lain, yang juga akan jadi sumber rekrutment pemimpin masa depan. Hanya ukurannya masih sedang dirumuskan. Untuk unit pembangkit mungkin akan mengenakan ukuran world class. Untuk unit pemeliharaan juga demikian. Termasuk P3B. Unit pembangkit besar yang operasinya sudah mencapai world class akan diundang ke Rapat Direksi. Demikian juga unit pemeliharaan dan P3B. Unit PLTU, PLTG dan diesel tidak akan dibedakan. Sebab mengoperasikan diesel pun ada kelas dunianya.
Target program ini adalah juga untuk melihat siapa saja orang-orang yang setingkat Kepala Cabang yang bisa dan mau “mencangkul”. Perusahaan tidak mau lagi memiliki seorang Kepala Cabang atau Kepala Unit yang pekerjaannya hanya “mengasah cangkul sehari penuh”, tapi tidak mau “mencangkul”. Harus ada keseimbangan porsi antara “mengasah dan memelihara cangkul” dengan menggunakan cangkulnya. Tidak mungkin perusahaan maju kalau orang-orangnya mengasah cangkul selama tujuh jam dan hanya menggunakan cangkulnya satu jam!
Sesekali rapat juga akan mengundang mereka yang levelnya atau umurnya yang sudah di atas tingkat Kepala Cabang. Tapi akan dipilih dari mereka yang benar-benar tua-tua keladi –meski sudah lebih tua tapi masih mau berkelahi!
Tahun 2011 adalah juga tahun ketika kita memasuki semester tiga. Pelajaran dua semester sudah kita lewati –entah dengan nilai berapa.
Di semester ketiga ini Direksi sudah tidak akan mau lagi mengurus penyulang yang sering gangguan, penyulang yang terlalu panjang, penyulang yang tidak aman oleh pohon, trafo distribusi yang hamil, trafo yang kapasitasnya terlalu besar (1000 atau 630), salah grounding, tidak adanya arrester dan persoalan-persoalan sekelas itu lainnya.
Semua itu adalah pelajaran semester satu dan dua. Kalau di semester tiga nanti kita masih juga berkutat dengan tetek-bengek itu maka –maaf– PLN hanya akan mendapat bengek-nya saja!
Soal-soal tetek-bengek itu sepenuhnya sudah menjadi urusan Kepala Cabang dan Ranting. Kalau di suatu daerah masih juga mengalami masalah kronis di bidang itu, tindakannya sudah akan sangat berbeda. Bukan trafonya yang diganti, tapi Kepala Cabang atau Rantingnya.
Maka kita tidak akan lagi mau mendengar penyulang sering terganggu sampai menjatuhkan diesel seperti  di Mataram itu. Betapa tidak pedulinya struktur kepemimpinan di situ kalau di akhir tahun 2010 (setelah dua semester), masih ada persoalan seperti itu. Kita juga tidak mau lagi mendengar kasus di Jambi yang listrik masih begitu sering padam.
Mula-mula saya tidak percaya ketika orang-orang yang ikut gerak-jalan pagi di Jambi dulu itu mengeluh bahwa di kawasannya listrik masih sering mati. Saya pikir itu hanya omongan orang yang nyinyir. Tapi ketika majalah TEMPO kemudian menulis hal yang sama, mau tidak mau saya ikut pusing.
Saya juga tidak ingin lagi mendengar bahwa seorang Kepala Cabang dengan bangga mengemukakan bahwa gangguan penyulang dan trafo di wilayahnya “sudah tinggal di atas 50 kali sebulan”! Saya tahu “tinggal di atas 50 kali sebulan” itu sudah satu prestasi besar. Sebab di masa lalu gangguan itu bisa ratusan kali. “Tinggal di atas 50 kali sebulan” memang sebuah peningkatan yang drastik, tapi masyarakat hanya akan ingat 50 kali itu. Tidak akan ingat meningkat drastisnya itu.
Dalam dua semester kemarin saya juga sering mendapat kesan bahwa orang PLN di daerah masing terkotak-kotak. Saya mendapat kesan bahwa satu bagian di PLN masih seperti dipisahkan oleh lautan yang luas dengan bagian lainnya. Bahkan seorang Kepala Cabang tidak merasa gelisah ketika di daerahnya mati lampu –hanya karena penyebab matinya itu adalah gangguan transmisi. Di mata dia seolah transmisi itu bukan PLN! Demikian juga, seorang Kepala Cabang tidak merasa gelisah ketika di wilayahnya mati lampu –hanya karena dieselnya rusak. Seolah-olah mati lampu karena diesel rusak bukan tergolong mati lampu!
Tahun 2011, karena itu, ada perubahan ini: Kepala Wilayah memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengganti Kepala Cabang. Pusat tidak banyak ikut lagi. Pimpinan Wilayah bisa langsung mengusulkan penggantian seorang Kepala Cabang. Pusat akan menyodorkan lima calon pengganti untuk dipilih salah satunya. Tidak ada backing-backing-an. Tidak ada tangis. Tidak ada rayuan –rayuan seindah pulau kelapa sekali pun. Semua proses itu akan berlangsung hanya satu minggu! Sejak Kepala Wilayah minta penggantian sampai ditetapkannya pengganti. Tidak ada lagi penggantian Kepala Cabang yang Kepala Wilayahnya tidak tahu. Kini justru Kepala Wilayah yang lebih menentukan.
Ada jalan lain yang lebih elegan. Para Kepala Cabang atau Ranting yang kira-kira memang tidak mampu mengalahkan Malaysia di daerahnya akan lebih baik kalau segera melapor kepada Kepala Wilayah: minta diganti. Saya akan lebih menghargai teman-teman yang punya sikap demikian. Jabatan bukanlah untuk gagah-gagahan. Banyak tempat pengabdian lain di luar jabatan yang lebih diridhoi oleh Tuhan.
Tahun 2011 adalah tahun melupakan prestasi apa saja yang sudah kita lakukan di tahun 2010. Kita lupakan “perasaan berjasa” bahwa di tahun 2010 kita pernah berjasa menyelesaian krisis listrik yang begitu berat. Pujian orang itu ada batasnya. Pujian bahwa PLN hebat karena bisa mengatasi krisis listrik tidak akan lama. Dua bulan lagi jangan harap kita masih akan mendengar pujian seperti itu. Orang yang terlalu lama berharap terus mendengar pujian seperti itu ibarat orang berjalan sambil melamun: tiba-tiba saja kepalanya akan menabrak tiang listrik!
Demikian juga pujian dari Komisi VII DPR itu. Memang langka! DPR memuji unsur pemerintah, seperti PLN. Di DPR biasanya hanya caci-maki yang kita dengar. PLN, di samping mendengar caci-maki juga mendapat pujian. Resmi. Dalam sebuah keputusan sidang komisi. Tapi lupakan pujian itu. Kalau ada yang masih menyimpan risalah putusan Komisi VII DPR itu, jangan buka lagi. Itu bisa membuat kita, seperti judul lagu dangdut, terlena.
Lupakan juga undangan minum teh di Istana Presiden SBY. Anggap saja peristiwa itu sudah terjadi satu abad yang lalu.
Apalagi penghargaan tutup tahun sebagai “Marketer of The Year 2010” itu. Gombal! Lupakan. Itu bukan hanya racun, tapi racun berbungkus madu. Sangat membahayakan. Membunuh dengan cara manis!
Tahun 2011 adalah tahun ketika pujian belum tentu datang.
Semester tiga ini juga akan seperti mesin jam. Akan berjalan sangat cepat. Apalagi kita sudah menetapkan bahwa kita hanya punya waktu lima semester! Bukan delapan semester apalagi 10 semester.
Transformasi PLN harus sudah selesai dalam lima semester. Kalau ini bisa terwujud maka transformasi  PLN akan lebih cepat dari Bank Mandiri maupun Garuda Indonesia. Saya sendiri berkeyakinan penuh bahwa transformasi itu bisa selesai tepat waktu. Saya melihat orang-orang PLN adalah orang-orang yang jauh lebih berkualitas dibanding orang-orang BUMN mana pun!
Sumpah!
Asal jangan direpoti oleh tetek-tetek bengek yang tadi!!!
Dahlan Iskan
CEO PLN

Dahlan Iskan - CEO PLN - Kecepatan Kereta Cepat yang Amat Cepat

Tentu saya mencoba ini: naik kereta cepat jurusan Beijing -Shanghai yang masih kinyis-kinyis. Saya memang sudah mengaguminya sejak kereta ini direncanakan. Waktu itu, sambil berbaring di rumah sakit menunggu dilaksanakannya operasi ganti hati, saya bertekad, kalau saja diberi kesehatan dan umur panjang, saya akan mencoba kereta ini.

Inilah kereta cepat yang direncanakan dengan cepat dan dilaksanakan dengan cepat. Padahal, panjang jalur ini 1.350 km, hampir sama dengan Jakarta-Medan atau Jakarta-Makassar. Tepat 1 Juli lalu, bersamaan dengan hari kelahiran Partai Komunis Tiongkok, kereta ini sudah jadi dan sudah dioperasikan. Kalau saja saya tidak menjabat CEO PLN, tentu saya ingin mencobanya di hari pertama. Tapi, karena sekarang saya bukan lagi orang bebas, kesempatan itu baru datang di hari ke-18, saat saya ada urusan di Chengdu, Chongqing, Beijing, dan Shanghai.

Memasuki gerbong kereta ini, saya tidak begitu kaget. Ini bukan kereta tercepat yang dimiliki Tiongkok. Juga bukan kereta termewah di negeri itu. Saya sudah mencoba kereta tercepat di dunia yang dibangun Tiongkok dengan interior yang lebih mewah: maglev! Yang kecepatannya 430 km/jam. Yang menghubungkan bandara Shanghai Pudong ke kota Shanghai.

Saya juga sudah mencoba kereta yang kecepatannya 350 km/jam dan interiornya juga lebih mewah. Yakni, kereta cepat jurusan Tianjin-Beijing (jarak 200 km ditempuh dalam 29 menit) dan kereta cepat yang sama jurusan Shanghai-Hangzhou yang jaraknya sekitar 300 km.

Sebaliknya, saya juga pernah naik kereta malam tradisional di Tiongkok. Yang kecepatannya masih 120 km/jam. Yang di setiap kabinnya terdapat empat tempat tidur. Yakni, tempat tidur susun dua seperti kereta Bima jurusan Surabaya-Jakarta. Dulu jurusan Beijing-Shanghai dilayani kereta jenis ini. Jarak tempuhnya 9 jam. Harga karcisnya Rp 600.000/orang. Banyak penumpang memilih berangkat petang atau agak malam agar tiba di tujuan pagi hari dalam keadaan segar karena bisa tidur sepanjang perjalanan.

Meski kini sudah ada kereta cepat yang baru, kereta jenis lama itu tidak dihapus. Hanya tinggal dua kali sehari. Sedangkan jadwal kereta cepatnya 42 kali sehari. Dengan kecepatan 300 km/jam, jarak Beijing-Shanghai ditempuh 4,50 menit.

Harga karcis kereta ini cukup mahal: Rp 850.000/orang untuk kelas ekonomi dan Rp 1,2 juta untuk kelas eksekutif. Dengan harga segitu, tentu inilah tiket kereta yang lebih mahal daripada pesawat terbang. Tiket pesawat Beijing-Shanghai bisa diperoleh dengan harga Rp 800.000 untuk kelas ekonomi. Apalagi pada hari-hari pertama beroperasinya kereta cepat ini. Ada penerbangan yang mendiskon tiket pesawat hingga 50 persen. Sebagian karena ketakutan yang tidak berdasar, sebagian lagi memang ngeri kehilangan penumpang.

Setelah kereta cepat ini dua minggu beroperasi, barulah perusahaan penerbangan merasa sedikit lega. Yakni, setelah kereta cepat ini mengalami gangguan. Sistem listriknya down sebanyak empat kali. Bukan disebabkan pemadaman bergilir, tapi karena terjadi gangguan sistem. Penumpang kecewa karena kereta terlambat sampai dua jam. Ternyata memang ada yang kurang sempurna pada sistem listrik kereta ini. Terutama untuk mengahadapi cuaca ekstrem: badai atau petir. Banyak penumpang yang kembali memilih pesawat. Perang diskon pun tidak terjadi lagi. Tarif pesawat kembali normal.

Susunan kursi di kereta ini mirip dengan di pesawat, tapi lebih lapang. Jarak dengan kursi depannya sangat longgar. Dengan kursi seperti itu, banyak penumpang yang langsung terlelap. Apalagi tidak ada gangguan suara glek-glek, glek-glek, glek-glek dari rodanya.

Di tengah lelapnya penumpang itu, tiba-tiba banyak yang terbangun. Yakni, ketika dari balik pintu yang memisahkan satu gerbong dengan lainnya terdengar teriakan orang yang sangat keras dengan nada marah yang hebat. Ketika pintu tertutup, suara itu hilang. Tapi, setiap pintu terbuka karena ada orang yang hendak ke toilet, suara itu kembali mengagetkan seluruh penumpang. Tiga jam lamanya orang itu berteriak-teriak seperti itu di telepon genggamnya. Tanpa henti. Dari kata-katanya dengan jelas bisa diketahui bahwa dia sedang bertengkar dengan ceweknya. Entah istri, entah pacar. Dia mengutuk habis-habisan ceweknya yang keluar rumah sampai jam 02.00. Dan segudang maki-makian lainnya.

Saya sendiri tidak menghiraukan. Saya memang memutuskan untuk tidak tidur sepanjang perjalanan ini. Tapi, itu karena saya ingin tahu apa saja yang terjadi sepanjang perjalanan. Saya juga berjalan-jalan ke gerbong ekonomi, ke gerbong restoran, dan ke toiletnya yang dua macam itu: duduk dan jongkok.

Tentu saya juga ingin tahu bagaimana kalau kereta ini melewati stasiun besar. Apakah tetap dengan kecepatan 300 km/jam atau dilambatkan. Stasiun besar pertama yang harus dilewati adalah Tianjin, kota yang saya pernah lama tinggal di sana. Memang tidak semua kereta cepat singgah di Tianjin. Yang saya naiki ini, GT 98, yang berangkat jam 16.00 dari Beijing, termasuk yang tidak berhenti di Tianjin.

Ternyata untuk kereta yang tidak perlu berhenti di Tianjian tidak perlu melewati stasiunnya. Ada rel khusus yang mem-by-pass. Keretanya tidak perlu masuk kota Tianjin, melainkan melambung di luar kota.
Meski jalur kereta Beijing-Shanghai ini melewati banyak kota, yang saya naiki ini hanya berhenti di dua stasiun: Jinan (ibu kota Provinsi Shandong) dan Nanjing (ibu kota Provinsi Jiangshu).

Ke depan, banyak sekali jalur kereta cepat jarak jauh seperti ini dibangun di seluruh Tiongkok. Tiongkok tidak akan lagi mengembangkan kereta maglev yang kecepatannya 430 km/jam. Terlalu mahal. Juga tidak lagi mengembangkan kereta dengan kecepatan 350 km/jam seperti jurusan Beijing-Tianjin karena terlalu boros listrik.

Menurut hasil studi di Tiongkok, kecepatan kereta yang paling ekonomis adalah 270 km/jam. Dari segi kecepatan sudah sangat cepat. Dari segi pemakaian listrik masih maksimal. “Kalau ingin kereta dengan kecepatan 350 km/jam atau lebih, sebaiknya tidak boleh lagi dengan sistem roda yang menempel di rel,” ujar hasil studi itu. Sepanjang masih menggunakan sistem roda yang menempel di rel, sebaiknya kecepatan maksimal 270 km/jam.

Itu ada pengecualian. Kecepatan 300 km/jam masih ekonomis manakala ditemukan sistem penghemat listrik. Sebenarnya beban listrik yang sangat besar terjadi saat kereta mulai berangkat. Tarikan pertama di setiap stasiun itulah yang memakan banyak listrik. Untuk menghindari hal itu, Tiongkok sedang menyiapkan sistem baru: jangan ada kereta yang berhenti di stasiun. Cukup mengurangi kecepatannya sambil “menyaut” gerbong baru yang sudah disiapkan berikut penumpangnya di stasiun itu.

Kalau sistem itu nanti berhasil, penumpang di suatu stasiun sudah harus naik gerbong sebelum kereta tiba di situ. Gerbong tersebut letaknya di atas dan harus siap digendong kereta yang segera menyautnya di stasiun itu. Dengan demikian, keharusan berhenti di stasiun bisa dihindari dan konsumsi listrik bisa lebih kecil.

Kini juara I, juara II, dan juara III kereta tercepat di dunia ada di Tiongkok. Ini kian meneguhkan posisi negara itu sebagai calon superpower baru. Kian bulat pendapat ahli yang mengatakan bahwa Tiongkok akan berhasil melampaui Amerika Serikat tahun 2016. Tidak lama lagi. Pada tahun itu, size ekonomi Tiongkok naik USD 8 triliun, dari USD 11 triliun saat ini menjadi USD 19 triliun pada tahun 2016. Sedangkan zise ekonomi Amerika Serikat hanya naik USD 3 triliun, dari USD 15 trilun saat ini menjadi USD 18 triliun pada tahun 2016. Semoga saya masih bisa menyaksikannya! (*)

Dahlan Iskan
CEO PLN

Dahlan Iskan - Bupati Baru di Kolam Keruh


Begitu banyak bupati/walikota di Indonesia tapi jarang yang menonjol. Di antara yang sedikit itu termasuk Walikota Solo, Bupati Sragen, Bupati Lamongan yang dulu (saya belum mengenal reputasi bupati yang sekarang), Bupati Wakatobi di Sulawesi Tenggara, Walikota Ternate, Walikota Bau-bau di pulau Buton, Bupati Asahan, Bupati Berau di Kaltim dan Walikota Surabaya (baik yang Bambang DH maupun penggantinya). Masih ada beberapa lagi memang, tapi tidak akan seberapa.

Kini, dalam posisi sebagai Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN Persero), saya lebih banyak lagi mengenal, bergaul dan berinteraksi dengan  bupati/walikota. Apalagi saya terus berkeliling Indonesia untuk melihat dan menyelesaikan problem kelistrikan Nusantara.

Dari situ saya mencatat bupati/walikota itu umumnya biasa-biasa saja: banyak berjanji di awalnya, lemah di tengahnya dan menyerah di akhirnya. Saya tidak tahu akan seperti apa Bupati Tuban yang baru terpilih, H. Fathul Huda ini. Apakah juga akan menjadi bupati yang biasa-biasa saja atau akan menjadi bupati yang tergolong sedikit itu. Bahkan jangan-jangan akan jadi bupati yang sama mengecewakannya dengan yang dia gantikan.

Saya tahu dari para wartawan, bahwa Fathul Huda adalah orang yang awalnya tidak punya keinginan sama sekali untuk menjadi bupati. Dia sudah mapan hidupnya dari bisnisnya yang besar.  Dia adalah pengusaha yang kaya-raya. Dia juga bukan tipe orang yang gila jabatan. Dia adalah orang yang memilih mengabdikan hidupnya di dunia keagamaan. Juga dunia sosial. Dunia kemasyarakatan. Sekolah-sekolah dia bangun. Juga rumah sakit. Dia yang sudah sukses hidup di dunia sebenarnya hanya ingin lebih banyak memikirkan akherat. Kalau pun berorganisasi, ia adalah Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Tuban.

Tapi sejak enam tahun lalu begitu banyak orang yang menginginkannya jadi bupati Tuban. Itu pun tidak dia respons. Begitu banyak permintaan mencalonkan diri dia abaikan. Tahun lalu permintaan itu diulangi. Juga dia abaikan. Menjelang pendaftaran calon bupati malah dia pergi umroh ke Makkah. Baru ketika, Gus Saladin (KH Sholachuddin, kyai terkemuka dari Tulungagung, putra KH Abdul Jalil Mustaqiem almarhum) meneleponnya dia tidak berkutik. Ini karena Gus Saladin dia anggap seorang mursyid yang tidak boleh ditolak permintaannya. Konon Gus Saladin lebih hebat dari bapaknya yang hebat itu.

Begitu Gus Saladin menugaskannya menjadi bupati Tuban, dia sami’na waatha’na. Dia kembali ke tanah air mendahului jemaah lainnya. Tepat di tanggal penutupan pendaftaran dia tiba di Tuban. Tanpa banyak kampanye dengan mudah dia terpilih dengan angka lebih dari 50%.

Cerita itu saja sudah menarik. Sudah bertolak belakang dengan tokoh yang dia gantikan yang dikenal sangat ambisius akan jabatan. Termasuk nekad mencalonkan diri lagi meski sudah dua kali menjadi bupati hanya untuk mengejar jabatan wakil bupati.

Sebagai sesama orang swasta yang terjun ke pemerintahan, saya bisa membayangkan apa yang dipikirkan Fathul Huda menjelang pelantikannya 20 Juni besok. Mungkin sama dengan yang saya bayangkan ketika akan dilantik sebagai Dirut PLN: ingin banyak sekali berbuat dan melakukan perombakan di segala bidang.
Tapi, sebentar lagi, setelah dilantik nanti Fahtul Huda akan terkena batunya. Hatinya akan berontak: mengapa tidak boleh melakukan ini, mengapa sulit melakukan itu, mengapa jadinya begini, mengapa kok begitu, mengapa sulit mengganti si Malas, mengapa tidak boleh mengganti si Lamban, mengapa si Licik duduk di sana, mengapa si Banyak Cakap diberi peluang dan mengapa-mengapa lainnya.

Saya perkirakan Fathul Huda akan menghadapi situasi yang jauh lebih buruk dari yang saya hadapi. Di PLN saya mendapat dukungan besar untuk melakukan perubahan besar-besaran. Mengapa? Karena orang-orang PLN itu relatif homogen. Mayoritas mereka adalah sarjana, bahkan sarjana tehnik yang berpikirnya logik. Mereka adalah para lulusan terbaik dari perguruan tinggi terkemuka di republik ini. Sebagai sarjana tehnik logika mereka sangat baik. Sesuatu yang logis pasti diterima. Ide-ide baru yang secara logika masuk akal, langsung ditelan. Mereka memang sudah lama berada dalam situasi birokrasi yang ruwet, tapi dengan modal logika yang sehat, keruwetan itu cepat diurai.

Sedang Fathul Huda akan menghadapi masyarakat yang aneka-ria. Ada petani, pengusaha. Ada politisi ada agamawan. Politisinya dari berbagai kepentingan dan  agamawannya dari berbagai aliran. Ada oportunis, ada ekstremis. Ada yang  buta huruf, ada yang professor. Ada anak-anak, ada orang jompo. Yang lebih berat lagi Fathul Huda akan berhadapan dengan birokrasinya sendiri.

Bukan saja menghadapi bahkan akan menjadi bagian dari birokrasi itu. Di lautan birokrasi seperti itu Fathul Huda akan seperti benda kecil yang dimasukkan dalam kolam keruh birokrasi. Di situlah tantangannya. Fathul Huda bisa jadi kaporit yang meskipun kecil tapi bisa mencuci seluruh kolam. Atau Fathul Huda hanya bisa jadi ikan lele yang justru hidup dari kolam keruh itu. Pilihan lain Fathul Huda yang cemerlang itu hanya akan jadi ikan hias yang tentu saja akan mati kehabisan udara segar.

Birokrasi itu “binatang” yang paling aneh di dunia: kalau diingatkan dia ganti mengingatkan (dengan menunjuk pasal-pasal dalam peraturan yang luar biasa banyaknya). Kalau ditegur dia mengadu ke backingnya. Seorang birokrat biasanya  punya backing. Kalau bukan atasannya yang gampang dijilat, tentulah politisi. Atau bahkan dua-duanya. Kalau dikerasi dia mogok secara diam-diam dengan cara menghambat program agar tidak berjalan lancar. Kalau dihalusi dia malas. Kalau dipecat dia menggugat. Dan kalau diberi persoalan dia menghindar.

Intinya: ide baru tidak gampang masuk ke birokrasi. Birokrasi menyenangi banyak program tapi tidak mempersoalkan hasilnya. Proyek tidak boleh hemat. Kalau ada persoalan jangan dihadapi tapi lebih baik dihindari. Dan keputusan harus dibuat mengambang. Pokoknya birokrasi itu punya Tuhan sendiri: tuhannya adalah peraturan. Peraturan yang merugikan sekalipun!

Fathul Huda tentu tahu semua itu. Sebagai pengusaha (dari perdagangan sampai batubara) dia tentu merasakan bagaimana ruwetnya menghadapi birokrasi selama ini. Tapi sebagai pengusaha pula Fathul Huda tentu banyak akal. Kini saya ingin tahu: seberapa banyak akal Fathul Huda yang bisa dipakai untuk mengatasi birokrasinya itu. Apalagi birokrasi di Tuban sudah begitu kuatnya di bawah bupati yang amat birokrat selama 10 tahun.

Yang jelas Fathul Huda sudah punya modal yang luar biasa: tidak takut tidak jadi bupati! Itulah modal nomor satu, nomor dua, nomor tiga, nomor empat dan nomor lima. Modal-modal lainnya hanyalah nomor-nomor berikutnya. Tidak takut tidak jadi bupati adalah sapu jagat yang akan menyelesaikan banyak persoalan. Apalagi kalau Fathul Huda benar-benar bertekad untuk tidak mengambil gaji (he he gaji bupati tidak ada artinya dengan kekayaannya yang tidak terhitung itu), tidak menerima fasilitas, kendaraan dinas, HP dinas dan seterusnya seperti yang begitu sering dia ungkapkan.

Banyak akal, kaya-raya dan tidak takut tidak jadi bupati. Ini adalah harapan baru bagi kemajuan Tuban yang kaya akan alamnya. Pantai dangkalnya bisa dia jadikan water front yang indah. Pantai dalamnya bisa dia jadikan pelabuhan yang akan memakmurkan. Pelabuhan Surabaya sudah kehilangan masa depannya. Tuban, kalau mau bisa mengambil alihnya!

PDI-Perjuangan sudah dikenal memilki banyak bupati/walikota yang hebat: Surabaya, Solo, Sragen. Muhammadiyah juga sudah punya Masfuk. Kini PKB punya tiga yang menonjol: di Banyuwangi, Kebumen dan Tuban. Akankah tiga bupati ini  bisa membuktikan bahwa tokoh Nahdliyyin juga bisa jadi pimpinan daerah yang menonjol?

Tapi birokrasi akan dengan mudah menenggelamkan mimpi-mimpi mereka dan mimpi besar Fathul Huda di Tuban.

Di Tubanlah kita akan menyaksikan  pertunjukan  yang sangat menarik selama lima tahun ke depan. Pertunjukan kecerdikan lawan keruwetan. Fathul Huda bisa memenangkannya, dikalahkannya atau hanya akan jadi bagian dari pertunjukan itu sendiri: sebuah pertunjukan yang panjang dan melelahkan!

Dahlan Iskan
CEO PLN

PowerfulBux - Same admin with infinity, TVIPT and buxsecure



WELCOME TO POWERFULBUX
ONLINE AND PAYING
SINCE JULY 11, 2011

REGISTER FOR FREE TODAY

AS A POWERFULBUX MEMBER, YOU'LL MAKE MONEY FROM JUST CLICKING ADS.

• UP TO $0.01 PER CLICK
• UP TO $0.01 PER REFERRAL CLICK
• PAYOUT AS LOW AS $1.00 FOR ELITES
• NO PAYOUT MAXIMUMS

YOU CAN SIMPLY BUY DIRECT REFERRALS FOR LARGER PAYOUTS

START NOW, AND EARN WITH POWER!

Selasa, 12 Juli 2011

Dahlan Iskan - CEO PLN Note - PLTS Bunaken Model untuk 100 Pulau Lain

Genset Dibongkar Disedekahkan ke Masjid
Inilah perjalanan yang happy ending. Meski awalnya menghadapi persoalan berat di Gorontalo, tapi bisa diakhiri dengan melihat proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di pulau Bunaken yang menyenangkan.
Kini memang lagi dicoba dua model pengembangan PLTS. Dua-duanya sudah beroperasi selama lima bulan. Sudah bisa dievaluasi baik-tidaknya. Model pertama berupa lampu Sehen yang dicoba di pedalaman Sumba Barat Daya. Model kedua dicoba di lima pulau termasuk pulau Bunaken di Sulut ini.
Model Sehen dirancang untuk desa-desa pedalaman yang rumahnya terpencar” seperti di NTT atau Papua. Model Bunaken didesain untuk pulau-pulau kecil yang terpencil yang jumlahnya ribuan itu.
Kesimpulannya: dua model ini sangat oke. Tidak ditemukan kelemahan mendasar. Masyarakat di dua wilayah tersebut juga menyenanginya. Maka model Sehen akan segera dimasalkan di NTT. Sedang model Bunaken segera dipakai di 100 pulau tahun ini juga. Kelak, 1000 pulau akan menyusul.
Perjalanan ke Bunaken Rabu lalu itu saya mulai dari Gorontalo. Meski baru mendarat pukul 21.00 kami langsung ke kabupaten Bone Bolango meninjau proyek PLTU di pantai teluk Tomini itu. Pertemuan dengan karyawan PLN Gorontalo baru dilakukan keesokan harinya pukul 05.00 sekalian dengan olahraga jalan pagi. Menjelang matahari terbit itu, dengan cara duduk lesehan di halaman, kami membicarakan keluhkan masyarakat setempat: seringnya listrik padam.
Mati lampu seperti itu seharusnya tidak sering terjadi lagi. Penyebab utamanya, yakni krisis listrik, sudah teratasi tahun lalu. Kerusakan-kerusakan trafo juga sudah sangat minim. Tapi mengapa masih sering mati lampu di Gorontalo” Yang kalau dijumlah di seluruh propinsi, masih tercatat 223 kali mati lampu di bulan Juni 2011?
Tidak sulit mencari tahu penyebab mati lampu itu. Penyebabnya tinggal satu: gangguan feeder (penyulang). Yakni terganggunya jaringan listrik. Karena tinggal inilah persoalan yang dihadapi maka semua karyawan sepakat bisa mengatasinya” dalam tiga bulan (Juli-Agustus-September). Bahkan pimpinan wilayah PLN Sulut-Sulteng menetapkan harus selesai sebelum datangnya bulan puasa yang tinggal kurang sebulan lagi. Bulan puasa termasuk bulan yang memerlukan pelayanan listrik secara khusus di Gorontalo.?
Meski penyebabnya satu, rintangannya cukup banyak. Misalnya ada jaringan yang panjangnya 160 km yang melewati hutan lindung. Ranting-ranting pohon yang menimpa jaringan listrik di situ tidak boleh dipotong. Ada UU yang mengatakan barang siapa memotong pohon di hutan lindung masuk penjara.
Begitu matahari terbit kami meninggalkan Gorontalo. Tidak sempat makan pagi tapi ada nasi kuning dan jagung rebus di dalam mobil. Inilah perjalanan panjang, berliku dan melelahkan. Tentu kami mampir-mampir di proyek dan di kantor ranting. Di ranting PLN Kwandang misalnya, saya lihat ada genset di belakang kantor. Saya minta genset itu dibongkar dan disedekahkan ke masjid terdekat. Kantor pelayanan PLN tidak boleh punya genset. Itu sama saja artinya tidak mempercayai pelayanan listriknya sendiri. Biarlah kantor PLN ikut mati lampu agar bisa merasakan penderitaan orang yang listriknya mati.
Di ranting Bolaang Mongondow Utara seorang ibu melaporkan prestasinya. Selama enam tahun menjadi manajer keuangan di situ tunggakan pembayaran listriknya nol! Hebat! “Tapi pangkat saya tidak naik-naik pak,” katanya. Saya pun mencatat namanya di dalam hati.
Di Baroko ada proyek penting yang hampir selesai. Gardu Induk di Baroko melakukan energise. Ini berarti transmisi dari Bitung sampai Gorontalo yang panjangnya 400 kms itu sudah bisa nyambung. Gorontalo yang 10 tahun lalu memisahkan dari dari Sulut pun kini tersambung lagi, di sektor listriknya.
Setelah delapan jam perjalanan, kami tiba di Motong, dekat Kotamubago. Kami mampir ke pembangkit listrik tenaga minihydro yang lokasinya di tengah pepohonan kelapa. Bulan lalu PLTM ini tenggelam oleh banjir. Untungnya pimpinan PLN Kotamubago sangat trampil. Dalam waktu seminggu PLTM ini berfungsi kembali. Peristiwa ini sangat menyedihkan teman-teman PLN Kotamubago karena seperti ikut menenggelamkan prestasi mereka selama ini. Yakni prestasi terbaik dalam menangani gangguan trafo maupun penyulang.
Di Motong kami memperoleh kenikmatan luar biasa –kenikmatan yang malamnya membawa sengsara. Ibu-ibu PLN di situ menyajikan makanan yang enaknya luar biasa: lembaran daun papaya yang digulung bersama daun singkong dengan bumbu-bumbu tertentu di dalamnya. Dimakan dengan udang goreng dan ikan rica-rica pedas, nikmatnya ampun-ampun.
Apalagi laparnya sudah berlebihan karena sudah lewat pukul 14.00. Saya pun makan bertambah-tambah. Bahkan saya tidak malu untuk minta dibungkuskan, untuk makan malam di perjalanan!
Kami pun meneruskan perjalanan ke Kotamubago dengan perut sangat kenyang. Inilah satu-satunya kota di seluruh Indonesia Timur yang belum saya kunjungi. Saya memang pernah ke sini, tapi 30 tahun lalu ketika menyiapkan koran pertama di Sulut. Kini Kotamubago majunya bukan main. Pantas disediakan listrik berapa pun selalu kurang!
Pukul 16.00 kami masih di Kotamubago. Makan siang di Motong tadi terlalu lama. Kami pun memperkirakan tengah malam baru akan tiba di Manado. Ini karena masih ada satu proyek lagi di Amurang yang menanti. Benar. Pukul 23.00 kami baru tiba di Manado. Perjalanan ini ternyata bukan 16 jam, tapi 18 jam!?
Tentu, saya memimpikan tidur yang lelap. Keesokan harinya harus bangun pagi-pagi untuk melihat PLTS Bunaken. Tapi baru satu jam memejamkan mata, perut saya berontak! Beberapa kali ke toilet tetap saja rasa mulas tidak berhenti. Hampir tiap jam saya harus ke belakang. Saya periksa isi toilet itu agar bisa tahu apakah ada yang berbahaya. Isinya ternyata daun singkong semua!
Menjelang pukul 05.00 saya mempertimbangkan untuk membatalkan perjalanan ke Bunaken. Apalagi saya sempat sempoyongan. Tapi teman-teman sudah menunggu di loby. Saya sendiri memang harus ke sana. Inilah PLTS yang akan jadi model untuk pembangunan proyek serupa di 100 pulau tahun ini dan kelak di 1000 pulau. Kalau proyek ini ternyata tidak baik biarlah bisa segera dibatalkan kelanjutannya.
Tiba di dermaga Bunaken saya jalan sangat cepat menuju lokasi proyek. Teman-teman mengira saya begitu bersemangatnya. Padahal saya punya maksud tersendiri: ingin cepat-cepat ke toilet. Untuk keenam kalinya.?
Perut saya memang masih menyimpan persoalan tapi PLTS di Bunaken ini” berfungsi dengan baik. Layak untuk contoh 100 pulau lainnya. Saya pun banyak bicara dengan anak muda yang menjadi penganggungjawab PLTS itu. Juga memeriksa data selama lima bulan. Termasuk melihat kotoran apa saja yang suka singgah ke panel surya dan bagaimana cara membesihkannya. Bahkan saya minta dilakukan pembersihan saat itu agar bisa tahu tingkat kesulitannya. Ternyata tidak sulit. Saya sendiri mencoba naik tangga untuk mempraktekkan cara pembersihan panel surya.
Selama lima bulan itu hanya sekali terjadi gangguan, tapi sangat kecil. Yakni ketika mcb (Mini Circuit Breaker) tidak bisa off. Tapi begitu alatnya diganti langsung teratasi. Gangguan terbanyak justru dari luar: dari penyulang yang terganggu pohon.
Kelelahan dua hari, ditambah hilangnya cairan yang terlalu banyak, ditambah sudah selesainya misi perjalanan ini, membuat keadaan asli badan saya muncul: lemas. Saya bergegas dibawa ke kapal, dijemput dokter dan diistirahatkan di hotel.
Memang masih ada satu acara, tapi masih beberapa jam lagi: saya harus menemui Gubernur Sulut Bapak Sinyo Sarundayang. Ini untuk membicarakan penyelamatan danau Tondano yang terancam pendangkalan sangat cepat. Ini danau legendaris kebanggaan masyarakat Sulut yang harus diselamatkan. Juga karena Danau Tondano menjadi sumber air bagi PLTA Tonsea yang menghasilkan listrik 50 MW untuk wilayah itu. Gubernur bertekad memulihkan danau itu. PLN menyediakan kapal keruknya.?(*)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost