Minggu, 24 April 2011

CEO PLN Note : Menyatunya Dua Matahari di Pangandaran

Tempat ini ternyata jauh lebih baik dari yang saya bayangkan. Semula saya pikir Pantai Pangandaran di Jawa Barat selatan itu hanyalah seperti pantai-pantai di Jawa lainnya: ditangani dengan selera lokal yang sangat berbau “pemda” dan pantainya begitu-begitu saja.
Ternyata perkiraan saya itu hanya benar setengahnya. Penanganannya memang masih “selera pemda”, namun jangan tanya keindahannya. Saya bisa memastikan inilah pantai terindah di Jawa. Bahkan, seandainya penanganannya, kelak, sudah tidak selera pemda lagi, saya bayangkan Pantai Pangandaran bisa dimasukkan ke kelas dunia.
Hanya inilah pantai di Indonesia yang punya dua lengkung utama. Ini mengingatkan saya akan pantai terindah di dunia: Copacabana dan Ipanema. Dua pantai yang sama-sama indah yang letaknya hanya dipisahkan oleh semenanjung kecil yang menjorok ke laut. Seperti itu juga Pangandaran.
Dua kali saya ke Copacabana di Rio de Janeiro, Brazil, itu. Pertama, saat menghadiri kongres surat kabar sedunia di dekat-dekat situ dan yang kedua ketika ikut dalam rombongan Presiden SBY ke KTT G-20 Washington DC yang diteruskan ke Meksiko, Peru, dan Brazil.
Lengkung Pantai Pangandaran mirip sekali dengan lengkung Copacabana. Bedanya, pasir di Copacabana putih, sedangkan di Pangandaran hitam. Bedanya lagi, lengkung-lengkung berikutnya di selatannya sudah mulai dikembangkan (rasanya terdapat lima lengkung pantai setelah Copacabana), sedangkan lengkung-lengkung pantai ketiga dan keempat di Pangandaran belum tersentuh manusia.
Tapi, soal tanjung yang menjorok ke laut yang memisahkan dua pantai itu sama-sama punya kelebihan. Yang di Copacabana berupa gunung, dan untuk menyatukannya dengan Ipanema dibuatlah terowongan. Semua kendaraan yang menuju Pantai Ipanema harus melewati terowongan ini.
Di Pangandaran, tanjung yang memisahkan dua pantai itu juga berupa bukit, namun tidak tinggi. Kelebihan tanjung di Pangandaran adalah wujudnya yang masih hutan alami, yang bisa memberikan pengalaman wisata tersendiri. Hutan ini sudah diamankan menjadi hutan lindung yang terjaga dengan baik.
Selasa lalu, seluruh direksi PLN mengadakan rapat di Pangandaran untuk membicarakan persiapan terakhir gerakan sehari satu juta sambungan dan menghabiskan seluruh daftar tunggu listrik di seluruh Indonesia yang sudah harus terjadi akhir Juni tahun ini juga.
Setelah subuh saya menyempatkan diri memasuki hutan lindung itu. Yakni, pada pukul 05.30, ketika bersama teman-teman PLN Pangandaran melakukan gerak jalan pagi, yang kali ini mirip dengan outbond. Melewati hutan lindung di tanjung Pangandaran ini cukup mengesankan. Di sana-sini terlihat monyet, burung, dan biawak.
Hutan di tanjung Pangandaran inilah yang memisahkan lengkung Pantai Pangandaran barat dan lengkung Pantai Pangandaran timur. Kalau di Rio de Janeiro, masing-masing lengkung ada namanya (Copacabana dan Ipanema), di Pangandaran belum bernama. Baru disebut pantai barat dan pantai timur.
Mungkin memang tidak perlu diberi nama. Dengan sebutan “barat” dan “timur” justru bisa menunjukkan kekuatan Pantai Pangandaran itu sendiri. Yakni, inilah sepasang pantai yang masing-masing punya keunggulan untuk dinikmati dalam waktu yang berbeda. Inilah sepasang pantai yang sekaligus mempertontonkan dua pemandangan menakjubkan: sun set dan sun rise.
Di waktu sore orang bisa menikmati pemandangan matahari tenggelam di pantai barat. Di pagi hari orang bisa menyaksikan matahari terbit di pantai timur. Suatu kenikmatan yang tidak bisa didapat di Rio de Janeiro karena Pantai Copacabana dan Ipanema letaknya hanya berjajar, sama-sama menghadap ke timur.
Maka, saya membayangkan sesuatu yang memang masih akan lama terwujud: kalau saja Pengandaran bisa dikembangkan seperti Rio, pesonanya akan luar biasa. Apalagi, sebagaimana juga di Rio de Janeiro, tidak jauh dari pantai ini sudah berupa pegunungan. Pantai dan gunung seperti menyatu dalam jarak yang ideal.
Memang di atas gunung sana, di Copacabana, sudah ada objek turis yang menarik. Yakni, patung Yesus yang memberkati yang terkenal itu. Tapi, itu sebenarnya hanya buatan manusia yang bisa dilakukan siapa saja. Hanya soal waktu dan uang. Tapi, tidak jauh dari Pangandaran ada objek yang juga tidak ada duanya di Indonesia: sungai yang dalamnya lebih 20 meter yang kanan-kirinya berupa tebing berhutan alami yang indah. Objek ini dinamakan Green Canyon, untuk tidak menjiplak begitu saja Grand Canyon di Amerika.
Memang, kalau orang berperahu menyusuri sungai ini sebenarnya tidak akan ingat Grand Canyon, melainkan lebih mengasosiasikannya dengan objek wisata Guilin di Tiongkok yang terkenal itu.
Dua objek utama Pangandaran itu (pantai ganda dan Green Canyon) benar-benar sudah cukup menarik untuk membuat orang bisa tinggal tiga hari sampai seminggu di Pangandaran. Apalagi, kelak, kalau lengkung pantai-pantai karang di sebelah barat Pangandaran yang masih asli itu juga dikembangkan. Apalagi, kalau di kawasan ini sekaligus dikembangkan pusat kebudayaan Sunda sebagai daya tarik malam harinya.
Lima tahun lagi, pendapatan per kapita rakyat Indonesia pasti mencapai USD 6.000. Sekarang saja sudah USD 3.200. Ketika itu terjadi, bisa dibayangkan berapa pendapatan per kapita orang Jakata dan Bandung. Saya perkirakan akan ada sekitar 5 juta orang di dua kota itu yang pendapatan per kapitanya sudah di atas USD 15.000. Orang dengan pendapatan seperti itu tidak memikirkan lagi rumah, mobil, pakaian dan makan. Pikirannya hanyalah: kalau libur mau ke mana! Inilah pasar yang harus ditangkap Pangandaran yang begitu dekat dari Jakarta. Hanya 40 menit penerbangan.
Sebaliknya, orang dengan pendapatan seperti itu sudah tidak mau lagi berkunjung ke tempat yang kumuh dan tidak bersih. Kondisi Pangandaran sekarang belum memenuhi selera mereka.
Memang hambatan untuk menaikkan kelas Pangandaran masih sangat besar. Apalagi, di era otonomi seperti sekarang. Tidak akan gampang menemukan bupati yang punya ide besar, pikiran besar, dan ambisi besar untuk membuat sejarah baru Pangandaran. Kalau yang terpilih hanya kelas bupati yang biasa-biasa saja, rasanya masih akan sangat lama mengharapkan Pangandaran menjadi idola nasional.
Bahkan, sangat mungkin, seumur hidupnya kelak Pangandaran tidak akan bisa menjadi primadona. Mengapa?
Dengan penanganan ala kadarnya sekarang ini saja daya tarik ekonominya sudah muncul. Akibatnya, hotel-hotel kecil, warung-warung kecil, dan pedagang musiman berdatangan ke sini, menempati tanah mana pun yang mereka incar. Dalam waktu lima tahun ke depan perkembangan yang tidak terencana ini akan membuat Pangandaran kian tidak menarik dan untuk membenahinya sudah sangat sulit.
Persoalan sosial sudah akan menjadi sangat sensitif dan untuk menanganinya perlu biaya tersendiri yang tidak akan terjangkau. Kalau ini yang terjadi, jangan lagi mengharapkan Pangandaran bisa menjadi bintang Nusantara, apalagi bintang dunia.
Kalau kesadaran itu sudah muncul sekarang, sebenarnya penanganannya masih manageable. Masih bisa ditemukan konsep “membangun tanpa menggusur” yang ideal. Prinsipnya, tidak boleh ada penduduk setempat yang terpinggirkan dan tidak menikmati kemajuan Pangandaran. Namun, juga tidak harus prinsip itu membuat Pangandaran tidak bisa dikembangkan. Pasti akan ditemukan konsep “membangun tanpa menggusur” yang tepat.
Masyarakat Sunda sebenarnya punya modal hebat untuk mewujudkan itu. Seorang tokoh lokal Sunda pasti bisa mewujudkan konsep itu. Saya tidak kenal orangnya, tidak tahu namanya, tapi tahu dan merasakan karya-karya hebatnya. Dia adalah pemilik jaringan restoran masakan Sunda, Bumbu Desa, yang kini berkembang pesat ke seluruh Indonesia.
Ketika saya ke geotermal Kamojang dan Darajat bulan lalu, saya menginap di resor yang bernama Kampoeng Sampireun. Saya sangat mengagumi konsep resor Kampoeng Sampireun ini. Konsep “membangun tanpa merusak” yang sempurna sekali. Selera arsitek yang merencanakan Kampoeng Sampireun ini sangat tinggi, berbasis lokal, dan bisa memperhatikan need masyarakat internasional.
Saya sangat kagum melihat hasil akhir Kampoeng Sampireun itu: bagaimana kolam alami itu bisa jadi sentrum sebuah resor yang di sekelilingnya cottages independen yang begitu menyatu dengan alam. Resor-resor supermahal di Ubud, Bali, juga sangat menarik, tapi tidak ada yang memiliki sentrum seperti yang dikonsepkan di Kampoeng Sampireun.
Intinya, penanganan Pangandaran tidak perlu diserahkan ke orang Jakarta atau orang asing. Orang Sunda memilikinya. Mulai konsep, perencanan sampai pelaksanaan. Komplet. Sudah terbukti pula. Yang diperlukan adalah sebuah keputusan dari pihak yang punya otoritas membuat keputusan.
Serahkan kepada dia soal bentuk penanganan: apakah dikembangkan dengan konsep modern atau menggunakan konsep tradisional-alami. Atau gabungan dari keduanya. Yang jelas, daratan yang menghubungkan pantai timur dan pantai barat ini tidak terlalu luas dan sudah penuh dengan perumahan penduduk. Hanya sekitar setengah kilometer.
Kalau si perencana memutuskan membuat konsep modern dengan bangunan-bangunan pencakar langit di sini, tetap harus diperhatikan sempitnya lahan itu agar hak-hak publik tidak hilang. Misalnya, semua bangunan itu nanti harus merelakan lantai dasarnya untuk plaza terbuka buat lalu lintas publik.
Namun, kalau konsepnya nanti dipilih yang tradisional, nah, saya harus menyerah: arsitek Sunda yang saya sebut tadi jangan diragukan kemampuannya! (*)
Dahlan Iskan
CEO PLN

Senin, 11 April 2011

CEO PLN Note : Geotermal; Gara-gara Nila Setitik Jangan Rusak Susu Se-Malinda

Dimulai oleh Aceh, Selanjutnya Tinggal Kopi
Senin, 11 April 2011
Akhirnya ketemu juga cara terbaik untuk mempercepat proses dimulainya pembangunan “geotermal. Indonesia begitu kaya dengan geotermal yang bisa dipergunakan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), tetapi begitu kecil yang sudah dimanfaatkan. Luar biasa besarnya kendala untuk membangun PLTP itu.
Yang lucu, kesulitan itu terjadi bukan pada cara mengerjakan proyek geotermalnya, melainkan pengurusannya. Prosesnya begitu ruwet sehingga potensi geotermal praktis tersandera oleh birokrasi itu.
Sudah banyak seminar, rapat kerja, dan surat keputusan dibuat, tetapi belum juga menemukan cara yang terbaik. Lebih tepatnya, belum juga ada keberanian untuk memutuskan cara terbaik itu yang dipilih. Kemudian, terbetik kabar dari Aceh. “Cara Aceh” saya yakini menjadi yang terbaik sehingga apa salahnya diterapkan di seluruh Indonesia. Please, bapak-bapak yang berwenang, putuskanlah!
“Cara Aceh” segera dilaksanakan Pemda Aceh untuk membangun PLTP Seulawah, yang potensi listriknya hingga 200 MW. Tendernya berlangsung sekarang ini. Cara itu sebaiknya menjadi koreksi total atas proses pengadaan geotermal yang berlaku sekarang, yang ruwet itu.
Kita tidak perlu malu belajar dari Aceh. Tidak perlu sungkan meniru apa yang ditemukan dan dilakukan Pemda Aceh itu. Saya tidak tahu siapa penemu ide tersebut. Yang jelas, Pemda Aceh berani mulai menerapkannya. Kata “berani” itu harus ditekankan karena sering banyak ide baru yang baik, tapi belum tentu ada yang berani menerapkannya.
Inti dari cara baru model Aceh itu adalah tersedianya pihak yang menyiapkan dana khusus untuk melakukan pengeboran eksplorasi satu sumur. Dana itu sebesar USD 7,5 juta atau sekitar Rp 70 miliar. Dari pengeboran ini akan diketahui secara pasti apakah di wilayah itu ada-sumber panas bumi atau tidak.
Maklum, belum tentu satu wilayah yang sudah ditetapkan sebagai wilayah panas bumi benar-benar bisa menghasilkan panas bumi. Perlu pengeboran satu sumur dengan biaya Rp 70 miliar untuk memastikan itu.
Memang ketika pemerintah menetapkan di mana saja ada potensi panas bumi sudah terlebih dahulu melakukan kajian geologis. Tetapi, kajian itu bersifat teoretis berdasar hitungan-hitungan geologis yang ada. Tidak jarang wilayah yang sudah ditetapkan memiliki potensi panas bumi itu setelah dilakukan pengeboran eksplorasi ternyata bodong.
Itulah sebabnya proyek geotermal mengandung risiko yang tinggi bagi investor. Ada unsur ketidakpastian. Ada risiko yang besar. Para investor maunya mentransfer risiko itu ke PLN dalam wujud permintaan tarif listrik yang tinggi. PLN yang tidak bisa menjual listrik ke masyarakat dengan harga tinggi tentu keberatan menerima transfer risiko itu. Akibatnya, proyek geotermal tidak seperti lipstick yang muter-muter di Bibir Mer, tapi hanya muter-muter seperti susur (sekepal tembakau rajang) di bibir nenek tua.
Problem “muter-muter” itu akan hilang dengan sendirinya kalau “cara Aceh” dilaksanakan di seluruh Indonesia. Dengan model Aceh tersebut, investor tidak menanggung risiko yang besar. Biaya pengeboran eksplorasi tersebut tidak menggunakan uang sendiri, melainkan menggunakan dana pihak lain. Pihak lain itulah yang menanggung risiko. Kalau gagal, uangnya hilang. Kalau berhasil, dia memperoleh sejumlah saham di usaha geotermal tersebut.
“Lembaga lain” dalam kasus Seulawah, Aceh,  kebetulan adalah sebuah lembaga di Jerman. Lembaga itulah yang menyediakan dana USD 7,5 juta tersebut dalam bentuk hibah ke Pemda Aceh. Tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain kecuali untuk melakukan drilling eksplorasi geotermal Seulawah. Kalau pengeboran itu gagal menemukan panas bumi, Pemda Aceh tidak menikmati apa-apa dari hibah tersebut. Tetapi, kalau ternyata berhasil, Pemda Aceh akan memiliki sejumlah saham di usaha geotermal tersebut.
Berdasar kesepakatan seperti itu, Pemda Aceh melakukan lelang geotermal Seulawah. Investor sangat antusias mengikuti lelang itu karena sudah tahu risikonya kecil. Mereka tahu siapa pun yang memenangi lelang tersebut bakal mendapatkan dana USD 7,5 juta untuk melakukan pengeboran eksplorasi plus kewajiban menggandeng Pemda Aceh sebagai pemegang saham. Kalau eksplorasi itu berhasil, barulah investor yang memenangi tender melakukan pengeboran-pengeboran lanjutan untuk mendapatkan uap panas bumi untuk pembangkit listrik.
Model itu juga bisa membuat persaingan lebih baik, dalam arti pemerintah bisa mendapatkan sumber listrik lebih murah. Tiadanya risiko yang besar di investor membuat investor berani menawarkan harga lebih rendah pada saat lelang.
Yang lebih penting lagi, proyek geotermal tersebut akan bisa lebih cepat dikerjakan. Itu bakal sangat berbeda dengan lelang-lelang geotermal yang berlaku di seluruh Indonesia selama ini. Pemda selama ini melelang geotermal dengan data yang masih penuh dengan risiko. Akibatnya, pemenang lelang tidak bisa segera mengerjakan proyeknya. Mengapa?
Pertama, investor tidak akan berani mempertaruhkan dana Rp 70 miliar hanya untuk “berjudi” melakukan pengeboran eksplorasi. Siapa orang yang mau membiayai pengeboran semahal itu tanpa ada kepastian hasilnya?
Kedua, pemenang lelang mengalami kesulitan untuk mencari dana pinjaman. Sangat sulit mengharapkan lembaga keuangan memberikan kredit kepada usaha yang tingkat ketidakpastiannya begitu tinggi.
Dua hal itulah yang sebenarnya menjadi inti dari persoalan mengapa proyek-proyek geotermal berjalan amat lambat. Kesan bahwa PLN ogah-ogahan membeli listrik dari geotermal memang ada benarnya, tapi juga sengaja dibesar-besarkan untuk menutupi kesulitan-kesulitan dalam memulai proyek itu.
Soal harga hanyalah satu di antara 32 masalah yang harus dinegosiasikan. Tetapi, kesan selama ini hanya harga yang menentukan. Padahal, faktor harga hanyalah satu titik nila. Buktinya, banyak kasus PLN sudah menyetujui harga, tetapi tidak juga bisa segera deal. Geotermal Sarulla di Sumut itu, misalnya. PLN sudah menyetujui harganya hampir setahun yang lalu.
Hingga hari ini, perjanjian jual-beli listriknya belum bisa ditandatangani. Masih ada saja keinginan investor yang diajukan ke pemerintah. Maka, bagi PLN, soal harga listrik geotermal telah menjadi noda yang menimpa citranya. Harga listrik geotermal bagi PLN ibarat “gara-gara nila setitik rusaklah susu se- Malinda”.
Tentu tidak mungkin kita mengharapkan lembaga Jerman itu memberikan hibah ke semua pemda yang memiliki potensi geotermal. Bahwa Jerman mau memberikan hibah kepada Aceh, itu dilakukan karena unsur Acehnya. Mungkin pintar-pintarnya gubernur Aceh mencari partner.
Lalu, siapa yang sebaiknya menjadi “Jermannya” untuk semua ladang geotermal se-Indonesia?
Tidak ada lain kecuali pemerintah Republik Indonesia. Alasannya jelas: pemerintah sudah menetapkan tujuan pembangunan yang mengutamakan green energy. Pemerintah juga sudah menargetkan harus memiliki listrik dari geotermal sebesar 4.000 MW pada 2014. Kalau target itu terwujud, Indonesia memang akan berkibar ke seluruh dunia. Indonesia-lah negara terbesar di dunia yang menggunakan geotermal!
Hingga hari ini, listrik geotermal Indonesia baru mencapai 1.050 MW. Baru 25 persen dari target. Saya bisa memastikan tidak mungkin target 2014 tersebut dicapai tanpa ada terobosan yang radikal. Terobosan itu kini sudah ada. Dimulai oleh Aceh. Kita tinggal meng-copy saja. Kalau tidak, proyek-proyek geotermal di Indonesia hanya akan menjadi Sarulla-Sarulla berikutnya. Bahkan, lebih buruk daripada itu.
Untuk meniru “cara Aceh” itu memang perlu anggaran negara. Tetapi, nilai rupiahnya tidak besar-besar amat. Katakanlah tahun ini kita akan memprioritaskan 25 PLTP. Maka, dana yang perlu disiapkan adalah USD 187,5 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun. Sama dengan biaya membangun satu gedung baru di DPR.
Dana tersebut mungkin bisa disediakan dalam dua tahun sehingga setahun perlu hanya sekitar Rp 750 miliar. Dana itu juga tidak akan hilang. Katakanlah seperempatnya akan gagal. Masih ada – yang berhasil. Dari yang berhasil itu, pemerintah bisa mendapatkan hak sahamnya. Nilai saham itu bisa lebih tinggi daripada dana yang sudah dikeluarkan sehingga pemerintah juga bisa mendapatkan gain.
Dengan demikian, potensi geotermal yang mencapai 29.000 MW yang baru bisa dimanfaatkan 1.050 MW itu akan menjadi kenyataan. Angka 29.000 MW itu sendiri berlebihan. Yang realistis mungkin hanya 15.000 MW, tapi bahwa yang benar-benar menghasilkan listrik baru 1.050 MW adalah keterlaluan.
Begitulah. Mungkin dengan cara itu memang masih akan ada nila, tapi tidak akan sampai bisa merusak susu se-Malinda! (*)
Dahlan Iskan
CEO PLN

Sabtu, 09 April 2011

CEO PLN Note : Bagaimana dengan Lombok Barat?

Akhirnya saya memutuskan untuk menyerahkan perbaikan kualitas layanan di Lombok Barat kepada pimpinan PLN Lombok. Ini karena pimpinan PLN Lombok sudah bersama-sama saya membicarakan bagaimana cara, metode, dan terobosan untuk mengatasi persoalan Lombok Timur (lihat catatan edisi kemarin). Lombok Barat tentu bisa diselesaikan dengan cara yang sama. Itu juga sekaligus untuk membiasakan jajaran PLN di cabang menyelesaikan persoalan setempat tanpa harus, misalnya, menunggu saya datang. Saya percaya bahwa dengan pengalaman merumuskan penyelesaian kelistrikan Lombok Timur kemarin, cara-cara yang sama bisa ditemukan oleh temanteman PLN di Cabang Lombok untuk memperbaiki pelayanan di Lombok Barat.
Kemarin pagi, waktu saya lebih banyak untuk memecahkan persoalan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Jeranjang di Lombok Barat. Proyek PLTU itu mengalami keterlambatan yang parah. Karena itu dalam rapat yang amat detil kemarin pagi, saya menetapkan tanggal- tanggal yang harus dicapai. Misalnya, kapan water intake selesai, kapan back feeding terlaksana, kapan individual test, kapan komisioning, tanggal berapa penyelesaian pemasangan batu tahan api dan seterusnya. Semua itu disinkronkan agar bisa ditargetkan tanggal 15 Mei bulan depan sudah bisa dilakukan penyalaan api pertama. Yakni api untuk memanasi boiler secara pelan-pelan sehingga si boiler tidak kaget. Penyalaan api pertama ini akan dilakukan dengan menggunakan kayu agar panasnya tidak berlebihan. Setelah itu akan digunakan minyak solar. Setelah itu baru, kelak digunakan batubara.
Tahapan ini dilakukan agar boilernya tidak langsung dipanasi dengan batubara yang suhunya bisa mencapai 600 derajat Celcius. Boiler itu harus dipanaskan dulu 100 derajat, lalu naik pelanpelan mencapai 300 derajat dan akhirnya kelak 600 derajat. Tahapan penting yang masyarakat perlu tahu adalah apa yang akan terjadi di sekitar tanggal 20 Mei. Pada saat itu nanti PLTU akan mengeluarkan suara gemuruh seperti bunyi pesawat jet. Bunyi itu timbul dari boiler yang lagi “dicuci” dengan uap. Pipa-pipa boiler yang ketika dipasang kemungkinan ada kotoran di dalamnya harus dibersihkan. Caranya dengan memasukkan uap ke dalam pipa-pipa itu. Uap tersebut ditahan di dalam pipa sampai tekanan tertentu. Lalu dilepas ke udara. Saat melepas uap itulah timbul bunyi gemuruh. Bunyi itu akan berulang-ulang setiap sekitar 10 menit sampai selama satu minggu. Kalau dalamnya pipa-pipa tersebut sudah dinyatakan bersih bunyi seperti itu tidak pernah ada lagi. Dengan tanggal-tanggal pencapaian itu maka listrik pertama dari PLTU ini harus sudah keluar pada pertengahan bulan Juli. Memang masih banyak kesulitan, tapi harus diatasi dengan kesungguhan yang tinggi.
Misalnya masih banyak peralatan yang belum tiba dari Tiongkok. Temanteman PLN di proyek lantas menganalisis dengan teliti. Kalau kita harus menunggu alat-alat tersebut dari Tiongkok bisa jadi akhir tahun kelak pun belum bisa jadi. Karena itu, PLN minta mereka melakukan pembelian alat-alat tersebut di dalam negeri. Sebab semua yang diperlukan untuk mengganti alat yang ditunggu itu bisa dibeli di Indonesia. Kontraktor menyetujui jalan keluar ini. Begitulah, sampai jam 12.00 siang rapat belum selesai. Tapi kami senang bisa mencari terobosan itu. Pukul 13,00 kami baru bisa ke Selong, Lombok Timur. Saat makan siang yang sudah kesorean itulah saya kaget. Bupati Lombok Timur tiba-tiba bergabung di restoran. Kami pun membicarakan tindak lanjut pengambilalihan jaringan di Rinjani. Pak Bupati sangat antusias sehingga persoalan pun bisa selesai dengan cepat. (*)

Jumat, 08 April 2011

CEO PLN Note : Memecahkan Jeleknya Pelayanan Listrik di Lombok

Akhirnya saya harus ke Lombok. Begitu mendarat di Mataram kemarin sore, acaranya langsung rapat dengan seluruh jajaran PLN Lombok. Saya ingin tahu sendiri mengapa pengaduan mati lampu begitu luas di Lombok ini. Rapat pun berjalan amat detil. Bahkan saya ingin tahu wilayah per wilayah. Persoalan listrik di Lombok tidak boleh seperti ini. Apalagi, sejak Juni tahun lalu tidak ada lagi persoalan kekurangan daya. Jumlah pembangkit cukup untuk memenuhi beban puncak seluruh Lombok. Persoalan yang muncul sekarang ini murni masalah operasional di lapangan. Tadi malam saya minta soal Lombok Timur didahulukan untuk dibahas. Ternyata benar. Lombok Timur memang sangat menderita. Bayangkan satu jalur distribusi listrik sepanjang 153 kms di Lombok Timur mengalami gangguan 71 kali selama sebulan Maret kemarin. Ini sama saja dengan listrik mati dua kali sehari. Sangat memprihatinkan.
Karena itu kami bahas apa penyebab kejadian yang begitu parah. Inilah gangguan jaringan yang mencapai rekor terparah se Indonesia. Tidak ada di mana pun yang gangguan jaringannya separah Lombok Timur ini. Jaringan yang parah itu selama ini dikenal sebagai ’’Jaringan Rinjani’’. Yakni jaringan peninggalan koperasi listrik Rinjani. Akibat gangguan ini, pembangkit-pembangkit listrik milik PLN ikut mati. Maka dampaknya tidak hanya diderita para pelanggan di sepanjang jaringan 153 kms itu Melainkan juga ke pelanggan di luar itu. Mengingat jaringan sepanjang 153 kms ini menyumbang 60% gangguan di seluruh Lombok Timur, maka rapat saya fokuskan untuk menuntaskan persoalan jaringan Rinjani ini. Kami putuskan 12 langkah sekaligus yang harus dilakukan insan PLN di Lombok Timur. Satu di antara 12 langkah konkret tersebut adalah mengambil alih pengoperasian jaringan itu. Selama ini jaringan tersebut dikelola eks koperasi.
Akibatnya kalau ada gangguan di situ PLN tidak bisa intervensi. Paling-paling PLN hanya menelepon pengelolanya untuk memperbaiki. Soal kenyataannya diperbaiki atau tidak, itu terserah pada pengelola jaringan tersebut. Memang akan banyak masalah yang harus diselesaikan sebelum pengambilalihan itu. Termasuk sekitar 8.000 pelanggan yang belum mampu membayar biaya penyambungan. Untuk itu PLN sudah menyiapkan langkah agar pengambilalihan ini tidak terhambat oleh persoalan itu. Mengingat akhirnya nama baik PLN juga yang tercemar, maka saya putuskan agar jaringan ini diambil alih. Waktunya pun sudah kami tentukan: 15 April minggu depan. Mudah-mudahan tidak ada masalah dalam pengambilalihan ini. Dengan keputusan ini, maka jaringan yang menjadi penyumbang terbesar gangguan loistrik di Lombok Timur akan teratasi. Langkah-langkah lain adalah pertama, pemecahan penyulang Rinjani menjadi 2 penyulang dari PLTD Paokmotong.
Dengan demikian titik gangguan Rinjani ujung dapat terlokalisasi sehingga daerah padam dapat diminimalisasi. Kedua, penyulang yang rawan gangguan dari pohon diganti dengan A3CS/MVTIC. Ketiga, koordinasi relay proteksi dari PLTD Paokmotong sampai ujung jaringan dibetulkan. Keempat, percepatan pembongkaran jaringan eks KLP yang tidak standar (1 phasa). Kelima, total maintenance kontrak penyulang Rinjani dengan SLA yang jelas, baik pemeliharaan preventif maupun korektif. Keenam, mengganti recloser dengan pole mounted circuit breaker di penyulang Rinjani karena setting relay recloser tidak sensitif dengan beban kecil. Ketujuh, mengganti fuse link CO yang saat ini kapasitasnya besar disesuaikan dengan bebannya. Kedelapan, membangun GH di Aikmel untuk memecah menjadi 3 penyulang. Kesembilan, pemasangan LBS Motorized di setiap pencabangan.
Kesepuluh, penyeimbangan beban gardu distribusi/unbalance load. Kesebelas, mempercepat pengoperasian GI Selong dan Pringgabaya. Begitulah, Lombok Timur harus beres sebelum 30 April 2011. Dengan langkah-langkah itu mati lampu bisa dikurangi sangat drastis. Sebab, sekali lagi listrik untuk Lombok sudah cukup. Tinggal manajemennya harus lebih baik. Bagaimana dengan Lombok Barat? Karena sampai tadi malam baru bisa menyelesaikan persoalan Lombok Timur, maka akan diapakan Lombok Barat baru akan dibahas siang ini. Rasanya inilah rapat paling mendetil yang pernah saya lakukan untuk menyelesaikan persoalan pelayanan listrik di suatu daerah di tanah air. Hasil rapat untuk Lombok Timur ini harus sudah dirasakan masyarakat paling lambat akhir bulan ini. (*)

Sabtu, 02 April 2011

CEO PLN Note : ”Merdeka Listrik” Kalselteng Dikebut

Baru empat hari pulang dari Muara Teweh, Buntok dan Palangkaraya, saya kembali lagi ke Kalimantan Selatan dan Tengah (Kalselteng). Banyak acara di Jakarta harus saya batalkan. Kali ini saya ke Batulicin, Pagatan dan Asam-asam. Ketertinggalan Kalselteng dalam mengatasi krisis listrik sangat mengganggu pikiran. Saya ingin mengecek langsung apakah persiapan Kalselteng “merdeka listrik” sebelum hari kemerdekaan nasional 17 Agustus 2011 tidak akan gagal lagi.
Di Asam-asam saya memilih tidur di mess karyawan agar pagi-pagi bisa melihat lagi proyek PLTU yang kini sedang dikebut siang-malam itu. Ini agar penyelesaian proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) unit 3 dan 4 segera terwujud.
Saya melihat khusus unit 3, praktis tinggal pengerjaan tahap akhir. Dua bulan lagi sudah bisa dilakukan first firing–mulai menyalakan api. Dengan demikian, di bulan Juli sudah mulai bisa menghasilkan listrik. Sedang unit 4 akan menyusul tiga bulan kemudian.
Di Asam-asam saya juga melihat lokasi untuk rencana penambahan PLTU unit 5 dan 6 yang lebih besar lagi. Kalau ini sudah terlaksana maka Asam-asam menjadi kompleks PLTU terbesar di luar Jawa. Memang sudah waktunya Kalselteng yang kaya akan batu bara menegakkan akal sehat: mempunyai PLTU batu bara yang besar. Sangat ironis, kawasan gudang batu bara dunia ini bisa sampai krisis listrik.
Sementara proyek-proyek itu belum jadi, krisis listrik di Kalselteng diatasi dengan cara mahal dulu. Yang penting krisis listrik sudah harus berakhir sebelum 17 Agustus 2011 nanti. Maka perlu saya cek persiapan pengadaan pembangkit-pembangkit untuk Tanjung (20 MW), Amuntai (20 MW), Palangkaraya (20 MW) dan Sampit (10 MW), Pagatan (4 MW). Sejauh ini teman-teman PLN di wilayah Kalselteng sudah memastikan program ini akan bisa terlaksana.
Memang masih ada persoalan. Transmisi yang akan dipergunakan untuk mengirim listrik dari Asam-asam ke kawasan Batulicin, Pagatan, Kotabaru belum selesai. Ini karena masih ada pemilik perkebunan yang belum mau dilewati transmisi.
Teman-teman PLN sedang membicarakan ini. Saya berharap pembicaraan itu bisa berhasil. Kalau tidak maka masyarakat kawasan Tanah Bumbu terancam tidak akan bisa merdeka listrik. Tanah Bumbu akan tertinggal dari daerah lainnya. Tapi penyebabnya jelas. Bukan lagi karena PLN, tapi karena daerah itu sendiri.
Selama di Tanah Bumbu saya sempat minta diantarkan ke kawasan baru yang akan dipergunakan untuk ibukota kabupaten ini. Kunjungan ini saya anggap penting untuk melihat masa depan daerah yang kini dieksploitasi habis-habisan kekayaan alamnya ini. Saya ingin melihat apakah perkembangan ekonomi wilayah ini se-gegap gempita ekspor batu baranya. Kalau perkembangan ekonominya luar biasa tentu listriknya harus disiapkan sejak sekarang. Agar listrik tidak menjadi penghambat kemajuan suatu daerah.
Dari kunjungan ini saya belum bisa menarik kesimpulan bagaimana masa depan Batulicin. Kota lama Batulicin seperti dibiarkan tumbuh tanpa perencanaan. Mungkin karena sudah terlanjur terlalu semrawut. Perkembangan kota yang sangat dinamis ini seperti tidak mendapat imbangan kebijakan penataannya. Saya bayangkan perkembangan kota Batulicin akan sangat tidak menyenangkan. Tidak akan ada bedanya dengan kota-kota kacau lainnya.
Maka saya tidak punya harapan besar untuk masa depan kota Batulicin. Harapan baru tinggal ke kota baru yang sudah disiapkan bupati lama. Maka saya ingin ke “kota baru” itu. Benarkah “kota baru” ini nanti bisa berkembang baik dan menjadi alternatif baru “kota lama” Batulicin.
Pemilihan kawasan “kota baru” ini saya lihat sudah betul. Yakni tidak jauh dari kota lama, namun tanah di kawasan “kota baru” ini berada di ketinggian yang cukup. Mungkin sekitar 5 meter lebih tinggi dari kota lama. Ini penting dan bagus agar tata kotanya bisa lebih baik dan tidak terancam banjir di masa depan.
Sudah ada jalan kembar di kota baru ini. Bangunan-bangunan kantor pemerintah kabupaten juga sudah banyak berdiri di sini. Namun kondisinya tidak memberikan harapan. Jalan kembar itu, kantor-kantor itu, dan kawasannya seperti tidak terurus. Kawasan ini seperti sudah sekitar satu tahun tidak ada sentuhan baru atau perawatan baru. Saya tidak melihat ada geliat baru di kota baru ini.
Adakah bupati baru Tanah Bumbu tidak semangat mengembangkan kota baru ini? Adakah dia punya konsep lain? Ataukah masih mikir-mikir? Ke mana Tanah Bumbu akan dibawa kini masih menjadi tanda tanya besar?
Ini memang agak berbeda dengan bayangan saya sebelum tiba di Tanah Bumbu. Saya kira, dengan kekayaannya itu, Tanah Bumbu, khususnya Batulicin dikelola dengan khusus. Ternyata tidak. Melihat Batulicin sekarang saya teringat akan masa-masa banjir di Samarinda tahun 1970-an. Waktu itu penebangan hutan lagi gila-gilaan. Ekspor kayu lagi luar biasa. Sungai Mahakam penuh dengan kapal Jepang yang besar-besar. Tapi kota Samarinda tumbuh semrawut. Memang banyak “orang kaya baru” tapi hidupnya tidak teratur. Kurang lebih suasana seperti itulah di Batulicin.
Semula saya kira Batulicin memberikan harapan masa depan. Apalagi saya dengar bupati barunya masih sangat muda (28 tahun). Saya kira bupati muda, baru dan kaya memiliki ambisi baru yang akan membuat kabupaten ini luar biasa. Ternyata belum kelihatan sama sekali.
Padahal saya ke Batulicin siap dengan konsep kelistrikan yang baru. Misalnya, setelah transmisi ke Batulicin selesai tahun ini, PLN akan menggelar kabel bawah laut menuju Pulau Laut. Ini agar listrik di Kota Baru sama baiknya dengan yang di daratan nantinya. Bahkan pelabuhan besar bisa dibangun di Pulau Laut dengan dukungan listrik yang cukup.
Kalau Pulau Laut punya pelabuhan besar, lalu sangat mungkin dibangun jembatan seperti Jembatan Madura dari Pulau Laut ke daratan Kalimantan di Batulicin, maka kolaborasi dua kabupaten ini akan membuat kawasan itu punya masa depan yang hebat. Bahkan tidak mustahil ekonomi Kalsel akan bergeser ke Tanah Bumbu dan sekitarnya.
Harapan itu kini tertumpu pada puncak bupati Tanah Bumbu yang baru, yang muda (termuda di Indonesia) dan yang kaya. Bahwa selama delapan bulan masa jabatannya belum ada tanda-tanda kemajuan, siapa tahu bupati itu masih memikirkan perencanaannya. Kalau tidak, sang bupati akan kehilangan waktu dan kesempatan membuat sejarah baru di kampung halamannya.
Tentu dalam waktu dekat saya masih harus ke Kalselteng lagi. Untuk melihat jalur Banjarmasin Rantau-Barabai-Amuntai-Tanjung. Sekalian untuk nostalgia.
Saya pernah melewati jalur ini tapi 40 tahun yang lalu. Yakni ketika pengantin baru, mengantar istri saya ke makam leluhurnya di Martapura. Dari sini lalu naik kendaraan umum menuju Samarinda lewat Tanjung, Kuaro dan Balikpapan. Waktu itu saya terpaksa berbohong kepada sopir agar bisa duduk di depan. “Istri saya lagi hamil,” kata saya. Saya kasihan kepada istri kalau harus berjejal di bak belakang mobil jeep land rover untuk perjalanan satu hari satu malam dengan kondisi jalan yang waktu itu sangat berguncang. Apalagi mobil harus menyeberangi beberapa sungai karena belum ada jembatan –saya lupa entah di sungai apa saja waktu itu.***

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost