Senin, 27 April 2015

New Hope : Dahalan Iskan : Ketegasan Lincoln Pelajaran Demokrasi yang Mahal

Menjadi Amerika yang hebat seperti sekarang ternyata juga tidak mudah. Bahkan, ketika negara itu sudah berumur 90 tahun (tahun ini negara kita berumur 70 tahun) masih mengalami guncangan yang nyaris membuat semuanya berantakan: perang sipil.
Itu terjadi gara-gara rakyat di tujuh negara bagian di wilayah selatan tidak puas atas kemenangan calon presiden Abraham Lincoln. Misi yang dibawa calon presiden itu dianggap tidak sejalan dengan aspirasi di tujuh negara bagian tersebut. Mereka menginginkan perbudakan tetap diperbolehkan. Sedang Lincoln sejak kampanye ingin mengakhiri perbudakan.
Waktu itu calon presidennya empat orang. Lincoln mendapat suara 1.866.000. Calon berikutnya mendapat 1.376.000 suara. Sedang dua lainnya mendapat 850.000 dan 560.000-an suara. Total pemilih baru 3.600.000-an. Pada 1861 itu, saat republik sudah berumur 90 tahun, perempuan masih belum boleh memiliki hak pilih. Demikian juga warga kulit hitam. Penduduk di 14 negara bagian juga belum punya hak pilih. Pada tahun itu, mereka belum menjadi negara bagian. Status Kansas, Colorado, Nevada, sampai Washington masih teritori.
Perjalanan menjadi sebuah negara demokrasi seperti sekarang ternyata tidak secepat yang kita perkirakan. Begitu bencinya terhadap presiden terpilih, tujuh negara bagian tersebut menyatakan memisahkan diri dari Amerika. Mereka membentuk negara sendiri dengan nama Confederate States of America atau disingkat Confederacy. Mereka juga memiliki bendera nasional tersendiri: merah disilang biru dengan bintang putih sebanyak tujuh di silang warna biru itu. Tapi, bendera tersebut kemudian diganti dan diganti lagi sampai tiga kali.
Bagi wilayah selatan, budak itu penting. Penghasilan pokok wilayah tersebut berasal dari kapas. Kebun kapas memerlukan banyak buruh. Tanpa buruh, perkebunan itu bisa lumpuh. Tapi, karena upah buruh itu amat murah, persaingan ekonomi menjadi tidak fair. Wilayah utara tidak menganut sistem perbudakan karena perbudakan dianggap melanggar moralitas dan ajaran agama.
Untuk melihat gambaran itu, minggu lalu saya ke Nashville di Tennessee. Saya ingin tahu mansion (rumah) presiden ketujuh Amerika yang dikelilingi perkebunan kapas seluas 150 hektare. Kini perkebunan tersebut menjadi taman hijau yang mengelilingi mansion-nya. Menurut catatan di situ, Jackson memiliki 300 budak.
Jackson kawin dengan seorang janda. Tapi, karena sang janda belum punya surat cerai, perkawinan itu diperbarui beberapa tahun kemudian. Dia pernah marah kepada mantan suami itu karena selalu mem-bully-nya. Jackson menulis surat, menantangnya untuk duel adu tembak. Meski lawannya dikenal sebagai jago tembak, Jackson minta dia menembak lebih dulu. Tembakan itu mengenai dada Jackson, tapi tidak membuatnya roboh. Giliran Jackson menembaknya: tewas.
Tujuh negara bagian di wilayah selatan (South Carolina, Florida, Mississippi, Alabama, Georgia, Texas, dan Louisiana) seperti itu semua. Karena perbudakan dilarang, mereka pilih mendirikan negara baru. Inisiatornya South Carolina. Proklamasi itu dilakukan setelah Lincoln terpilih, tapi sebelum dilantik.
Bahkan, ketika presiden terpilih itu dalam perjalanan menuju tempat pelantikan, seseorang berusaha membunuhnya. Waktu itu perjalanan kereta api dari kampungnya di Illinois ke Washington sudah tiba di Baltimore, tinggal satu jam lagi sampai Washington DC. Untuk keselamatannya, sisa perjalanan itu dilakukan secara rahasia.
Tapi, Lincoln tidak gentar. ”Saya pilih mati daripada berkompromi dengan mereka,” ujar Lincoln dalam satu pidato waktu itu.
Separatis di selatan itu dia nilai melanggar konstitusi dan harus dihadapi dengan tegas. Tidak ada negosiasi dan tidak ada kompromi. Maka, ketika tentara Confederacy mulai menyerang satu kota perbatasan di wilayah Union (istilah untuk wilayah Amerika yang tidak memisahkan diri), Lincoln mengerahkan pasukan habis-habisan.
Terjadilah perang sipil yang berlarut. Selama empat tahun. Korban luar biasa. Mencapai hampir 1,5 persen dari jumlah penduduk. Amerika ternyata pernah menempuh jalan yang begitu mahal untuk mempertahankan kesatuan wilayahnya. ”Kalau sekarang, 1,5 persen itu berarti 1,5 juta orang,” ujar ahli sejarah di Indiana yang saya ajak ngobrol bulan lalu.
Pada akhir masa jabatannya, popularitas Lincoln benar-benar merosot. Dia sendiri merasa tidak akan terpilih lagi. Sebulan sebelum pilpres, Lincoln seperti pasrah akan nasibnya, tapi tidak pasrah mengenai sikapnya terhadap para separatis. Bahkan, dia menegaskan akan meningkatkan serangan ke wilayah Confederacy di sisa masa jabatannya yang pendek. Termasuk akan memanfaatkan masa empat bulan antara terpilihnya presiden baru dan pelantikannya. Pokoknya, perang harus berakhir sebelum dia secara resmi turun dari Gedung Putih. Dan harus menang.
Peningkatan serangan itu membuat tentara Confederacy kian lemah. Lincoln ternyata kembali terpilih dengan kemenangan telak. Maka, kemenangan tentara Union menjadi kian nyata.
Kemenangan kembali Lincoln dan gelagat Confederacy yang akan kalah membuat seseorang yang sangat benci Lincoln berbuat nekat. Tepat sebulan setelah Lincoln dilantik untuk masa jabatan kedua, orang itu, John Wilkes Booth, menembaknya dari jarak dekat di bagian belakang kepala Lincoln. Tewas.
Malam itu Lincoln dan Wakil Presiden Johnson diagendakan nonton bersama di sebuah teater di Washington. Booth tahu tentang agenda itu. Dia pun ikut nonton dengan tujuan membunuh dua orang tersebut. Dia agak kecewa karena di detik terakhir, wakil presiden batal ikut nonton karena harus pergi ke rumah putranya. Saat pengawal bersenjata ingin minum kopi dengan cara meninggalkan balkon khusus tempat presiden menonton, Booth menyelinap. Dor! Lincoln dilarikan ke rumah sakit, tapi tidak tertolong.
Booth melarikan diri. Dia bersembunyi di daerah pertanian di Virginia. Ketika 14 hari kemudian diringkus, dia melawan. Lalu ditembak di daerah pertanian itu. Mati.
Lincoln sempat tahu bahwa Confederacy sudah menyerah total pada 6 April 1865, hanya seminggu sebelum penembakan itu terjadi. Rupanya, Booth sangat terpukul oleh penyerahan diri panglima Confederacy tersebut.
Ahli sejarah sepakat bahwa Lincoln adalah satu di antara tiga presiden terhebat yang dimiliki Amerika Serikat. Dia tegas dan menang. Bukan tegas tapi kalah. Atau menang tapi tidak tegas. Dia tercatat sebagai presiden yang mengatasi tiga krisis sekaligus: krisis moral (soal perbudakan), krisis konstitusi (soal pemisahan diri), dan krisis politik (melakukan manuver politik untuk berkelit dari kompromi).
Lincoln sebenarnya anak desa yang tidak memiliki pendidikan formal. Dia lahir di pedalaman Kentucky, lalu pindah ke pedalaman Illinois. Di sini, Lincoln muda jadi tukang belah kayu untuk membuat bantalan rel kereta api. Kemudian menjadi pengacara. Lalu menjadi politikus lokal. Setelah menjadi politikus nasional, akhirnya dia mencalonkan diri sebagai presiden.
Ketika berkampanye di Chicago, di wilayahnya, seorang gadis berumur sebelas tahun sangat bersimpati kepadanya. Gadis itu begitu iba saat melihat tubuh Lincoln yang kerempeng dan wajahnya yang tirus. ”Baiknya Anda memelihara jenggot. Agar tidak kelihatan tirus,” ujar gadis itu. Setelah dilantik menjadi presiden, Lincoln benar-benar memelihara jenggot. Sampai akhir hayatnya di usia 56 tahun.
Demokrasi ternyata begitu mahal, untuk Amerika sekalipun. Tapi, sejarah mencatat, segala pengorbanan itu membuahkan hasil. Amerika menjadi segara superpower seperti sekarang. (*)

Senin, 20 April 2015

New Hope : Dahlan Iskan : Lipstik Merah untuk Hari Persamaan Gaji

”Film itu dibuat 35 tahun lalu. Itu tahun kelahiran saya,” ujar Ny Sloane Standly-Beasley, pembicara di forum Equal Day Pay Selasa lalu. ”Tapi, keadaan yang digambarkan dalam film itu masih sama sampai sekarang,” tambahnya sambil menahan sedu.
Film berjudul 9 to 5 (melambangkan jam kerja di perusahaan Amerika) itu dibintangi Jane Fonda dan Dolly Parton. Memang pas untuk menggambarkan perbedaan perlakuan kepada pekerja perempuan. ”Ini masih terjadi di sini. Di Amerika. Di tahun 2015,” katanya. Di Amerika, katanya, pekerja perempuan dibayar kurang dari 80 persen pekerja laki-laki.
Sloane mengisahkan pengalamannya bekerja di perusahaan raksasa Amerika. Perusahaan itu masuk Fortune 500 dalam ranking 20 besar. Dua tahun lalu perusahaan menambah pegawai dua orang (semua kaki-laki) untuk posisi yang sama dengannya. Gaji orang baru itu 3 dolar lebih tinggi daripada dia yang sudah berpengalaman enam tahun. ”Ini kelihatannya bukan selisih yang besar,” kata Sloane. ”Tapi, kalau dikalikan setahun, sama nilainya dengan satu BMW seri 3,” tambahnya.
Dia lantas mengadu dan menuntut perbaikan. Dua tahun belum berhasil. Bahkan, akhirnya dia diberhentikan dengan alasan perusahaan ingin lebih efisien melalui pengurangan 2.200 pekerja.
Sepuluh orang yang berbicara di forum itu mengeluhkan hal yang sama. Mereka menyerukan perlunya perempuan untuk terus berjuang mendapatkan persamaan hak. ”Sebagai orang Indonesia, saya kaget melihat forum ini. Benarkah kenyataannya seperti yang tergambar dari forum ini?” tanya saya kepada Dr Robert Dion, satu-satunya pembicara laki-laki dari Universitas Evansville, saat berbincang setelah acara itu. ”Benar,” ujar Dr Dion.
Saya lantas teringat kepada para perempuan yang saya angkat jadi direktur. Baik di Jawa Pos Group maupun sewaktu di BUMN. Saya kemukakan kepada Dion bahwa di Indonesia, negara yang jauh ketinggalan dari Amerika, tidak ada perbedaan perlakuan antara pekerja kaki-laki dan perempuan seperti itu.
”Sudah empat tahun kami selenggarakan acara seperti ini,” ujar Erica Taylor, CEO YWCA. ”Kami inginkan tanggal 14 April sebagai hari persamaan gaji antara laki-laki dan perempuan,” katanya. ”Tapi, mengapa yang hadir kebanyakan pakai baju merah?” tanya saya. ”Ini lambang perjuangan kami,” jawabnya.
Ny LaNeeca Williams, staf Bagian Persamaan dan Keberagaman di Universitas Evansville, juga pakai baju merah. Dia juga jadi pembicara yang menarik. Malam menjelang acara, LaNecca menelepon anak perempuannya yang berumur 24 tahun yang tinggal di Colorado. Dia minta anaknya mengenakan baju merah keesokan harinya. Sebagai dukungan terhadap gerakan persamaan gaji. Suaminya pun, dan juga anaknya yang masih berusia 8 tahun, mengenakan baju merah.
Mom, tidak perlu takut memperjuangkan itu,” pesan anaknya. ”Hanya mengurangi rasa takutlah cara untuk menghilangkan perbedaan gaji ini,” katanya. Tapi, sang anak masih bisa menyelipkan humor. ”Tapi, baiknya, Mama juga mampir ke toko Walgreens, beli lipstik merah,” katanya. Walgreens adalah toko untuk kelas rata-rata.
”Pokoknya, Mama besok harus menyerukan agar perempuan tidak punya rasa takut lagi,” kata sang anak.
”Untuk tidak takut pakai lipstik merah?” sela sang ibu dengan nada getir.
Rupanya menyerukan agar perempuan Amerika tidak takut menuntut persamaan gaji tidak semudah menyerukan pemakaian lipstik merah.
LaNecca mengambil contoh ibunya sendiri. Dia pun lantas menceritakan kisah hidup sang ibu yang jadi penyangga utama keluarganya. Ibunya bekerja di perusahaan besar untuk sif ketiga, pukul 22.00 sampai 07.00. Dia berusaha cepat pulang agar bisa melihat anak-anaknya berangkat sekolah. Sang ibu juga selalu hadir di pertemuan orang tua murid. Juga masih harus bikin roti dan kue untuk makan anak-anaknya. ”Pokoknya, lagu I am Every Woman yang dinyanyikan Whitney Houston itu pas untuk menggambarkan ibu saya,” ujar LaNecca.
Ibunya, kata dia, menerima gaji hanya 45 persen dari teman yang laki-laki di perusahaan yang sama, di posisi yang sama. Tapi, ibunya tidak pernah mengeluh. ”Saya hanya sekali mendengar ibu mengeluhkan itu saat bertemu teman-teman perempuannya di arena boling mingguan,” kata LaNeeca.
Sebagai ahli, dia menceritakan hasil studi bahwa perempuan bergaji rendah karena pendidikan. Juga karena bekerjanya kurang maksimal karena merawat rumah tangga. Atau karena perempuan itu sendiri mengambil pekerjaan yang bergaji rendah. Tapi, papar dia, hasil studi yang sama juga mengakui kalaupun semuanya setara, tetap saja gaji perempuan lebih rendah.
Kalau perempuan kulit putih hanya dibayar 78 persen dari laki-laki, perempuan nonkulit putih lebih parah lagi. Menurut hasil studi itu, perempuan dari ras Hawaii dan Kepulauan Pasifik hanya menerima 65 persen. Perempuan kulit hitam hanya 64 persen. PerempuanAmerican Indian hanya 55 persen. Dan perempuan Amerika Latin hanya 54 persen. ”Bahkan, gaji pekerja perempuan yang resmi pun kalah dengan pekerja gelap laki-laki,” terang dia.
Beberapa kali menghadiri seminar di Evansville, Indiana (sesekali jadi pembicara), baru sekali ini saya tersenyum-senyum kaget. KokAmerika, kampiunnya segala hal, termasuk kampiun dalam demokrasi dan hak-hak asasi manusia, ternyata masih menyisakan masalah emansipasi seperti itu. Memang, seperti LaNecca akui, keadaan sekarang sudah lebih baik. Misalnya dibanding saat ibunya masih jadi pekerja. Tapi, perkembangan perbaikannya sangat lambat. ”Kalau tren perbaikannya seperti itu, baru 50 tahun lagi terjadi persamaan gaji,” kata Erica Taylor.
Gerakan persamaan gaji itu dilakukan serentak 14 April lalu di seluruh Amerika. Bahkan, mereka menyebut-nyebut perbedaan gaji itu juga terjadi di…Gedung Putih, istana Presiden Barack Obama. Tapi, juru bicara Gedung Putih mengatakan bahwa perbedaan gaji itu kini sudah lebih kecil.
Rupanya Obama pengin menjadi gong dalam perkara ini. Tanggal 14 April lalu dia angkat bicara. ”Saya proklamasikan Selasa hari ini sebagai hari persamaan gaji antara pekerja laki-laki dan perempuan,” katanya. ”Tiap hari Selasa adalah hari persamaan gaji,” katanya seperti dikutip luas di berbagai media.
Dan ini kata Erica Taylor, ”Saya juga berharap inilah tahun terakhir kami pakai baju merah.” (*)

Senin, 13 April 2015

New Hope : Dahlan Iskan : Ternyata Ada Darah Lim, Tan, Sudjana, dan Mojahed Garoot

Inilah hasil tes DNA saya. Tiga hari lalu saya menerima hasil tes yang dilakukan tiga minggu sebelumnya di Amerika (lihat Mencoba DNA untuk Setengah Manusia ). Sebagian besar hasil tes itu sesuai dengan perkiraan saya. Sebagian lagi berupa kejutan. Ternyata benar, saya adalah orang Jawa. Artinya bukan orang dari benua lain. Hanya memang tidak jelas-jelas menyebut Jawa. Dalam pengelompokan DNA itu, darah Jawa dimasukkan dalam kelompok Asia Tenggara.
Yang juga tidak terlalu mengejutkan adalah saya memiliki darah Tionghoa. Baik dari jalur bapak, lebih-lebih dari jalur ibu. Hanya, persentasenya kecil. Kurang dari 2 persen. Menurut hasil tes DNA itu, dari jalur ibu, saya punya darah marga Lim. Sedangkan dari jalur bapak, saya memiliki darah marga Tan. Atau dalam bahasa Mandarin dikenal dengan marga Chen.
Persilangan dengan darah Tionghoa itu, kata hasil tes DNA tersebut, terjadi sekitar 10.000 tahun lalu. Saya memang masih berusaha tahu darah Asia Tenggara saya itu aslinya dari mana. Jawa? Sunda? Kamboja? Vietnam? Belum ada perinciannya. Rupanya DNA Asia Tenggara itu masuk dalam sub-besar tersendiri. Sebagaimana sub-besar Asia Timur: Jepang, Korea, dan Tiongkok. DNA Korea dan Jepang adalah perincian dari sub-besar Tionghoa. Hanya, penyebarannya ternyata dari Tiongkok ke Korea dulu, baru ke Jepang. Bukan ke Jepang dulu, baru Korea.
Sub-besar Asia Tenggara belum terperinci sampai ke subkecil seperti itu. Dengan demikian, masih terbuka perdebatan dari mana asal usul sub-besar Asia Tenggara itu. Apakah orang Jawa yang dari Malaysia, Vietnam, dan Kamboja atau orang Malaysia, Vietnam, dan Kamboja yang dari Jawa. Harus diingat satu riwayat bahwa Asia Tenggara itu dulunya satu daratan. Tidak ada laut yang memisahkannya. Bahkan, bukankah buku Atlantis, The Lost Continent menyebutkan, Asia Tenggara itu dulu sebuah benua tersendiri yang sangat makmur? Lalu benua itu lenyap akibat ledakan-ledakan gunung berapi yang mahadahsyat. Juga oleh tsunami-tsunami besar masa lalu.
Dari peta DNA saya itu, terutama dari jalur bapak, peta Jawa di asal usul darah saya terlihat lebih kental daripada peta wilayah lain di Asia Tenggara. Itu saya tafsirkan sebagai Jawa lebih tua daripada wilayah lain. Tentu Jawa pada saat itu bukan Jawa sebagai pulau tersendiri. Sedangkan menurut buku ”benua yang hilang”, pusat Benua Atlantis yang lenyap itu ada di tanah Sunda. Tentu sangat mungkin yang dimaksud Sunda zaman itu adalah Jawa atau yang dimaksud Jawa saat itu adalah Sunda.
Hasil tes itu memang menyertakan peta-peta asal usul penyebaran penduduk. Ada warna-warni gradasi di peta itu yang menunjukkan arah penyebaran DNA. Termasuk arah DNA saya dari mana. Baik dari jalur ibu maupun bapak.
Dunia memang berubah drastis akibat bencana alam. Satu letusan Gunung Tambora saja sudah bisa membuat Amerika tidak mengalami musim panas di tahun itu. Rakyat Inggris kelaparan jadi peminta-minta. Panen apa pun gagal total. Kehancuran lebih hebat di wilayah yang lebih dekat seperti India dan Tiongkok.
Tambora (di Sumbawa) meletus pada 1815. April ini ulang tahunnya yang ke-200. Baru 200 tahun. Tiga bulan lalu saya ke Tambora melihat lahan yang akan ditanami kaliandra. Awalnya tinggi gunung itu 14.000 kaki. Setelah meletus tinggal 9.000 kaki. Bayangkan betapa hebatnya letusan Gunung Toba, entah tahun berapa, yang sampai membuat Gunung Toba hilang sama sekali. Bahkan meninggalkan sebuah danau yang dalamnya sampai 1.000 meter! Itukah yang membuat Benua Atlantis hancur? Yang membuat Asia Tenggara menjadi pulau-pulau Nusantara?
Yang juga masih belum terjawab adalah Taiwan. Menurut penjelasan DNA di situ, suku asli Taiwan ternyata sangat tua dan menyebar ke mana-mana. Termasuk ke Jepang dan Asia Tenggara. Sangat banyak bahasa asli Taiwan yang mirip dengan bahasa Batak.
Kejutan terjadi saat saya melihat hasil tes berikutnya. Saya sampai tertawa ngakak sendirian di depan komputer. Hasil tes itu memang dikirim melalui e-mail yang hanya bisa dibuka setelah memasukkan password. Saya tidak siap dengan kejutan ini. Ternyata, darah saya kecampuran darah suku Indian di Amerika. Atau yang sekarang disebut dengan ras American-Indian. Itu terjadi sekitar 50.000 tahun yang lalu. Masih sulit mencari literatur bagaimana bisa darah asal Asia tercampur dengan darah suku Indian.
Satu lagi yang membuat saya kaget. Ada darah Neanderthal di tubuh saya. Perannya pun lumayan besar: 2,9 persen. Persentase itu sama besar dengan yang dimiliki teman saya yang orang Amerika kulit putih. Teman saya itu, yang sudah lebih dulu melakukan tes DNA, darahnya campuran antara Jerman dan Inggris dalam persentase yang seimbang. Lalu ada darah Indian 5 persen dan Neanderthal 2,9 persen. ”Kita ternyata masih bersaudara,” teriaknya sambil tertawa. ”Sama-sama punya darah Indian dan Neanderthal,” tambahnya.
Neanderthal adalah makhluk mirip manusia yang hidup di dalam gua-gua yang ditemukan lebih dari 100.000 tahun lalu di dekat Düsseldorf, Jerman. Untuk melihat hasil tes ini, terakhir saya masuk ke ”menu” hubungan keluarga. Saya sudah menduga tidak akan banyak nama dari orang masa lalu yang bisa ditemukan masih punya hubungan keluarga dengan saya. Ini karena penelitian DNA pada tokoh-tokoh masa lalu di Asia masih belum banyak dilakukan.
Kalau misalnya makam-makam para kaisar Tiongkok diteliti untuk diambil DNA-nya, tentu akan banyak kejutan. Akan diketahui siapa saja yang masih keturunan kaisar A atau kaisar B. Apalagi, para kaisar itu dikenal punya banyak selir. Penelitian tokoh-tokoh masa lalu baru menyangkut ”abad ke berapa” atau ”kebudayaan”-nya seperti apa. Belum sampai DNA.
Sebagian mungkin ada masalah keagamaan. Misalnya, apakah mungkin makam nabi diteliti untuk diambil secuil tulang atau bagian apa pun untuk diambil DNA baginda. Ini akan bisa menjelaskan siapa saja yang sebenar-benarnya ahlul-bait. Demikian juga rasanya, tidak mungkin mendapat izin meneliti DNA para ulama besar di zaman dulu.
Ternyata betul. Hanya enam nama yang disebut punya hubungan keluarga dengan saya. Itu pun bukan nama-nama orang terkenal. Ada nama Sudjana, ada nama Muliawati, ada nama Tionghoa, Tan Teng Teng, ada nama Korea, dan ada nama Mojahed Garoot dari Arab Saudi. Saya sungguh terhibur oleh kejutan-kejutan hasil tes DNA saya itu. (*)

Senin, 06 April 2015

New Hope : Dahlan Iskan : Semoga Saya Tidak 100 Persen Laki-Laki

Kejutan baru: Amerika, kampiun negara demokrasi itu, kini punya peraturan daerah (perda) syariah. Dengan perda baru itu, kini pedagang di Negara Bagian Indiana, tempat saya belajar, boleh menolak melayani konsumen berdasar keyakinan agama. Parlemen setempat (gabungan anggota DPRD dan anggota senat daerah) mengesahkan perda itu pekan lalu. Inilah negara bagian pertama di Amerika Serikat (AS) yang memiliki aturan seperti itu.
Heboh. Gempar. Protes pun marak. Dari berbagai wilayah. Juga dari berbagai kelompok. Pertunjukan musik di ibu kota negara bagian itu, Indianapolis, yang seharusnya berlangsung minggu depan dibatalkan. Artisnya sendiri yang membatalkan. Sebagai protes. Uang karcis dikembalikan.
Sebuah perusahaan besar juga mengancam. Ia menyatakan membatalkan ekspansinya. Bahkan lagi mempertimbangkan untuk cabut dari wilayah Indiana. Perusahaan itu seperti mewakili sikap umumnya kalangan bisnis di Indiana. Mereka khawatir buruh mereka, pada satu tahap nanti, bisa menolak aturan perusahaan berdasar keyakinan agama si karyawan.
Sebagian pemrotes menganggap aturan baru itu bertentangan dengan kebebasan yang dijunjung begitu tinggi di Amerika. Bahkan, ada yang menyatakan, itu sudah melanggar konstitusi.
Tapi, gubernur Indiana tutup mata. Dia menyatakan, aturan baru itu harus jalan terus. Dia menolak anggapan ada pasal konstitusi yang dilanggar. Separo surat pembaca di koran daerah Evansville, kampung saya sekarang, mendukung dan memuji gubernur. Separonya lagi menolak dan memaki. Mereka bahkan bilang habislah kesempatan sang gubernur untuk maju sebagai calon presiden yang akan datang. Padahal, sebelumnya banyak yang menggelarinya sebagai calon Ronald Reagan baru. Reagan, mantan bintang film itu, dinilai sebagai presiden yang hebat dari Partai Republik, partai yang sama dengan gubernur Indiana.
Indiana memang termasuk negara bagian yang sikap keagamaan penduduknya kuat. Karena itu, Partai Republik menang mutlak di sini. Menguasai parlemen setempat. Partai Demokrat tidak berdaya untuk mencegah lahirnya aturan baru itu.
Aturan itu bermula dari keinginan pedagang setempat. Khususnya pedagang bunga dan kue yang fanatik. Mereka minta diperbolehkan tidak melayani pesanan bunga atau kue dari pasangan pengantin yang sejenis. Pengantinnya laki-laki semua atau perempuan semua. Berdasar keyakinan agama mereka, perkawinan jenis itu dilarang agama. Anggota parlemen setempat memprosesnya sampai menjadi peraturan. Tanpa aturan itu, pedagang yang menolak mereka dianggap melanggar hukum.
Keberanian parlemen Indiana itu sebenarnya didorong keberhasilan gugatan perusahaan besar Hobby Lobby tahun lalu. Bos besar perusahaan itu memang pendukung berat Partai Republik. Berarti anti-Presiden Obama yang Demokrat. Ketika Obama mengeluarkan aturan BPJS Kesehatan dan aturan itu disahkan kongres (waktu itu Kongres AS masih dikuasai Demokrat) lima tahun lalu, Hobby Lobby ke pengadilan. Menggugat. Kalah. Lalu ke Mahkamah Agung. Menang. Inti gugatannya: tidak mau ikut program kesehatan Obama, khusus untuk pembelian alat-alat kontrasepsi dan biaya aborsi. Berdasar keyakinan agamanya, Hobby Lobby menyatakan, keluarga berencana itu melanggar agama dan aborsi juga dilarang agama.
Protes untuk perda syariah Indiana kali ini begitu marak karena tren penggunaan alasan keyakinan agama itu. Bukan soal perkawinan sejenis semata. Mereka khawatir ke depan akan kian terus meluas dan melebar. Misalnya dari soal gay dan lesbian ke soal lain, misalnya ke warna kulit atau ke penganut agama lain. Dan seterusnya. Bisa jadi negara bagian lain, yang tiba-tiba merasa kalah fanatik, memproses aturan yang lebih dalam lagi. Dan kecenderungan ini benar-benar terjadi. Hanya selang seminggu, Negara Bagian Georgia sudah mengumumkan niat serupa.
Tapi, mengapa pasangan gay dan lesbian ngotot minta perkawinan mereka disahkan? Bukankah mereka bisa diam-diam kumpul kebo begitu saja? Apakah dengan kawin itu mereka lantas merasa tidak berdosa?
Ternyata tidak begitu. Ini masalah hukum semata. Ini menyangkut asuransi, warisan, tanggungan biaya kesehatan, dan pajak. Misalnya, sang ”istri” mau operasi di rumah sakit. Sang ”suami” tidak bisa memberikan tanda tangan persetujuan. Atau ketika ”suami” bekerja, sang ”istri” tidak bisa mendapat tunjangan. ”Istri” juga tidak akan dapat asuransi jiwa dan warisan lainnya. Mereka juga harus membayar pajak penuh karena pasangan tidak bisa jadi faktor pengurang. Intinya, sang ”istri” atau ”suami” tidak bisa mendapatkan hak-haknya sebagai pasangan hidup.
Padahal, menurut pengakuan kelompok itu, mereka benar-benar saling mencintai dan menyayangi. Mereka tidak mau ini dianggap melanggar agama. ”Bukankah ini kehendak Tuhan juga?” kata mereka.
Saya tidak tahu apakah ini kehendak Tuhan. Atau kehendak manusia. Atau bahkan ini semata-mata kehendak lingkungan yang menciptakannya. Tapi, saya yakin suatu saat nanti dokter ahli kromosom, ahli DNA, dan ahli sel (cell) akan bisa menjelaskannya secara biologis.
Lalu para ilmuwan itu bisa melakukan modifikasi gen atau sel atau DNA atau sejenisnya. Sejak masih bayi. Atau bahkan sejak masih di kandungan. Para ilmuwan itu akan bisa melakukan pengurangan kromosom tertentu yang membuat anak-anak memiliki kecenderungan gay atau lesbi. Dengan demikian, semua bayi yang lahir ke dunia akan bisa dipastikan: kalau tidak laki-laki ya perempuan. Tidak ada yang setengah-setengah, atau seperempat-seperempat seperti itu. Agar tidak ada persoalan lagi di dunia ini. Atau agar jangan ada lagi yang menyalahkan Tuhan. Para ilmuwan akan bisa membuat manusia berkurang dosanya. Inilah dakwah ”bil-hal”-nya para dokter ahli nanti.
Bukankah jangan-jangan, menurut struktur kromosom yang ada dalam tubuh manusia, sebenarnya hanya sebagian di antara laki-laki itu yang benar-benar 100 persen laki-laki. Demikian juga perempuannya. Sebagian lagi mungkin saja kelelakiannya hanya 90%, 80%, 70%, 60%, atau di antara angka-angka itu. Yang perempuan pun demikian juga. ”Berapa persen keperempuanan Anda?” mungkin akan diketahui segera.
Saat ini pun sudah terbit sebuah buku yang mengulas kecenderungan kromosom manusia. Umur pendek atau mati karena kecelakaan, menurut buku Women After All karya Prof Dr Kevin Konner dari Emory University, Atlanta, lebih ditentukan susunan kromosom dalam diri mereka. Yakni karena mereka memiliki unsur SRY dalam DNA-nya. SRY itu berada di dalam kromosom Y. Bahkan, pemilik kromosom Y ini punya kecenderungan lain: melakukan kekerasan atau jadi korban kekerasan.
Siapa pemilik kromosom Y ini? Mudah diduga: laki-laki. Bukan perempuan. Karena itu, menurut Women After All, hampir semua bencana di dunia ini penyebabnya laki-laki. Mulai kekerasan, perang, pemerkosaan, dan seterusnya. ”Tidak ada bencana yang muncul gara-gara air mata perempuan,” kata buku itu.
Perempuan itu, menurut kromosomnya, memang mudah menangis. Dengan demikian, tangis perempuan itu alami. ”Kalau tangis laki-laki itu politis,” katanya.
Dia mengakui, banyak sekali prestasi dan kebaikan yang dibuat laki-laki. Tapi, katanya, itu semata-mata karena kesempatan lebih banyak diberikan kepada laki-laki. Sesuai dengan struktur kromosom, kalau perempuan diberi kesempatan yang sama, dunia akan lebih maju dan baik. Dengan susunan kromosom tertentu, perempuan mestinya lebih unggul hampir di segala bidang: lebih panjang umur, lebih tahan penyakit, lebih andal, lebih fair, lebih tahan, tidak fanatik, tidak mudah berburuk sangka, dan sebagainya.
Kelebihan lainnya, sudah pasti: bisa membuat kehidupan terus berlanjut. Yakni dengan kemampuannya yang tidak dimiliki laki-laki: hamil dan melahirkan.
Kelak saya akan tes kromosom. Semoga tidak 100 persen laki-laki. (*)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost