Senin, 27 Juni 2011

cvpadangduit.com



MIN PO $0.02

Turn into Scam....................

1st PO INSTANT



Uploaded with ImageShack.us

2nd PO


Uploaded with ImageShack.us

Selasa, 21 Juni 2011

Dahlan Iskan - Harapan Baru pada Listrik Sehen

Inilah perjalanan jauh untuk melihat 100 rumah yang menggunakan Lampu Sehen. Itu adalah listrik tenaga matahari model baru untuk sistem kelistrikan kepulauan. Desa itu terpencil nun di ujung barat daya Pulau Sumba, NTT.

Sudah lima bulan penduduk menggunakan Lampu Sehen. Sampai saya ke sana pekan lalu, tidak ada keluhan, tidak ada lampu yang mati dan tidak ada instalasi yang rusak. Itu mengisyaratkan bahwa target ambisius setahun menaikkan ratio elektrifikasi di NTT dari 31 persen menjadi 70 persen pun bisa dicapai.

Setahun ini sudah tiga kali saya ke NTT. Banyaknya orang yang mengatakan “mustahil elektrifikasi NTT bisa mencapai 70 persen akhir tahun ini” membuat saya sering ke sana. Apalagi saya juga terikat sumpah harus mewujudkan proyek listrik panas bumi (geotermal) Ulumbu (Ruteng) yang sangat lama macet itu.

Perjalanan panjang kali ini saya mulai dari Kupang. Dari bandara, malam itu saya langsung ke proyek PLTU Kupang yang lama tersendat. Saya kaget, gubernur dan wakil gubernur menyambut di bandara. Pasangan kepala daerah yang sangat rukun tersebut (di banyak daerah terjadi “perang dingin”) memang sangat merindukan listrik NTT maju.

Pagi-pagi kami sudah terbang ke Kecamatan Kangae, Sikka, Flores. Itulah kecamatan pertama di Indonesia yang seluruh pelanggan listriknya menggunakan sistem prabayar, sehingga mendapatkan rekor Muri. Sampai-sampai, Wakil Bupati Sikka dr Wera Damianus iri. “Kampung kelahiran saya sendiri sampai hari ini belum berlistrik,” katanya.

Dia bercerita, betapa menderitanya penduduk Pulau Palue, tempat kelahirannya tersebut. Bukan hanya tidak ada listrik, tapi juga tidak ada sumber air. Sudah dicoba dibor, tidak pernah berhasil. Penduduk sepenuhnya bersandar pada air hujan. Padahal di sana lebih sering kemarau. Untuk itu, tiap rumah harus punya paling tidak tiga pohon pisang.

Dari pokok pohon pisang yang dilubangi itulah air untuk minum dan masak didapat. Pisang pun menjadi simbol kehidupan di Palue. “Kalau ada perjaka yang minta kawin, biasanya ditanya: Memangnya sudah mampu menanam berapa pohon pisang?” tuturnya.

Setelah mendengar itu, saya bertekad Pulau Palue harus berlistrik akhir tahun ini. Dari Kangae, saya langsung ke Sumba, sebuah pulau yang besarnya tiga kali Bali, tapi penduduknya amat jarang. Lebih banyak jumlah kudanya.

Mendarat di Kota Waingapu, kami langsung menelusuri jalan darat menuju Waitabula/Tambolaka di pantai barat Sumba. Perjalanan itu sebenarnya bisa ditempuh enam jam. Namun, kami harus membelok dulu memasuki padang savanna yang luas di tengah pulau. Saya ingin tahu lokasi pembangkit listrik tenaga air yang segera dibangun.

Pencarian lokasi itu ternyata tidak mudah. Kami sempat tersesat. Di padang savanna tersebut tanda untuk sebuah lokasi hanyalah bukit dan rumput. Padahal bentuk bukit dan jenis rumputnya mirip semua. Padahal entah berapa bukit yang harus dilampaui. Sesekali memang terlihat penunggang kuda sandel yang kepalanya timbul tenggelam di sela-sela rumput di kejauhan. Namun, karena kudanya terus berlari, tidak bisa juga dipakai patokan arah. Begitu lamanya mencari jalan memutar itu sehingga ketika senja tiba kami masih di savanna.

Diam-diam saya mensyukuri ketersesatan itu. Bisa menikmati senja yang menakjubkan. Sejauh mata memandang, hanya ada savanna. Tidak terlihat satu pun kampung atau bangunan. Berada di tengah-tengah savanna tersebut, saya merasa seperti berada di pedalaman Irlandia. Sama sekali tidak menyangka ini di pedalaman Sumba! Apalagi udaranya sekitar 18 derajat Celsius! Alangkah sejuknya!

Keindahan itu meningkat menjadi ketakjuban manakala dari kaki langit yang cerah tersebut menyembul bulan yang kebetulan lagi purnama. Begitu menornya. Seperti wajah Malinda Dee di pentas peragaan kebaya! Uh! Tersesat yang menyenangkan. Tidak menyangka sore itu saya bisa menikmati alam seasli-aslinya. Savanna yang seperti penuh misteri. Goyangan rumputnya. Bayangan bukitnya. Temaram cahaya purnamanya. Menyatu di keluasan cakrawala bumi manusia yang langka!

Ada yang membuat saya lebih bersyukur. Saya baru terhindar dari cedera. Setengah jam sebelum memasuki savanna itu, mobil yang saya kemudikan menabrak mobil di depan. Ringsek. Harus diderek kembali ke Waingapu.

Sebenarnya saya sudah mencoba mengerem sekuat tenaga. Tapi, kecepatan mobil berbanding jaraknya tidak memadai lagi. Aspalnya pun dilapisi debu tebal dari bukit kapur yang sedang dibongkar di tebing jalan. Kapur itulah yang membuat ban tidak bisa mencengkeram aspal dengan sempurna. Saya juga tidak mungkin membanting setir mobil ke kiri karena akan menabrak tebing.

Saya menyadari kesalahan saya. Saya tidak tarik rem tangan. Refleks itu tidak muncul. Mungkin sudah lelah karena sudah hampir dua jam mengemudi. Mobil di depan saya itu terhenti mendadak karena menabrak truk dari arah depan. Dua mobil ringsek.

Pukul 22.00 kami baru tiba di kota kecil Waikabubak, Sumba Barat. Namun tidak bisa segera beristirahat. Hotel sederhana di situ lagi penuh. Harus mencari kota kecil berikutnya yang jaraknya sekitar sejam. Sekalian mencapai tujuan akhir perjalanan malam itu: Tambulaka.

Bagi yang merasa baru sekali ini mendengar nama Tambulaka, baiknya ingat peristiwa Adam Air. Pesawat dengan lebih dari 200 penumpang yang tersesat dan kehilangan arah tersebut akhirnya bisa mendarat di suatu daerah terpencil. Ya Tambulaka itulah yang dimaksud. Waktu itu sang pilot sebenarnya hanya ingin mendarat darurat di pantai pasir putih yang panjang “entah di pulau apa. Tapi, begitu mendekati pantai, terlihatlah ada bandara kecil. Itulah Bandara Tambulaka.

Salah satu desa pengguna Lampu Sehen yang sedang kami promosikan berada di 10 km dari bandara tersebut. Nama Sehen (super ekonomi hemat energi) diciptakan PLN karena sistem itu memang belum ada namanya. Sehen-lah yang mengakhiri riwayat hidup lampu petromaks di desa itu. Dan kelak di seluruh Sumba bahkan di banyak pulau Indonesia.

Dengan Lampu Sehen, masing-masing rumah seperti memiliki pembangkit listriknya sendiri-sendiri, memiliki trafonya sendiri-sendiri, dan memiliki jaringan kabelnya sendiri-sendiri. Dengan Sehen, tidak ada lagi lampu mati karena travo meledak, karena kabel penyulang terganggu, atau karena tiang listrik roboh. Dengan Lampu Sehen juga tidak ada pencurian listrik, tidak ada pembaca meter, dan tidak ada tagihan yang salah.

Dengan Lampu Sehen, Desa Karuni langsung berubah. Desa asli dengan budaya Sumba yang unik itu tidak lagi gelap gulita. Rumah-rumahnya tetap rumah panggung dengan dinding kayu dan atap daun rumbia, tapi ada peralatan modern di atas atapnya. Sebuah panel kecil yang kalau siang menyerap tenaga matahari. Tidak perlu baterai khusus karena alat penyimpan listriknya sudah ada di dalam bola lampu itu sendiri.

Setiap rumah mendapat jatah tiga bola lampu. Masing-masing 220 lumen. Istilah “lumen” tersebut harus mulai dihafal karena untuk tenaga surya tidak menggunakan satuan watt. Tingkat terang 220 lumen hampir setara dengan 40 watt. Sangat terang.

Tiap-tiap bola lampu dilengkapi benang penarik untuk on/off. Benang penarik itu juga berfungsi untuk mengubah lumen. Mereka menyalakan lampu tersebut mulai pukul 17.00 dengan menarik benang sekali tarikan. Pada pukul 23.00 atau menjelang tidur, mereka menarik benang sekali atau dua kali lagi untuk mengurangi terangnya cahaya sekaligus menghemat setrumnya.

Yang membuat penduduk senang-senang-geli, bola lampu tersebut bisa dipetik dari tempatnya untuk dibawa ke mana-mana dalam keadaan menyala. Di sinilah serunya. Setiap ada perhelatan di desa itu, tidak perlu lagi menyewa genset seperti dulu. Cukuplah masing-masing undangan membawa lampunya sendiri-sendiri untuk kemudian dicantelkan di mana saja di lokasi perhelatan. Kalau ada 50 undangan yang datang dan masing-masing membawa satu Sehen, terangnya bukan main.

Sudah lima bulan Lampu Sehen berfungsi dengan baik. Menyenangkan. Ini tidak akan sama dengan proyek yang pernah dikembangkan di beberapa kementerian yang kemudian menimbulkan perkara korupsi itu. Lampu Sehen tersebut tetap milik PLN, diurus oleh orang PLN, dirawat oleh PLN, dan ditagih oleh PLN. Tidak akan terjadi penduduk bisa menjual Lampu Sehen-nya.

Masih ada plus yang lain. Di setiap “desa Sehen”, PLN memberikan satu set TV berbasis tenaga surya 21 inci. Berikut parabolanya. TV itu diletakkan di plaza, eh gubuk, terbuka di depan rumah pak RT. Malam itu teman-teman PLN sempat nonton TV bersama penduduk yang ternyata sangat menyenangi sinetron. Mereka juga ketagihan film India. Maklum, meski di desa yang begitu jauh, mereka bisa menonton 28 channel dengan kualitas gambar yang sempurna.

Hanya, menonton sinetron atau film India sebenarnya terserah selera pak RT karena pak RT-lah yang memegang remote control-nya. (*)

Dahlan Iskan
CEO PLN

Minggu, 19 Juni 2011

CEO PLN Note : Bupati Baru di Kolam Keruh

Begitu banyak bupati/walikota di Indonesia tapi jarang yang menonjol. Di antara yang sedikit itu termasuk Walikota Solo, Bupati Sragen, Bupati Lamongan yang dulu (saya belum mengenal reputasi bupati yang sekarang), Bupati Wakatobi di Sulawesi Tenggara, Walikota Ternate, Walikota Bau-bau di pulau Buton, Bupati Asahan, Bupati Berau di Kaltim dan Walikota Surabaya (baik yang Bambang DH maupun penggantinya). Masih ada beberapa lagi memang, tapi tidak akan seberapa.


Kini, dalam posisi sebagai Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN Persero), saya lebih banyak lagi mengenal, bergaul dan berinteraksi dengan  bupati/walikota. Apalagi saya terus berkeliling Indonesia untuk melihat dan menyelesaikan problem kelistrikan Nusantara.
Dari situ saya mencatat bupati/walikota itu umumnya biasa-biasa saja: banyak berjanji di awalnya, lemah di tengahnya dan menyerah di akhirnya. Saya tidak tahu akan seperti apa Bupati Tuban yang baru terpilih, H. Fathul Huda ini. Apakah juga akan menjadi bupati yang biasa-biasa saja atau akan menjadi bupati yang tergolong sedikit itu. Bahkan jangan-jangan akan jadi bupati yang sama mengecewakannya dengan yang dia gantikan.
Saya tahu dari para wartawan, bahwa Fathul Huda adalah orang yang awalnya tidak punya keinginan sama sekali untuk menjadi bupati. Dia sudah mapan hidupnya dari bisnisnya yang besar.  Dia adalah pengusaha yang kaya-raya. Dia juga bukan tipe orang yang gila jabatan. Dia adalah orang yang memilih mengabdikan hidupnya di dunia keagamaan. Juga dunia sosial. Dunia kemasyarakatan. Sekolah-sekolah dia bangun. Juga rumah sakit. Dia yang sudah sukses hidup di dunia sebenarnya hanya ingin lebih banyak memikirkan akherat. Kalau pun berorganisasi, ia adalah Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Tuban.
Tapi sejak enam tahun lalu begitu banyak orang yang menginginkannya jadi bupati Tuban. Itu pun tidak dia respons. Begitu banyak permintaan mencalonkan diri dia abaikan. Tahun lalu permintaan itu diulangi. Juga dia abaikan. Menjelang pendaftaran calon bupati malah dia pergi umroh ke Makkah. Baru ketika, Gus Saladin (KH Sholachuddin, kyai terkemuka dari Tulungagung, putra KH Abdul Jalil Mustaqiem almarhum) meneleponnya dia tidak berkutik. Ini karena Gus Saladin dia anggap seorang mursyid yang tidak boleh ditolak permintaannya. Konon Gus Saladin lebih hebat dari bapaknya yang hebat itu.
Begitu Gus Saladin menugaskannya menjadi bupati Tuban, dia sami’na waatha’na. Dia kembali ke tanah air mendahului jemaah lainnya. Tepat di tanggal penutupan pendaftaran dia tiba di Tuban. Tanpa banyak kampanye dengan mudah dia terpilih dengan angka lebih dari 50%.
Cerita itu saja sudah menarik. Sudah bertolak belakang dengan tokoh yang dia gantikan yang dikenal sangat ambisius akan jabatan. Termasuk nekad mencalonkan diri lagi meski sudah dua kali menjadi bupati hanya untuk mengejar jabatan wakil bupati.
Sebagai sesama orang swasta yang terjun ke pemerintahan, saya bisa membayangkan apa yang dipikirkan Fathul Huda menjelang pelantikannya 20 Juni besok. Mungkin sama dengan yang saya bayangkan ketika akan dilantik sebagai Dirut PLN: ingin banyak sekali berbuat dan melakukan perombakan di segala bidang.
Tapi, sebentar lagi, setelah dilantik nanti Fahtul Huda akan terkena batunya. Hatinya akan berontak: mengapa tidak boleh melakukan ini, mengapa sulit melakukan itu, mengapa jadinya begini, mengapa kok begitu, mengapa sulit mengganti si Malas, mengapa tidak boleh mengganti si Lamban, mengapa si Licik duduk di sana, mengapa si Banyak Cakap diberi peluang dan mengapa-mengapa lainnya.
Saya perkirakan Fathul Huda akan menghadapi situasi yang jauh lebih buruk dari yang saya hadapi. Di PLN saya mendapat dukungan besar untuk melakukan perubahan besar-besaran. Mengapa? Karena orang-orang PLN itu relatif homogen. Mayoritas mereka adalah sarjana, bahkan sarjana tehnik yang berpikirnya logik. Mereka adalah para lulusan terbaik dari perguruan tinggi terkemuka di republik ini. Sebagai sarjana tehnik logika mereka sangat baik. Sesuatu yang logis pasti diterima. Ide-ide baru yang secara logika masuk akal, langsung ditelan. Mereka memang sudah lama berada dalam situasi birokrasi yang ruwet, tapi dengan modal logika yang sehat, keruwetan itu cepat diurai.
Sedang Fathul Huda akan menghadapi masyarakat yang aneka-ria. Ada petani, pengusaha. Ada politisi ada agamawan. Politisinya dari berbagai kepentingan dan  agamawannya dari berbagai aliran. Ada oportunis, ada ekstremis. Ada yang  buta huruf, ada yang professor. Ada anak-anak, ada orang jompo. Yang lebih berat lagi Fathul Huda akan berhadapan dengan birokrasinya sendiri.
Bukan saja menghadapi bahkan akan menjadi bagian dari birokrasi itu. Di lautan birokrasi seperti itu Fathul Huda akan seperti benda kecil yang dimasukkan dalam kolam keruh birokrasi. Di situlah tantangannya. Fathul Huda bisa jadi kaporit yang meskipun kecil tapi bisa mencuci seluruh kolam. Atau Fathul Huda hanya bisa jadi ikan lele yang justru hidup dari kolam keruh itu. Pilihan lain Fathul Huda yang cemerlang itu hanya akan jadi ikan hias yang tentu saja akan mati kehabisan udara segar.
Birokrasi itu “binatang” yang paling aneh di dunia: kalau diingatkan dia ganti mengingatkan (dengan menunjuk pasal-pasal dalam peraturan yang luar biasa banyaknya). Kalau ditegur dia mengadu ke backingnya. Seorang birokrat biasanya  punya backing. Kalau bukan atasannya yang gampang dijilat, tentulah politisi. Atau bahkan dua-duanya. Kalau dikerasi dia mogok secara diam-diam dengan cara menghambat program agar tidak berjalan lancar. Kalau dihalusi dia malas. Kalau dipecat dia menggugat. Dan kalau diberi persoalan dia menghindar.
Intinya: ide baru tidak gampang masuk ke birokrasi. Birokrasi menyenangi banyak program tapi tidak mempersoalkan hasilnya. Proyek tidak boleh hemat. Kalau ada persoalan jangan dihadapi tapi lebih baik dihindari. Dan keputusan harus dibuat mengambang. Pokoknya birokrasi itu punya Tuhan sendiri: tuhannya adalah peraturan. Peraturan yang merugikan sekalipun!
Fathul Huda tentu tahu semua itu. Sebagai pengusaha (dari perdagangan sampai batubara) dia tentu merasakan bagaimana ruwetnya menghadapi birokrasi selama ini. Tapi sebagai pengusaha pula Fathul Huda tentu banyak akal. Kini saya ingin tahu: seberapa banyak akal Fathul Huda yang bisa dipakai untuk mengatasi birokrasinya itu. Apalagi birokrasi di Tuban sudah begitu kuatnya di bawah bupati yang amat birokrat selama 10 tahun.
Yang jelas Fathul Huda sudah punya modal yang luar biasa: tidak takut tidak jadi bupati! Itulah modal nomor satu, nomor dua, nomor tiga, nomor empat dan nomor lima. Modal-modal lainnya hanyalah nomor-nomor berikutnya. Tidak takut tidak jadi bupati adalah sapu jagat yang akan menyelesaikan banyak persoalan. Apalagi kalau Fathul Huda benar-benar bertekad untuk tidak mengambil gaji (he he gaji bupati tidak ada artinya dengan kekayaannya yang tidak terhitung itu), tidak menerima fasilitas, kendaraan dinas, HP dinas dan seterusnya seperti yang begitu sering dia ungkapkan.
Banyak akal, kaya-raya dan tidak takut tidak jadi bupati. Ini adalah harapan baru bagi kemajuan Tuban yang kaya akan alamnya. Pantai dangkalnya bisa dia jadikan water front yang indah. Pantai dalamnya bisa dia jadikan pelabuhan yang akan memakmurkan. Pelabuhan Surabaya sudah kehilangan masa depannya. Tuban, kalau mau bisa mengambil alihnya!
PDI-Perjuangan sudah dikenal memilki banyak bupati/walikota yang hebat: Surabaya, Solo, Sragen. Muhammadiyah juga sudah punya Masfuk. Kini PKB punya tiga yang menonjol: di Banyuwangi, Kebumen dan Tuban. Akankah tiga bupati ini  bisa membuktikan bahwa tokoh Nahdliyyin juga bisa jadi pimpinan daerah yang menonjol?
Tapi birokrasi akan dengan mudah menenggelamkan mimpi-mimpi mereka dan mimpi besar Fathul Huda di Tuban.
Di Tubanlah kita akan menyaksikan  pertunjukan  yang sangat menarik selama lima tahun ke depan. Pertunjukan kecerdikan lawan keruwetan. Fathul Huda bisa memenangkannya, dikalahkannya atau hanya akan jadi bagian dari pertunjukan itu sendiri: sebuah pertunjukan yang panjang dan melelahkan!
CEO PLN
Dahlan Iskan

Jumat, 03 Juni 2011

CEO PLN Note : Lahirnya Bayi-Bayi Baru dan Mulainya SPPD Berkuota

Lahirnya Bayi-Bayi Baru dan Mulainya SPPD Berkuota
Satu per satu PLTU program 10.000 MW mulai menghasilkan listrik. Jumat malam lalu (27 Mei 2011) satu unit PLTU Lontar (beberapa kilometer sebelah barat Bandara Cengkareng) sudah bisa menghasilkan listrik 216 MW dari kapasitasnya 300 MW.
Memang, seperti umumnya PLTU baru, setelah dua hari dicoba, pembangkit tersebut harus dihentikan dulu beberapa hari karena diketahui ada beberapa bagian yang harus dikoreksi. Koreksi ini tidak serius karena hanya meliputi sensor temperatur di super heater, shoot blower yang temperaturnya terlalu tinggi dan cacat di anti-steam explotion. Tidak seperti di Suralaya-8, yang begitu dites, bagian yang penting gagal fungsi. Meski bulan lalu juga berhasil start kembali, prosesnya sempat menjengkelkan. Sebab, alat yang tidak berfungsi itu harus diganti dengan cara mendatangkan alat baru dari luar negeri.
Yang lebih mengesalkan adalah PLTU di Paiton. Begitu dicoba, trafo step-up-nya terbakar. Penyelesaian PLTU ini harus mundur delapan bulan karena trafo 500 kv-nya harus dibuat lagi di pabriknya di Tiongkok.
Dengan selesainya unit-1 PLTU Lontar, kini sudah delapan unit yang menghasilkan listrik. Total sudah sekitar 3.000 MW dari 10.000 MW yang direncanakan. Kalau saja tidak ada masalah trafo di Paiton, angka itu sudah mencapai 3.600 MW. Sampai akhir tahun ini masih tambah lagi beberapa unit, sehingga mencapai paling tidak 4.500 MW yang selesai.
Kita memang sudah sangat lama menunggu lahirnya bayi listrik di Lontar itu. Hamilnya sudah terlalu lama. Teman-teman PLN bekerja keras setahun terakhir ini untuk menjaga agar bayi PLTU Lontar tidak lahir cacat.
Sejak awal proyek ini memang mengalami hambatan besar. Bahkan, sejak pencarian tanahnya yang harus berpindah-pindah. Ketika kali pertama meninjau proyek ini (tidak lama setelah dilantik menjadi Dirut PLN), saya geleng-geleng kepala. Apalagi waktu itu baru saja hujan. Mobilitas alat, barang, dan pekerja sangatlah lebay. Yang terlihat di sekitar proyek hanyalah kubangan dan lumpur. “Ini proyek horor,” kata saya dalam hati saat itu.
Di tengah-tengah horor itu teman-teman yang menangani proyek ini ternyata tidak kehilangan rasa humornya. “Normalnya proyek PLTU itu dibangun dulu, baru kemudian dilakukan firing (pembakaran untuk menghasilkan uap). Tapi, PLTU Lontar ini firing dulu, baru dibangun,” ujarnya.
Tentu saya tidak mengerti di mana lucunya kalimat itu. Setelah diceritakan kejadiannya, barulah saya tertawa. Ternyata, sebelum proyek ini dimulai, penduduk sekitar sempat marah dan melakukan pembakaran yang menghebohkan. Setelah peristiwa pembakaran itu diatasi, barulah proyek bisa dimulai kembali.
Sebenarnya permukiman penduduk cukup jauh dari proyek ini. Areanya terpisahkan oleh persawahan sejauh kira-kira 2 km. Untuk bisa sampai ke proyek ini pun sulitnya bukan main. Harus menundukkan dulu jalan darurat yang berkubang dan berkubang.
Sepintas proyek ini seperti dibangun di tengah persawahan.Ternyata PLTU Lontar juga dibangun di pinggir pantai. Hanya, pantainya berada nun jauh di 2 km sana. Bisa dibayangkan betapa horornya proyek ini. Betapa sulitnya mengerjakannya. Termasuk betapa beratnya membangun water intake dan water outflow-nya. Maka, sejak awal pun saya memastikan bahwa pembangunannya akan lambat.
Yang bisa dilakukan hanyalah bagaimana agar bayi horor ini tidak lebih lama lagi ngendon di kandungan. Juga bagaimana agar kualitas si bayi bisa lebih baik dibanding yang lahir setahun sebelumnya. Setidaknya, jangan seperti yang di Labuhan yang sampai setahun kemudian pun masih terkena asma.
Kalau benar yang selesai pada 2011 ini kualitasnya lebih baik, tentu itu sebuah prestasi. Begitu ketat mengendalikan proyek sekarang ini. Sampai-sampai berbagai ancaman dikeluarkan. Di PLTU Rembang saya sempat mengancam mengusir kontraktornya. Demikian juga di Suralaya-8, manajer proyek di sana benar-benar mengusir pimpinan proyek yang diangkat kontraktornya.
Henky Heru Basudewo, penanggung jawab proyek-proyek itu di Jawa, sampai menciptakan sistem baru agar bisa mengendalikan anak buahnya 24 jam. HHB, begitu panggilannya, terus menguber para manajer proyek seperti menguber perampok. Begitu ketatnya HHB mengendalikan para manajer, sampai-sampai muncul kesan seolah-olah mereka itu seperti terdakwa. Seolah-olah keterlambatan proyek itu gara-gara mereka. Padahal, mereka baru diterjunkan satu tahun lalu, justru ketika proyek-proyek itu sudah sangat terlambat.
Dengan selesainya proyek-proyek itu satu per satu, tekanan untuk pasokan listrik di Jawa sudah berkurang. Tiga bulan lalu pasokan listrik di Jawa kembali memburuk. Yakni, ketika tiba-tiba air di waduk Saguling, Jabar, menurun drastik. PLN tiba-tiba saja kehilangan 1.300 MW setiap hari. Saat itu mestinya kondisi listrik di Jawa hancur-hancuran. Tapi, berkat kerja keras teman-teman PLN di distribusi, masyarakat tidak terlalu merasakan krisis itu. Kini, kalaupun waduk Saguling kehabisan air lagi, tekanan kekurangan listrik tidak terasa lagi.
Sistem pengendalian proyek itu bisa efektif karena BlackBerry. Semua jajaran proyek harus menggunakan BlackBerry agar bisa berkelompok dalam grup BBM. Maka, seluruh jajaran proyek dikelompokkan dalam grup BBM. Saya dan Dirops Jawa-Bali dianggap kepala proyek juga, sehingga kami berdua dimasukkan ke dalamnya.
Di situlah sesama manajer proyek saling melapor, memberikan saran, jalan keluar, memberikan instruksi, memuji, sewot, ngedumel, dan meringis. Bahkan sekadar melucu, untuk melepas stres. Setiap akhir pekan mereka bertukar lelucon. Kadang leluconnya memakai bahasa Suroboyoan sehingga banyak manajer yang Batak protes tidak bisa ikut tertawa.
Dengan sistem BBM itu, praktis sesama manajer proyek terhubung selama 24 jam. Sejak pukul 05.00 sampai pukul 24.00. BBM biasanya sudah “on” pada pukul 05.00. Mulai saat itu siapa pun sudah boleh mulai mengajukan persoalan yang dihadapi hari itu. Sesekali saya ikut nimbrung.
Saya membayangkan, kalau semua unit di PLN membuat grup seperti itu, alangkah efektifnya organisasi ini. Juga alangkah turunnya SPPD, biaya perjalanan dinas. Apalagi, SPPD memang harus turun pascapuasa SPPD sebulan penuh yang berakhir pada 31 Mei 2011 lalu. Apalagi, kini diberlakukan “kuota SPPD’. Kuota ini diterapkan dengan sistem terkomputer, sehingga begitu kuotanya habis tidak bisa di-klik lagi. (*)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost