Minggu, 08 Mei 2016

Dahlan Iskan : New Hope 76 : Bukan Lagi Sekadar Trump Lawan Hillary

Dia tidak diperhitungkan saat mendaftarkan diri jadi calon presiden. Dianggap bukan calon yang serius. Ketika mulai tampak serius, dia dicibir. Bahkan, dijadikan bahan lawakan.
Ejekan terus mengalir. Sepanjang proses menuju konvensi Partai Republik. Saat dia mulai memikat, ejekan ditingkatkan jadi serangan.
Keburukan demi keburukan ditembakkan ke dia. Dianggap bodoh. Konyol. Brutal. Rasis.
Tapi, semua itu hanya membuat namanya kian populer. Terus disebut oleh media: Donald Trump.
Dia memang begitu kelihatan aneh. Norak. Konyol. Tapi, di lain pihak, dia jadi kelihatan berbeda. Menjadi tokoh yang ”bukan biasa”.
Lama-lama calon presiden yang lain jadi membosankan. Jadi terlihat mapan. Kuno.
Perkembangan berikutnya pun masih menarik. Trump bukan saja menjadi tokoh. Dia telah berubah menjadi pertunjukan. Enak untuk ditonton. Oleh yang benci maupun yang senang.
Dengan kerasisannya, kefanatikannya, dan kekonyolannya. Seperti reality show. Seperti Uya-kuya. Atau Tukul. Atau Sule. Awalnya terasa konyol, tapi menghibur. Menyenangkan. Menarik, akhirnya.
Saya sendiri lama-lama kecanduan. Apalagi saya di Amerika. Tontonan itu terasa dekat. Saya jadi sering menunggu Trump tampil di TV.
Ingin melihat kenorakannya. Atau mendengar statement kacaunya. Misalnya: ”Kalau Hillary itu laki-laki, tidak akan bisa dapat suara lima persen.” Atau: ”Bapaknya Ted Cruz itu pernah ikut Lee Harvey Oswald menyebarkan pamflet pro-Fidel Castro.”
Ted Cruz, lawan terberatnya di Partai Republik, memang keturunan Kuba. Fidel Castro adalah diktator Kuba yang dibenci Amerika. Dan Oswald adalah orang yang menembak mati Presiden John F. Kennedy.
Trump ingin mengesankan bahwa ayah Cruz terlibat pembunuhan presiden AS yang legendaris itu. Tidak ada data pendukung. Tapi, tepuk tangan pengikutnya gemuruh.
Dua hari kemudian, Cruz, anggota parlemen dari Kansas itu, lempar handuk. Yakni, setelah kalah di pemilu negara bagian Indiana. Tidak mungkin lagi Cruz mengejar.
Trump memang sering menyerang secara pribadi lawan politiknya. John Kasich yang kalem dan langsing itu dia serang dengan panggilan si kurang energi. Padahal, menjadi presiden itu perlu banyak energi.
Marco Rubio yang tubuhnya mungil itu dia gelari ”si kecil Rubio”. Kesannya: mana bisa anak kecil jadi presiden.
Bahkan, tokoh yang mendukung Cruz ikut dihabisi. John McCain yang saat jadi capres tujuh tahun lalu membanggakan diri sebagai patriot perang di Vietnam ikut ditumbangkan. ”McCain itu bukan pahlawan,” ujar Trump.
Itu didasarkan pada fakta bahwa saat perang di Vietnam, McCain tertangkap Vietcong. Seorang hero di mata Trump barangkali harus seperti Rambo.
Tuduhan-tuduhan Trump yang sangat pribadi seperti itu memang ampuh sebagai pembangkit emosi sesaat. Sebaliknya, cap itu akan menempel terus pada korbannya. Seumur hidup.
Terbunuhlah karakter. Karier anak muda seperti Rubio bisa habis selamanya. Si kecil Rubio akan jadi panggilannya yang abadi.
Memang begitu banyak yang marah kepada Trump: pimpinan partainya, kader-kader asli partai, wanita, keturunan Spanyol, Meksiko, RRT, Jepang, Eropa, Islam, dan kaum globalis.
Dua mantan presiden dari Republik, George Bush dan bapaknya, bikin pernyataan: tidak akan mendukung Trump. Grup band Rolling Stone melarang Trump menggunakan lagu-lagunya. Penyanyi Inggris Adele juga bersikap sama.
Tapi, berbagai senjata untuk menghentikan Trump ternyata tumpul. Trump melaju sendirian. Dua calon presiden lainnya sudah lempar handuk.
Partai pun pasrah. Apa boleh buat. Trump praktis hampir resmi jadi calon presiden dari Partai Republik. Berhadapan dengan calon dari Partai Demokrat Hillary Clinton.
Rencana mengganjal Trump di konvensi menjadi tidak relevan. Trump bukan hanya menang. Tapi, juga berhasil mencapai persentase kemenangan yang mutlak.
Memang awalnya tidak mengkhawatirkan. Hasil semua survei jelas: Hillary pasti menang. Bahkan, dilawankan Bernie Sanders pun, Trump pasti kalah. Tapi, pasang naik Trump belakangan ini mulai mengubah peta.
Kemenangan berturut-turut di 11 pemilu negara bagian terakhir ini bisa seperti Jamie Vardy di klub sepak bola Inggris Leicester (baca: Lesster, bukan Leicerter). Terus-menerus mencetak gol di 11 pertandingan.
Trump berhasil terus menguasai panggung. Trump terus happening. Akibatnya, Hillary mulai terlihat biasa-biasa saja. Ini bukan lagi Trump lawan Hillary. Tapi, baru lawan lama. Tidak biasa lawan biasa. Urakan lawan santun. Kecuali Hillary menemukan angin baru. Yang membuatnya kembali berkibar.
Tapi, bagaimana dengan kebencian yang begitu banyak kepada Trump? Seorang penulis di The New York Times dengan nada sinis minta pembacanya agar tidak terlalu khawatir. Tulisnya: Trump itu pragmatis. Bisa gampang berubah. Segampang dia mengganti istrinya. (*)

Minggu, 01 Mei 2016

Dahlan Iskan : New Hope 75 : Sistem Profesor untuk Sekolah Baru


Sistem Profesor untuk Sekolah Baru

Inilah jenis sekolah yang tumbuh pesat di Amerika Serikat: charter school. Bukan negeri. Bukan pula swasta.
Pendiri sekolah jenis ini umumnya guru. Yang punya jiwa keguruan 24 karat. Yang prihatin terhadap mutu pendidikan.
Maksudnya: pendidikan di sekolah negeri. Terutama di lingkungan tempat tinggalnya.
Misalnya Tyler Bastian ini. Awalnya dia guru SMA. Untuk mata pelajaran pembentukan karakter. Sesuai dengan prodi saat kuliah dulu.
Bastian prihatin dengan karakter remaja di lingkungannya. Begitu banyak yang drop out. Alasannya macam-macam. Intinya: sekolah tidak menarik bagi mereka.
Bastian lantas mengajak beberapa guru bergabung. Mendirikan charter school. Mereka menyusun pengurus. Bastian ketuanya.
Sejak 15 tahun lalu sebagian negara bagian memang mengizinkan berdirinya jenis sekolah baru ini. Bastian mau itu.
Langkah kedua: Bastian menyusun charter. Tebalnya 200 halaman. Mirip anggaran dasar: sekolah seperti apa yang diinginkan. Dan seperti apa kurikulumnya.
Berikutnya: Bastian menyusun program. Bagaimana mengusahakan bangunan, peralatan, mencari guru, mencari murid, dan mencari sumber dana.
Semua dokumen itu diajukan ke pemerintah negara bagian. Setingkat pemda provinsi di sini.
”Setahun saya mempersiapkan semua itu,” ujar Bastian saat saya mengunjungi sekolahnya. ”Tahun berikutnya sudah mendapat persetujuan.” Tahun ketiga sekolah dimulai.
Persetujuan itu penting: untuk mendapatkan biaya dari pemerintah. Besarnya Rp 70 juta (USD 5.000) per siswa per tahun. Memang itu tidak cukup. Tapi lumayan. Lebih dari 70 persen biaya sekolah. Menurut Bastian, di sekolahnya, per siswa menghabiskan USD 7.000/tahun.
Dia harus mencari sumbangan untuk menutup kekurangannya. Dia tidak boleh mencukup-cukupkan biaya dari pemerintah itu. Dia harus memenuhi komitmen mutu pendidikan sesuai dengan charter yang sudah dia buat.
Sekolah milik Bastian ini berada sekitar 20 km dari pusat Kota Salt Lake City, Utah. Namanya: Roots Charter High School. Bangunannya masih sewa. Bekas gedung kesehatan.
”Saya beri nama Roots agar siswa belajar mengenai akar semua masalah kehidupan,” ujar Bastian.
Memasuki ruang kelas sekolah ini, saya tidak kaget. Inilah ruang kelas SMA di Amerika: siswanya boleh pakai kaus, sandal, topi, dan celana pendek. Saya lihat seorang siswi membawa anjing ke kelas.
Duduknya pun boleh sesukanya: duduk manis, selonjor, kaki di atas kursi, dan sebagainya. Susunan kursi juga tidak harus rapi berderet.
Boleh beberapa kursi menggerombol memisah dari kursi lain. Tidak ada meja. Hanya kursi. Yang ada tempat buku atau laptopnya. Umumnya murid sibuk dengan laptop masing-masing.
Gurunya pun tidak di depan kelas. Keliling mendatangi murid yang memerlukan supervisi. Murid lain boleh berdiri di dekat guru. Ikut mendengarkan. Atau tidak.
Hari itu, 18 April lalu, saya melongok ke tiga kelas: matematika, sejarah, dan kimia. Semua mirip adanya: guru bersikap seperti teman murid. Pakaiannya pun semaunya.
Bastian juga menyewa lahan berjarak sekitar 100 meter dari sekolah. Untuk praktikum. Saya juga mengunjunginya. Untuk melihat kekhasan sekolah ini.
Seorang siswi dengan celana jins sedang memaku papan. Untuk bedeng tanaman sayuran. Tujuh siswa/siswi berada di kandang kambing.
Mereka mempraktikkan cara menyayangi anak kambing: merangkulnya di pangkuan, mengelus bagian yang disuka dan memeluknya. Menurut ilmu menyayangi kambing, bagian leher bawahlah yang harus dielus.
Tentu kandang kambing ini mengingatkan akan masa remaja saya: menjadi penggembala kambing. Saya sudah biasa menggendong anak kambing, membantu kelahiran, dan memandikan kambing. Tapi tidak secara ilmiah begini.
Segerombol siswa lagi memperhatikan temannya memandikan sapi. Seorang guru memberi contoh sesuai dengan ilmu memandikan sapi.
Dulu pun saya biasa membantu memandikan kerbau. Tapi, menungganginya dulu sepanjang jalan menuju sungai. Sambil meniup seruling.
Bastian adalah orang pertama yang mendirikan charter school berbasis pertanian dan peternakan. Relevan dengan situasi lingkungan sekolah. Siswa ternyata suka pelajaran di luar kelas. Ada unsur kegiatan fisik dan luar ruang.
Charter school memang dimaksudkan sebagai koreksi. Terutama terhadap rendahnya mutu sekolah negeri. Pelopornya seorang profesor dari Massachusetts. Namanya Ray Budde. Ketua persatuan guru AS.
Profesor itu pula yang mengajukan reformasi pendidikan pada tahun 1974. Sekolah negeri dia anggap terlalu kaku. Karena bukan berdasar inisiatif masyarakat. Tapi, baru tahun 1974 ada satu negara bagian, Minnesota, yang menerima ide charter school Prof Budde.
Sejak itu charter school menggelinding dengan kecepatan Star Wars. Kini sudah 43 negara bagian yang menerapkan. Jumlah charter school sudah mencapai 5.000 sekolah. Terbukti pula, kualitas pendidikannya lebih baik.
Tidak sembarang guru bisa mengajar di charter school. Harus yang bersertifikat. Yang benar-benar terpanggil jiwa keguruannya. Bastian punya delapan guru untuk Roots High School. Tiap guru gajinya USD 54.000 per tahun. Sekitar Rp 700 juta.
Keunggulan charter school adalah ini: tidak ada keseragaman. Ada yang mengutamakan matematika. Ada yang berbasis teknologi. Rekayasa mesin. Olahraga. Bebas. Tergantung bunyi charter yang dibuat.
Bastian puas dengan perjuangannya. Dia bekerja mulai jam 6 pagi sampai 6 sore. Mengajar dan menyiapkan keperluan sekolah. Dengan semangat.
Ketika saya memperhatikan anjing besar yang keluar masuk kelas, Bastian berhenti. ”Ini anjing sekolah,” katanya.
”Kalau ada siswa/siswi yang lagi suntuk, saya minta keluar untuk main-main dengan anjing ini.” Emosi siswa bisa reda.
Sebenarnya Bastian ingin bisa punya siswa sampai 300 orang. Tidak hanya 150 seperti sekarang. Tapi, dia belum bisa cari sumbangan lebih banyak. ”Sulit cari sumbangan. Orang Amerika itu kaya, tapi jiwanya rakus,” ungkapnya.
Bastian terpanggil mengurusi anak orang miskin sejak umur 19 tahun. Ketika dia jadi misionaris gereja Mormon di Honduras. Begitu miskin negara itu.
Dia sudah mendirikan sekolah di sana. Tiap tahun Bastian mengajak enam orang anaknya liburan di Honduras. Agar tahu bagaimana bisa membantu orang miskin.
Bahwa Bastian Mormon, memang begitulah umumnya orang Utah. Pihak-pihak yang rapat dengan saya di Utah semua aktivis Mormon. Misalnya yang ahli teknologi torium itu. Atau yang ahli ekonomi itu. Di sela-sela rapat saya menemui Tyler Bastian. Eh, Mormon juga.
Mayoritas penduduk Utah memang penganut Mormon: aliran Kristen yang membolehkan istri lebih dari satu, melarang makan babi, dan mengharamkan minuman keras.
Tentu saya juga mengunjungi Temple Square di Salt Lake City. Pusat gereja Mormon dunia. Yang umatnya kini sudah mencapai 15 juta. Antara lain karena Mormon melarang umatnya ikut KB.
Kembali ke lamanya perjuangan Prof Budde melahirkan charter school tadi, saya jadi merenung: di AS sekalipun memperjuangkan pembaharuan memakan waktu. Untung Prof Budde tidak gampang menyerah. (*)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost