Senin, 22 Juni 2015

Lukman Bin Saleh : Harga Murah Dahlan Iskan Empat Tahun Kemudian

Diperiksanya Dahlan Iskan untuk kasus pengadaan BBM Solar high speed diesel (HSD) kemarin membuat saya teringat cerita warga Blega-Madura empat tahun yang lalu.
Heboh. Sejumlah warga berdemo ke kantor PLN setempat. Warga memblokade jalan utama trans Madura. Tidak ketinggalan DPRD Bangkalan turun tangan dan memanggil pejabat PLN setempat.
Tuntutan pendemo tidak kalah hebohnya. Mereka demo karena PLN menurunkan biaya penyambungan listrik. Logika mereka, kalau sekarang begitu murah, berarti yang dulu-dulu kemahalan. PLN harus mengembalikan uang selisih yang dulu-dulu itu.
Memang gebrakan Dahlan Iskan saat itu membuat orang seluruh Indonesia kaget melihat murahnya biaya penyambungan listrik. Tapi, hanya di Blega yang menuntut pengembalian uang kemahalan di masa lalu.
Padahal menurut Dahlan Iskan. PLN sebenarnya tidak menurunkan biaya penyambungan, malah sedikit dinaikkan. Tapi terkesan diturunkan karena PLN menerapkan tarif resmi. Kalau sebelumnya biaya penyambungan bisa  3 juta, 4 juta, 5 juta, atau bahkan puluhan juta. Tergantung deal dengan calo. Dahlan Iskan bisa menekannya menjadi 650 ribu saat, terutama setelah membabat 2 juta daftar tunggu yang telah membeku puluhan tahun. Dan ini ternyata membuat orang marah. Demo.
Sekarang kasus itu terulang lagi. Bukan demo sih. Tapi intinya sama. Murah yang membuat marah, seperti judul tulisan Dahlan iskan saat itu. Juga bukan warga Blega lagi pelakunya, tapi Kepolisian Republik Indonesia.
Kejadian bermula pada tahun 2010 saat Dahlan Iskan menjabat Dirut PLN. PLN membutuhkan 9 juta ton solar. Selama ini PLN diharuskan membeli langsung di Pertamina. Sebagai bentuk sinergi antar BUMN. Harganya lebih mahal dari pasaran.
Berkali-kali PLN meminta menyesuaikan harga jual tapi tidak pernah ditanggapi Pertamina. PLN kemudian membuat terobosan (kemungkinan juga bentuk protes). Sebanyak 2 juta ton dari total 9 juta ton solar yang dibutuhkan ditender. Sedangkan 7 juta ton tetap dibeli dari Pertamina.
Tender 2 juta ton itu terbuka untuk produsen BBM dalam negeri maupun asing. Tender 2 juta ton dipecah menjadi 5 paket. Kemudian Pertamina berhasil memenangkan 1 paket. 4 paket lainnya dimenangkan asing: Shell.
Meski demikian PLN tidak serta merta membeli dari Shell, karena Shell adalah produsen asing. Harga terendah yang ditawarkan Shell sehingga menang tender ditawarkan dulu kepada produsen dalam negeri.
Selanjutnya dari 4 tender yang dimenangi Shell, 2 tender diambil alih Pertamina dan 2 diambil Trans Pacific Petrochemical/TPPI (perusahaan dalam negeri yang 70% sahamnya dikuasai pemerintah).
Dengan demikian terjadi perbedaan harga pembelian BBM yang dilakukan langsung dengan yang ditender. Terobosan Dahlan Iskan melalui tender menguntungkan PLN. Mampu menghemat pengeluaran dibanding dengan cara konvensional membeli langsung ke Pertamiana.
Sampai di sini saya tidak mengerti apa yang dipermasalahkan Polri. Kalau masyarakat Blega marah karena harga berubah terlalu murah masih bisa  dimengerti. Tapi kalau Polri marah karena Dahlan Iskan membeli lebih murah, logikanya bagaimana sehingga dikatakan korupsi?
Ada sogokkah? Suapkah? Gratifikasi? Atau apalah-apalah? Tapi masak Pertamina menyogok Dahlan Iskan karena dia membeli lebih murah? Atau Dahlan Iskan menyebabkan kerugian negara, laba Pertamina dan TPPI berkurang? Waah…lebih tidak logis lagi. Apa hubungannya Dirut PLN dengan laba Pertamina dan TPPI?
Atau akan dituduhkan pasal penyalah gunaan wewenang karena membuat terobosan yang tidak ada dasar hukumnya seperti yang dilakukan Deny Indrayana? Tetap disalahkan bagaimanapun besar manfaat terobosan itu?
Warga Blega yang marah empat tahun lalu membuat saya tersenyum geli, tapi marah karena murah yang sekarang membuat saya sakit gigi.
(Sebenarnya ingin bilang sakit hati, tapi pura-pura sabar karena sedang puasa). *LBS*

Jumat, 12 Juni 2015

Lukamn Bin Saleh : Dahlan Iskan dan UU Tipikor di Akhirat Kelak

LBS @ Lombok
Sekarang dia menghabiskan masa tahanannya di sebuah panti asuhan di kota Mataram. Setelah 4 tahun dipenjara. Menjelang bebas, seorang narapidana memang biasanya menjalani sisa masa hukumannya di Lapas terbuka atau disuruh mengabdi di tempat-tempat sosial. Sebagai persiapan saat dikembalikan ke masyarakat kelak.
Dulunya dia seorang pejabat di Kabupaten Lombok Utara. Seorang asisten. Tapi karena tersandung kasus korupsi akhirnya meringkuk di balik jeruji besi.
Cerita kasusnya sendiri membuat kita geleng-geleng kepala. Awalnya dia diminta mengadakan lahan atas nama Pemda untuk pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Diapun mendapat lokasi yang dianggap cocok. Lokasi bagus dan bersertifikat lengkap. Sesuai prosedur, sebelum dibayar diumumkan dulu prihal tersebut kepada masyarakat. Siapa tahu ada yang mau menggugat. Selama tiga bulan tidak ada gugatan. Tanah deal, langsung dibayar.
Tapi apa hendak dikata. Beberapa hari setelah itu masuk gugatan di kejaksaan. Ternyata tanah itu memiliki sertifikat ganda. Tanah tidak bisa dieksekusi. Tidak bisa dikuasai Pemda. Ini merugikan negara. Sesuai UU Tipikor, ini korupsi. Meski sang pejabat tidak ada niat sedikitpun untuk berbuat jahat, merugikan negara, memperkaya diri atau orang lain. Pejabat bersangkutan harus dipenjara. Pasal UU Tipikor mengatakan demikian.
Jakarta
Senada dengan apa yang dialami asisten di Lombok Utara itu. Dahlan Iskan sekarang dijadikan tersangka oleh kejaksaan gara-gara pembebasan tanah. Saat menjadi Dirut PLN dia bertekad mengatasi krisisis listrik secepat mungkin dengan membangun 21 gardu induk. Dimulai tahun 2011 dan dijadwalkan selesai 2013.
Dahlan Iskan mengintruksikan bawahannya untuk segera mendapatkan lahan. Tidak lama kemudian di mejanya sudah masuk surat pernyataan bahwa lahan sudah didapatkan. Sudah berhasil dibebaskan. Karena surat itu sudah diparaf oleh sekian banyak bawahannya, mulai dari tingkat direktur ke atas. Berarti kebenaran pernyataan surat itu tidak diragukan lagi, sudah diperiksa berlapis-lapis. Lagi pula kalau diperiksa langsung ke lokasi entah berapa waktu yang dibutuhkan. Lokasi tersebar di 21 tempat di Pulau Jawa. Sedangkan kebutuhan akan gardu induk itu sudah begitu mendesak.
Surat ditandatangani agar dana proyek segera dicairkan oleh kementerian keuangan. Tapi tahun itu juga Dahlan Iskan meninggalkan jabatannya sebagai Dirut PLN, diangkat menjadi menteri BUMN oleh presiden SBY.
Empat tahun kemudian tiba-tiba Dahlan Iskan dipanggil kejaksaan dan langsung dijadikan tersangka. Ternyata tanah di 21 lokasi yang dulu dinyatakan telah dibebaskan itu tidak semuanya telah dibebaskan. Sedangkan Dahlan Iskan telah ikut menanda tanganinya. Sesuai UU Tipikor, ini merugikan negara. Ini korupsi. Dahlan Iskan harus dipenjara.
Bisa saja Dahlan Iskan beralasan dia ditipu anak buah. Yang meyakinkannya kalau tanah telah berhasil dibebaskan. Tapi Dahlan Iskan tidak melakukan itu. Dia mengaku salah. Dia mengatakan bertanggung jawab dan tidak akan menyalahkan anak buah. Karena siapa tahu anak buahnya juga tidak bermaksud menipu. Anak buahnya hanya ingin proyek cepat berjalan dan mereka mengira masalah pembebasan lahan adalah masalah gampang. Mereka tidak mengerti betapa rumitnya masalah pembebasan lahan di negeri ini.
Dahlan Iskan hanya akan menyalahkan anak buah jika nanti ternyata mereka benar-benar korupsi. Misalnya menilep dana pembebasan lahan. Tapi ini kemungkinan kecil terjadi, karena tanah itu sendiri sekarang sudah berhasil dibebaskan oleh PLN. Berarti sudah dibayar. Tapi prosedurnya memang panjang. Sama dengan kasus TPA Kabupaten Lombok Utara di atas. Tanah yang dulu disengketakan juga sudah berhasil dikuasai Pemda.
Tapi hukum tidak memiliki hati nurani. Meski kita merasa ini tidak adil. Orang-orang yang sebenarnya baik itu tetap dijerat dengan pasal-pasal UU Tipikor. Mereka dianggap merugikan negara. Mereka korupsi.
Sekarang kita hanya bisa berharap, agar Dahlan Iskan dan ke 15 mantan bawahannya bebas di pengadilan kelak. Karena mereka tidak sungguh-sungguh melakukan korupsi. Hanya masalah administrasi.
Kalaupun semuanya tidak bisa bebas, maksimal anak buahnya saja yang dipenjara. Karena mereka yang telah meyakinkan Dahlan Iskan bahwa tanah telah berhasil dibebaskan. Mereka yang membuat laporan tidak benar.
Atau sebaliknya, Dahlan Iskan sendiri saja yang dipenjara. Karena dia pimpinan. Tanda tangannya yang paling menentukan. Dan dia juga telah menyatakan mengambil alih tanggung jawab. Tidak akan menyalahkan anak buah. Kecuali kelak jika anak buahnya terbukti benar-benar korupsi.
Dan seandainya mereka semua akhirnya dipenjara. Saya membayangkan saat kita mempertanggung jawabkan perbuatan masing-masing di hadapan Tuhan kelak. Saat para penegak hukum itu ditanya. Mengapa engkau menganiaya sesama yang tak berdosa? Menganiaya mereka yang berniat dan mengerjakan kebaikan?
Mempermalukan mereka. Merampas kebebasan mereka. Merenggut mereka dari keluarga. Memisahkan mereka dari anak istri. Anak-anak dan istrinya merana kehilangan orang yang mencarikan nafkah?
Saya tidak tahu apakah saat itu UU Tipikor masih berlaku atau tidak. Bisa dijadikan alasan apa tidak. Tapi para penegak hukum itu mungkin akan berkata, mereka melanggar UU Tipikor ya Tuhan-ku.
Dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya. ***

Jay Mjay : Ramai Ramai Membidik Dahlan

Belum selesai kasus gardu listrik PLN yang menjadikan Dahlan sebagai tersangka kini sederet kasus tiba tiba muncul untuk kembali membidik Dahlan. Dari kasus pencetakan sawah di Kalimantan, mobil listrik, tuduhan pencucian uang dan terakhir dugaan penghilangan aset milik pemprov Jatim, semua mengarah kepada mantan menteri BUMN itu sebagai sasaran tembaknya.
Seolah olah ada koor dan komando yang menggerakkan aparat kejaksaan dan juga kepolisian untuk mengusut dan mencari cari kesalahan Dahlan. Meski hanya dengan temuan bukti hukum secuil saja semacam kesalahan administrasi, para aparat itu dengan bersemangat dan rakusnya mengejar Dahlan seperti kucing mengejar tikus yang lewat di depannya.
Sulit mengatakan bila tidak ada sesuatu dibalik ini semua, entah itu motif politik atau sekedar dendam pribadi.
Dahlan Iskan bukanlah pejabat korup. Dahlan juga sedang tidak tertangkap tangan sedang melakukan korupsi yang dengan mudah jaksa dan polisi bisa menjeratnya dengan berlapis lapis pasal memperkaya diri sendiri. Dahlan adalah tipe pemimpin yang sangat tidak ramah bahkan anti dengan segala hal yang berbau korupsi dan kolusi.
Mencari bukti bukti kesalahan Dahlan tentu tidak semudah membalik telapak tangan.
Bila kemudian temuan jaksa soal “kesalahan” Dahlan dalam kasus gardu PLN menjadi pemicu munculnya kasus kasus lainnya. Apakah kejaksaan memang lagi semangat semangatnya membangun citra bahwa lembaganya tidak kalah dengan KPK dengan membidik tokoh sekaliber Dahlan. Atau memang ada agenda tersembunyi di balik tangan tangan kejaksaan yang menginginkan Dahlan harus dihabisi sekarang ini.
Publik mungkin masih belum lupa bahwa salah satu anggota BPK yang berniat melaporkan Dahlan ke bareskrim soal pencetakan sawah yang dianggap fiktif adalah mantan anggota DPR yang pernah dilaporkan Dahlan sebagai pemeras BUMN. Yang bersangkutan saat itu sama sekali tidak berani membantah tuduhan Dahlan atau balik melaporkan ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Juga soal dugaan penghilangan aset milik pemprov Jatim yang entah terjadi tahun berapa, mungkin sejak jaman baheula saat Dahlan Iskan diminta jadi direktur untuk membenahinya. Kenapa baru sekarang kejati Jatim mengusutnya.
Dugaan pencucian uang lebih tidak masuk akal lagi. Buat apa orang sekaya Dahlan melakukan money laundring. Bukankah sebagai pejabat negara Dahlan pasti pernah melaporkan harta kekayaannya kepada KPK. Bila mencium ada asal harta yang tidak beres, KPK pasti menyelidikinya.
Yang jelas upaya dan terobosan Dahlan dalam membangun PLN, menciptakan mobil listrik nasional dan pencetakan sawah baru adalah ide dan sumbangsih luar biasa Dahlan bagi kemajuan bangsa ini. Bila itu kemudian dicari cari kesalahannya bahkan kalau bisa dikiriminalisasi maka yang bersangkutan mungkin perlu diperiksa tingkat kewarasannya.
Dahlan sendiri tentu bukan malaikat yang tidak bisa salah. Bisa jadi terobosan terobosan Dahlan untuk memecah kebuntuan birokrasi berbenturan dengan peraturan atau undang undang yang ada. Dahlan pasti punya argumen kuat untuk melakukannya. Bukankah berenang untuk menolong orang tenggelam lebih penting daripada larangan berenang itu sendiri?
Bila kesalahan sekecil pelanggaran prosedur saja dipakai untuk membawa Dahlan ke penjara bagaimana dengan kasus korupsi kakap yang terkesan lamban penanganannya, kasus bus TransJ misalnya yang diduga melibatkan kepala negara.
Siapapun yang ingin membidik Dahlan pasti membuat para koruptor, politisi busuk dan maling negara berpesta pora. Mari kita kawal kasus ini dengan seksama diiringi doa. Kehormatan seorang Dahlan Iskan tidak akan hilang hanya karena status tersangka dan jeruji penjara yang direkayasa.
Kita bangga menjadi pendukung seorang Dahlan. Kita bangga suatu saat bisa menceritakan ke anak cucu kita kelak bahwa ayah dan kakekmu dulu pernah hidup di jamannya Dahlan Iskan...
Salam

Kamis, 11 Juni 2015

Dahlan Iskan : PAKAI DAN TIDAK

Berhari-hari sejak ditetapkan sebagai tersangka 5 Juni lalu saya, keluarga dan teman-teman berdebat soal pengacara.
Mau pakai pengacara atau tidak.
Saya pribadi berkeras untuk tidak perlu pengacara. Tapi keluarga dan teman-teman berkeras harus pakai pengacara.
Saya sendiri optimis bahwa kebenaran akan muncul dengan sendirinya. Tidak usah dibela-bela. Bahkan saya berencana akan bersikap sangat low profil. Saat diperiksa jaksa nanti saya akan langsung saja mengatakan terserah jaksa. Kalau memang jaksa merasa menemukan bukti yang kuat, silakan.
Di pengadilan pun, saya berencana tidak akan melakukan eksepsi atau pledoi. Silakan saja jaksa menunjukkan barang bukti. Silakan hakim mendengarkan saksi-saksi. Berdasarkan barang bukti dan kesaksian itu silakan hakim menilai. Lalu memutuskan. Kalau hakim memang menilai saya salah dan harus masuk penjara akan saya jalani dengan ikhlas.
Saya sudah mengalami penderitaan menjadi anak yang amat miskin. Saya juga sudah pernah berada dalam situasi yang begitu dekat dengan kematian. Hidup ini harus diterima apa adanya. Harus “nrimo ing pandhum”.
Keluarga saya sudah bisa menerima prinsip itu.
Tapi teman-teman terus berargumentasi. Senjata terakhir yang mereka gunakan adalah “kebenaran yang tidak diperjuangkan akan kalah dengan kebatilan yang diperjuangkan”. Lalu dikutiplah ayat-ayatnya dan ajaran-ajaran yang terkait dengan itu.
Saya menyerah.
Saya juga harus memegang filsafat hidup saya ini: “Rendah hati itu bisa menjadi kesombongan kalau niatnya sengaja merendah-rendahkan”. “Tidak mau mendengarkan saran-saran banyak orang adalah kesombongan dalam bentuk yang lebih parah”.
Saya tidak berniat seperti itu. Saya pun setuju menunjuk pengacara.
Tapi, siapa?
Begitu banyak pengacara yang bersedia membantu. Tinggal pilih: yang dar-der-dor, yang taktis, yang lemah-gemulai atau yang bagaimana?
Saya serahkan sepenuhnya pada teman-teman.
Ketika mengarah ke satu nama, ternyata tidak gampang menghubungi beliau. Sampai tanggal 10 Juni beliau masih di luar kota. Padahal panggilan pemeriksaan harus saya penuhi tanggal 11 Juni 2015.
Baru 10 Juni hampir tengah malam teman-teman berhasil bertemu beliau.
Masih banyak yang harus dibicarakan dengan beliau pada hari pemanggilan itu.
Beliau yang saya maksud adalah Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc.

Rhenald Kasali: DAHLAN DAN NEGERI SOP


Oleh : Rhenald Kasali
Saya pernah mendengar curhat dua anak muda. Mereka mengeluhkan aturan yang begitu kaku. Utamanya aturan tentang pembelian barang. Jangan salah, ini bukan di kantor pemerintahan atau BUMN, tetapi di perusahaan swasta. Selain harus melewati beberapa meja dan memperoleh persetujuan atasan, untuk setiap pembelian barang harus ada pembanding. Jadi harus ada tiga produk yang sejenis, lengkap dengan daftar harganya.
Kalau untuk barang-barang yang harganya mahal, katakanlah di atas Rp1 juta atau 10 juta, keduanya paham. Tapi, ini untuk barang dipakai rutin, harganya pun di bawah Rp1 juta. ”Masak barang begitu mesti pakai pembanding segala,” kata keduanya, geram. Namun, peraturan adalah peraturan. standard operating procedure-nya (SOP) memang begitu.
Harus dipatuhi. Pilihannya tinggal take it or leave it. Ini belum selesai. Kalau mengikuti SOP, barang yang dibutuhkan baru diterima dua bulan kemudian.
Padahal kategorinya urgent. Gila bukan! Harap diingat ini perusahaan swasta, bukan kantor lurah atau camat. Akhirnya keduanya mencari celah untuk menyiasati peraturan. Caranya mudah saja.
Dengan alasan terdesak, keduanya membeli dulu barang yang mereka butuhkan dengan uang pribadi. Lalu, berbekal bon pembelian, keduanya mengajukan reimburse ke perusahaan. Dengan cara itu, barang bisa diperoleh jauh lebih cepat. Lalu, uang reimburse cair seminggu kemudian. Bos-bos tidak tahu, begitulah prestasi anak buah yang kalau diketahui auditor yang ”sakit” mereka bakal kena kasus, dapat SP pula.
Intrapreneurship dan Entrepreneurship
Saya kira kejengkelan dua anak muda tadi terhadap kakunya SOP adalah kejengkelan kita semua. Dan, perusahaan tadi sesungguhnya beruntung. Keduanya memiliki naluri sebagai pengusaha, jeli melihat celah yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kantor dan pelanggannya.
Oleh karena keduanya karyawan, mereka layak disebut intrapreneur: bukan owner, tapi memiliki ownership, naluri sebagai pengusaha. Intrapreneurship berbeda dengan entrepreneurship. Kalau entrepreneurship betul-betul dimiliki seorang pengusaha, karena itu uang dan nama baiknya, bukan karyawan yang hanya makan gaji. Itu sebabnya selain mendapatkan gaji, karyawan seperti itu layak diberikan komisi, bonus, atau variable income. Begitulah intrapreneur atau entrepreneur. Negeri ini membutuhkan mereka untuk melakukan terobosan, membuka pintu, melakukan percepatan, mengangkat kesejahteraan.
Mereka adalah yang cepat membaca celah, dengan prinsip: Pada Setiap Dinding Selalu Ada Pintunya. Temukanlah! Namun bagi sebagian orang, terobosan sama dengan melanggar hukum. Apalagi kalau mereka tak pernah belajar tentang konsep Opportunity Cost. Mereka anggap biaya yang lebih mahal, atau dikeluarkan sebelum barangnya datang, atau dokumennya lengkap adalah kerugian, memperkaya orang lain, melanggar hukum.
Mereka tak pernah memahami, negeri ini makin rugi kalau sakitnya tidak segera kita bayar, kalau kita tidak mau ganti untung, kalau kita menunda-nunda kesempatan. Memang idealnya, dalam berbelanja kita putuskan bayar setelah semua proses beres dan dokumen lengkap. Tetapi dalam realita, dunia ini begitu cepat berubah. Dan begitu proses tadi sempurna, saat dibeli, harga barang itu telah berubah, kurs dolar bergerak naik, atau sudah lebih dulu diambil orang lain. Lalu mangkrak-lah kegiatan usaha. Setelah itu orang di luar saling menyalahkan, bahkan saling meng-gobloki. Intrapreneur itu didatangkan bukan untuk merugikan, melainkan untuk membuat organisasi menjadi lebih lincah dan hidup. Bukankah hanya manusia mati yang badannya kaku? Maka, membelenggu mereka adalah kesia-siaan.
Melelahkan dan malah akhirnya bisa merugikan bangsa. Saya kira semangat mencari terobosan ini pulalah yang mendasari Dahlan Iskan. Itu yang saya baca. Semoga tak ada hengki pengkinya.
Baik ketika menjabat sebagai dirut PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan selaku kuasa pengguna anggaran atau KPA, menandatangani pencairan dana untuk membangun 21 gardu induk listrik untuk Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat pada 2011–2013. Dahlan mengaku membubuhkan tanda tangan agar proyek tersebut bisa berjalan.
Ia melakukannya karena tak tahan mendengar keluhan rakyat soal keterbatasan pasokan listrik. Anda tahu bukan, akibat keterbatasan pasokan, listrik ketika itu pun menjadi yang biarpet. Bagi sebagian masyarakat kita, terutama di pinggiran Jawa dan luar Jawa, keluh kesah soal listrik sudah menjadi makanan sehari-hari. Kondisi semacam ini tentu memprihatinkan.
Apalagi tak hanya terjadi dalam seminggu dua minggu juga bukan berbulan- bulan, tetapi bertahuntahun. Sampai sekarang warga Medan, misalnya, masih mengalami hal ini. Begitu juga di Kalimantan Timur, provinsi yang katanya menjadi lumbung energi nasional, kekurangan pasokan listrik masih menjadi masalah serius. Birokrasi kita sendiri sudah terlalu kaku.
Untuk membuat mesin berputar, kita tak bisa memakai cara-cara biasa. Harus didobrak. Dan ini menjadi masalah serius dalam pemerintahan Jokowi yang berambisi membangun 35.000 MW dalam lima tahun ke depan. Padahal, mesin birokrasi yang ada hanya terbukti mampu membangun 1.000–2.000 MW setahun.
Artinya mesin birokrasi dan mindset semua elemen harus berubah. Ya birokrasi, ya auditornya, juga penyidik dan penegak hukumnya. Harus bijak dan tepat membedakan mana yang benar dan mana yang kriminal. Bila tidak, korbannya akan banyak. Dahlan telah melakukannya. Ia membongkar aturan, menerabas kebekuan, mencari celah untuk menyiasati SOP. Begitulah, Dahlan memang seorang entrepreneur.
Perangkap SOP
Di mata saya, mungkin Dahlan menabrak SOP. Tapi, korupsi? Saya kurang yakin. Orang korupsi biasanya untuk memperkaya diri. Dahlan? Dia sudah kaya bahkan jauh sebelum menjadi dirut PLN. Saya teringat ucapan Dahlan tentang mengapa ia mau menjadi dirut PLN.
Pascatransplantasi hati di China, ia merasa sangat bersyukur karena masih diberi ”nyawa kedua”. Sebagai ungkapan syukurnya, ia ingin menyumbangkan tenaganya bagi negara, di antaranya dengan mau menjadi dirut PLN. Bahkan untuk itu, Dahlan sampai harus melanggar larangan istrinya. Sang istri meminta Dahlan agar menolak permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui menteri BUMN, untuk menjadi dirut PLN.
Kini, akibat melanggar larangan istri, Dahlan seakan kena tulah. Ia dijadikan tersangka korupsi. Kasus Dahlan jelas bukan satu-satunya. Ada beberapa pejabat kita—beberapa di antaranya, saya tahu, adalah orangorang yang bersih—terpaksa masuk penjara karena menabrak SOP. Mereka tak melulu pejabat tinggi. Beberapa bahkan tak pernah membelikan istrinya tas bermerek dari Italia atau Prancis.
Bukan karena ingin mencuri uang negara dan memperkaya dirinya sendiri. Tapi begitulah hukum, kadang ia buta. Persis seperti simbolnya, patung Dewi Themis, dewi keadilan, yang matanya tertutup.

Rabu, 10 Juni 2015

Dahlan Iskan : KPA DAN P2K

Ada baiknya orang tahu ini. Proyek-proyek gardu induk PLN yang dibiayai uang negara (APBN) itu ditangani oleh satu organisasi yang disebut P2K. Itu singkatan Pejabat Pembuat Komitmen. P2K itu didampingi oleh bendahara, tim pemeriksa barang, tim penerima barang dan tim pengadaan. Seluruh pejabat di situ pegawai PLN, tapi yang mengangkat mereka menjadi P2K adalah menteri ESDM. Mengapa? Karena Pengguna Anggarannya (PA) adalah menteri ESDM. Dalam hal ini, Dirut PLN (waktu itu saya), sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Mengapa Menteri ESDM yang mengangkat pejabat pelaksana proyek itu? Mengapa bukan KPA/Dirut PLN yang mengangkatnya? Kepresnya berbunyi begitu. Yakni Kepres 54/2010. Wewenang P2K...

http://gardudahlan.com/category/gardu-2/

Lukam Bin Saleh : Dahlan Iskan dalam Bayang-Bayang Hitler dan Film Action

Bahkan Sastrawan yang begitu kritis sekaligus pendiri dan pemilik majalah Tempo, Goenawan Mohamad menyesalkan tindakan kejaksaan menjadikan Dahlan Iskan tersangka korupsi. Hari-hari ini nampaknya kita sedang dipaksa melihat batas-batas yang kabur antara korupsi dan tidak korupsi, antara orang yang jujur dan tak jujur tulisnya. 

Wapres Jusuf Kalla tidak mau ketinggalan. Kasus Dahlan Iskan membuat pejabat tidak berani membuat keputusan katanya seolah menyindir kejaksaan.

Pemberantasan korupsi salah sasaran kata wakil ketua DPR dari Fraksi PKS, Fachri Hamzah. Penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka adalah kecelakaan kata mantan ketua MK, Mahfud MD.

Kejaksaan harus mikir, bisa membedakan antara kejahatan dan kekeliruan. Orang yang berjasa memperbaiki negara malah dihukum, tidak dihargai kata menteri ESDM, Sudirman Said. Aparat harusnya melihat secara keseluruhan, yang dilakukan Dahlan Iskan untuk kepentingan masyarakat kata Menko perekonomian, Sofyan Djalail.

Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang menyayangkan penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka. Seperti akademisi dan praktisi bisnis Rhenald Kasali, Said Didu dan lain-lain.

Kita memang tersentak dengan kejadian ini, tidak percaya. Apalagi setelah kita cermati. Penetapan tersangka terhadap Dahlan Iskan hanyalah masalah maladministrasi, salah prosedur. Tidak ada suap, gratifikasi, ‘Apel Malang’, ‘Apel Washingthon’, Dolar Amerika, Dolar Singapur, apalagi rekening gendut. Masyarakat jadi berfikir ulang tentang pemberantasan korupsi selama ini.

Seperti yang dikatakan Miftah Al Zaman dalam komentarnya terhadap tulisan Goenawan Muhamad. Sejarah negeri ini menunjukkan setiap masa selalu ada semacam musuh bersama. Di masa setelah kemerdekaan, musuh bersama itu adalah Belanda, imperialisme, nekolim dan semacamnya. Apa saja yang tidak disukai selalu dikaitkan dengan itu. Apa saja yang dikaitkan dengan itu, adalah hal yang sah untuk disalahkan dan dibenci tanpa fikir panjang.

Masuk masa Orde Baru, musuh bersama itu adalah PKI, komunis, “kiri”. Kini setelah masuk masa reformasi, musuh bersama itu adalah korupsi.

Setiap masa itu selalu memakan tumbalnya masing-masing. Seorang tidak harus menjadi orang bersalah untuk menjadi tumbal. Apa saja bisa jadi alasan bagi seseorang untuk mendapatkan dirinya menjadi orang yang salah. Atau disalah-salahkan. Apalagi yang sedang euforia dengan “semangat zaman.”

Definisi korupsi sudah meluas, tidak sekedar memperkaya diri. Tidak memenuhi aturan administrasi kini sudah dianggap korupsi. Tapi masyarakat masih memahami korupsi dengan definisi lama. Karena itu, yang terkena dakwaan korupsi dianggap pasti memperkaya diri, pasti jahat, harus dihukum.

Timbul ironi. Untuk menghindari korupsi, aturan diperketat, birokrasi diperumit.

Pimpinan yang kreatif dan lincah, tidak akan betah dengan segala ketentuan itu. Kalau diikuti, tidak akan bisa berbuat apa-apa. Atau lambat, tidak selesai-selesai. Maka mereka main terobosan. Menyenggol aturan. Ujung-ujungnya malah menjadi terdakwa korupsi.

Niat mencegah korupsi dengan undang-undang yang begitu luas dan rumit, malah menghasilkan koruptor baru. Yang sesungguhnya bukan koruptor, bukan orang jahat. Sementara masih banyak penjahat sesungguhnya yang berkeliaran, tidak tersentuh hukum.

Pembangunan gardu induk terhambat lahan dikatakan korupsi, mencetak sawah baru terhambat lahan dikatakan korupsi. Kalau begini terus, sepertinya Indonesia akan sulit maju. Orang takut berbuat. Apalagi yang berbau terobosan yang belum tentu berhasil. Lebih baik duduk nyaman di belakang meja, hanya menjalani rutinitas.

Terakhir Dahlan Iskan dibidik lagi masalah pengembangan 16 mobil listrik. Yang dulu dipakai mengangkut tamu saat acara APEC di Bali. Karena belum berhasil dikembangkan lebih lanjut, sekarang mobil listrik itu dihibahkan ke beberapa universitas untuk penelitian. Kejaksaan mengatakan ini merugikan negara. Korupsi.

Selama ini saya menyangka hanya para diktator semacam Hitler, Mussolini, Pol Pot, Stalin, Kim Jong Il atau para penjahat dalam film action yang tega menghabisi orang-orangnya jika gagal dalam melakukan sesuatu. Ternyata sangkaan saya salah. *LBS*

Senin, 08 Juni 2015

Dahlan Iskan : SOAL CORONG

BY  · 8 JUNI 2015

Mungkin ada yang mengira saya akan minta Jawa Pos Group untuk menjadi corong saya dalam menghadapi perkara gardu induk PLN di mana saya sudah ditetapkan menjadi tersangka.
Mohon doa restu, agar saya tidak begitu.
Pertama, saya sudah lama bukan lagi pimpinan Jawa Pos Group. Sejak saya sakit delapan tahun lalu. Memang saya memiliki saham di situ, tapi dalam perusahaan modern pemegang saham dan manajemen harus terpisah.
Kedua, Jawa Pos Group biarlah menjadi corong bagi siapa saja. Jangan menjadi corong saya. Kami belajar dari pengalaman masa lalu yang ternyata hal seperti itu kurang baik. Mungkin tidak akan berjalan ideal, tapi kami menyadari bahwa kini masyarakat sudah sangat cerdas dan sangat kritis.
Masyarakat selalu menilai media itu seperti apa.
Ketiga, toh sudah ada internet. Opini-opini pribadi, kepentingan-kepentingan pribadi, aspirasi pribadi bisa disalurkan melalui media on-line. Tanpa harus mengganggu media publik yang seharusnya menjadi milik publik.
Sudah banyak tokoh yang memilih dan melakukan cara ini. Terutama bagi para tokoh yang merasa aspirasinya tidak tertampung di media publik.
                                                            ***
Saya akan menjadi beban bagi Jawa Pos Group kalau saya tidak berubah. Maka untuk “corong pribadi” itu saya meluncurkan ini: gardudahlan.com.
Saya akan selalu menyalurkan keterangan saya melalui gardudahlan itu. Saya tidak akan memberikan wawancara pers. Termasuk tidak akan memberikan wawancara kepada Jawa Pos Group. Saya tidak ingin banyak pihak salah paham karena keterangan saya yang kurang pas. Tapi saya tidak akan melarang media untuk mengutip keterangan saya di gardudahlan itu.
Saya tidak punya juru bicara. Kelihatannya gardudahlan yang akan jadi juru bicara saya.
                                                            ***
Khusus untuk status tersangka saya ini, saya belum menunjuk pengacara. Saya memang banyak dibantu Bapak Peter Talaway SH, termasuk saat saya masih berada di Amerika Serikat selama tiga bulan lalu. Pengacara Surabaya itu sudah lama membantu saya di beberapa persoalan. Saya berterima kasih kepada beliau.
                                                            ***
Saya tidak akan menggunakan gardudahlan untuk menyerang, memaki, memfitnah dan memojokkan siapa pun. Saya hanya akan menggunakannya untuk menjelaskan duduk persoalan. Tentu subyektif, hanya dari sudut saya.
Mungkin, juga tidak tiap hari saya meluncurkan penjelasan. Tapi saya usahakan agak sering. Dengan cara memotong-motong penjelasan. Rumitnya persoalan biasanya hanya bisa dijelaskan melalui cerita yang panjang. Tapi saya usahakan pendek-pendek. Hanya mungkin perlu beberapa edisi.
                                                            ***
Saya sebenarnya lebih senang kalau gardudahlan itu bersifat interaktif. Tapi dari pengalaman saya di twitter, banyak sekali serangan yang tidak mungkin bisa saya klarifikasi.
Mengapa? Karena serangan itu dilakukan oleh mesin.
Dalam hal itu saya bukan menghadapi manusia. Saya mencoba beberapa kali memberikan penjelasan, tapi sia-sia. Baru belakangan saya tahu, dan saya tertawa-tawa, bahwa ternyata saya itu memberikan penjelasan kepada mesin. Sia-sia.
Di dunia twitter itu ternyata kita bisa menyerang seseorang dengan cara meminta mesin untuk melakukannya. Tinggal order saja: serangan itu mau dilakukan berapa kali sehari dan untuk berapa hari atau berapa bulan. Topiknya sama. Kalimatnya sama. Isinya sama.
                                                            ***
Jangan berharap saya gegap-gempita di gardudahlan ini.
Biasa saja.

Dahlan Iskan : Agar Suara Itu Tidak seperti Itu

Agar Suara Itu Tidak seperti Itu
8/06/15, 07:00 WIB
DAHLAN ISKAN
Mantan CEO Jawa Pos
Saya tidak akan menulis tentang penetapan saya sebagai tersangka proyek gardu induk PLN di kolom ini. Agar Jawa Pos dan jaringan media dalam grupnya tidak menjadi corong saya pribadi. Media harus menjadi corong siapa saja.
Untuk "corong pribadi" itu saya bisa membangun "koran saya sendiri". Agar jangan mengganggu Jawa Pos Group. "Koran" itu saya beri nama "Gardu Akal Sehat Dahlan Iskan". Bisa dibaca di www.gardudahlan.com.
Bahkan, sebenarnya saya ingin mengakhiri kolom New Hope ini. Bukan karena saya malu menjadi tersangka, tapi agar tidak mengganggu citra Jawa Pos Group. Ketika niat itu saya sampaikan ke redaksi Jawa Pos, mereka menolak. Mereka tetap meminta saya menulis New Hope setiap Senin.
***
Ok. Kali ini tentang besarnya harapan dunia. Agar Islam di Indonesia bisa mewakili "suara Islam". Ini tecermin dari forum Islam Nusantara yang diselenggarakan di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 29 Mei lalu. Salah satu kesimpulannya: Umat Islam di Indonesia harus mampu mengubah kesan tentang Islam.
Selama ini, khususnya di dunia Barat, setiap menyebut Islam konotasinya langsung: Arab, Timur Tengah, konflik, kekerasan, teror.
Dua orang ahli Islam dari Amerika Serikat jadi pembicara. Salah satunya bernama Prof Dr James B. Howestry. James lama tinggal di pesantren Aa’ Gym di Bandung, di masa puncak popularitas Aa’ Gym. ”Saya sendiri sampai dipanggil Aa’ James,” guraunya. Aa’ Gym, yang duduk di barisan belakang forum itu, terlihat tersenyum. James melihat uniknya Islam di Indonesia. Damai dan toleran.
Bintang forum itu adalah Ustad Shamsi Ali, yang di New York dikenal sebagai Imam Shamsi. Beliau lahir di pedalaman Sulawesi yang miskin, sekolah di Makassar, dapat beasiswa sampai S-2 di Pakistan, bekerja di Arab Saudi, dan sejak 20 tahun jadi imam di New York. Bahasa Inggrisnya sudah tidak berbau Sulawesi sama sekali. Jauh beda dengan bahasa Inggris saya yang Njawani.
Kesalahpahaman terhadap Islam banyak dibahas hari itu. Orang-orang yang memaki Islam biasanya belum pernah ketemu orang Islam. Apalagi ketemu Imam Shamsi yang selalu tersenyum. Dulu pun, saya sering salah paham. Saya ceritakan, sampai lulus madrasah aliyah (SMA), saya belum pernah ketemu orang yang beragama Kristen. Apalagi Yahudi.
Di madrasah itu, misalnya, pelajaran sejarah masuknya Islam ke Spanyol hanya menceritakan dari sisi Islam. Saya tidak pernah dapat materi bagaimana dari sisi Kristen. Ternyata, belakangan, saya ketahui bahwa anak-anak Kristen di Amerika juga mempelajari sejarah itu. Tapi, juga hanya dari sisi Kristen. Begitu bertolak belakang. Riwayat kesalahpahaman sudah terbangun ribuan tahun. Tidak akan habis memperdebatkan itu.
Maka, saya lebih menekankan aspek praktisnya. Ini kalau Indonesia diharapkan bisa mengubah citra Islam di dunia. Tapi, peran baru ini baru akan efektif kalau dua hal ini bisa kita penuhi.
Pertama, ekonomi Indonesia harus sejajar dengan negara maju. Suara orang miskin cenderung diabaikan. Di bidang apa pun. Ini kenyataan.
Kedua, demokrasi di Indonesia tidak boleh gagal. Demokrasi kita yang sudah (atau baru) berumur 15 tahun ini masih harus dimatangkan. Lembaga-lembaga hukum dan lembaga-lembaga politik masih agak jauh dari standar sebuah negara demokrasi.
Untuk yang pertama, saya mengambil contoh Hongkong. Ketika Tiongkok masih miskin, orang Hongkong memandang Tiongkok dengan nada merendahkan. Orang Hongkong yang berbahasa Kanton tidak mau belajar bahasa Mandarin. Dianggap bahasanya orang kampung. Setelah Tiongkok maju, pandangan itu berubah 180 derajat. Mereka kini dihidupi Tiongkok.
Potensi Indonesia untuk bisa menjadi negara maju sudah terlihat jelas. Sudah di depan mata. Jangan sampai mundur lagi. Saya pernah menulis dalam waktu lima tahun ke depan (waktu itu, saya tulis tujuh tahun), Indonesia bisa menjadi negara terbesar ke-9 di dunia di bidang ekonomi. Kalau sampai kejayaan itu terjadi, nama Indonesia melambung di dunia. Suara Islam dari Indonesia otomatis kian didengar.
Demikian juga di bidang demokrasi. Negara-negara Barat benci dengan yang bersifat otoriter. Tentu kita melihat mereka masih menggunakan standar ganda. Buktinya, mereka baik-baik saja dengan negara yang tidak demokratis seperti Singapura.
Kalau kita bisa membuktikan bahwa Islam benar-benar kompatibel dengan demokrasi dan Islam tidak menjadi hambatan bagi kemajuan ekonomi, maka akan sempurna: Islam, maju, demokrasi.
Tentu kita tidak perlu menunggu kesempurnaan itu. Langkah harus terus dilakukan sejak tahap apa pun. Sambil menunggu kesempurnaan itu, saya mengusulkan perlunya dibangun forum ”negara-negara demokrasi yang mayoritas penduduknya Islam”. Jangan lihat kualitas demokrasi di masing-masing negara itu. Demokrasi kita pun belum sempurna. Dengan kriteria itu, kini setidaknya ada 10 negara berpenduduk mayoritas Islam yang menganut sistem demokrasi.
Indonesia-Turki, atau Turki-Indonesia, kelihatannya bisa menjadi promotor forum 10 negara itu. Dengan nama apa pun. Ini akan menjadi suara Islam yang ”tidak seperti itu”. (*)

Anna Melody : SIAPA MEMBIDIK DAHLAN ISKAN?

SIAPA MEMBIDIK DAHLAN ISKAN?
Oleh Anna Melody, Kompasianer.
Ditetapkannya Dahlan Iskan menjadi tersangka mengagetkan semua pihak, bukannya apa2 dan bukan karena DI pasti orang suci, tetapi nominal 33 milyar yang kecil dibandingkan kekayaaan dia sebagai konglomerat Jawa Pos dan pasal merugikan negara yang lucu (karena semua presiden, semua menteri serta jajaran dan seluruh pns harus masuk penjara bila pasal merugikan negara karena proyek mangkrak dijadikan patokan).

Artinya apa? Kasusnya dibuat2.. dan bisa dibuat2 ke siapa saja pejabat negara yang ingin ditarget.. bahasa modernnya kriminalisasi !
Dahlan Iskan juga 1000% dibidik karena langsung ada 2 kasus (peluru) yang mengarah bersamaan, kasus gardu listrik dan proyek sawah.
Nah, sekarang siapa pembidiknya dan motif yang mungkin melatarbelakangi?
1. Persaingan Bisnis
Kemungkinan ini kecil terjadi, karena saingan surat kabar nasional tidak banyak dan sama sekali tidak terdengar kabar apapun tentang adanya seteru antar bisnis media tersebut. Selain itu DI sendiri seorang wartawan, dimana profesi wartawan tentu dihargai oleh sesama media.
2. Balas dendam dari para mafia / pihak yang dirugikan saat beliau jadi menteri bumn?
Ini juga bisa terjadi, meski rasanya kemungkinan itu tidak relevan lagi. Karena sekarang DI bukan lagi menteri, untuk apa balas dendam segitunya dengan pejabat masa lalu? Apa keuntungannya? Ingat bahwa mafia selalu berorientasi keuntungan. Lebih logic kalo mafia ribut menyerang menteri yang sekarang sedang bertugas untuk kelangsungan bisnis kedepan.
3. Pengalihan isu?
Ini juga kemungkinan kecil terjadi, karena tidak ada isu yang cukup besar yang perlu dialihkan saat ini, sampai harus mengorbankan seorang Dahlan Iskan.
4. Usaha menutup mulut DI?
Nah yang ini kemungkinannya lebih besar. Ada rahasia tertentu yang mungkin diketahui DI, oleh karena itu diperlukan peringatan (dengan gertakan tersangka) untuk DI untuk tidak main-main dan sebaiknya tutup mulut saja.
Ingat beliau ex menteri BUMN, lahan yang sangat basah dan termasuk di dalamnya mafia migas, tambang dll.. salah satunya yang baru saja hot adalah masalah Petral, skk migas dll yang perlu dipertimbangkan untuk dikaitkan karena timingnya baru terjadi juga..
5. Appetizer atau peringatan/gertakan untuk target yang lebih besar misalnya kabinet kerja sekarang maupun presiden sekarang?
DI bisa jadi dijadikan “appetizier” untuk menggertak pemerintahan sekarang. Ini lho, DI saja bisa jadi tersangka, maka siapapun juga bahkan presiden akan bisa jadi tersangka bila salah kebijakan dan prosedur ! Karena itu jangan main-main dengan kami (kelompok tertentu)..
Sudah tentu, semua menteri dan jajaran, juga seluruh PNS akan keder melihat DI saja sampai bisa dijadikan tersangka karena kasus lucu prosedural. Karena mereka semua harus membuat kebijakan setiap hari dimana sangat mungkin terjadi kekeliruan.
Dan ini akan sangat meresahkan pada pejabat dan menghambat kinerja mereka dan berdampak luas ke seluruh Indonesia karena menterinya jadi takut-takut dan tidak berani mengerjakan apapun = target utama tentu tetap yang paling tinggi = pemerintahan jatuh !
6. Kebalikan dari gertakan dan usaha menutup mulut, justru ini adalah pancingan / desakan agar DI buka suara dan bernyanyi kesana kemari karena dalam posisi terpepet dan memegang informasi penting.
Lalu siapa pembidiknya?
1. Kelompok yang mempunyai akses dengan kejaksaan (dengan fakta bahwa kejaksaan yang menyidik dan menetapkan tersangka). Dan menurut pers conference kejati kemarin, kasus mulai diselidiki bulan Oktober 2014. Jadi bisa dikatakan bukan diinisiasi di masa jaksa agung baru, yang dilantik november. Artinya kemungkinan besar bukan orang internal pemerintahan, karena poin 5 keatas justru bisa menjatuhkan pemerintahan sekarang.
2. Kelompok yang berhubungan dengan BUMN termasuk di dalamnya migas, tambang, dst.
Dari semua kemungkinan latar belakang diatas, maka dapat dipastikan motifnya hanya POLITIK dan bisnis yang berhubungan dengan BUMN.
Hal ini terlihat dengan jelas semenjak kemenangan Jokowi di pilpres. Secara sistematis, DI disisihkan dan dijauhkan dari Jokowi. Terasa sangat aneh, mengingat DI adalah salah satu suporter Jokowi yang terkuat.. tapi seakan2 DI hilang ditelan bumi setelah Jokowi menang pilpres. Masuk dalam daftar calon menteri saja tidak, bahkan tidak terdengar adanya percakapan / pertemuan sama sekali diantara keduanya.
Siapa yang membidik masih samar-samar. Diharapkan wartawan sebagai komunitas penyidik yang kuat dapat bergerak bersama menyelamatkan senior mereka. Yup, hanya wartawanlah yang dapat menggali informasi dan menyelamatkan DI.
Bila keadaan sudah seperti sekarang, hukum jungkar balik ga karuan, sebaiknya sekalian saja para wartawan menyatakan perang dan membantu membuka semua permainan mafia dan politik yang terjadi. Karena komandan mereka sedang diserang, sangat disayangkan bila moment ini terlewatkan begitu saja, dan seorang Dahlan Iskan dikorbankan masuk bui tanpa adanya penyingkapan dan perubahan besar-besaran di negeri ini.
Doa kami agar kebenaran terungkap dan Pak Dahlan diberi ketabahan serta bebas pada akhirnya nanti. amin../*

Lukman Bin Saleh : Diskresi itu Masih di Jalan Pak Dahlan

Karena dibangun atas dasar marah dan dendam atas maraknya kasus KKN. Konon undang-undang ini menjelma menjadi undang-undang anti korupsi terketat sejagad. Itulah UU Nomor 31 tahun 1999. Pengertian korupsi pada UU ini paling luas di dunia. Sangat mudah menjadikan orang tersangka. Kita tidak perlu benar-benar korupsi untuk bisa dijerat dengan pasal-pasalnya. 

Misalnya seorang kepala daerah mengelola bantuan sosial untuk masyarakat pesisir yang terkena abrasi pantai. Sebelum dana itu tersalurkan, tiba-tiba terjadi banjir bandang. Karena darurat, sang kepala daerah mengalihkan dana itu untuk menangani banjir bandang. Hal semacam ini bisa menyeret sang kepala daerah masuk penjara.

Ratusan penyelenggara negara menjadi korban UU Tipikor. Termasuk kasus mantan Menkum HAM, Deny Indrayana. Dijadikan tersangka oleh Bareskrim POLRI. Gara-gara membuat terobosan dalam pengurusan paspor. Untuk membuat paspor lebih cepat, murah, mudah dan memberantas percaloan, dibuatlah inovasi pebayaran paspor elektronik (payment gateway).

Hanya gara-gara masyarakat dikenakan biaya 5 ribu rupiah untuk membayar jasa penyedia sistem jaringan pembayaran online dan dana pebayaran paspor mengendap beberapa hari di bank, Deny Indrayana menjadi tersangka. Sebelumnya pembayaran paspor dilakukan di kantor imigrasi secara manual. Yang tidak jarang membuat atrean sampai berjam-jam hanya untuk membayar dan rentan percaloan.

Aparat penegak hukum tidak peduli seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh masyarakat atas terobosan tersebut. Aparat hanya melihat pasal-pasal UU Tipikor. Bahwa terobosan Deny Indrayana itu tidak ada dasar hukumnya. Menyalahi kewenangan dan merugikan negara. Dan ini termasuk korupsi.

Terakhir dan yang sedang heboh sekarang adalah kasus Dahlan Iskan yang dijadikan tersangka oleh Kejati DKI Jakarta. Jangan dibayangkan Dahlan Iskan menerima gratifikasi, suap atau kongkalikong dalam kasus tersebut. Sebelas-duabelas dengan Deny indrayana. Dahlan Iskan hanya membuat kebijakan membangun gardu induk untuk mengatasi krisis listrik saat itu. Tapi belakangan sebagian gardu induk itu terbengkalai pelaksanaanya. Entah terkendala pembebasan lahan, tidak ada anggaran atau kontraktor nakal. Dahlan Iskan menjadi tersangka korupsi.

Proyek itu dimulai tahun 2011 dan seharusnya sudah rampung tahun 2013. Dahlan Iskan sendiri berhenti menjadi Dirut PLN dipenghujung tahun 2011 karena diangkat menjadi Menteri BUMN oleh Presiden SBY. Dia hanya membuat kebijakan dan menandatangani persetujuan mulainya proyek. Tidak sempat mengawal proyek itu secara langsung sampai selesai.

Dari contoh kasus Dahlan Iskan ini kita bisa bayangkan betapa bahayanya situasi yang dihadapi seorang pejabat. Misalnya seorang kepala daerah membuat satu proyek. Sebelum proyek itu selesai masa jabatannya lebih dahulu berakhir. Sukur-sukur kalau berhasil lagi memenangi Pilkada. Kalau kalah dan penerusnya tidak mau melanjutkan proyek tersebut dengan berbagai alasan. Apalagi sengaja tidak dilanjutkan karena intrik politik. Hal ini tentu sangat memprihatinkan.

Sudah lama situasi seperti ini menjadi keprihatinan beberapa kalangan. Mulai dari akademisi, pemerintah, dan legeislatif. Sejak pemerintahan SBY. Pejabat tidak berani membuat kebijakan. Birokrasi semakin lambat, pembangunan semakin lamban. Hingga dibuat UU Administrasi Pemerintahan (UU Adpem No. 30 tahun 2014). Dengan UU ini, ke depannya suatu kebijakan penyelenggara negara tidak bisa dikriminalisasi lagi.

Dalam UU ini diatur tentang diskresi. Yaitu membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan melanggar UU atau membuat kebijakan yang UU sendiri belum mengaturnya secara tegas. Dengan tiga syarat. Yakni demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar asas-asas pemerintahan yang baik. Pejabat bebas dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Baik dengan meminta izin atasan atau dilaksanakan sendiri.

Sayangnya sampai saat ini UU tersebut belum disahkan. Masih dalam tahap sosialisasi oleh Kemenpan RB. Sehingga korban-korban dari pejabat yang sebetulnya baik dan kreatif terus bertambah.

Seperti yang dikatakan Wakil ketua DPR, Fachri Hamzah yang menyayangkan penetapan status tersangka terhadap Dahlan Iskan. Dahlan Iskan menurutnya adalah orang yang banyak inisiatif dan rajin membuat terobosan. Karena dia seorang pembisnis. Dan UU Tipikor tidak ramah dengan orang-orang seperti ini.

Fachri Hamzah menyarankan agar UU Tipikor lebih gamblang. Sehingga yang disasar bukan orang yang berbuat salah tapi orang yang berbuat jahat.

Nasi telah menjadi bubur. Dahlan Iskan, Deny Indrayana dan pejabat-pejabat baik lainnya telah menjadi tersangka dan terpidana. Mereka juga telah menyatakan bertanggung jawab. Tidak akan menyalahkan siapa-siapa.

Mereka telah jauh berlari di depan. UU Adpem yang mengatur tentang diskresi masih belum disahkan. Masih dalam perjalanan. Lambat berjalan. *LBS*

Sabtu, 06 Juni 2015

Randualamsyah : Dahlan Iskan dan Ilmu Memilih Batu


Saya berada di sebuah sentra perbelanjaan di pusat kota Banjarmasin saat berita itu muncul di timeline jejaring sosial: Dahlan Iskan jadi Tersangka. Saya tertegun. Lalu keluar ruangan karena entah mengapa, udara dingin di dalam tetap membuat saya berkeringat.

Yang pertama kali teringat adalah ucapan Emha Ainun Nadjib di Youtube yang pernah saya tonton beberapa hari lalu. “Bangsa Indonesia ini,” kata Cak Nun, “ Gak bisa membedakan mana permata mana kerikil.” Bangsa ini punya kebiasaan membuang permata. Sementara kerikil disepuh-sepuh sedemikian rupa, melalui pelbagai macam teknik pemberitaan, hingga kemudian orang percaya bahwa itu adalah permata.
Entahlah, tapi kayaknya Emha benar.
Ketidakpaham yang berujung pada kekeliruan “cara memilah batu” ini barangkali menjadi periode gelap Indonesia saat ini. Orang –orang di manapun bisa mengambil kerikil di jalanan misalnya, lalu kemudian mengasahnnya menjadi akik yang mencuri perhatian makelar, memiliki sedikit harga di pasar kabupaten, lalu terus digosok, diminyaki, dipoles-poles hingga mengkilap, lalu dibawa ke Jakarta, dan akhirnya media massa membuatnya menjadi akik yang paling dicari dan ditawar. Di puncaknya, semua orang menahbiskanya sebagai akik favorit Indonesia.
Padahal cuma kerikil.
Lalu di situ ada permata. Permata yang benar-benar permata, bukan sepuhan, bukan sintetis. Intan yang mempunyai karakteristik konstan: bersinar di manapun dia berada. Dia tidak harus membuktikan dirinya permata, misalnya dengan digosok kain, diolesi minyak Zaitun, atau, sebagaimana yang dilakukan penjual batu-batu akik murahan di pinggir jalanan dekat pasar Ulin sana: direndam air kelapa muda.
Dahlan gak perlu direndam di air kelapa muda. Dia permata, bersinar dimana-mana, bahkan jika di penjara.
Karena itu, saya, pada akhirnya setelah pulang dari mall tadi, tidak begitu mengkhawatirkan lagi nasib Dahlan Iskan. Jika dia akhirnya benar-benar dipenjara, lalu apa? Bagaimanapun, saya memprediksi dia tidak akan menjadi akik ataupun kerikil yang merintih-rintih. Dia akan tetap bersinar, membagikan spiritnyamelalui tulisan-tulisan di jejaring media massa miliknya: bukan untuk membuktikan dia tidak bersalah ( terlalu dangkal untuk itu), tetapi untuk menghidupkan keyakinan semua rakyat Indonesia, lagi dan lagi, bahwa selalu ada harapan. Seperti Manufacturing Hope yang dia cetuskan untuk menyentakkan kesinisan kita akan negeri kita sendiri. Bagi Dahlan Iskan tak peduli semuram apapun, segelap apapun, sehancur apapun, selalu ada harapan untuk memperbaiki negeri yang saya tahu, amat, amat, sangat, dia cintai ini.
Bagian sedihnya adalah tidak ada satu orang pun di negeri ini yang diberikan kesempatan memperbaiki bangsa tanpa dipeluangi kemungkinan untuk menjadi tersangka.
Sementara itu, saya, anda, dan kita semua mungkin masih akan terus mengumpulkan kerikil dalam banyak, banyaaakk tahun di depan ini. (@randualamsyah)

Jay Mjay‎ : Saat Dahlan Jadi Tersangka



Hari ini Dahlan Iskan resmi jadi tersangka. Bukan KPK tapi kejaksaan yang menjeratnya. Tuduhanya pun cukup serius, korupsi uang negara. Dahlan disangkakan terlibat atau ikut bertanggungjawab soal pengadaan gardu listrik PLN selama ia menjadi dirutnya.

Sebagai manusia biasa tentu Dahlan bisa salah atau khilaf. 

Kesalahan dan kekhilafan yang entah KPK sendiri belum bisa menemukannya, setidaknya sampai saat ini nama Dahlan masih bersih di mata KPK. Jika tiba tiba kejaksaan selevel DKI Jakarta dengan mudah menjadikannya tersangka apakah kejaksaan sudah sehebat KPK atau ada skenario lain dibalik naiknya Dahlan jadi tersangka.

Sebagai warga negara tentu kita hormat kepada lembaga hukum semacam kejaksaan dan kepolisian. Rasa hormat yang terkadang sering berubah jadi cibiran dan makian bila melihat kiprah keduanya. Bukankah KPK tidak akan pernah ada bila kedua lembaga ini bersih dan kredible. Tentu tidak semua pegawai kejaksaan dan polisi busuk dan korup, sebagaiman juga tidak ada pegawai KPK yang seperti malaikat.

Tapi dari rekam jejak selama ini masyarakat pasti paham, mana lembaga yang kredible dan mana yang sering membuat gaduh karena perilaku korup oknumnya. Hampir tidak ada yang lolos dari dakwaan KPK, sebaliknya banyak yang mati sia sia akibat salah tangkap atau kasus rekayasa polisi dan jaksa.

Menjadikan pejabat atau mantan pejabat sebagai tersangka tentu hal yang biasa sekalipun ia kaya raya. Godaan korupsi dan nafsu tidak akan pernah pandang bulu dari yang kere sampai perlente. Tapi menjadikan seseorang yang pernah melaporkan dirinya sendiri ke KPK bahwa ia dituduh korupsi tentu hal yang luar biasa.

Setidaknya hal itu pernah dilakukan Dahlan di masa jabatannya. Dahlan melaporkan dirinya sendiri ke KPK agar lembaga itu mau memeriksa dirinya seputar isu korupsi yang dituduhkan kepadanya. Rasa rasanya belum ada pejabat yang cukup gila yang mau dan berani melakukannya. Bila tuduhan korupsi itu benar tentu saat ini kita akan melihat Dahlan di penjara.

Dahlan sendiri bukan tipikal pemimpin yang takut soal ancaman penjara. Bagi Dahlan pemimpin itu harus berani mengambil bagian tidak enaknya meski dengan resiko dipenjara. Ribut ribut soal pemadam listrik ibu kota dulu bukankah Dahlan mengatakan siap dipenjara daripada membiarkan Jakarta gelap gulita.

Entah berapa ribu ton BBM atau genset yang dipakai PLN untuk menyangga Jakarta tetap menyala, kalau dihitung tingkat efisiensinya mungkin sudah mencapai milyaran rupiah. Bila kebijakannya itu dianggap salah Dahlan mengatakan siap dipenjara.

Bila ditelusuri kebelakang, ada banyak kasus semacam itu di era kepemimpinan Dahlan sebagai menteri atau dirut PLN. Gaya kepemimpinan Dahlan Iskan memang seperti itu, tidak suka birokrasi yang lelet dan jalan di tempat meski dengan resiko menabrak aturan.

Bila kejaksaan memakai kaca mata kuda dalam membaca KUHAP tentu mudah saja menjadikan seorang Dahlan sebagai tersangka. Bila dicari cari, kesalahan ketik dalam selembar kertas pun bisa menjebloskan siapa saja ke dalam penjara. Rasanya jarang bahkan hampir tidak pernah kejaksaan menunjukkan kepada publik kasus korupsi tangkap tangan sebagaimana yang KPK lakukan.

Jika itu yang terjadi entah apa yang salah dengan negeri ini. Kesalahan orang baik dicari cari sedangkan koruptor asli bebas menari nari.

Yang jelas kita tidak akan melihat Dahlan mengemis ngemis bantuan kepada SBY atau Jokowi seperti yang Jero Wacik lakukan. Dahlan akan mengambil tanggung jawab penuh sebagai pengambil keputusan tanpa menyalahkan bawahannya. Itulah Dahlan Iskan.

Menarik mengamati bagaimana sikap Jokowi terhadap kasus ini. Bila selama kampanye Jokowi kerap berkoar bahwa sebagian dirinya ada pada diri Dahlan, sekarang setelah Dahlan jadi tersangka apakah ia masih menganggap dirinya sebagai ”kembaran” seorang Dahlan Iskan atau Jokowi akan bersembunyi dibalik alasan indepepedensi hukum.

Bagaimanapun juga Dahlan faktor yang bisa menjadi ganjalan bagi siapapun yang ingin menjadi Presiden berikutnya. Publik tentu akan mengawal dan mengawasi kasus ini dengan jeli dan teliti. Apakah memang murni ada pidana atau sekedar rekayasa belaka. Dahlan bukan orang bodoh, sekedar adu argumentasi dan logika dengan jaksa tentu akan dilahapnya.

Tidak perlu meratap atau marah membabi buta. Tuhan tentu punya rencana terbaik yang harus kita terima dengan tetap berprasangka baik pula. Bila Soekarno jadi Presiden setelah melewati penjara Belanda, haruskah Dahlan menjalani takdir serupa di bawah rezim Jokowi JK...?

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost