Baru empat hari pulang dari Muara Teweh, Buntok dan Palangkaraya, saya kembali lagi ke Kalimantan Selatan dan Tengah (Kalselteng). Banyak acara di Jakarta harus saya batalkan. Kali ini saya ke Batulicin, Pagatan dan Asam-asam. Ketertinggalan Kalselteng dalam mengatasi krisis listrik sangat mengganggu pikiran. Saya ingin mengecek langsung apakah persiapan Kalselteng “merdeka listrik” sebelum hari kemerdekaan nasional 17 Agustus 2011 tidak akan gagal lagi.
Di Asam-asam saya memilih tidur di mess karyawan agar pagi-pagi bisa melihat lagi proyek PLTU yang kini sedang dikebut siang-malam itu. Ini agar penyelesaian proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) unit 3 dan 4 segera terwujud.
Saya melihat khusus unit 3, praktis tinggal pengerjaan tahap akhir. Dua bulan lagi sudah bisa dilakukan first firing–mulai menyalakan api. Dengan demikian, di bulan Juli sudah mulai bisa menghasilkan listrik. Sedang unit 4 akan menyusul tiga bulan kemudian.
Di Asam-asam saya juga melihat lokasi untuk rencana penambahan PLTU unit 5 dan 6 yang lebih besar lagi. Kalau ini sudah terlaksana maka Asam-asam menjadi kompleks PLTU terbesar di luar Jawa. Memang sudah waktunya Kalselteng yang kaya akan batu bara menegakkan akal sehat: mempunyai PLTU batu bara yang besar. Sangat ironis, kawasan gudang batu bara dunia ini bisa sampai krisis listrik.
Sementara proyek-proyek itu belum jadi, krisis listrik di Kalselteng diatasi dengan cara mahal dulu. Yang penting krisis listrik sudah harus berakhir sebelum 17 Agustus 2011 nanti. Maka perlu saya cek persiapan pengadaan pembangkit-pembangkit untuk Tanjung (20 MW), Amuntai (20 MW), Palangkaraya (20 MW) dan Sampit (10 MW), Pagatan (4 MW). Sejauh ini teman-teman PLN di wilayah Kalselteng sudah memastikan program ini akan bisa terlaksana.
Memang masih ada persoalan. Transmisi yang akan dipergunakan untuk mengirim listrik dari Asam-asam ke kawasan Batulicin, Pagatan, Kotabaru belum selesai. Ini karena masih ada pemilik perkebunan yang belum mau dilewati transmisi.
Teman-teman PLN sedang membicarakan ini. Saya berharap pembicaraan itu bisa berhasil. Kalau tidak maka masyarakat kawasan Tanah Bumbu terancam tidak akan bisa merdeka listrik. Tanah Bumbu akan tertinggal dari daerah lainnya. Tapi penyebabnya jelas. Bukan lagi karena PLN, tapi karena daerah itu sendiri.
Selama di Tanah Bumbu saya sempat minta diantarkan ke kawasan baru yang akan dipergunakan untuk ibukota kabupaten ini. Kunjungan ini saya anggap penting untuk melihat masa depan daerah yang kini dieksploitasi habis-habisan kekayaan alamnya ini. Saya ingin melihat apakah perkembangan ekonomi wilayah ini se-gegap gempita ekspor batu baranya. Kalau perkembangan ekonominya luar biasa tentu listriknya harus disiapkan sejak sekarang. Agar listrik tidak menjadi penghambat kemajuan suatu daerah.
Dari kunjungan ini saya belum bisa menarik kesimpulan bagaimana masa depan Batulicin. Kota lama Batulicin seperti dibiarkan tumbuh tanpa perencanaan. Mungkin karena sudah terlanjur terlalu semrawut. Perkembangan kota yang sangat dinamis ini seperti tidak mendapat imbangan kebijakan penataannya. Saya bayangkan perkembangan kota Batulicin akan sangat tidak menyenangkan. Tidak akan ada bedanya dengan kota-kota kacau lainnya.
Maka saya tidak punya harapan besar untuk masa depan kota Batulicin. Harapan baru tinggal ke kota baru yang sudah disiapkan bupati lama. Maka saya ingin ke “kota baru” itu. Benarkah “kota baru” ini nanti bisa berkembang baik dan menjadi alternatif baru “kota lama” Batulicin.
Pemilihan kawasan “kota baru” ini saya lihat sudah betul. Yakni tidak jauh dari kota lama, namun tanah di kawasan “kota baru” ini berada di ketinggian yang cukup. Mungkin sekitar 5 meter lebih tinggi dari kota lama. Ini penting dan bagus agar tata kotanya bisa lebih baik dan tidak terancam banjir di masa depan.
Sudah ada jalan kembar di kota baru ini. Bangunan-bangunan kantor pemerintah kabupaten juga sudah banyak berdiri di sini. Namun kondisinya tidak memberikan harapan. Jalan kembar itu, kantor-kantor itu, dan kawasannya seperti tidak terurus. Kawasan ini seperti sudah sekitar satu tahun tidak ada sentuhan baru atau perawatan baru. Saya tidak melihat ada geliat baru di kota baru ini.
Adakah bupati baru Tanah Bumbu tidak semangat mengembangkan kota baru ini? Adakah dia punya konsep lain? Ataukah masih mikir-mikir? Ke mana Tanah Bumbu akan dibawa kini masih menjadi tanda tanya besar?
Ini memang agak berbeda dengan bayangan saya sebelum tiba di Tanah Bumbu. Saya kira, dengan kekayaannya itu, Tanah Bumbu, khususnya Batulicin dikelola dengan khusus. Ternyata tidak. Melihat Batulicin sekarang saya teringat akan masa-masa banjir di Samarinda tahun 1970-an. Waktu itu penebangan hutan lagi gila-gilaan. Ekspor kayu lagi luar biasa. Sungai Mahakam penuh dengan kapal Jepang yang besar-besar. Tapi kota Samarinda tumbuh semrawut. Memang banyak “orang kaya baru” tapi hidupnya tidak teratur. Kurang lebih suasana seperti itulah di Batulicin.
Semula saya kira Batulicin memberikan harapan masa depan. Apalagi saya dengar bupati barunya masih sangat muda (28 tahun). Saya kira bupati muda, baru dan kaya memiliki ambisi baru yang akan membuat kabupaten ini luar biasa. Ternyata belum kelihatan sama sekali.
Padahal saya ke Batulicin siap dengan konsep kelistrikan yang baru. Misalnya, setelah transmisi ke Batulicin selesai tahun ini, PLN akan menggelar kabel bawah laut menuju Pulau Laut. Ini agar listrik di Kota Baru sama baiknya dengan yang di daratan nantinya. Bahkan pelabuhan besar bisa dibangun di Pulau Laut dengan dukungan listrik yang cukup.
Kalau Pulau Laut punya pelabuhan besar, lalu sangat mungkin dibangun jembatan seperti Jembatan Madura dari Pulau Laut ke daratan Kalimantan di Batulicin, maka kolaborasi dua kabupaten ini akan membuat kawasan itu punya masa depan yang hebat. Bahkan tidak mustahil ekonomi Kalsel akan bergeser ke Tanah Bumbu dan sekitarnya.
Harapan itu kini tertumpu pada puncak bupati Tanah Bumbu yang baru, yang muda (termuda di Indonesia) dan yang kaya. Bahwa selama delapan bulan masa jabatannya belum ada tanda-tanda kemajuan, siapa tahu bupati itu masih memikirkan perencanaannya. Kalau tidak, sang bupati akan kehilangan waktu dan kesempatan membuat sejarah baru di kampung halamannya.
Tentu dalam waktu dekat saya masih harus ke Kalselteng lagi. Untuk melihat jalur Banjarmasin Rantau-Barabai-Amuntai-Tanjung. Sekalian untuk nostalgia.
Saya pernah melewati jalur ini tapi 40 tahun yang lalu. Yakni ketika pengantin baru, mengantar istri saya ke makam leluhurnya di Martapura. Dari sini lalu naik kendaraan umum menuju Samarinda lewat Tanjung, Kuaro dan Balikpapan. Waktu itu saya terpaksa berbohong kepada sopir agar bisa duduk di depan. “Istri saya lagi hamil,” kata saya. Saya kasihan kepada istri kalau harus berjejal di bak belakang mobil jeep land rover untuk perjalanan satu hari satu malam dengan kondisi jalan yang waktu itu sangat berguncang. Apalagi mobil harus menyeberangi beberapa sungai karena belum ada jembatan –saya lupa entah di sungai apa saja waktu itu.***