Selasa, 21 Juni 2011

Dahlan Iskan - Harapan Baru pada Listrik Sehen

Inilah perjalanan jauh untuk melihat 100 rumah yang menggunakan Lampu Sehen. Itu adalah listrik tenaga matahari model baru untuk sistem kelistrikan kepulauan. Desa itu terpencil nun di ujung barat daya Pulau Sumba, NTT.

Sudah lima bulan penduduk menggunakan Lampu Sehen. Sampai saya ke sana pekan lalu, tidak ada keluhan, tidak ada lampu yang mati dan tidak ada instalasi yang rusak. Itu mengisyaratkan bahwa target ambisius setahun menaikkan ratio elektrifikasi di NTT dari 31 persen menjadi 70 persen pun bisa dicapai.

Setahun ini sudah tiga kali saya ke NTT. Banyaknya orang yang mengatakan “mustahil elektrifikasi NTT bisa mencapai 70 persen akhir tahun ini” membuat saya sering ke sana. Apalagi saya juga terikat sumpah harus mewujudkan proyek listrik panas bumi (geotermal) Ulumbu (Ruteng) yang sangat lama macet itu.

Perjalanan panjang kali ini saya mulai dari Kupang. Dari bandara, malam itu saya langsung ke proyek PLTU Kupang yang lama tersendat. Saya kaget, gubernur dan wakil gubernur menyambut di bandara. Pasangan kepala daerah yang sangat rukun tersebut (di banyak daerah terjadi “perang dingin”) memang sangat merindukan listrik NTT maju.

Pagi-pagi kami sudah terbang ke Kecamatan Kangae, Sikka, Flores. Itulah kecamatan pertama di Indonesia yang seluruh pelanggan listriknya menggunakan sistem prabayar, sehingga mendapatkan rekor Muri. Sampai-sampai, Wakil Bupati Sikka dr Wera Damianus iri. “Kampung kelahiran saya sendiri sampai hari ini belum berlistrik,” katanya.

Dia bercerita, betapa menderitanya penduduk Pulau Palue, tempat kelahirannya tersebut. Bukan hanya tidak ada listrik, tapi juga tidak ada sumber air. Sudah dicoba dibor, tidak pernah berhasil. Penduduk sepenuhnya bersandar pada air hujan. Padahal di sana lebih sering kemarau. Untuk itu, tiap rumah harus punya paling tidak tiga pohon pisang.

Dari pokok pohon pisang yang dilubangi itulah air untuk minum dan masak didapat. Pisang pun menjadi simbol kehidupan di Palue. “Kalau ada perjaka yang minta kawin, biasanya ditanya: Memangnya sudah mampu menanam berapa pohon pisang?” tuturnya.

Setelah mendengar itu, saya bertekad Pulau Palue harus berlistrik akhir tahun ini. Dari Kangae, saya langsung ke Sumba, sebuah pulau yang besarnya tiga kali Bali, tapi penduduknya amat jarang. Lebih banyak jumlah kudanya.

Mendarat di Kota Waingapu, kami langsung menelusuri jalan darat menuju Waitabula/Tambolaka di pantai barat Sumba. Perjalanan itu sebenarnya bisa ditempuh enam jam. Namun, kami harus membelok dulu memasuki padang savanna yang luas di tengah pulau. Saya ingin tahu lokasi pembangkit listrik tenaga air yang segera dibangun.

Pencarian lokasi itu ternyata tidak mudah. Kami sempat tersesat. Di padang savanna tersebut tanda untuk sebuah lokasi hanyalah bukit dan rumput. Padahal bentuk bukit dan jenis rumputnya mirip semua. Padahal entah berapa bukit yang harus dilampaui. Sesekali memang terlihat penunggang kuda sandel yang kepalanya timbul tenggelam di sela-sela rumput di kejauhan. Namun, karena kudanya terus berlari, tidak bisa juga dipakai patokan arah. Begitu lamanya mencari jalan memutar itu sehingga ketika senja tiba kami masih di savanna.

Diam-diam saya mensyukuri ketersesatan itu. Bisa menikmati senja yang menakjubkan. Sejauh mata memandang, hanya ada savanna. Tidak terlihat satu pun kampung atau bangunan. Berada di tengah-tengah savanna tersebut, saya merasa seperti berada di pedalaman Irlandia. Sama sekali tidak menyangka ini di pedalaman Sumba! Apalagi udaranya sekitar 18 derajat Celsius! Alangkah sejuknya!

Keindahan itu meningkat menjadi ketakjuban manakala dari kaki langit yang cerah tersebut menyembul bulan yang kebetulan lagi purnama. Begitu menornya. Seperti wajah Malinda Dee di pentas peragaan kebaya! Uh! Tersesat yang menyenangkan. Tidak menyangka sore itu saya bisa menikmati alam seasli-aslinya. Savanna yang seperti penuh misteri. Goyangan rumputnya. Bayangan bukitnya. Temaram cahaya purnamanya. Menyatu di keluasan cakrawala bumi manusia yang langka!

Ada yang membuat saya lebih bersyukur. Saya baru terhindar dari cedera. Setengah jam sebelum memasuki savanna itu, mobil yang saya kemudikan menabrak mobil di depan. Ringsek. Harus diderek kembali ke Waingapu.

Sebenarnya saya sudah mencoba mengerem sekuat tenaga. Tapi, kecepatan mobil berbanding jaraknya tidak memadai lagi. Aspalnya pun dilapisi debu tebal dari bukit kapur yang sedang dibongkar di tebing jalan. Kapur itulah yang membuat ban tidak bisa mencengkeram aspal dengan sempurna. Saya juga tidak mungkin membanting setir mobil ke kiri karena akan menabrak tebing.

Saya menyadari kesalahan saya. Saya tidak tarik rem tangan. Refleks itu tidak muncul. Mungkin sudah lelah karena sudah hampir dua jam mengemudi. Mobil di depan saya itu terhenti mendadak karena menabrak truk dari arah depan. Dua mobil ringsek.

Pukul 22.00 kami baru tiba di kota kecil Waikabubak, Sumba Barat. Namun tidak bisa segera beristirahat. Hotel sederhana di situ lagi penuh. Harus mencari kota kecil berikutnya yang jaraknya sekitar sejam. Sekalian mencapai tujuan akhir perjalanan malam itu: Tambulaka.

Bagi yang merasa baru sekali ini mendengar nama Tambulaka, baiknya ingat peristiwa Adam Air. Pesawat dengan lebih dari 200 penumpang yang tersesat dan kehilangan arah tersebut akhirnya bisa mendarat di suatu daerah terpencil. Ya Tambulaka itulah yang dimaksud. Waktu itu sang pilot sebenarnya hanya ingin mendarat darurat di pantai pasir putih yang panjang “entah di pulau apa. Tapi, begitu mendekati pantai, terlihatlah ada bandara kecil. Itulah Bandara Tambulaka.

Salah satu desa pengguna Lampu Sehen yang sedang kami promosikan berada di 10 km dari bandara tersebut. Nama Sehen (super ekonomi hemat energi) diciptakan PLN karena sistem itu memang belum ada namanya. Sehen-lah yang mengakhiri riwayat hidup lampu petromaks di desa itu. Dan kelak di seluruh Sumba bahkan di banyak pulau Indonesia.

Dengan Lampu Sehen, masing-masing rumah seperti memiliki pembangkit listriknya sendiri-sendiri, memiliki trafonya sendiri-sendiri, dan memiliki jaringan kabelnya sendiri-sendiri. Dengan Sehen, tidak ada lagi lampu mati karena travo meledak, karena kabel penyulang terganggu, atau karena tiang listrik roboh. Dengan Lampu Sehen juga tidak ada pencurian listrik, tidak ada pembaca meter, dan tidak ada tagihan yang salah.

Dengan Lampu Sehen, Desa Karuni langsung berubah. Desa asli dengan budaya Sumba yang unik itu tidak lagi gelap gulita. Rumah-rumahnya tetap rumah panggung dengan dinding kayu dan atap daun rumbia, tapi ada peralatan modern di atas atapnya. Sebuah panel kecil yang kalau siang menyerap tenaga matahari. Tidak perlu baterai khusus karena alat penyimpan listriknya sudah ada di dalam bola lampu itu sendiri.

Setiap rumah mendapat jatah tiga bola lampu. Masing-masing 220 lumen. Istilah “lumen” tersebut harus mulai dihafal karena untuk tenaga surya tidak menggunakan satuan watt. Tingkat terang 220 lumen hampir setara dengan 40 watt. Sangat terang.

Tiap-tiap bola lampu dilengkapi benang penarik untuk on/off. Benang penarik itu juga berfungsi untuk mengubah lumen. Mereka menyalakan lampu tersebut mulai pukul 17.00 dengan menarik benang sekali tarikan. Pada pukul 23.00 atau menjelang tidur, mereka menarik benang sekali atau dua kali lagi untuk mengurangi terangnya cahaya sekaligus menghemat setrumnya.

Yang membuat penduduk senang-senang-geli, bola lampu tersebut bisa dipetik dari tempatnya untuk dibawa ke mana-mana dalam keadaan menyala. Di sinilah serunya. Setiap ada perhelatan di desa itu, tidak perlu lagi menyewa genset seperti dulu. Cukuplah masing-masing undangan membawa lampunya sendiri-sendiri untuk kemudian dicantelkan di mana saja di lokasi perhelatan. Kalau ada 50 undangan yang datang dan masing-masing membawa satu Sehen, terangnya bukan main.

Sudah lima bulan Lampu Sehen berfungsi dengan baik. Menyenangkan. Ini tidak akan sama dengan proyek yang pernah dikembangkan di beberapa kementerian yang kemudian menimbulkan perkara korupsi itu. Lampu Sehen tersebut tetap milik PLN, diurus oleh orang PLN, dirawat oleh PLN, dan ditagih oleh PLN. Tidak akan terjadi penduduk bisa menjual Lampu Sehen-nya.

Masih ada plus yang lain. Di setiap “desa Sehen”, PLN memberikan satu set TV berbasis tenaga surya 21 inci. Berikut parabolanya. TV itu diletakkan di plaza, eh gubuk, terbuka di depan rumah pak RT. Malam itu teman-teman PLN sempat nonton TV bersama penduduk yang ternyata sangat menyenangi sinetron. Mereka juga ketagihan film India. Maklum, meski di desa yang begitu jauh, mereka bisa menonton 28 channel dengan kualitas gambar yang sempurna.

Hanya, menonton sinetron atau film India sebenarnya terserah selera pak RT karena pak RT-lah yang memegang remote control-nya. (*)

Dahlan Iskan
CEO PLN

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost