Inilah perjalanan jauh untuk melihat 100 rumah yang menggunakan Lampu
Sehen. Itu adalah listrik tenaga matahari model baru untuk sistem
kelistrikan kepulauan. Desa itu terpencil nun di ujung barat daya Pulau
Sumba, NTT.
Sudah lima bulan penduduk menggunakan Lampu Sehen. Sampai saya ke
sana pekan lalu, tidak ada keluhan, tidak ada lampu yang mati dan tidak
ada instalasi yang rusak. Itu mengisyaratkan bahwa target ambisius
setahun menaikkan ratio elektrifikasi di NTT dari 31 persen menjadi 70
persen pun bisa dicapai.
Setahun ini sudah tiga kali saya ke NTT. Banyaknya orang yang
mengatakan “mustahil elektrifikasi NTT bisa mencapai 70 persen akhir
tahun ini” membuat saya sering ke sana. Apalagi saya juga terikat sumpah
harus mewujudkan proyek listrik panas bumi (geotermal) Ulumbu (Ruteng)
yang sangat lama macet itu.
Perjalanan panjang kali ini saya mulai dari Kupang. Dari bandara,
malam itu saya langsung ke proyek PLTU Kupang yang lama tersendat. Saya
kaget, gubernur dan wakil gubernur menyambut di bandara. Pasangan kepala
daerah yang sangat rukun tersebut (di banyak daerah terjadi “perang
dingin”) memang sangat merindukan listrik NTT maju.
Pagi-pagi kami sudah terbang ke Kecamatan Kangae, Sikka, Flores.
Itulah kecamatan pertama di Indonesia yang seluruh pelanggan listriknya
menggunakan sistem prabayar, sehingga mendapatkan rekor Muri.
Sampai-sampai, Wakil Bupati Sikka dr Wera Damianus iri. “Kampung
kelahiran saya sendiri sampai hari ini belum berlistrik,” katanya.
Dia bercerita, betapa menderitanya penduduk Pulau Palue, tempat
kelahirannya tersebut. Bukan hanya tidak ada listrik, tapi juga tidak
ada sumber air. Sudah dicoba dibor, tidak pernah berhasil. Penduduk
sepenuhnya bersandar pada air hujan. Padahal di sana lebih sering
kemarau. Untuk itu, tiap rumah harus punya paling tidak tiga pohon
pisang.
Dari pokok pohon pisang yang dilubangi itulah air untuk minum dan
masak didapat. Pisang pun menjadi simbol kehidupan di Palue. “Kalau ada
perjaka yang minta kawin, biasanya ditanya: Memangnya sudah mampu
menanam berapa pohon pisang?” tuturnya.
Setelah mendengar itu, saya bertekad Pulau Palue harus berlistrik
akhir tahun ini. Dari Kangae, saya langsung ke Sumba, sebuah pulau yang
besarnya tiga kali Bali, tapi penduduknya amat jarang. Lebih banyak
jumlah kudanya.
Mendarat di Kota Waingapu, kami langsung menelusuri jalan darat
menuju Waitabula/Tambolaka di pantai barat Sumba. Perjalanan itu
sebenarnya bisa ditempuh enam jam. Namun, kami harus membelok dulu
memasuki padang savanna yang luas di tengah pulau. Saya ingin tahu
lokasi pembangkit listrik tenaga air yang segera dibangun.
Pencarian lokasi itu ternyata tidak mudah. Kami sempat tersesat. Di
padang savanna tersebut tanda untuk sebuah lokasi hanyalah bukit dan
rumput. Padahal bentuk bukit dan jenis rumputnya mirip semua. Padahal
entah berapa bukit yang harus dilampaui. Sesekali memang terlihat
penunggang kuda sandel yang kepalanya timbul tenggelam di sela-sela
rumput di kejauhan. Namun, karena kudanya terus berlari, tidak bisa juga
dipakai patokan arah. Begitu lamanya mencari jalan memutar itu sehingga
ketika senja tiba kami masih di savanna.
Diam-diam saya mensyukuri ketersesatan itu. Bisa menikmati senja yang
menakjubkan. Sejauh mata memandang, hanya ada savanna. Tidak terlihat
satu pun kampung atau bangunan. Berada di tengah-tengah savanna
tersebut, saya merasa seperti berada di pedalaman Irlandia. Sama sekali
tidak menyangka ini di pedalaman Sumba! Apalagi udaranya sekitar 18
derajat Celsius! Alangkah sejuknya!
Keindahan itu meningkat menjadi ketakjuban manakala dari kaki langit
yang cerah tersebut menyembul bulan yang kebetulan lagi purnama. Begitu
menornya. Seperti wajah Malinda Dee di pentas peragaan kebaya! Uh!
Tersesat yang menyenangkan. Tidak menyangka sore itu saya bisa menikmati
alam seasli-aslinya. Savanna yang seperti penuh misteri. Goyangan
rumputnya. Bayangan bukitnya. Temaram cahaya purnamanya. Menyatu di
keluasan cakrawala bumi manusia yang langka!
Ada yang membuat saya lebih bersyukur. Saya baru terhindar dari
cedera. Setengah jam sebelum memasuki savanna itu, mobil yang saya
kemudikan menabrak mobil di depan. Ringsek. Harus diderek kembali ke
Waingapu.
Sebenarnya saya sudah mencoba mengerem sekuat tenaga. Tapi, kecepatan
mobil berbanding jaraknya tidak memadai lagi. Aspalnya pun dilapisi
debu tebal dari bukit kapur yang sedang dibongkar di tebing jalan. Kapur
itulah yang membuat ban tidak bisa mencengkeram aspal dengan sempurna.
Saya juga tidak mungkin membanting setir mobil ke kiri karena akan
menabrak tebing.
Saya menyadari kesalahan saya. Saya tidak tarik rem tangan. Refleks
itu tidak muncul. Mungkin sudah lelah karena sudah hampir dua jam
mengemudi. Mobil di depan saya itu terhenti mendadak karena menabrak
truk dari arah depan. Dua mobil ringsek.
Pukul 22.00 kami baru tiba di kota kecil Waikabubak, Sumba Barat.
Namun tidak bisa segera beristirahat. Hotel sederhana di situ lagi
penuh. Harus mencari kota kecil berikutnya yang jaraknya sekitar sejam.
Sekalian mencapai tujuan akhir perjalanan malam itu: Tambulaka.
Bagi yang merasa baru sekali ini mendengar nama Tambulaka, baiknya
ingat peristiwa Adam Air. Pesawat dengan lebih dari 200 penumpang yang
tersesat dan kehilangan arah tersebut akhirnya bisa mendarat di suatu
daerah terpencil. Ya Tambulaka itulah yang dimaksud. Waktu itu sang
pilot sebenarnya hanya ingin mendarat darurat di pantai pasir putih yang
panjang “entah di pulau apa. Tapi, begitu mendekati pantai, terlihatlah
ada bandara kecil. Itulah Bandara Tambulaka.
Salah satu desa pengguna Lampu Sehen yang sedang kami promosikan
berada di 10 km dari bandara tersebut. Nama Sehen (super ekonomi hemat
energi) diciptakan PLN karena sistem itu memang belum ada namanya.
Sehen-lah yang mengakhiri riwayat hidup lampu petromaks di desa itu. Dan
kelak di seluruh Sumba bahkan di banyak pulau Indonesia.
Dengan Lampu Sehen, masing-masing rumah seperti memiliki pembangkit
listriknya sendiri-sendiri, memiliki trafonya sendiri-sendiri, dan
memiliki jaringan kabelnya sendiri-sendiri. Dengan Sehen, tidak ada lagi
lampu mati karena travo meledak, karena kabel penyulang terganggu, atau
karena tiang listrik roboh. Dengan Lampu Sehen juga tidak ada pencurian
listrik, tidak ada pembaca meter, dan tidak ada tagihan yang salah.
Dengan Lampu Sehen, Desa Karuni langsung berubah. Desa asli dengan
budaya Sumba yang unik itu tidak lagi gelap gulita. Rumah-rumahnya tetap
rumah panggung dengan dinding kayu dan atap daun rumbia, tapi ada
peralatan modern di atas atapnya. Sebuah panel kecil yang kalau siang
menyerap tenaga matahari. Tidak perlu baterai khusus karena alat
penyimpan listriknya sudah ada di dalam bola lampu itu sendiri.
Setiap rumah mendapat jatah tiga bola lampu. Masing-masing 220 lumen.
Istilah “lumen” tersebut harus mulai dihafal karena untuk tenaga surya
tidak menggunakan satuan watt. Tingkat terang 220 lumen hampir setara
dengan 40 watt. Sangat terang.
Tiap-tiap bola lampu dilengkapi benang penarik untuk on/off. Benang
penarik itu juga berfungsi untuk mengubah lumen. Mereka menyalakan lampu
tersebut mulai pukul 17.00 dengan menarik benang sekali tarikan. Pada
pukul 23.00 atau menjelang tidur, mereka menarik benang sekali atau dua
kali lagi untuk mengurangi terangnya cahaya sekaligus menghemat
setrumnya.
Yang membuat penduduk senang-senang-geli, bola lampu tersebut bisa
dipetik dari tempatnya untuk dibawa ke mana-mana dalam keadaan menyala.
Di sinilah serunya. Setiap ada perhelatan di desa itu, tidak perlu lagi
menyewa genset seperti dulu. Cukuplah masing-masing undangan membawa
lampunya sendiri-sendiri untuk kemudian dicantelkan di mana saja di
lokasi perhelatan. Kalau ada 50 undangan yang datang dan masing-masing
membawa satu Sehen, terangnya bukan main.
Sudah lima bulan Lampu Sehen berfungsi dengan baik. Menyenangkan. Ini
tidak akan sama dengan proyek yang pernah dikembangkan di beberapa
kementerian yang kemudian menimbulkan perkara korupsi itu. Lampu Sehen
tersebut tetap milik PLN, diurus oleh orang PLN, dirawat oleh PLN, dan
ditagih oleh PLN. Tidak akan terjadi penduduk bisa menjual Lampu
Sehen-nya.
Masih ada plus yang lain. Di setiap “desa Sehen”, PLN memberikan satu
set TV berbasis tenaga surya 21 inci. Berikut parabolanya. TV itu
diletakkan di plaza, eh gubuk, terbuka di depan rumah pak RT. Malam itu
teman-teman PLN sempat nonton TV bersama penduduk yang ternyata sangat
menyenangi sinetron. Mereka juga ketagihan film India. Maklum, meski di
desa yang begitu jauh, mereka bisa menonton 28 channel dengan kualitas
gambar yang sempurna.
Hanya, menonton sinetron atau film India sebenarnya terserah selera
pak RT karena pak RT-lah yang memegang remote control-nya. (*)
Dahlan Iskan
CEO PLN
Selasa, 21 Juni 2011
Dahlan Iskan - Harapan Baru pada Listrik Sehen
22.44
sopyan