Menjadi Amerika yang hebat seperti sekarang ternyata juga tidak mudah. Bahkan, ketika negara itu sudah berumur 90 tahun (tahun ini negara kita berumur 70 tahun) masih mengalami guncangan yang nyaris membuat semuanya berantakan: perang sipil.
Itu terjadi gara-gara rakyat di tujuh negara bagian di wilayah selatan tidak puas atas kemenangan calon presiden Abraham Lincoln. Misi yang dibawa calon presiden itu dianggap tidak sejalan dengan aspirasi di tujuh negara bagian tersebut. Mereka menginginkan perbudakan tetap diperbolehkan. Sedang Lincoln sejak kampanye ingin mengakhiri perbudakan.
Waktu itu calon presidennya empat orang. Lincoln mendapat suara 1.866.000. Calon berikutnya mendapat 1.376.000 suara. Sedang dua lainnya mendapat 850.000 dan 560.000-an suara. Total pemilih baru 3.600.000-an. Pada 1861 itu, saat republik sudah berumur 90 tahun, perempuan masih belum boleh memiliki hak pilih. Demikian juga warga kulit hitam. Penduduk di 14 negara bagian juga belum punya hak pilih. Pada tahun itu, mereka belum menjadi negara bagian. Status Kansas, Colorado, Nevada, sampai Washington masih teritori.
Perjalanan menjadi sebuah negara demokrasi seperti sekarang ternyata tidak secepat yang kita perkirakan. Begitu bencinya terhadap presiden terpilih, tujuh negara bagian tersebut menyatakan memisahkan diri dari Amerika. Mereka membentuk negara sendiri dengan nama Confederate States of America atau disingkat Confederacy. Mereka juga memiliki bendera nasional tersendiri: merah disilang biru dengan bintang putih sebanyak tujuh di silang warna biru itu. Tapi, bendera tersebut kemudian diganti dan diganti lagi sampai tiga kali.
Bagi wilayah selatan, budak itu penting. Penghasilan pokok wilayah tersebut berasal dari kapas. Kebun kapas memerlukan banyak buruh. Tanpa buruh, perkebunan itu bisa lumpuh. Tapi, karena upah buruh itu amat murah, persaingan ekonomi menjadi tidak fair. Wilayah utara tidak menganut sistem perbudakan karena perbudakan dianggap melanggar moralitas dan ajaran agama.
Untuk melihat gambaran itu, minggu lalu saya ke Nashville di Tennessee. Saya ingin tahu mansion (rumah) presiden ketujuh Amerika yang dikelilingi perkebunan kapas seluas 150 hektare. Kini perkebunan tersebut menjadi taman hijau yang mengelilingi mansion-nya. Menurut catatan di situ, Jackson memiliki 300 budak.
Jackson kawin dengan seorang janda. Tapi, karena sang janda belum punya surat cerai, perkawinan itu diperbarui beberapa tahun kemudian. Dia pernah marah kepada mantan suami itu karena selalu mem-bully-nya. Jackson menulis surat, menantangnya untuk duel adu tembak. Meski lawannya dikenal sebagai jago tembak, Jackson minta dia menembak lebih dulu. Tembakan itu mengenai dada Jackson, tapi tidak membuatnya roboh. Giliran Jackson menembaknya: tewas.
Tujuh negara bagian di wilayah selatan (South Carolina, Florida, Mississippi, Alabama, Georgia, Texas, dan Louisiana) seperti itu semua. Karena perbudakan dilarang, mereka pilih mendirikan negara baru. Inisiatornya South Carolina. Proklamasi itu dilakukan setelah Lincoln terpilih, tapi sebelum dilantik.
Bahkan, ketika presiden terpilih itu dalam perjalanan menuju tempat pelantikan, seseorang berusaha membunuhnya. Waktu itu perjalanan kereta api dari kampungnya di Illinois ke Washington sudah tiba di Baltimore, tinggal satu jam lagi sampai Washington DC. Untuk keselamatannya, sisa perjalanan itu dilakukan secara rahasia.
Tapi, Lincoln tidak gentar. ”Saya pilih mati daripada berkompromi dengan mereka,” ujar Lincoln dalam satu pidato waktu itu.
Separatis di selatan itu dia nilai melanggar konstitusi dan harus dihadapi dengan tegas. Tidak ada negosiasi dan tidak ada kompromi. Maka, ketika tentara Confederacy mulai menyerang satu kota perbatasan di wilayah Union (istilah untuk wilayah Amerika yang tidak memisahkan diri), Lincoln mengerahkan pasukan habis-habisan.
Terjadilah perang sipil yang berlarut. Selama empat tahun. Korban luar biasa. Mencapai hampir 1,5 persen dari jumlah penduduk. Amerika ternyata pernah menempuh jalan yang begitu mahal untuk mempertahankan kesatuan wilayahnya. ”Kalau sekarang, 1,5 persen itu berarti 1,5 juta orang,” ujar ahli sejarah di Indiana yang saya ajak ngobrol bulan lalu.
Pada akhir masa jabatannya, popularitas Lincoln benar-benar merosot. Dia sendiri merasa tidak akan terpilih lagi. Sebulan sebelum pilpres, Lincoln seperti pasrah akan nasibnya, tapi tidak pasrah mengenai sikapnya terhadap para separatis. Bahkan, dia menegaskan akan meningkatkan serangan ke wilayah Confederacy di sisa masa jabatannya yang pendek. Termasuk akan memanfaatkan masa empat bulan antara terpilihnya presiden baru dan pelantikannya. Pokoknya, perang harus berakhir sebelum dia secara resmi turun dari Gedung Putih. Dan harus menang.
Peningkatan serangan itu membuat tentara Confederacy kian lemah. Lincoln ternyata kembali terpilih dengan kemenangan telak. Maka, kemenangan tentara Union menjadi kian nyata.
Kemenangan kembali Lincoln dan gelagat Confederacy yang akan kalah membuat seseorang yang sangat benci Lincoln berbuat nekat. Tepat sebulan setelah Lincoln dilantik untuk masa jabatan kedua, orang itu, John Wilkes Booth, menembaknya dari jarak dekat di bagian belakang kepala Lincoln. Tewas.
Malam itu Lincoln dan Wakil Presiden Johnson diagendakan nonton bersama di sebuah teater di Washington. Booth tahu tentang agenda itu. Dia pun ikut nonton dengan tujuan membunuh dua orang tersebut. Dia agak kecewa karena di detik terakhir, wakil presiden batal ikut nonton karena harus pergi ke rumah putranya. Saat pengawal bersenjata ingin minum kopi dengan cara meninggalkan balkon khusus tempat presiden menonton, Booth menyelinap. Dor! Lincoln dilarikan ke rumah sakit, tapi tidak tertolong.
Booth melarikan diri. Dia bersembunyi di daerah pertanian di Virginia. Ketika 14 hari kemudian diringkus, dia melawan. Lalu ditembak di daerah pertanian itu. Mati.
Lincoln sempat tahu bahwa Confederacy sudah menyerah total pada 6 April 1865, hanya seminggu sebelum penembakan itu terjadi. Rupanya, Booth sangat terpukul oleh penyerahan diri panglima Confederacy tersebut.
Ahli sejarah sepakat bahwa Lincoln adalah satu di antara tiga presiden terhebat yang dimiliki Amerika Serikat. Dia tegas dan menang. Bukan tegas tapi kalah. Atau menang tapi tidak tegas. Dia tercatat sebagai presiden yang mengatasi tiga krisis sekaligus: krisis moral (soal perbudakan), krisis konstitusi (soal pemisahan diri), dan krisis politik (melakukan manuver politik untuk berkelit dari kompromi).
Lincoln sebenarnya anak desa yang tidak memiliki pendidikan formal. Dia lahir di pedalaman Kentucky, lalu pindah ke pedalaman Illinois. Di sini, Lincoln muda jadi tukang belah kayu untuk membuat bantalan rel kereta api. Kemudian menjadi pengacara. Lalu menjadi politikus lokal. Setelah menjadi politikus nasional, akhirnya dia mencalonkan diri sebagai presiden.
Ketika berkampanye di Chicago, di wilayahnya, seorang gadis berumur sebelas tahun sangat bersimpati kepadanya. Gadis itu begitu iba saat melihat tubuh Lincoln yang kerempeng dan wajahnya yang tirus. ”Baiknya Anda memelihara jenggot. Agar tidak kelihatan tirus,” ujar gadis itu. Setelah dilantik menjadi presiden, Lincoln benar-benar memelihara jenggot. Sampai akhir hayatnya di usia 56 tahun.
Demokrasi ternyata begitu mahal, untuk Amerika sekalipun. Tapi, sejarah mencatat, segala pengorbanan itu membuahkan hasil. Amerika menjadi segara superpower seperti sekarang. (*)