Sistem Profesor untuk Sekolah Baru
Inilah jenis sekolah yang tumbuh pesat di Amerika Serikat: charter school. Bukan negeri. Bukan pula swasta.
Pendiri sekolah jenis ini umumnya guru. Yang punya jiwa keguruan 24 karat. Yang prihatin terhadap mutu pendidikan.
Maksudnya: pendidikan di sekolah negeri. Terutama di lingkungan tempat tinggalnya.
Misalnya Tyler Bastian ini. Awalnya dia guru SMA. Untuk mata pelajaran pembentukan karakter. Sesuai dengan prodi saat kuliah dulu.
Bastian prihatin dengan karakter remaja di lingkungannya. Begitu banyak yang drop out. Alasannya macam-macam. Intinya: sekolah tidak menarik bagi mereka.
Bastian lantas mengajak beberapa guru bergabung. Mendirikan charter school. Mereka menyusun pengurus. Bastian ketuanya.
Sejak 15 tahun lalu sebagian negara bagian memang mengizinkan berdirinya jenis sekolah baru ini. Bastian mau itu.
Langkah kedua: Bastian menyusun charter. Tebalnya 200 halaman. Mirip anggaran dasar: sekolah seperti apa yang diinginkan. Dan seperti apa kurikulumnya.
Berikutnya: Bastian menyusun program. Bagaimana mengusahakan bangunan, peralatan, mencari guru, mencari murid, dan mencari sumber dana.
Semua dokumen itu diajukan ke pemerintah negara bagian. Setingkat pemda provinsi di sini.
”Setahun saya mempersiapkan semua itu,” ujar Bastian saat saya mengunjungi sekolahnya. ”Tahun berikutnya sudah mendapat persetujuan.” Tahun ketiga sekolah dimulai.
Persetujuan itu penting: untuk mendapatkan biaya dari pemerintah. Besarnya Rp 70 juta (USD 5.000) per siswa per tahun. Memang itu tidak cukup. Tapi lumayan. Lebih dari 70 persen biaya sekolah. Menurut Bastian, di sekolahnya, per siswa menghabiskan USD 7.000/tahun.
Dia harus mencari sumbangan untuk menutup kekurangannya. Dia tidak boleh mencukup-cukupkan biaya dari pemerintah itu. Dia harus memenuhi komitmen mutu pendidikan sesuai dengan charter yang sudah dia buat.
Sekolah milik Bastian ini berada sekitar 20 km dari pusat Kota Salt Lake City, Utah. Namanya: Roots Charter High School. Bangunannya masih sewa. Bekas gedung kesehatan.
”Saya beri nama Roots agar siswa belajar mengenai akar semua masalah kehidupan,” ujar Bastian.
Memasuki ruang kelas sekolah ini, saya tidak kaget. Inilah ruang kelas SMA di Amerika: siswanya boleh pakai kaus, sandal, topi, dan celana pendek. Saya lihat seorang siswi membawa anjing ke kelas.
Duduknya pun boleh sesukanya: duduk manis, selonjor, kaki di atas kursi, dan sebagainya. Susunan kursi juga tidak harus rapi berderet.
Boleh beberapa kursi menggerombol memisah dari kursi lain. Tidak ada meja. Hanya kursi. Yang ada tempat buku atau laptopnya. Umumnya murid sibuk dengan laptop masing-masing.
Gurunya pun tidak di depan kelas. Keliling mendatangi murid yang memerlukan supervisi. Murid lain boleh berdiri di dekat guru. Ikut mendengarkan. Atau tidak.
Hari itu, 18 April lalu, saya melongok ke tiga kelas: matematika, sejarah, dan kimia. Semua mirip adanya: guru bersikap seperti teman murid. Pakaiannya pun semaunya.
Bastian juga menyewa lahan berjarak sekitar 100 meter dari sekolah. Untuk praktikum. Saya juga mengunjunginya. Untuk melihat kekhasan sekolah ini.
Seorang siswi dengan celana jins sedang memaku papan. Untuk bedeng tanaman sayuran. Tujuh siswa/siswi berada di kandang kambing.
Mereka mempraktikkan cara menyayangi anak kambing: merangkulnya di pangkuan, mengelus bagian yang disuka dan memeluknya. Menurut ilmu menyayangi kambing, bagian leher bawahlah yang harus dielus.
Tentu kandang kambing ini mengingatkan akan masa remaja saya: menjadi penggembala kambing. Saya sudah biasa menggendong anak kambing, membantu kelahiran, dan memandikan kambing. Tapi tidak secara ilmiah begini.
Segerombol siswa lagi memperhatikan temannya memandikan sapi. Seorang guru memberi contoh sesuai dengan ilmu memandikan sapi.
Dulu pun saya biasa membantu memandikan kerbau. Tapi, menungganginya dulu sepanjang jalan menuju sungai. Sambil meniup seruling.
Bastian adalah orang pertama yang mendirikan charter school berbasis pertanian dan peternakan. Relevan dengan situasi lingkungan sekolah. Siswa ternyata suka pelajaran di luar kelas. Ada unsur kegiatan fisik dan luar ruang.
Charter school memang dimaksudkan sebagai koreksi. Terutama terhadap rendahnya mutu sekolah negeri. Pelopornya seorang profesor dari Massachusetts. Namanya Ray Budde. Ketua persatuan guru AS.
Profesor itu pula yang mengajukan reformasi pendidikan pada tahun 1974. Sekolah negeri dia anggap terlalu kaku. Karena bukan berdasar inisiatif masyarakat. Tapi, baru tahun 1974 ada satu negara bagian, Minnesota, yang menerima ide charter school Prof Budde.
Sejak itu charter school menggelinding dengan kecepatan Star Wars. Kini sudah 43 negara bagian yang menerapkan. Jumlah charter school sudah mencapai 5.000 sekolah. Terbukti pula, kualitas pendidikannya lebih baik.
Tidak sembarang guru bisa mengajar di charter school. Harus yang bersertifikat. Yang benar-benar terpanggil jiwa keguruannya. Bastian punya delapan guru untuk Roots High School. Tiap guru gajinya USD 54.000 per tahun. Sekitar Rp 700 juta.
Keunggulan charter school adalah ini: tidak ada keseragaman. Ada yang mengutamakan matematika. Ada yang berbasis teknologi. Rekayasa mesin. Olahraga. Bebas. Tergantung bunyi charter yang dibuat.
Bastian puas dengan perjuangannya. Dia bekerja mulai jam 6 pagi sampai 6 sore. Mengajar dan menyiapkan keperluan sekolah. Dengan semangat.
Ketika saya memperhatikan anjing besar yang keluar masuk kelas, Bastian berhenti. ”Ini anjing sekolah,” katanya.
”Kalau ada siswa/siswi yang lagi suntuk, saya minta keluar untuk main-main dengan anjing ini.” Emosi siswa bisa reda.
Sebenarnya Bastian ingin bisa punya siswa sampai 300 orang. Tidak hanya 150 seperti sekarang. Tapi, dia belum bisa cari sumbangan lebih banyak. ”Sulit cari sumbangan. Orang Amerika itu kaya, tapi jiwanya rakus,” ungkapnya.
Bastian terpanggil mengurusi anak orang miskin sejak umur 19 tahun. Ketika dia jadi misionaris gereja Mormon di Honduras. Begitu miskin negara itu.
Dia sudah mendirikan sekolah di sana. Tiap tahun Bastian mengajak enam orang anaknya liburan di Honduras. Agar tahu bagaimana bisa membantu orang miskin.
Bahwa Bastian Mormon, memang begitulah umumnya orang Utah. Pihak-pihak yang rapat dengan saya di Utah semua aktivis Mormon. Misalnya yang ahli teknologi torium itu. Atau yang ahli ekonomi itu. Di sela-sela rapat saya menemui Tyler Bastian. Eh, Mormon juga.
Mayoritas penduduk Utah memang penganut Mormon: aliran Kristen yang membolehkan istri lebih dari satu, melarang makan babi, dan mengharamkan minuman keras.
Tentu saya juga mengunjungi Temple Square di Salt Lake City. Pusat gereja Mormon dunia. Yang umatnya kini sudah mencapai 15 juta. Antara lain karena Mormon melarang umatnya ikut KB.
Kembali ke lamanya perjuangan Prof Budde melahirkan charter school tadi, saya jadi merenung: di AS sekalipun memperjuangkan pembaharuan memakan waktu. Untung Prof Budde tidak gampang menyerah. (*)