Banyak yang mengirim SMS kepada saya menanyakan mengapa CEO’s Note yang baru tidak muncul-muncul. Sebulan terakhir ini intensitas saya berkunjung ke berbagai wilayah memang luar biasa : jalan darat dari palangkaraya ke Banjarmasin, jalan darat dari Pontianak ke dekat Singkawang, ke Jambi, ke palembang, Bangka, ke beberapa daerah di Jawa dan akhirnya ke kepulauan Tanimbar nun di laut Aru Tenggara. Lalu ke Kolaka dan jalan darat membelah kaki Sulawesi ke Kendari. Setelah itu masih ke Papua menyusuri pantai Kepala Burung : Sarong, singgah ke Fak-fak, bermalam di Kaimana, mampir di Manokwari dan akhirnya ke Jayapura.
Ketika satu-dua hari berada di Jakarta saya masih sempat memanfaatkan waktu sela itu berkunjung ke beberapa area pelayanan diJakarta. Misalnya ke area Ciputat yang kini, di bawah kepemimpinan yang baru Pak Agus Suwandi, lagi seru-serunya mengatasi gangguan trafo yang masih relatif tinggi. Juga ke area Cikotok yang meski tidak bertemu pimpinannya tapi saya bahagia : sang pimpinan lagi melakukan pemeriksaan dari trafo ke trafo. Untuk Jawa-Bali, wilayah Jakarta memang tergolong “desa tertinggal” dalam gerakan “mengalahkan Malaysia” di bidang listrik ini. Kini Jakarta lagi berusaha mengejar ketertinggalan itu. Bahkan saya dengar di area Pondok Gede, ada gerakan bersih-bersih gardu yang umumnya sudah penuh dengan rumput dan ilalang.
Di Kalbar saya, bersama Dirop Indonesia Barat Pak Harry Jaya Pahlawan, tidak sempat bertemu karyawan dalam sebuah dialog seperti kalau biasanya saya berkunjung ke satu wilayah. Di Kalbar persoalan pembangunan pembangkit listrik menyita perhatian lebih banyak. Wilayah ini sudah terlalu lama jadi sumber pemborosan karena “rakus” dalam meminum solar. Tidak ada jalan lain kecuali mempercepat dimulainya pembangunan PLTU yang lelet itu. Sayang memang proyek-proyek PLTU di Kalbar sangat-sangat lama macet. Baik yang di Pontianak maupun yang di dekat Singkawang. Akibatnya seluruh listrikdi provinsi ini harus diproduksi dengan membakar solar yang mahal.
Kini ada titik-titik terang di Kalbar. Kesulitan fondasi di PLTU Parit Baru sudah teratasi meski amat mahal. Tiang pancang sudah dikerjakan. Tinggal tugas tim proyek setempat untuk mengejar sejarah : bagaimana caranya rekor paling lama persiapannya ini, bisa diubah menjadi paling cepat pelaksanaannya. Bisakah?
Dengan organisasi proyek yang baru tidak ada alasan untuk tidak bisa. Demikian juga proyek PLTU yang di dekat Singkawang. proyek ini juga memegang rekor paling lambat dimulai.lnilah proyek yang persiapannya lebih lama dari pembangunan proyeknya kelak. Dari tender sampai sekarang sudah memakan waktu lebih dari tiga tahun. Padahal pembangunan proyeknya nanti, seperti ditargetkan kepala proyeknya, hanya 18 bulan. Ini karena pimpinan proyek yang baru, Pak Wayan Semudiarsa, benar-benar ingin berprestasi untuk kemajuan PLN.
Di Kalteng nasib proyek PLTU Pulang Pisau juga tidak lebih baik. Saat saya meninjau lokasi proyek ini (Ietaknya di dekat ibukota kabupaten baru Pulang Pisau yang masih sangat sepi di pertengahan antara palangkaraya dan Banjarmasin) belum banyak kegiatan. Padahal uang muka sudah dikucurkan. Pengurugan lokasi pun belum dimulai. Baru rintisan jalan masuk ke lokasi yang mulai dibuat sekedarnya. Saya benar- benar minta perhatian untuk proyek yang oleh masyarakat dikira sudah hampir jadi ini. Apalagi tanah urug untuk lokasi proyek ini harus didatangkan dari tempat yang jaraknya lebih dari 60 km. Itu pun tanahnya tidak bisa diangkut dengan truk melainkan harus dengan tongkang me nyusuri sungai Kahayan.
Belajar dari pengalaman yang seperti itu Direksi PLN membuat kebijakan baru : setiap proyek harus ada kepala proyeknya. Bahkan sang kepala proyek harus tinggal di lokasi proyek. PLN memang sudah lama tidak pemah punya proyek. Mungkin sudah hampir 10 tahun. Sejak krisis finansial tahun 1998 lalu. Akibatnya banyak ahli-ahli proyek di PLN sudah pada pensiun. Sedang tenaga baru PLN belum terlatih untuk menangani proyek. Akibatnya ketika tiga tahun lalu PLN diberi proyek yang sekaligus luar biasa banyak: 10.000 MW, terjadilah apa yang kini terjadi.
Di satu pihak hal itu tentu menjadi beban yang tak tertahankan. Tapi di lain pihak, ini adalah tantangan yang sangat menggoda. Inilah saatnya generasi baru PLN membuktikan bahwa PLN bisa membuat proyek-proyek yang sudah sangat terlambat itu untuk tidak lebih terlambat lagi. Tantangan itu tidak akan mengecil ke depan. Justru PLN akan terus mengerjakan proyek-proyek besar Iainnya dalam jumlah yang lebih banyak. Sungguh satu dekade yang akan sangat menantang.
Untunglah saya segera ke Jambi. Bisa sedikit terhibur. Di Jambi saya agak lega. Persiapan untuk menghadapi tantangan besar “membuat tahun depan adalah kemarau pertama yang tidak terjadi krisis listrik di Jambi” kelihatannya cukup baik. Entah sudah berapa puluh tahun Jambi selalu “menderita listrik” di setiap musim kemarau. Dirop Indonesia Barat sudah memprogramkan tahun depan adalah sejarah baru: tahun pertama kemarau tanpa krisis listrik. penambahan-penambahan mesin di komplek PLTG Payau Selincah kelihatannya berjalan lancar. Bahkan kami sepakat untuk memperbesar komplek Payau Selincah ini. Di sinilah akhirnya kita menetapkan Payau Selincah harus menjadi pusat listrik Jambi yang akan membanggakan wilayah itu.
Setelah dari Jambi sebenarnya saya ingin ke Ternate. Sekaligus ke Tidore. Lalu ke Halmahera dan sekitarnya. Namun saya harus mengikuti kunjungan Wapres Budiono ke Tanimbar, kepulauan paling luar yang sudah dekat ke Darwin, Australia itu. Saya harus ikut karena ada penilaian bahwa di Saumlaki, ibukota kabupaten terpencil ini, tidak ada listrik. Tentu saya berangkat dengan hati cemas. Jangan-jangan PLN akan malu karena terungkap bahwa masih ada satu wilayah yang tidak ada Iistriknya. Pada hal pulau ini termasuk daerah tertinggaI yang harus mendapat perhatian ekstra.
Ketika pesawat kepresidenan mendarat di Saumlaki, saya lega : listrik di sini ternyata sangat cukup. Bahkan sudah N-l. Maka saya pribadi tidak setuju kalau daerah ini dimasukkan daerah tertinggal. Kantor bupatinya saja amat megah. Rumah-rumah penduduknya tidak ada yang kumuh. Jalannya bagus-bagus. Ada SMA unggulan segala. Teman-teman PLN juga membanggakan karena meski bertugas di pulau yang begitu terpencil tapi melayani masyarakat dengan sepenuh hati. Selama di Saumlaki saya selalu bersama-sama dengan karyawan PLN. Bahkan saya sempat dicari-cari Wapres karena tidak menghadiri salah satu acara di situ.
Saya memang sedang keliling bersama teman-teman PLN : makan siang dengan mereka. Juga makan malam di pinggir pantai itu. Kalau toh ada yang kurang dari PLN adalah ini : PLTD-nya sudah berada di tengah-tengah kampung. Bisingnya bukan main. Rumah-rumah terdekat hanya berjarak kurang dari 15 meter. Sebenarnya ini bukan salah PLN. Saat PLTD ini dibangun, daerah itu masih kosong.
Saya setuju PLTD ini dipindah. Kami pun ramai-ramai mencari lokasi. Akhirnya saya memilih yang di sebelah penjara itu. “Apakah nanti tidak menganggu penghuni penjara pak,” tanya kepala PLN setempat, pak Nanaryain. “Biar saja,” jawab saya sekenanya. “Salah mereka sendiri mengapa sampai masuk penjara,” lanjut saya sambil bergurau. “Iya pak,” jawab Manajer PLN Saumlaki yang rupanya tidak kalah rasa humornya. “Sekalian kita tambah hukuman mereka dengan ke bisingan,”.
Kembali keJakarta saya tidak ikut pesawat kepresidenan. Saya singgah sebentar di pulau lain yang jaraknya setengah jam penerbangan pesawat kecil. Di sini saya kaget. Kok ada karyawan PLN yang tahu saya singgah di situ. Ternyata karyawan itu datang ke bandara hanya untuk menyerahkan oleh-oleh yang rupanya tidak sempat diberikan saat kunjungan saya kesana dua bulan sebelumnya. Mungkin karyawan PLN setempat menyesal mengapa dalam kunjungan dulu tidak memberikan oleh-oleh yang menjadi kebanggaan wilayah itu : mutiara. Daerah ini adalah penghasil mutiara yang terbesar di Indonesia.
Semula saya tidak tahu hadiah apa yang diserahkan itu. Bungkusnya amat kecil. Tentu saya bertanya apa gerangan isinya. Seperti sudah saya kemukakan berkali-kali saya tidak mau menerima oleh-oleh yang berharga. Ketika saya tahu isinya mutiara, saya harus bertanya berapa harga oleh-oleh itu di toko. Mula-mula karyawan tersebut tidak mau membuka. Saya terus mendesak. “Kalau Anda tidak mau mengatakan berapa harganya, saya tidak akan mau menerima ini,” kata saya.
Akhirnya saya tahu harga mutiara itu Rp 2 juta. Saat itu juga saya kirim SMS ke staff di Jakarta yang selama ini juga memegang uang pribadi saya. “Kirimkan uang Rp 2,5 juta,” kata saya. Maklum saya jarang membawa uang lebih dari Rp 500 ribu. Pengiriman uang itu juga saya beritahukan ke atasan mereka yang lebih tinggi agar lain kali tidak perlu menyiapkan oleh-oleh semacam itu.
Saya memang dalam kesulitan setiap menghadapi keadaan seperti ini. Saya tahu bahwa maksud pemberian itu mungkin untuk menghormati. Atau merasa tidak enak kalau tidak memberi oleh-oleh. Saya sebenarnya juga bisa merasakan ketulusan di situ. Namun saya harus bersikap untuk jangan menyulitkan teman-teman di daerah. Karena itu saya tidak bisa menolak hadiah seperti itu begitu saja. Kalau saya tolak saya tahu hal itu akan lebih menyulitkan. Sebab hadiah itu sudah terlanjur dibeli. Tentu tidak bisa dikembalikan ke toko. Maka lebih baik saya terima dengan senang hati, lalu saya kirim uang pribadi sebagai gantinya.
Beberapa kali saya melakukan hal seperti ini di beberapa daerah. Maafkan. Termasuk ketika saya menerima pakaian daerah, namun saya lihat harganya mahal. Saya langsung memberi uang sebagai gantinya agar pimpinan di unit tidak mengeluarkan uang perusahaan untuk membeli hal-hal seperti itu.
Saya bersyukur bahwa kini umumnya tidak ada lagi teman di daerah yang menyiapkan oleh-oleh. Tinggal satu-dua saja yang bisa sayaatasi dengan memberikan uang penggantinya.
Tentu tidak semua oleh-oleh saya tolak. Saya menerima dengan senang hati oleh-oleh seperti yang diberikan teman-teman di Jayapura ini: ubi talas dan pisang rebus. Atau oleh-oleh dari teman-teman PLN Kupang, NTT: jagung dan singkong rebus. Talas Papua maupun jagung NTT adalah salah satu makanan yang terlezat yang pernah say a makan. Apalagi semua itu bisa dimakan ramai-ramai di dalam penerbangan yang panjang kembali ke Jakarta.