By DWO
Kisah ini tak terpisah dari rangkaian 4 seri terdahulu. Menggelandang di Tokyo, Mei ‘89. Tapi, ini cerita dewasa. Anak-2 jangan baca.
----------------------
Sebenarnya saya punya beberapa pengalaman ‘dewasa’ di Tokyo. Bukan porno, cuma terlalu lelaki. Sedangkan grup ini dihuni banyak wanita. Sebagian anggota, agamis. Fokus misi: Politis.
Namun, posting belakangan lebih ‘membondet’. Bahasa pun ‘terlalu renyah’. Maka saya beranikan pilih yang satu ini.
HIBURAN GRATIS dari SHINJUKU
Di seri 1 s/d 4 terpapar, tiap malam saya tidur di bangku di sudut Bandara Narita, Tokyo. Sudah diizinkan polisi setempat. Pagi sampai sore keliling Tokyo naik bus kota. Malamnya menginap di bandara, sebab kehabisan sangu.
Wartawan Yomiuri Shimbun, Seichi Okawa yang saat itu saya temui, membisiki:
“Kalau Djono San jalan-jalan, jangan lupa ke Tatemae di Kabukicho.”
“Ada apa disana, Okawa San?”
“Lelaki pasti tertarik.” Dia tertawa.
“Tapi saya tidak punya cukup uang.”
“Tidak semua di Tokyo bertarif, Djono San….”
“Gratis?” tanyaku. Dia mengangguk.
Busyet… “gratis” digabung “lelaki pasti tertarik”, maka: Pasti menarik. Kendati saya was-was, karena gak punya duit. Campur-aduk dengan penasaran. Masak sih di Tokyo ada yang gratis? Ini megapolitan dengan biaya hidup termahal se-dunia.
Saya tidak mengorek info rinci dari Okawa soal Tatemae atau Kabukicho. Malu. Tapi, keluar dari kantor dia, saya tanyakan lokasi itu ke beberapa orang. Wilayah Kabukicho masuk Distrik Shinjuku, Tokyo. Sedangkan “Tatemae” tak ada yang tahu.
Saya tanyakan arti katanya, dalam bahasa Jepang berarti semacam khayalan. Fatamorgana. Jika diplesetkan lagi: Boong-boongan. O... pantas, beberapa orang yang saya tanya senyum-senyum. Jangan-jangan Okawa ngerjain saya, nih.
Tapi, apa salahnya dicek. Bukankah semakin kesasar, semakin baik, kata Pak Dahlan?
Pukul 17.00 saya turun di halte Kabukicho. Wah… wah… wah… ini kawasan hiburan malam. Hari belum gelap, lampu sudah menyala warna-warni. Kebyar-kebyar. Saya jalan, mengitari wilayah itu. Cukup luas.
Prostitusi dilegalkan di Jepang. Semua buku telepon di telepon umum, sekitar 50 halaman akhir terpampang “Call Me” dengan foto cewek cantik-cantik. Satu halaman isi 15 cewek. Budaya mereka sudah sangat liberal. Bukan Timur lagi.
BENARKAH INI BUKAN MANUSIA?
Tatemae ketemu juga. Semacam ruko. Pada pintu kaca tertulis “Tatemae” warna pink. Buka 24 jam. Bagian dalam tak tampak jelas, sebab kaca gelap. Hanya kelihatan sinar lampu aneka warna di dalamnya.
Saat dekat pintu, mendadak pintu terbuka. Seorang gadis cantik keluar menyapa, “Konbanwa…. Irasshaimase,” ucapnya, sambil membungkuk, tangan kanan mengarah ke pintu yang daunnya terbuka. Dia mengenakan rok mini hitam ketat.
Seketika muncul keinginan menghindar, ingin kabur. Saya tidak berniat masuk, hanya sekedar lewat saja. Maka, saya ucapkan terima kasih, berpaling.
Di luar dugaan, gadis itu berlari kecil, lalu sudah menghadang di hadapan saya. Senyumnya cantik sekali. Wajahnya imut, matanya bulat walau kecil, hidungnya mungil mancung, giginya berderet rapi kayak biji mentimun. Dia membimbing lengan saya, masuk. Waduh… bakal repot, nih.
Sambil masuk, saya katakan bahwa saya wartawan Indonesia yang hanya sekedar jalan-jalan lihat Shinjuku.
Seketika, dia terpekik senang. Bicara bahasa Jepang sambil jalan cepat masuk, seperti melaporkan sesuatu. Lalu seorang wanita usia sekitar 30 keluar, menyalami saya. Cantik juga, pakaiannya minim juga.
“Saya Mariko. Bisa saya bantu, Pak,” sapanya.
“O… saya hanya kebetulan lewat.”
“Betulkah anda wartawan?|
“Ya, saya wartawan dari Indonesia.”
Saya berniat meninggalkannya. Tapi dia lebih cepat, membimbing saya masuk. Dia nyerocos, cerita macam-macam, tak menghiraukan niat saya keluar. Saya grogi karena tak cukup uang. Ingin segera pergi, tapi selalu tercegah. Tempat apa sih ini? Masak gratis?
Ruang mini hall ukuran sekitar 7 X 7 meter, sofa melingkar di pinggirnya. Ada empat cewek duduk di sofa seberang saya. Penerangan remang, dominan biru. Mirip lokasi pelacuran Doly di Surabaya.
Bedanya, disini lebih soft. Musiknya tidak hingar-bingar. Instrumental petikan dawai, bagai gemericik hujan gerimis. Lampu-lampu artistik, menyorot aneka patung gaya postmodern berbahan logam.
Ada patung wanita (maaf, telanjang) namun body meliuk terlalu tajam, hingga nyaris roboh. Itulah gaya postmodern. Sebagian menyebutnya aliran dadaisme. Ada yang menyebutnya abstrak.
Mariko menjelaskan, tempat hiburan ini belum lama dibuka. Menyajikan puluhan teman cewek. Tapi semua ceweknya bukan manusia, melainkan robot. “Seperti yang anda lihat disana...” ujarnya, menunjuk empat cewek di seberang saya. Idiiih…
Empat cewek (2 bule 2 Jepang) serentak melambai ke kami, begitu mereka ditunjuk Mariko.
Busyeeet, deh… Mereka berdiri bersamaan, mengangguk hormat gaya Jepang, lalu duduk lagi. Dua diantaranya membetulkan rok mini yang terlalu naik. Menutup putih mulus pahanya. Ampuuuun… benarkah itu robot? Mengapa begitu manusiawi?
Saya jadi mengamati Mariko, rambut sampai kaki. Seketika dia tersenyum renyah, “Hahaha… Kalau saya manusia, Pak. Disini ada lima manusia, termasuk Isanami yang menyambut anda di pintu masuk tadi,” katanya. Isanami sudah berjaga dekat pintu lagi.
Saya penasaran, sekaligus khawatir bayar. Sementara, Mariko meminta identitas kewartawanan. Saya berikan, kartu pers, kartu nama, menjelaskan sekilas tentang media saya bekerja.
Mungkin kegalauan saya ditangkap Mariko. Dia mengajak saya berdiri mendekati 4 cewek itu. “Jangan khawatir, semuanya gratis. Kami masih dalam masa promosi,” katanya, membimbing tangan saya, jalan mendekati robot. Wuiiiih… gratis. Ataukah saya salah dengar?
Luar biasa… saat saya salaman satu-satu dengan mereka, kulitnya lembut, hangat, khas wanita. Bau parfumnya juga menggoda.
“How are you…,” sapa mereka hampir bersamaan. Nah, ini yang membedakan mereka dengan manusia beneran: Gerak dan sapa mereka hampir sama. Seperti dikomando.
BUDAYA DAN HUKUM PORAK-PORANDA
Mariko meminta saya memilih. Dia juga meminta, semua ini saya tulis di media saya. Promosi maksudnya. Kini saya sadar, mengapa sejak tadi saya disambutnya begitu ramah. Mereka punya tujuan promosi.
Dua bule terlalu tinggi (sekitar 180 cm) buat saya. Maka, saya pilih satu yang Jepang (sekitar 165 cm). Namanya Chiko. Trus… gimana mainnya? Maksudnya, mereka memainkan peran sebagai manusia.
Dia membimbing saya masuk, tapi saya ogah, agak grogi. Saya minta ngobrol di hall ini saja, sambil duduk di sofa. Dia mau. Ternyata dia fleksibel juga. Masak sih, ini robot?
Cantik, pasti. Malah terlalu cantik untuk ukuran manusia. Lebih mirip boneka. Tapi gerak bola matanya, senyumnya, lesung kerut pipinya saat senyum, semuanya manusiawi.
Goyang tubuhnya gemulai, postur proporsional. Lekuk tubuhnya jelas. Pokoknya semua lelaki pasti gemes melihat Chiko. Andai tak dijelaskan sebelumnya bahwa ini robot, pasti semua lelaki tertarik.
Beberapa kali dia mengajak masuk untuk – dalam bahasa dia – bersenang-senang. Selalu saya tolak. Perasaan saya gak mantap. Masak harus dengan robot?
Meskipun kelihatan sangat lembut manusiawi, tapi ini robot. Kata Mariko tadi, di dalam tubuh cewek ini terdiri dari rangkaian baja dan motor penggerak. Dia dilengkapi sensor di mata untuk menyerap suara lawan bicara. Lalu info dikirim ke microchip di dalam kepalanya, menghasilkan respon yang logis berbentuk suara dan gerak tubuh. Prosesnya hanya dalam hitungan detik.
Dia hidup oleh batre. Dan, batrenya harus diisi (charge) listrik selama kurun tertentu, mirip HP. Jika pria mendengar penjelasan ini, belum tentu tetap tertarik pada Chiko. Tapi, kulitnya begitu lembut. Sesekali dia membetulkan rok mininya yang terlalu naik. Kucubit lengannya, dia bereaksi manja. Luar biasa...
Saat kami bicara, ada satu-dua pria Jepang keluar dari arah dalam. Kayaknya mereka sudah berkencan dengan robot. Berarti, ada juga pria yang nekat. Mungkin mereka hanya coba-coba. Bisa juga sudah terbiasa, sehingga tidak grogi lagi.
Saya berani-beranikan diri, tapi tak berani juga. Selama ngobrol dengan Chiko, di kepala saya berkecamuk antara rasa penasaran dan grogi. Benar-benar kayak remaja pria yang baru pertama kali ke Dolly. Akhirnya, saya putuskan: Pulang saja. Saya tidak berani.
Mariko tersenyum saat saya pamiti. “Mengapa tidak masuk?” tanyanya. Saya alasan sekenanya, “Saya kurang sehat.” Dia tanggapi dengan tawa yang tertahan. Tangannya yang putih menutup merah bibirnya. Tawanya serasa ngeledek, mencibir saya penakut. Apa boleh buat, saya memang tak berani.
“Bagaimana kamu bisa menulis, kalau tak mencoba?” ujar Mariko. Saya, alasan akan kembali di lain waktu. “Besok, ya...,” desaknya. “Mungkin,” jawab saya.
Tiba di Bandara Narita, saya tak bisa tidur. Padahal, saya sudah dapat izin dari polisi bandara untuk tidur di bangku ruang tunggu, walau lokasinya di ujung agak terpencil. Padahal, ini sudah hampir pukul 03.00.
Saya terganggu robot Chiko yang manusiawi. Teknologi Jepang sudah begitu maju. Hal yang sangat personal sudah digantikan robot.
Ini mengoyak budaya dan hukum. Dari perspekstif budaya: Andai robot bisa dibeli setiap lelaki dan dibawa pulang, apakah itu bisa disebut poligami? Bagaimana reaksi para isteri, jika suaminya membeli itu? Apakah bisa disebut dimadu?
Andai di dalam suatu keluarga, ada isteri manusia dan isteri robot. Mungkin awalnya isteri (manusia) setuju, sebab toh robot hanya benda. Bisa dimatikan batrenya setiap saat. Tapi, ketika batre robot hidup, bisa cakar-cakaran dengan isteri manusia. Sebab, seperti kata Mariko, robot bereaksi mirip manusia saat ‘mendengar’ atau ‘melihat’ gerak tubuh lawan bicaranya.
Paling pas, ini dimiliki pria single parent. Anak-anak di keluarga pasti gampang menerima kehadirannya. Sebab, anak-anak menganggap, ibu barunya hanya benda yang gampang diatur. Kalo tak suka, gak usah di-charge (sampai sang ayah pulang kerja, tentunya).
Pertanyaannya: apakah harus menikah? Menjalani prosesi akad nikah segala? Jika ya, bagaimana hukum pernikahan manusia dengan benda? Penghulu mungkin bisa terkecoh (kalo tak diberitahu kerobotannya), tapi itu suatu penipuan. Bila penghulu diberitahu, mungkin ogah menikahkannya. Dan, heboh.
Jika tak perlu menikah, bukankah hubungan seks mereka perzinahan?
Atau, anggap saja hubungan seks manusia-robot setara dengan masturbasi. Katakanlah, hukumnya disamakan dengan masturbasi. Bedanya, saat pria masturbasi konvensional, dia bermain dengan fantasi, sedangkan dengan robot, real ada bentuknya, juga real ada reaksinya. Jika semua real, apakah masih bisa disebut masturbasi? Aduuuuh... bingung aku.
YANG SEHARUSNYA TERJADI, TERJADILAH
Meski bingung, penasaran tak bisa terbendung. Esok sorenya saya ke Tatemae lagi. Di pintu masuk disambut si cantik Isanami lagi. Dia tersenyum cantik sekali. Dia langsung menggandeng saya masuk, menemui Mariko lagi. Mariko tertawa lepas...
“Hahahaha.... sudah kuduga, anda pasti penasaran.”
“Mariko San... tolong pilihkan yang menusiawi buat saya.”
“Ooow... semuanya manusiawi. Pilihan Djono San kemarin paling bagus mesinnya.” Idiiih... dia menyebut “mesin”, lagi....
“Baik, yang kemarin. Namanya.... “
“Si cantik Chiko,” sahut Mariko, cepat.
Segera Chiko dipanggil, langsung menggandeng saya. Tapi, inilah reaksi yang saya rasakan: Mariko merespon saya sebagai orang yang sudah dikenalnya. Sedangkan Chiko merespon saya, sama seperti kemarin: Keramahan sebagai orang yang baru dikenal.
Berarti, tidak ada memori Chiko terhadap wajah dan suara manusia. Atau, dia kebanyakan menyimpan memori wajah lelaki konsumen. Sehingga over crowded. Atau, bisa saja saya yang salah menilai.
Gak banyak omong, kuajak Chiko masuk. Ternyata melewati lorong sempit (lebar sekitar 1,5 meter) remang-remang. Lampu hias dominan biru pada dinding dan atap. Kebyar-kebyarnya selaras dengan detak jantungku. Kehangatan tubuh Chiko yang lengket di pundak kiriku, serasa menyatu dengan deru nafasku. Aku seperti dalam kondisi yang siap terbang.
Di pertigaan lorong, Chiko menunjuk arah kanan. Sampailah di sebuah kamar kecil (sekitar 2,5 X 2,5 meter). Dindingnya kaca buram putih kristal. Dibingkai kayu membentuk kotak-kotak, khas Jepang. Saking kecilnya kamar, pintu kaca buram model geser. Di dalamnya, sebuah ranjang mini dan kulkas mini.
“Mau minum dulu?” sapa Chiko, siap membuka kulkas. “Soft drink,” kataku. Dia menoleh ke saya, matanya begitu jernih, indah berbinar. “Apakah tidak bir atau wine?” tanyanya. Aku tetap: “Soft drink, only.”
Maka, dimulailah apa yang seharusnya dimulai. Terjadilah apa yang seharusnya terjadi.
TRAGEDI... OH, TRAGEDI...
Mendadak kami dikejutkan kegaduhan. Terdengar teriak kepanikan di luar kamar. Langkah banyak orang berlarian. Semua berbahasa Jepang, sehingga saya tak tahu apa yang terjadi. Mungkin ada perkelahian. Tapi, bagaimana kalau kebakaran?
Untung saya belum ngapa-apa (bener... sumprit!). Saya lepaskan Chiko dia bengong. Wooow... sungguh manusiawi dia. Tapi, mengapa dia tak memberitahu, ada apa di luar dari ucapan orang-orang dalam bahasa Jepang?
Ternyata kegaduhan terus berlangsung. Malah tensinya kian meningkat. Setelah merapikan diri, saya membuka kamar, melongok keluar. Ada beberapa pria dan wanita bergerombol di depan sebuah kamar. Penasaran, saya jalan mendekatinya.
Namun, langkah saya dicegah Mariko yang juga ada disitu. “Sebaiknya Djono San di dalam kamar saja. Tidak ada masalah,” ujarnya, sambil membimbing tangan saya agar balik lagi ke kamar.
Baru tiga-empat langkah, terdengar teriak lelaki kesakitan. Sumber suara rupanya dari dalam kamar yang dikerumuni itu. Saya melepaskan diri dari gandengan Mariko, lari ke kamar tersebut.
Ya ampuuuun... seorang pria telanjang terlentang. Dia diduduki cewek robot (juga telanjang). Woman on top. Persoalannya: Ada dua lelaki berpakaian seragam teknisi sedang sibuk. Satunya membuka ‘jendela’ di punggung cewek robot. Di dalamnya tampak rangkaian kabel kayak onderdil komputer. Satunya lagi berkutat di 'titik' penyatuan pria dan wanita telanjang itu.
Robotnya macet, pria itu kejepit. Tragedi.... oh, tragedi....
Saya tanya ke Mariko, mengapa itu terjadi? “Ada kesalahan,” jawabnya. Konsumen memaksa pilih robot tersebut, meskipun daya elektrik hampir habis (low bat). Akibatnya, begitulah. Tapi, saya tak percaya penjelasan dia. Sebab, mestinya persoalan selesai, ketika robot di-charge.
Tanpa banyak bicara lagi, saya segera meninggalkan Tatemae. Saya tinggalkan Chiko yang mungkin masih menunggu di dalam kamar. Pasti dia tidak kecewa, sebab dia bukan manusia.
Langit Tokyo sudah gelap saat saya keluar. Gemerlap lampu-lampu Shinjuku menyilaukan mata. Deretan mobil padat merayap di jalanan. Deretan pencakar langit menjadi latar belakangnya. Pendar lampu dari kotak-kotak ruang deretan tower itu, menandakan kesibukan di dalamnya.
Kemajuan terus berlangsung. Segala sesuatu mereka ciptakan. Tapi mereka belum bisa menciptakan pengganti cinta.
(Jakarta, 28 Juni 2012)