Saya melihat gejala baru. Kelilinglah pedesaan Jawa: begitu banyak pohon sengon sekarang ini. Tanpa ada program penghijauan dari pemerintah pun, rakyat sudah terdorong sendiri untuk menanam sengon. Ini karena nilai ekonominya yang sudah terbukti: tiap hektare bisa menghasilkan Rp 500 juta. Bersih. Seleksi alam kelihatannya sudah memutuskan ini: sengon juaranya. Juara di antara tanaman keras. Tentu jangan dibandingkan dengan, misalnya, tanaman buah tropik.
Dulu begitu banyak tanaman keras yang dianjurkan untuk digalakkan: jabon, kemiri sunan, jarak pagar, lamtoro gung, sengon buto, dan seterusnya. Hampir semuanya gagal. Karena tidak ada dorongan keuntungan ekonomi. Tidak ada yang terbukti bisa meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan.
Jabon terbukti kalah dari sengon. Harga jualnya sekitar 20 persen di bawah sengon. Ini karena warna kayu jabon kurang disukai industri mebel di luar negeri. Terlalu putih. Kemiri sunan, mungkin akan bernasib sama dengan jarak: lebih gagal lagi. Bahkan membuat rakyat marah. Jarak yang siap panen dibabat. Satu hektare tanaman jarak memang hanya menghasilkan kurang dari setengah juta rupiah setahun.
Sengon buto, ternyata juga tidak laku. Memiliki terlalu banyak cabang. Kurang laku dijual. Tidak bisa untuk bahan baku industri mebel. Lamtoro gung, ternyata membawa penyakit yang menular ke tanaman sekitar.
Sengon tradisionallah yang ternyata mengalahkan semua itu. Maka jelaslah, untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong di Jawa, sengon adalah pilihan utama. Jangan kaliandra. Biar saya dulu yang tanam kaliandra. Itu pun di luar Jawa. Begitu banyak yang ingin mengikuti saya menanam kaliandra. Biasanya saya tanya dulu: lahannya di mana? Begitu dia menyebut di Jawa, saya langsung tegaskan: jangan! Jangan tanam kaliandra. Jawa terlalu subur untuk kaliandra. Sama-sama menanam pohon, untuk di Jawa, lebih baik sengon. Apalagi, kini sudah berdiri banyak sekali pabrik pengolahan kayu sengon. Tidak mungkin lagi tidak ada pasarnya. Bahkan, pabrik-pabrik itulah yang kini haus sengon.
Biarlah kaliandra dicoba di daerah-daerah khusus di luar Jawa yang gersang dan yang tidak memiliki sumber listrik. Saya, bersama tim, baru mulai mencoba di Sumba, Sumbawa, Lingga, Singkep, Kaltim, dan Bolaang Mongondow. Kita lihat dulu berhasil atau tidak.
Memang tanaman sengon baru bisa ditebang setelah berumur lima tahun. Tapi, hasilnya sungguh menarik. Dalam lima tahun itu, per hektare, bisa menghasilkan Rp 500 juta. Bersih. Sudah dipotong biaya. Berarti satu tahun Rp 100 juta. Sama dengan gaji pegawai satu bulan Rp 8 juta. Tidak kecil, bukan? Dalam jangka panjang pasarnya pun terjamin. Gerakan anti penebangan hutan sedunia membuat industri kayu beralih ke tanaman rakyat.
Apalagi, hampir tidak ada hama. Satu-satunya hama adalah karat puru. Itu pun mudah ketahuan. Kanker itu muncul di dahan dalam bentuk benjolan besar. Dahan itu bisa langsung dipotong. Bagian yang terkena penyakit itu harus dikubur. Jangan dibuang begitu saja. Jangan juga dibakar. ”Hama” lainnya adalah kebakaran. Tapi, ini juga gampang terlihat. Yang tidak mudah terlihat adalah hama yang satu ini: ditebang orang di tengah malam.
Selebihnya tidak ada masalah. Memang ada yang mengkritik tanaman sengon membuat orang malas: tinggal tunggu hasil selama lima tahun sambil ongkang-ongkang kaki. Tidak perlu bekerja setiap hari seperti menanam padi. Atau menanam buah tropik. Para penggiat buah tropik pasti benci ini. Anak muda yang gigih seperti Mas Pratomo dari Ungaran tidak akan tergiur sengon. Mas Pratomo sudah membuktikan bahwa buah tropik bisa menghasilkan dua kali lipat dari sengon. Juga tidak perlu menunggu lima tahun. ”Memangnya perut kosong bisa disuruh menunggu lima tahun?” ujar Mas Pratomo.
Begitu banyak tanaman buah yang jadi pilihan: kelengkeng genjah, buah naga, durian pendek, dan tentu saja sirsat. Hanya, petaninya memang harus berpengetahuan, harus rajin (utun), dan harus berjiwa bisnis. ”Kita kan harus membangun masyarakat. Agar rajin dan kerja keras,” ujar Mas Pratomo. ”Biar bisa seperti bangsa Korea atau Jepang,” tambahnya.
Ke depan, sengon kelihatannya akan berfungsi sebagai tabungan pedesaan. Bukan sebagai mata pencaharian. Sawahlah mata pencaharian itu. Sedang ladangnya ditanami sengon. Tabungan itu diperlukan karena kelak anaknya minta sepeda motor. Atau meneruskan kuliah ke perguruan tinggi. Atau bagi daerah seperti Wonogiri yang bupatinya sangat getol menggalakkan penanaman singkong, mata pencahariannya adalah singkong itu. Toh juga sukses. Sengon untuk tabungan.
Saya perhatikan bupati Kepahiang di Bengkulu juga kampanye ini: rakyat yang mau kaya, tanamlah sengon. Demikian juga bupati Aceh Timur. Hanya Kalimantan dan Jambi-Riau yang kelihatannya tidak cocok untuk sengon.
Saya juga punya seorang teman. Mantan wartawan terkemuka Republika di Jakarta. Namanya Guntoro. Prestasinya sebagai wartawan sangat menonjol: gigih dan rajin mengejar berita. Kini dia gigih mengejar sengon. Dia tinggalkan dunia kewartawanan. Yang full stres itu. Dia tinggalkan Jakarta. Yang full ruwet itu. Dia beli tanah yang masih murah di desa di Jabar. Dia tinggal di desa itu. Pekarangan rumah yang dia tinggali sangat luas: 3 hektare. Dari segi luasan pekarangan, orang terkaya di Jakarta pun dia kalahkan. Tidak ada orang kaya di Jakarta yang pekarangan rumahnya 3 hektare. ”Tidak pernah lagi terkena macet,” guraunya.
Selama delapan tahun meninggalkan dunia hiruk pikuk kewartawanan di Jakarta, Guntoro sudah berubah total. Kini dia sudah memiliki tanaman sengon 800 hektare. ”Tiap tahun beli tanah sedikit-sedikit, Mas,” katanya. ”Saya ingin jadi raja sengon,” tambahnya.
Hitung sendiri berapa kekayaannya: 800 x Rp 500 juta = Rp 400 miliar! Percayailah separonya. Atau sepertiganya. Tetap saja menitikkan air liur. ”Jangankan jadi wartawan, jadi pemilik koran pun belum akan bisa dapat angka itu,” katanya bergurau.
Begitu banyak pilihan untuk kaya. Begitu luas lahan di Jawa yang dibiarkan telantar. Dengan sengon, Jawa bisa hijau. Juga warna mata penduduknya. (*)