Buku trilogi Ahok (karya saya) berbiaya APBD DKI 2015 Rp 30 miliar, akhirnya dinyatakan: Selesai. Petinggi KPK, kemarin mengatakan, itu kasus percobaan korupsi. Belum korupsi. Maka, saya tidak diperiksa. Tapi, saya bakal diperiksa di penulisan buku lainnya. Waduh…
----------------------------
Kronologis buku Rp 30 miliar demikian. Kronologis ini saya tulis, sebab: 1) Tidak lagi berpengaruh terhadap perkara hukum yang sedang berproses. Kasusnya dianggap selesai. Jika saya tulis kemarin-kemarin, bisa mempengaruhi proses hukum yang sedang berlangsung.
2) Barangkali ini bermanfaat bagi pekerja professional lain, kalau-kalau anda menerima pekerjaan yang kemudian diketahui: Biayanya dari APBD/APBN. Contohnya: Pelawak Mandra, akhirnya jadi tersangka korupsi.
Akhir November 2014 saya dihubungi seorang tokoh masyarakat, sebut saja “X” (identitas saya rahasiakan, sebab beliau kini dalam proses hukum untuk kasus lain). Akhirnya kami ketemu di sebuah restaurant internasional di Jakarta Barat.
X : Bisakah Pak Djono menuliskan buku biografi Gubernur DKI Ahok?
Sy : Siap, pak. Itu pekerjaan saya.
X : Tapi, saya minta cepat, selesai sebulan. Sanggup?
Sy : Biografi minimal tiga bulan, pak.
X : Usahakan-lah… sebulan lebih sedikit.
Saya diam, mengkalkulasi waktu. Kalau hanya menulis, target waktu itu bisa dikejar. Tapi, untuk mendekati Ahok guna wawancara, tidak mungkin dalam sepekan. Butuh waktu lebih. Kecuali kalau Ahok sendiri yang meminta.
Saat saya masih berpikir, dia anggap saya setuju. Dia segera lanjut.
X : Bentuknya trilogi (3 buku). Dua anda tulis, satunya ditulis orang saya.
Sy : Mengapa bukan saya semuanya?
X : Biar orang saya belajar dari anda.
Sy : Okay, sebulan setengah. Asal, dalam sepekan ini anda atur pertemuan saya dengan pak Ahok.
Lantas, tawar-menawar sengit soal honor. Disepakati Rp 110 juta per buku, total Rp 220 juta. Tanpa cetak. Hanya penulisan dan layout, sampai jadi master CD siap cetak. Sistem pembayaran, 30 persen dibayar dimuka saat deal (tanda tangan kontrak), 40 persen saat pekerjaan capai 50 persen, sisanya saat pekerjaan selesai.
Ternyata, pembayaran dimuka tidak segera cair. Mr X juga kesulitan mempertemukan saya dengan Ahok. Sementara, saya tetap menyiapkan data, foto-foto, kontak disainer, layouter, yg semuanya berbiaya. Sebab, saya kenal beliau orang yg serius.
Kata Mr X, Ahok enggan diwawancarai, khawatir dikira publik sebagai pencitraan. Tapi, honor 30 persen dibayarkan ke saya cash pada 9 Januari 2015. Saat itu juga kontrak mulai berjalan, sampai 45 hari ke depan. Saat itu juga saya berkirim surat ke Pak Ahok, minta waktu wawancara.
Ternyata Pak Ahok memang ogah diwawancarai, jika untuk buku beliau. Kalau untuk konsumsi pemberitaan media massa, beliau tak keberatan.
Ya, sudah. Saya terus menulis berdasarkan berbagai sumber. Bukan dari narasumber utama: Ahok.
Pada 24 Januari 2015 saya serahkan 50 persen pekerjaan (dua buku) ke Mr X untuk dikoreksi. Ada dua item koreksi, segera saya koreksi dan hasilnya saya serahkan ke beliau lagi. Berarti pembayaran termin ke-2 molor.
Pada pertengahan Februari 2015 muncul berita bahwa buku trilogi Ahok (ternyata) dibiayai APBD DKI 2015 senilai Rp 30 miliar, atau masing-masing Rp 10 miliar per buku. Hebatnya, judul tiga buku itu persis sama dengan yg saya tulis. Mestinya judul ini hanya diketahui saya, pemberi order, dan layouter.
Pencetus berita ini adalah anggota DPRD DKI. Tujuannya, jelas menghantam Ahok (membuat biografi pribadi dengan biaya APBD).
Ahok pun kaget dan berang. “Kalau saya mau membuat biografi, pasti gunakan uang saya pribadi,” katanya. Dia segera laporkan kasus ini ke KPK. Lalu diusut KPK. Hasilnya, Ahok tidak terlibat. Sedangkan saya tidak jadi diperiksa, karena belum ada uang negara yang hilang.
Lolos Buku Ahok, Terjerat Buku Lain
Bebas dari buku Ahok, ternyata ada info, saya akan diperiksa KPK untuk pembuatan buku lainnya. Busyet… apa pula ini? “Ingat gak pak, bahwa kita pernah menulis buku Sejarah Batavia?” tanya DN, kawan saya, wartawan koran Sinar Harapan, tadi malam.
Ya… ya… ya… Pada November 2013 saya dikontak kawan WN, wartawan koran Kompas. Dia mendapatkan pekerjaan penulisan 6 judul buku, serial Sejarah Batavia.
WN: “Anda saya minta jadi editor sekaligus pengarah isi lima buku, dan penulis langsung untuk satu buku lainnya. Apakah anda bersedia?” tanya WN. Jawab saya: “Siap…”
Tim pewawancara dalam lima buku adalah DN, wartawan Sinar Harapan, BY dan AG, sama-sama wartawan Pos Kota, VR, wartawan Detik.com, AS, wartawan Indo Pos.
Saya berperan sebagai perancang isi, pembuat daftar pertanyaan untuk wawancara dengan narasumber, editor hasil wawancara, dan menulis langsung satu buku berjudul: “Dari Rezim ke Rezim” (serial Sejarah Batavia).
Proyek ini datang dari “Y” yang berhubungan langsung dengan WN. Nilai kontrak total Rp 390 juta (masing-masing buku Rp 65 juta) hanya untuk penulisan. Tanpa cetak. Bagian saya Rp 75 juta. Pekerjaan selesai dalam dua bulan, sesuai kontrak.
Enam buku itu kemudian menjadi koleksi perpustakaan di semua SMA di Jakarta sejak pertengahn 2014. Sebagian dipasarkan di toko buku.
Sepekan lalu saya membaca berita di beberapa media massa, bahwa buku serial Sejarah Batavia bermasalah. Buku itu ternyata dibiayai APBD DKI senilai puluhan miliar rupiah. Diduga terjadi mark up, sehingga merugikan negara. Alamaaak…
VR (anggota tim penulis) sudah diperiksa belasan jam di KPK, akhir pekan lalu. Saya sudah dikontak teman-teman anggota tim, agar siap-siap diperiksa KPK. “Kalau anda diperiksa nanti, katakan apa adanya,” pesan DN.
Repotnya, untuk penulisan buku ini saya tidak pegang bukti pembayaran honor. Padahal, nilai uang penting disini. Bukti pembayaran kontrak hanya dipegang WN selaku penerima pekerjaan dari Y. Sedangkan WN bayar ke saya dan teman-teman anggota tim, tanpa tanda terima, karena kami semua kawan akrab.
Hikmah dari semua kejadian ini bagi saya: Korupsi bisa menyeret siapa saja. Minimal, diperiksa KPK. Apakah saya dan kawan-kawan bakal dibui atau tidak, kita lihat saja hasil akhirnya. (Jkt, 12/04/15)