Uji Coba di Tanjung Perak Dulu, Indonesia Timur Bisa Maju
Inilah “pembunuhan berencana” yang tidak melanggar pasal 340 KUHP (pasal tentang pembunuhan berencana, Red). Inilah “pembunuhan berencana” yang akan bisa menghemat minimal Rp 1 triliun setahun. Inilah “pembunuhan berencana” yang harus dilakukan karena kepepet: di satu pihak jengkel tidak mendapatkan gas, di pihak lain harus melakukan efisiensi secara besar-besaran.
Yang akan “dibunuh” adalah pembangkit listrik yang amat besar di berbagai lokasi. “Pembunuhan” pertama sedang dilakukan secara kecil-kecilan di Tanjung Perak, Surabaya. “Pembunuhan” kedua akan dilakukan secara besar-besaran di Tambak Lorok, Semarang, pertengahan tahun ini. Lokasi lain menyusul karena masih dikaji oleh teman-teman di PLN.
Semua orang tahu bahwa PLN selama ini memiliki banyak sekali pembangkit listrik yang “salah makan”. Pembangkit-pembangkit itu seharusnya diberi “makan” gas. Namun, karena tak ada gas, pembangkit-pembangkit tersebut terpaksa diberi “makan” solar. Mahalnya minta ampun. Di sinilah pemborosan triliunan rupiah terjadi setiap tahun. Entah sudah berapa lama.
Di Semarang, misalnya. Pembangkit listrik sebesar hampir 1.000 MW (kalau dibangun sekarang, menelan dana sekitar Rp 15 triliun) mestinya bisa diberi “makan” gas.
Ada dua skenario untuk mendapatkan gas di situ. Pertama, dari proyek yang disebut pipa gas trans-Jawa. Inilah “jalan tol” gas yang melintang dari Jakarta ke Surabaya lewat Semarang. Pemegang izin proyek tersebut sudah lama ada, tetapi kabar pembangunannya tidak pernah nyata. Di atas kertas, kalau pipa gas trans-Jawa itu dibangun, fleksibilitas distribusi gas menjadi luar biasa.
Skenario kedua bisa mendapatkan gas dari lepas pantai Semarang. Sumur gasnya ada. Milik Petronas, perusahaan (BUMN) minyak dan gas Malaysia. Petronas sudah setuju menjual gas kepada PLN. PLN juga sudah setuju untuk membeli. Harganya pun sudah disepakati.
Tetapi, transaksi itu tidak bisa terjadi. Gara-garanya sepele: menentukan siapa yang harus membangun pipanya. Untuk membangun pipa dari sumur gas ke Semarang, Petronas tidak diperbolehkan. PLN juga tidak. Begitulah peraturannya. Harus ditunjuk tersendiri siapa yang boleh membangun pipa tersebut.
Kalaupun sampai sekarang pipa itu belum terbangun, bukan karena sulit. Justru karena proyek tersebut termasuk bisnis yang amat menggiurkan. Gula itu kian manis kian banyak semut yang mengincar. Padahal, antarsemut tidak dilarang untuk saling mendahului atau saling berebut.
Akibat perebutan antarsemut itu, PLN menjadi korban. Kesimpulannya: PLN tidak boleh terlalu berharap dari dua skenario tersebut. Harus dicari terobosan lain untuk melakukan efisiensi.
Memang, kalau saja Tambak Lorok bisa mendapatkan gas, akan bisa menghemat biaya separo. Kinerja pembangkit itu juga bisa meningkat 15 persen karena tidak lagi “salah makan”.
Memang, sudah lama teman-teman di PLN jengkel dalam menghadapi kelangkaan gas seperti itu. Tetapi, jengkel saja tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, bisa merugikan kejiwaan. Maka, saya meminta para ahli di PLN yang jumlahnya luar biasa banyak itu berpikir di luar kebiasaan. Energi jengkel dialihkan untuk menciptakan terobosan.
Maka, lahirlah ide besar ini: melakukan “pembunuhan berencana” secara besar-besaran. Yang harus “dibunuh” adalah pembangkit listrik di Semarang yang borosnya bukan main. Kalau sukses, “pembunuhan” itu akan bisa menghemat biaya sekurang-kurangnya Rp 1 triliun setiap tahun.
Ahli-ahli di PLN sudah menemukan caranya. Begini: Kebutuhan listrik di Semarang adalah 900 MW. Karena itu, di Semarang disediakan pembangkit listrik hampir 1.000 MW di Tambak Lorok. Alangkah besarnya. Hampir sama dengan listrik yang tersedia untuk seluruh Indonesia Timur. Untuk bisa mematikan pembangkit di Semarang itu harus bisa menemukan pasokan listrik dalam jumlah yang sama sebagai penggantinya.
Diskusi dilakukan berkali-kali. Ditemukanlah beberapa sumber listrik lain untuk Semarang. Pertama, dari GITET (gardu induk tegangan ekstratinggi) di Ungaran, selatan Semarang. Teman-teman PLN memutuskan untuk memasang trafo IBT (interbus transformer) tambahan di Ungaran. Tambahan IBT itu akan bisa mengalirkan listrik ke Semarang 400 MW. Sumber listriknya diambilkan dari sistem 500KV trans-Jawa.
Kekurangan 500 MW lagi akan diambilkan dari pembangkit baru di Rembang (2 x 300 MW) yang sudah hampir jadi. Dari Rembang, listrik akan dialirkan dengan sistem 150 KV ke Semarang. Di luar itu, masih akan ada back-up dari pembangkit baru Tanjung Jati yang juga segera selesai.
Maka, cukuplah listrik untuk Semarang tanpa harus menghidupkan pembangkit yang “salah makan” itu. Dari pemikiran tersebut, penghematan yang luar biasa besar bisa dilakukan segera. Tidak lagi menunggu gas yang entah kapan akan tiba di Semarang. Dengan demikian, fungsi pembangkit listrik di Tambak Lorok itu bakal berubah. Hanya akan disuruh jaga-jaga kalau-kalau ada kerusakan di sistem 500, di GITET Ungaran, atau di transmisi dari arah Rembang.
Sebagai “latihan” untuk “pembunuhan berencana” itu, teman-teman PLN kini sedang mencoba secara lebih kecil di Surabaya. Di Tanjung Perak, beroperasi pembangkit sebesar 100 MW (2 x 50 MW). Ini juga “salah makan”. Satu pembangkit itu saja besarnya sudah sama dengan seluruh pembangkit PLN di Provinsi NTT, Maluku Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat jika dijadikan satu. Kalau saja pembangkit di Tanjung Perak tersebut berhasil dimatikan dan BBM-nya dialihkan untuk melistriki provinsi-provinsi itu, alangkah majunya Indonesia Timur.
Setelah pembangkit di Tanjung Perak dimatikan, dari mana mendapatkan ganti 100 MW? Teman-teman PLN sudah menemukan sumbernya: dari GITET Ngimbang (antara Babat-Jombang). Saya sudah berkunjung ke GITET itu dan pembangunannya memang sudah selesai. Satu sirkuit sudah berfungsi dan satu sirkuit lagi sedang diuji coba.
Apalagi, fungsi pembangkit di Tanjung Perak tersebut ternyata lebih banyak sebagai penghasil tegangan reaktif. Listrik untuk Surabaya sendiri cukup dari sistem 500 KV. Terlalu boros kalau, untuk keperluan daya reaktif, harus menghidupkan pembangkit begitu besar, yang cukup untuk melistriki lima provinsi di Indonesia Timur.
Bagi Surabaya, yang rawan justru macetnya proyek GITET Surabaya Selatan sehingga bisa saja Surabaya terkena pemadaman berat kalau terjadi gangguan di sistem itu. Kini sedang diupayakan bagaimana proyek yang macet sejak 12 tahun lalu tersebut bisa bergerak lagi.
Kalau “pembunuhan berencana” di Tanjung Perak dan Semarang itu berhasil tahun ini, tidak tertutup kemungkinan cara yang sama akan dilakukan di beberapa lokasi lain di Jawa.
Entah berapa triliun rupiah lagi akan bisa dihemat!
Kepepet memang sering membuat orang lebih kreatif. Gara-gara kepepet tidak mendapat gas, ditemukanlah cara berhemat yang lain. Tetapi, bukan berarti tidak memberikan gas ke PLN bisa diterus-teruskan! (*)
Dahlan Iskan
CEO PLN
CEO PLN