Baru sekali ini saya ke Iran. Kalau saja PLN tidak mengalami kesulitan mendapatkan gas dari dalam negeri, barangkali tidak akan ada pikiran untuk melihat kemungkinan mengimpor gas dari Negara Para Mullah ini.Sudah setahun lebih PLN berjuang untuk mendapatkan gas dari negeri sendiri. Tapi, hasilnya malah sebaliknya. Jatah gas PLN justru diturunkan terus-menerus. Kalau awal 2010 PLN masih mendapatkan jatah gas 1.100 MMSCFD (million metric standard cubic feet per day atau juta standar metrik kaki kubik per hari), saat tulisan ini dibuat justru tinggal 900 MMSCFD. Perjuangan untuk mendapatkan tambahan gas yang semula menunjukkan tanda-tanda berhasil belakangan redup kembali.Gas memang sulit diraba sehingga tidak bisa terlihat ke mana larinya. Bisa jadi gas itu akan berbelok-belok dulu entah ke mana, baru dari sana dijual ke PLN dengan harga yang sudah berbeda. Padahal, PLN memerlukan 1,5 juta MMSCFD gas. Kalau saja PLN bisa mendapatkan gas sebanyak itu, penghematannya bisa mencapai Rp 15 triliun setiap tahun. Angka penghematan yang mestinya menggiurkan siapa pun.Maka, saya memutuskan ke Iran. Apalagi, upaya mengatasi krisis listrik sudah berhasil dan menuntaskan daftar tunggu yang panjang itu pasti bisa selesai bulan depan. Kini waktunya perjuangan mendapatkan gas ditingkatkan. Termasuk, apa boleh buat, ke negara yang sudah sejak 1980-an diisolasi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya itu. Siapa tahu ada harapan untuk menyelesaikan persoalan pokok PLN sekarang ini: efisiensi.
Sumber pemborosan terbesar PLN adalah banyaknya pembangkit listrik yang “salah makan”. Sekitar 5.000 MW pembangkit yang seharusnya diberi makan gas sudah puluhan tahun diberi makan minyak solar yang amat mahal. Salah makan itulah yang membuat kembung perut PLN selama ini.
Kebetulan Iran memang sedang memasarkan gas dalam bentuk cair (LNG). Iran sedang membangun proyek LNG besar-besaran di kota Asaleuyah di pantai Teluk Parsi. Saya ingin tahu benarkah proyek itu bisa jadi” Bukankah Iran sudah 30 tahun lebih dimusuhi dan diisolasi secara ekonomi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dari seluruh dunia” Bukankah begitu banyak yang meragukan Iran bisa mendapatkan teknologi tinggi untuk membangun proyek LNG besar-besaran?
Saya pun terbang ke Asaleuyah, dua jam penerbangan dari Teheran. Meski Asaleuyah kota kecil, ternyata banyak sekali penerbangan ke kota yang hanya dipisahkan oleh laut 600 km dari Qatar itu. Bandaranya kecil, tapi cukup baik. Masih baru dan statusnya internasional. Pesawat-pesawat lokal, seperti Aseman Air, terbang ke sana.
Itulah kota yang memang baru saja berkembang dengan pesatnya. Iran memang menjadikan kota Asaleuyah sebagai pusat industri minyak, gas, dan petrokimia. Beratus-ratus hektare tanah di sepanjang pantai itu kini penuh dengan rangkaian pipa-pipa kilang minyak, kilang petrokimia, dan instalasi pembuatan LNG.
Saya heran bagaimana Iran bisa mendapatkan semua teknologi itu pada saat Iran sedang diisolasi oleh dunia Barat. Memang terasa jalannya proyek tidak bisa cepat, tapi sebagian besar sudah jadi. Kilang minyaknya, kilang petrokimianya, kilang etanolnya sudah beroperasi dalam skala yang raksasa. Hanya kilang LNG-nya yang masih dalam pembangunan dan kelihatannya akan selesai dua tahun lagi.
Memang, kalau saja Iran tidak diembargo, proyek-proyek itu pasti bisa lebih cepat. Namun, Iran tidak menyerah. Iran membuat sendiri banyak teknologi yang dibutuhkan di situ. Hanya bagian-bagian tertentu yang masih dia datangkan dari luar. Entah dengan cara apa dan entah lewat mana. Yang jelas, barang-barang itu bisa ada. Orang, kalau kepepet, biasanya memang banyak akalnya. Asal tidak mudah menyerah.
Demikian juga, Iran. Bahkan, untuk memenuhi keperluan listrik untuk industri petrokimia itu, Iran akhirnya bisa membuat pembangkit sendiri. Termasuk bisa membuat bagian yang paling sulit di pembangkit listrik: turbin. Maka, Iran kini sudah berhasil menguasai teknologi pembangkit listrik tenaga gas, baik open cycle maupun combine cycle.
Kemampuan membuat pembangkit listrik itu pun semula agak saya ragukan. Belum pernah terdengar ada negara Islam yang mampu membuat pembangkit listrik secara utuh. Karena itu, setelah meninjau proyek LNG, saya minta diantar ke pabrik turbin itu. Saya ingin melihat sendiri bagaimana Iran dipaksa keadaan untuk mengatasi sendiri kesulitan teknologinya.
Ternyata benar. Pabrik turbin itu sangat besar. Bukan hanya bisa merangkai, tetapi juga membuat keseluruhannya. Bahkan, sudah mampu membuat blade-blade turbin sendiri. Termasuk mampu menguasai teknologi coating blade yang bisa meningkatkan efisiensi turbin. Baru sepuluh tahun Iran menekuni alih teknologi pembangkit listrik itu.
Sekarang Iran sudah memproduksi 225 unit turbin dari berbagai ukuran. Mulai 25 MW hingga 167 MW. Bahkan, Iran sudah mulai mengekspor turbin ke Lebanon, Syria, dan Iraq. Bulan depan sudah pula mengekspor suku cadang turbin ke India. Bulan lalu pabrik turbin Iran merayakan produksi blade-nya yang ke-80.000 unit!
Kesimpulan saya: inilah negara Islam pertama yang mampu membuat turbin dan keseluruhan pembangkit listriknya. Saya dan rombongan PLN diberi kesempatan meninjau semua proses produksinya. Mulai A hingga Z. Termasuk memasuki laboratorium metalurginya. Dengan kemampuannya itu, untuk urusan listrik, Iran bisa mandiri.
Bahkan, untuk pemeliharaan pembangkit-pembangkit listrik yang lama, Iran tidak bergantung lagi kepada pabrik asalnya. Mesin-mesin Siemens lama dari Jerman atau GE dari USA bisa dirawat sendiri. Iran sudah bisa memproduksi suku cadang untuk semua mesin pembangkit Siemens dan GE. Bahkan, mereka sudah dipercaya Siemens untuk memasok ke negara lain. “Anak perusahaan kami sanggup memelihara pembangkit-pembangkit listrik PLN dengan menggunakan suku cadang dari sini,” kata manajer di situ.
Pabrik tersebut memiliki 32 anak perusahaan, masing-masing menangani bidang yang berbeda di sektor listrik. Termasuk ada anak perusahaan yang khusus bergerak di bidang pemeliharaan dan operasi pembangkitan.
Bisnis kelihatannya tetap bisnis. Saya tidak habis pikir bagaimana Iran tetap bisa mendapatkan alat-alat produksi turbin berupa mesin-mesin dasar kelas satu buatan Eropa: Italia, Jerman, Swiss, dan seterusnya. Saya juga tidak habis pikir bagaimana pabrik pembuatan turbin itu bisa mendapatkan lisensi dari Siemens.
Rupanya, meski membenci Amerika dan sekutunya, Iran tidak sampai membenci produk-produknya. Iran membenci Amerika hanya karena Amerika membantu Israel. Itu jauh dari bayangan saya sebelum datang ke Iran. Saya pikir Iran membenci apa pun yang datang dari Amerika. Ternyata tidak. Bahkan, Coca-Cola dijual secara luas di Iran. Demikian juga, Pepsi dan Miranda. Belum lagi Gucci, Prada, dan seterusnya.
Intinya: dengan diembargo Amerika Serikat dan sekutunya, Iran hanya mengalami kesulitan pada tahun-tahun pertamanya. Kesulitan itu membuat Iran kepepet, bangkit, dan mandiri. Kesulitan itu tidak sampai membuatnya miskin, apalagi bangkrut. Justru Iran dipaksa menguasai beberapa teknologi yang semula menjadi ketergantungannya.
Banyaknya proyek yang sedang dikerjakan sekarang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Iran terus berjalan. Mulai pengembangan bandara di mana-mana, pembangunan jalan laying, hingga ke industri dasar. Tidak ketinggalan pula industri mobil.
Kegiatan ekonomi di Iran memang tidak gegap gempita seperti Tiongkok, tapi tetap terasa menggeliat. Pertumbuhan ekonominya sudah bisa direncanakan enam persen tahun ini. Mulai meningkat drastis jika dibandingkan dengan tahun-tahun pertama sanksi ekonomi diberlakukan. “Sebelum ada sanksi ekonomi, Iran hanya mampu memproduksi 300.000 mobil setahun. Sekarang ini Iran memproduksi 1,5 juta mobil setahun,” ujar seorang CEO perusahaan terkemuka di Iran. (bersambung)
Dahlan Iskan
CEO PLN
CEO PLN