Perjalanan Penuh Nikmat tanpa SPPD
Tidak terasa “puasa perjalanan dinas sebulan penuh” di PLN sudah berjalan 20 hari. Setelah dijalani dengan sungguh-sungguh, ternyata tidak juga terlalu berat. Seluruh jajaran PLN, tampaknya, akan mampu menjalani “puasa perjalanan dinas” hingga akhir Mei 2011 ini. Toh tinggal sepuluh hari lagi. Ini berarti pegawai PLN yang melakukan perjalanan dinas yang sebulan mencapai 28.200 orang itu kini tidak ada yang meninggalkan posnya.
Apa sajakah pengalaman berat selama dua minggu dilarang melakukan perjalanan dinas? Adakah kejadian mahaberat yang sampai membuat batal puasa” Adakah yang sampai kelaparan yang tidak tertahankan?
Ternyata baik-baik saja. Memang ada tanah longsor di Aek Sibuan, nun di luar kota Padang Sidempuan, Sumut, yang membuat delapan tiang listrik roboh sekaligus. Tetapi, Sudirman, kepala PLN cabang Padang Sidempuan, yang baru sebulan bertugas di sana (pindahan dari Jatim) bisa mengatasi tanpa mengeluarkan SPPD (surat perintah perjalanan dinas).
Pimpinan Wilayah PLN Sumut Krisna Simbaputra juga tetap bisa menegakkan integritas anak buahnya di bulan puasa SPPD ini. Minggu kedua Mei 2011, seorang kepala ranting di kawasan yang jauhnya hampir 100 km dari Medan dilaporkan menerima suap dari pelanggan. Meski nilainya tidak sampai puluhan juta rupiah, yang beginian tidak bisa ditoleransi lagi di PLN. Tindakan untuk kepala ranting itu tetap bisa dilakukan tanpa terhambat oleh program puasa SPPD.
Ujian terberat tentu di Lampung. PLN Lampung memang sedang mendapat tugas darurat dalam skala besar. Tiba-tiba saja PLN harus mengambil alih pelayanan listrik untuk lebih dari 70.000 pelanggan koperasi yang mendadak pindah ke PLN. Izin kelistrikan koperasi itu dicabut pemerintah. Padahal, jaringan maupun meteran milik koperasi yang ada di rumah-rumah pelanggan sebanyak itu sudah dalam keadaan parah yang harus diganti semua. Ada syarat lain: tidak boleh ada gejolak. Peralihan itu harus berjalan mulus.
Jajaran PLN Lampung, terutama di tiga kabupaten sekitar Metro, bekerja sangat keras di bulan puasa SPPD ini. “Tapi, teman-teman PLN Cabang Metro bertekad menyelesaikannya tanpa bantuan dari cabang lain,” ujar Pimpinan Wilayah PLN Lampung Agung Suteja.
Bagi Kepala PLN Cabang Metro Syarbani Sofyan, inilah kesempatan untuk menorehkan sejarah hidup yang berarti: mampu melaksanakan tugas sangat besar dengan risiko politik yang tinggi tanpa harus bersandar kepada cabang lainnya. Padahal, Syarbani baru sebulan menduduki jabatan itu.
Selama dua minggu ini saya sendiri hanya dua kali keluar kota. Pertama, ke Bandung untuk berbicara di hadapan rapat kerja jajaran PT Pos dan Giro se-Indonesia. Saya diminta sharing mengenai pengalaman memimpin perubahan besar di PLN. PT Pos dan Giro bukan BUMN pertama yang minta sharing seperti itu. Sudah banyak. Di forum seperti itu biasanya saya ceritakan apa saja yang dilakukan teman-teman PLN pada masa perubahan seperti sekarang ini.
Keluar kota saya yang kedua adalah ke Ambon, Seram, Saparua, dan Makassar. Semua itu saya lakukan hanya dengan menginap semalam di Masohi, Pulau Seram. Tiba di Ambon pukul 15.00, saya langsung ke proyek PLTU Wai. Saya tidak menduga bahwa ada persoalan di sini. Semula saya ingin menyenangkan diri untuk melihat proyek yang sedang seru-serunya dibangun. Eh, ternyata sedang ada sengketa harga tiang pancang. Mau tidak mau harus saya selesaikan.
Dari proyek ini, kami langsung naik speedboat ke Pulau Seram. Menjelang magrib barulah kami tiba. Langsung melakukan perjalanan darat menyusuri Pulau Seram. Karena harus berhenti di setiap kantor subranting PLN, perjalanan ini memakan waktu empat jam. Menjelang pukul 24.00 kami baru tiba di Masohi. Maka, dialog dengan karyawan PLN Masohi baru bisa dilakukan tengah malam itu di halaman kantor yang diterangi cahaya lampu mercury dan diselingi suara deburan ombak dari pantai Masohi.
Saya melihat betapa banyak PLTD kecil di sepanjang Pulau Seram. Kondisi mesinnya juga sudah sangat tua. Begitu rumit penyediaan listrik di Seram. Karena itu, kami memutuskan segera mengganti diesel-diesel itu dengan membangun pembangkit listrik besar di Seram. Kami putuskan untuk mendayagunakan sumber air terjun di sana sebagai pembangkit listrik yang baru.
Saya melihat, sepanjang sistem penyediaan listrik masih menggunakan diesel-diesel kecil yang berserakan di berbagai tempat seperti itu, pelayanan listrik kepada masyarakat akan sangat ruwet. Misalnya, di salah satu ranting di situ, Ranting Kairatu, yang hanya punya dua penyulang masih megap-megap.
Meski listrik sudah cukup, sebulan terakhir ini jumlah gangguannya masih 63 kali. Itu berarti setiap hari satu kali mati lampu di kawasan Kairatu. Semula saya merasa aneh mengapa kepala ranting PLN Kairatu tidak terlihat gelisah. Lalu, saya pun mengira-ngira: mungkin di dalam hatinya justru bangga. Bisa jadi dia punya pikiran bahwa gangguan yang 63 kali itu sudah merupakan prestasi. Ini terjadi karena dulu-dulunya gangguannya 102 kali sebulan!
Saya merenungkan dalam-dalam situasi seperti itu. Saya hampir tidak bisa tidur di sisa malam yang pendek itu. Saya memang tidak puas akan sikap mental yang tidak gelisah ketika melihat ada gangguan 63 kali sebulan. Apalagi, yang demikian itu menjadi gejala yang luas di luar Jawa. Tapi, di lain pihak saya bisa mengerti mengapa harus gelisah kalau jumlah gangguan itu sudah berhasil diturunkan secara drastis. Dari 102 kali ke 63 kali”
Walhasil PLN memang masih perlu melakukan revolusi mental tahap kedua. Revolusi mental tahap pertama sudah berhasil dilakukan tahun lalu: menyadari gangguan ratusan kali sebulan itu tidak boleh terjadi. Revolusi mental tahap kedua ini harus menghasilkan kesadaran bahwa mati lampu 63 kali itu pun belum bisa diterima masyarakat. Jumlah mati lampu sebanyak itu masih jauh daripada target hanya boleh sembilan kali setahun. PLN memang bertekad untuk membatasi jumlah mati lampu hanya sembilan kali per pelanggan per tahun untuk bisa disebut berhasil mengalahkan Malaysia.
Teman-teman PLN di Jawa/Bali sudah berhasil melakukan revolusi kedua itu. Tapi, saya melihat teman-teman PLN luar Jawa, baik di Indonesia Barat maupun Indonesia Timur, masih harus berjuang untuk menghadapi dan memenangkan revolusi kedua tersebut tahun ini. Termasuk, misalnya, yang terjadi di Palembang. Bagaimana bisa dan bagaimana masih terjadi di Palembang mati lampu, di satu lokasi, di dalam kota, yang sampai sembilan kali selama sebulan.
Saya hampir bisa tidur, tapi pintu kamar sudah diketok: sudah pukul 05.00. Sudah waktunya harus menuju ke dermaga. Pagi-pagi itu kami dari Masohi ingin ke Pulau Saparua. Ini agar tidak telat menghadiri acara pokok di Ambon pukul 10.00. Pagi itu, ketika mulai meninggalkan dermaga, cuaca sangat cerah. Pagi yang indah di Pantai Masohi.
Namun, ketika speedboat sudah meraung selama 15 menit, mulailah gelombang datang. Teman PLN Maluku masih bisa menenangkan hati saya. “Biasa Pak Dis, kalau meninggalkan wilayah teluk mesti bergelombang begini,” katanya. “Inilah gelombang yang diakibatkan bertemunya arus laut terbuka dengan laut di kawasan teluk,” tambahnya.
Ternyata tidak begitu. Ketika speedboat kian ke tengah laut pun, gelombang kian tinggi. Speedboat pun terhentak-hentak keras. Saya sudah mulai melirik di mana pelampung-pelampung diletakkan. Oh, tidak jauh dari jangkauan tangan saya. Kalau?mendadak situasi darurat, saya akan bisa meraih pelampung itu dengan mudah. Cuaca ternyata benar-benar dengan cepat memburuk. Langit gelap. Mendung tebal menggelayut. Hujan pun bresss, turun di tengah laut.
Pengemudi speedboat tiba-tiba menoleh ke belakang. Dia mengucapkan kata-kata dengan nada minta keputusan. “Kian ke depan gelombang kian tinggi. Kita tidak bisa meneruskan perjalanan ke Saparua. Baiknya membelok ke arah Pulau Haruku,” katanya. Yah, apa boleh buat. Niat ke Saparua pun batal. Bahkan, ke Haruku pun tidak mampu. Speedboat membelok langsung ke arah Pulau Ambon. Berarti masih akan menempuh perjalanan 1 jam lagi. Saya lihat dari delapan jeriken bensin masih tersisa dua jeriken. Rasanya masih cukup untuk sampai di Ambon.
Jam 9 pagi kami sudah tiba di Ambon. Acara kami berikutnya adalah dialog dengan seluruh wali kota di wilayah Indonesia Timur di Swissbel Hotel, Ambon. Namun, saya minta disempatkan mampir di Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Tulehu. Pengeboran di sini sudah dimulai, tetapi mengalami hambatan.
Di kedalaman 900 meter mata bornya terjepit batu. Kini pengeboran dihentikan. Minggu depan akan dimulai lagi, mengebor dalam posisi miring. Meski ada hambatan, PLTP ini sudah kelihatan memberikan harapan. Dari kedalaman 900 meter tersebut sudah “tercium” potensi geotermal yang sesungguhnya.
Dalam waktu yang sangat mepet (karena begitu banyak wali kota yang mengajukan pertanyaan) dan dalam keadaan lalu lintas Kota Ambon yang padat, ditambah hujan, kami harus mengejar pesawat Sriwijaya Air yang terbang ke Makassar. Teman-teman PLN Makassar sudah menunggu rapat penting untuk konsep ke depan kelistrikan di Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara.
Malam itu juga, tanpa SPPD, saya menyelesaikan perjalanan ini dengan penuh nikmat.
Dahlan Iskan
CEO PLN
CEO PLN