Saya tak habis pikir: tetangga terdekat Jepang ini sama sekali tak terpengaruh oleh heboh pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima.
Korea Selatan tetap bersemangat, bukan saja menjalankan PLTN yang sudah ada, melainkan juga terus membangun PLTN baru.
Gempa dan tsunami hebat yang menghancurkan PLTN Fukushima pada Maret lalu ternyata sebatas membuat Korsel lebih waspada.
Tak ada satupun PLTN di Korsel yang berjumlah 20 unit itu yang dihentikan operasinya. Bahkan, yang sedang dibangun pun tetap dikebut penyelesaiannya.
Akhir bulan lalu, setelah memeriksakan liver baru saya di rumah sakit di Tianjin, saya mampir ke Korsel. Jarak ke negara itu, dari Tianjin, hanya satu jam penerbangan.
Saya ingin menyaksikan benarkah pemerintah Korsel tak terpengaruh tekanan antinuklir yang dengan kejadian di Fukushima mendapat momentum yang tepat.
Ternyata benar. Saya dibawa ke pantai tenggara Korsel yang posisinya menghadap ke arah Fukuoka, Jepang. Korsel memiliki 20 PLTN dan semuanya di pantai. Praktis, sepanjang pantai timur dan selatan Korsel padat dengan PLTN.
Di lokasi yang saya tinjau ini, misalnya. Bukan hanya PLTN yang sudah ada sebanyak 4 unit tetap beroperasi, bahkan akan ditambah lagi dua unit baru.
Dua unit baru ini saya lihat sedang giat-giatnya diselesaikan. Terlihat begitu banyak pekerja di kedua proyek itu. Korsel yang dikenal disiplin pada jadwal proyek itu memang ingin menyelesaikan dua proyek PLTN itu satu bulan lebih cepat dari jadwal seharusnya: akhir tahun ini juga.
Dua unit yang sedang dalam penyelesaian itu salah satunya dibangun grup Samsung. Rupanya, Samsung pun sudah merambah ke bidang pembangunan PLTN. Ini bukan kunjungan saya yang pertama ke PLTN.
Tahun lalu saya ke PLTN Genka di Kyushu, Jepang. Namun, baru kali ini saya melihat proyek PLTN yang sedang dikerjakan. Inilah kesempatan baik bagi saya untuk melihat ‘jantung’-nya PLTN yang tak mungkin bisa dilihat lagi setelah proyek itu selesai.
Kebetulan tahap pembangunan PLTN oleh Samsung ini sudah mencapai titik menjelang akhir. Bangunan fisik reaktornya sudah jadi, namun masih bisa dimasuki untuk melihat dalamnya.
Bagian-bagian yang berada di bawah air sudah dipasang. Tapi, karena airnya sangat jernih, bagian ini masih bisa dilihat samar-samar.
Reaktornya sendiri yang kelak diisi uranium itu belum dipasang, tapi sudah siap di sebelah ‘kolam’ itu. Tinggal mengangkat dan memasukkannya ke kolam, disatukan dengan bagian bawahnya yang sudah berada di dalam air.
Peralatan-peralatan lain juga sudah dipasang, tapi masih bisa ditinjau dari jarak dekat: proses steam (uap), turbin, generator, dan ruang kontrol.
Berada di dalam kubah besar bangunan PLTN yang sudah jadi, kita bisa melihat tebal dan berlapis-lapisnya material yang sangat khusus untuk dinding kubah itu. Kita juga bisa melihat sistem pendingin yang berlapis-lapis yang sudah tidak akan seperti Fukushima yang memang masih menggunakan teknologi 40 tahun lalu itu.
Ketergantungan Korsel akan PLTN memang tak bisa dihindari lagi. Sudah terlalu besar peran PLTN untuk pasokan listrik di Korsel: sudah 30 persen (30 persennya lagi PLTU batubara dan sisanya PLTG).
Kalau PLTN di Korsel dihentikan, ekonomi Negara Ginseng yang sedang ingin mengalahkan Jepang itu bisa langsung runtuh.
Apalagi Korsel telanjur mengandalkan PLTN bukan hanya untuk kecukupan pasokannya, tapi juga untuk menjaga keandalan listriknya, efisiensinya, dan murahnya harga listrik.
Soal murah ini saya hampir-hampir tak percaya. Sebab, ketika di Jepang tahun lalu saya mendapat keterangan harga listrik dari PLTN masih 17 cent dolar AS per kWh.
Rasanya saya tak salah dengar saat itu. Rasanya saya juga sudah mengulangi beberapa kali pertanyaan saya itu dan jawabnya sama: 17 cent dolar AS per kWh. (Baru setelah di PLN saya tahu bahwa dalam menulis kWh, huruf W-nya harus besar karena berasal dari nama orang yang menemukan listrik, James Watt).
Tapi, di Korsel ini saya dapat penjelasan yang sangat mengejutkan. Harga listrik dari PLTN hanya 3,9 cent dolar AS per kWh. Untuk rupiah sekarang, ini hanya sekitar Rp350 per kWh.
Bandingkan dengan harga listrik dari PLTU batubara yang kini sudah mencapai Rp600 per kWh. Atau bandingkan dengan harga listrik yang diproduksi dengan minyak solar di Tambak Lorok (Semarang) atau di Muara Tawar, Tanjung Priok dan Muara Karang (semuanya di sekitar Jakarta) yang saat ini mencapai Rp3.000 per kWh. Praktis, 10 kali lipat lebih mahal daripada listrik nuklir Korsel. Apalagi, kalau dibanding dengan produksi listrik di pulau-pulau luar Jawa yang mencapai Rp3.500 per kWh.
Saya sungguh mengira salah dengar. Lebih lima kali saya mengulangi pertanyaan saya itu. Khawatir masih salah dengar, saya minta dituliskan di atas kertas.
Mula-mula saya yang menuliskannya. Dia pun membenarkan. Lalu saya minta dia sendiri yang menulis. Ternyata sama: 3,9 cent dolar AS per kWh.
Saya masih takut teperdaya. Ketika mengunjungi PLTA (pembangkit listrik tenaga air) pumped storage di Yang Yang, tiga jam naik mobil dari Seoul, saya bertanya ke pejabat tinggi Kepco (PLN-nya Korsel). Ini berarti saya bertanya ke pihak pembeli.
Saya ingin membandingkan keterangan pihak PLTN (penjual listrik) dengan keterangan Kepco sebagai pihak pembeli (untuk disalurkan ke masyarakat). Pertanyaan saya: berapakah Kepco membeli listrik dari pembangkit-pembangkit nuklir? Jawabnya: 3,9 cent dolar AS per kWh.
Bahkan, pejabat tinggi ‘PLN Korsel’ itu menuliskan daftar harga listrik yang dia beli dari berbagai jenis pembangkit. Nuklir 3,9 cent, PLTU batubara: 6,0 cent, PLTA: 13,8 cent, PLTA pumped storage: 20,1 cent.
PLTA pumped storage jadi paling mahal karena sifatnya yang khusus. Inilah pembangkit listrik yang menggunakan air, tapi hanya dijalankan lima jam sehari, yang disebut waktu beban puncak.
Kalau di Indonesia, beban puncak itu terjadi antara pukul 6 sore sampai 10 malam, ketika semua orang menyalakan listrik di rumah masing-masing.
Pada jam-jam seperti itu semua air di waduk yang di atas sana ditumpahkan ke turbin untuk menghasilkan listrik. Setelah pukul 10 malam, ketika rumah-rumah mulai mematikan listrik, operasi dihentikan.
Air yang sudah diterjunkan ke waduk bawah tadi dipompa lagi ke atas dimasukkan ke waduk atas. Begitulah terus-menerus sepanjang hari. Airnya diputar dengan cara yang amat mahal.
Untuk kali pertama PLN akan membangun proyek seperti ini di Cisokan, dekat Bandung. Setelah diadakan penelitian, untuk seluruh Jawa hanya satu tempat ini yang bisa dipakai untuk pembangkit listrik sistem khusus ini.
Setelah dapat keyakinan harga tadi, barulah saya mengerti mengapa industri di Korsel bisa dapat harga listrik lebih murah dari Indonesia. Padahal, di Cina saja, yang harga-harga barangnya lebih murah, listrik untuk industrinya lebih mahal dari Indonesia.
Dari sini juga saya tahu bahwa mati lampu di Korsel jadi yang terbaik di dunia. Setahun hanya mati lampu 3 menit. Salah satunya karena pasokan listriknya sangat andal. (Indonesia: 2009 mati lampu 150 kali; 2010 turun jadi 50 kali; 2011 ini ditargetkan hanya 9 kali rata-rata per pelanggan per tahun).
Dari sini pula saya bisa maklum mengapa pemerintah Uni Emirat Arab tak membatalkan proyek nuklirnya. Samsung juga yang akan mengerjakan empat unit PLTN di Uni Emirat Arab, masing-masing 1.400 MW itu. ‘’Kami terus bekerja di sana,’’ ujar pejabat tinggi Samsung yang menemani saya.
Tapi, tidakkah rakyat Korsel takut akan terjadi seperti di Fukushima? Itu yang membuat saya bertanya-tanya. Kalaupun pemerintahnya tak terpengaruh, apakah rakyatnya juga tak takut? Saya pun mencari kesempatan untuk menanyakan hal itu pada orang biasa di keramaian Kota Seoul. Ada yang pekerjaannya supir, ada juga yang pegawai kantor swasta.
Pertanyaan yang saya ajukan sama: apa tak takut dengan listrik nuklir? Jawabnya mirip-mirip: ada juga ketakutan itu, tapi tak seberapa besar.
Lalu saya bertanya lagi: seandainya rasa takut itu dibuat skala antara 1 (tidak takut sama sekali) sampai 100 (sangat takut), di skala berapakah ketakutan Anda itu? Jawab mereka juga mirip-mirip: di antara skala 15 sampai 20.Wallahualam.***