Bagaimana Iran ke depan? Mengapa setelah lebih 30 tahun diisolasi dan diembargo Amerika Serikat, Iran tidak kolaps seperti Burma, Korut atau Kuba? Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, saat mulai diisolasi dulu kondisi Iran sudah cukup maju. Kedua, tradisi keilmuan bangsa Iran termasuk yang terbaik di dunia. Ketiga, Iran penghasil minyak dan gas yang sangat besar. Keempat, jumlah penduduk Iran cukup besar untuk bisa mengembangkan ekonomi domestik. Kelima, tradisi dagang masyarakat Iran sudah terkenal dengan golongan bazari-nya.
Tradisi dagang itu tidak mudah dikalahkan. Pedagang selalu bisa berkelit dari kesulitan. Ini berbeda dengan tradisi agraris. Seperti Cina, meski 60 tahun dikungkung oleh komunisme Mao Zedong yang kaku, penduduknya tetap tidak lupa kebiasaan dagang. Demikian juga warga Iran. Ini terbukti sampai sekarang pun. Setelah lebih 20 tahun diisolasi pun sektor jasa masih menyumbang sampai 40 persen GDP negara itu. Penduduk Iran yang 75 juta orang juga menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Apalagi saat mulai diisolasi oleh Amerika tahun 80-an, kondisi Iran sudah tidak tergolong negara miskin. Kelas menengah di Iran sangat dominan. Inilah faktor yang dulu membuat revolusi Islam Iran tahun 1979 berhasil menumbangkan diktator Syah Pahlevi.
Keberhasilan itu disebabkan masyarakat di Iran didominasi kaum bazari. Pedagang kelas menengah. Yakni bukan konglomerat yang ketakutan ditebas penguasa, dan bukan pedagang kecil yang takut kehilangan tempat bergantung. Belum lagi kekayaan alamnya. Iran adalah negara kedua terbesar penghasil minyak dan gas alam. Bukan hanya memiliki cadangan besar, tapi juga mampu melakukan drilling dan pengolahan sendiri. Tidak ada lagi ketergantungan akan teknologi drilling dan pengolahan.
Salah satu sumber gasnya, yang baru saja ditemukan, akan membuat negara itu kian berkibar. Di lepas pantainya, di Teluk Parsi, ditemukan ladang gas terbesar di dunia. Ladang itu setengahnya berada di wilayah Qatar dan setengahnya lagi di wilayah Iran. Tahun 1999 lalu Qatar sudah berhasil menyedot gas bawah laut itu dari wilayah Qatar. Kalau Iran tidak menyedotnya dari wilayah Iran tentu semua gas itu akan disedot Qatar. Karena itu Iran juga bergegas menyedotnya dari sisi timur. Tahun 2003 lalu Iran sudah berhasil menyedot gas itu dan akan terus meningkatkan sedotannya. ‘’Tiga tahun lagi kemampuan Iran menyedot gas itu sudah sama dengan Qatar,’’ ujar CEO perusahaan gas di sana.
Untuk menggambarkan seberapa besar potensi gas itu baiknya dikutip kata-kata CEO yang saya temui di atas. ‘’Seluruh gas Iran di situ harganya 12 triliun dolar Amerika,’’ katanya. Ini sama dengan 12 kali seluruh kekuatan ekonomi Indonesia yang 1 triliun dolar Amerika saat ini. ‘’Kalau gas itu diambil dalam skala seperti sekarang baru akan habis dalam 200 tahun,’’ tambahnya.
Gas itu letaknya memang 3.000 meter di bawah laut, namun dalamnya laut sendiri hanya 50 meter. Secara teknis ini jauh lebih mudah pengambilan gasnya daripada misalnya gas bawah laut Indonesia di Masela, di laut Maluku Tenggara. Memang masih ada kendala ekonomi yang mendasar. Defisit anggaran masih menghantui, subsidi masih besar, laju inflasi masih tinggi dan akses perdagangannya masih terjepit oleh sanksi Amerika. Inflasi yang tinggi itu akibat naiknya harga bahan makanan, gas dan BBM. Bahkan akibat inflasi itu Iran harus mencetak mata uang dengan pecahan lebih besar dari rupiah. Kalau pecahan rupiah paling besar Rp100 ribu, real Iran terbesar adalah 500 ribu real (1 real hampir sama dengan Rp1). Bahkan ada juga real lembaran 1 juta, meski penggunaannya hanya di lingkungan terbatas.
Seperti Indonesia, Iran juga merencanakan menghapus empat nol di belakang real yang terlalu panjang itu. Hanya saja, penghapusan nol tersebut baru akan dilakukan setelah inflasinya stabil kelak. Itulah sebabnya Pemerintah Iran kini mati-matian memperbaiki fondasi ekonominya. Tahun lalu parlemen Iran sudah menyetujui dilaksanakannya reformasi ekonomi. Sebuah reformasi yang sangat penting dan mendasar. Inti dari reformasi itu adalah menjadikan ekonomi Iran sebagai ‘’ekonomi pasar’’. Artinya harga-harga harus ditentukan oleh pasar. Tidak boleh lagi ada subsidi. Reformasi ekonomi itu ditargetkan harus berhasil dalam lima tahun ke depan.
Begitu pentingnya reformasi untuk meletakkan dasar-dasar ekonomi Iran itu, sampai-sampai Presiden Ahmadinejad berani mengambil resiko dihujat dan dibenci rakyatnya dua tahun terakhir ini. Subsidi pun dia hapus. Harga-harga merangkak naik. Ahmadinejad tidak takut tidak popular karena ini memang sudah masa jabatannya yang kedua, yang tidak mungkin bisa maju lagi jadi presiden.
Bahwa kini Iran memilih jalan ekonomi pasar sungguh mengejutkan. Alasannya pun sangat ekonomi: untuk meningkatkan produktivitas nasional dan keadilan sosial. Subsidi (subsidi BBM tahun lalu mencapai 84 juta dolar Amerika), menurut pemerintah, lebih banyak jatuh kepada orang kaya. Karena itu daripada anggaran dialokasikan untuk subsidi lebih baik langsung diarahkan untuk golongan yang berhak.
Pemikiran reformasi ekonomi seperti itulah yang tidak ada di negara-negara lain yang diisolasi Amerika Serikat. Inilah juga faktor yang membuat Iran tidak akan tertinggal seperti Burma, Kuba atau Libya. Dengan bendera sebagai Negara Islam pun Iran tetap menjunjung tinggi ilmu ekonomi yang benar. Tradisi keilmuan di Iran, termasuk ilmu ekonomi, memang sudah tinggi sejak zaman awal peradaban. Inilah salah satu bangsa tertua di dunia dengan peradaban Arya yang tinggi.
Dalam situasi terjepit sekarang pun, tradisi keilmuan itu tetap menonjol. Iran kini tercatat sebagai satu di antara 15 negara yang mampu mengembangkan nanoteknologi. Iran juga termasuk 10 negara yang mampu membuat dan meluncurkan sendiri roket luar angkasa.
Di bidang rekayasa kesehatan, Iran juga menonjol: teknologi stemcell, kloning, dan jantung buatan sudah sangat dikenal di dunia. Bahkan untuk stemcell Iran masuk 10 besar dunia. Maka tidak heran kalau Iran juga tidak ketinggalan dalam penguasaan teknologi perminyakan, pembangkit listrik, dan otomotif. Jangankan jenis teknologi itu, nuklir pun Iran sudah bisa membuat, lengkap dengan kemampuannya memproduksi uranium hexaflourade yang selama ini hanya dimiliki oleh enam negara.
AS kelihatannya berhasil membuat Burma, Korut, Kuba dan Libya menderita dengan embargonya. Tapi tidak untuk Iran. Ke depan posisi Iran justru kian baik, antara lain karena dibantu oleh Amerika Serikat sendiri. Sudah lama Iran ingin menumbangkan Saddam Husein di Irak, namun selalu gagal. Perang Iran-Irak yang sampai delapan tahun pun tidak berhasil mengalahkan Saddam Husein. Iran tidak menyangka bahwa Saddam dengan mudah ditumbangkan oleh Amerika. Dengan tumbangnya Saddam Husein maka Irak kini dikuasai oleh para pemimpin yang hati mereka memihak Iran. Banyak pemimpin Irak saat ini adalah mereka yang di masa Saddam dulu terusir ke luar negeri, dan mereka bersembunyi di Iran. Bahkan saat terjadi perang Iran-Irak dulu, mereka ikut angkat senjata bersama tentara Iran menyerbu Irak.
Demokrasi yang diperjuangkan AS di Irak telah membuat golongan mayoritas berkuasa di Irak. Padahal mayoritas rakyat Irak adalah Islam Syi’ah. Golongan Sunni hanya 40 persen, itu pun tidak utuh. Yang separo adalah keturunan Arab sedang separo lagi keturunan Kurdi. Ada kecenderungan keturunan Kurdi memilih berkoalisi dengan Syi’ah. Padahal yang golongan Arab itu pun masih juga terpecah-pecah ke dalam berbagai kabilah. Saddam Husein, misalnya, datang dari suku Tikrit yang jumlahnya hanya sekitar 10 persen dari penduduk Irak.