Senin, 30 Januari 2012
Manufacturing Hope 11
Rasanya sangat sakit hati ini: harus bekerja keras untuk menolong 
perusahaan yang lagi sakit keras, tapi kesulitan itu sebenarnya dibuat 
sendiri oleh direksinya. Contohnya, Djakarta Lloyd.
Perusahaan pelayaran yang pernah memiliki grup band terkenal D”Lloyd 
itu kini bukan main sulitnya. Sampai-sampai tidak mampu membayar 
karyawannya.
Pemerintah, bersama DPR, sebenarnya sudah berkali-kali mencoba 
menyelamatkannya. Yakni dengan cara menggerojokkan ratusan miliar uang 
negara ke dalamnya. Tapi sia-sia. Palung kesulitan Djakarta Lloyd sudah 
terlalu dalam rupanya. Uang ratusan miliar itu seperti batu kecil yang 
dilempar ke lautan dalam.
Kini perusahaan itu masih memiliki utang kira-kira Rp 3,6 triliun!
Kalau saja palung kesulitannya tidak terlalu dalam, sebenarnya 
Djakarta Lloyd masih bisa diselamatkan. Saya tahu caranya. Sewaktu masih
 menjabat Dirut PLN, saya sudah diminta ikut memikirkannya. Jalan keluar
 yang disiapkan waktu itu mestinya bisa menyehatkan Djakarta Lloyd 
dengan cepat: beri saja pekerjaan mengangkut batubara PLN sekian juta 
ton setahun!
Ternyata, ada masalah: Djakarta Lloyd sudah tidak punya kapal sama 
sekali. Mau diangkut dengan apa batubara itu? Tentu masih ada jalan 
lain. Djakarta Lloyd bisa menyewa kapal. Yang penting perusahaan yang 
sedang pingsan itu segera memiliki aktivitas yang menguntungkan. Agar 
karyawannya bisa segera gajian. Tapi,  cara ini sungguh bukan cara 
bisnis yang sehat.
PLN sebenarnya bisa juga menolong Djakarta Lloyd agar perusahaan itu 
bisa membeli kapal. Caranya: PLN menjamin Djakarta Lloyd akan selalu 
mendapat pekerjaan mengangkut batubara.
Masalahnya:  tidak ada lagi orang yang percaya kepada Djakarta Lloyd.
 Padahal,  kepercayaan, dalam bisnis, adalah segala-galanya. Tidak punya
 uang pun sepanjang masih dipercaya sebenarnya masih bisa membeli kapal.
Tapi, kepercayaan itu sudah lama terempas. Bahkan, secara teknis 
Djakarta Lloyd sudah tidak boleh memiliki kapal. Begitu ada yang tahu 
perusahaan ini memiliki kapal, kapal itu akan langsung jadi rebutan: 
disita oleh orang yang punya tagihan ke Djakarta Lloyd. Membeli lagi 
disita lagi. Membeli lagi disita lagi.
BUMN memiliki dua perusahaan pelayaran. Djakarta Lloyd dan Bahtera 
Adhi Guna. Dua-duanya mengalami kesulitan besar. Namun, Bahtera tidak 
sampai ke kasus hukum sehingga bisa diselamatkan. Yakni dijadikan anak 
perusahaan PLN. Tugasnya: mengangkut batubara jutaan ton milik PLN.
Ketika PLN ditugasi menyelamatkan Bahtera, perombakan direksi segera 
dilakukan. Hanya satu direksi lama yang masih dipertahankan. Selebihnya 
sudah orang baru pilihan PLN. Pelan-pelan kondisi perusahan itu membaik.
 Bahkan, sejak bulan lalu, Bahtera Adhi Guna sudah memiliki kapal-kapal 
besar untuk mengangkut batubara.
Tentu, saya tidak mau cara yang sama dipergunakan untuk menyelamatkan
 Djakarta Lloyd. Saya tidak mau Djakarta Lloyd menjadi anak perusahaan 
BUMN mana pun. Kasus-kasus utangnya, kasus hukumnya, kasus masa lalunya 
bisa menyeret induknya sampai ke neraka.
Saya juga tidak setuju kalau negara kembali menggerojokkan uang ke 
dalamnya. Apalagi saya lihat Komisi VI DPR juga sudah sangat jengkel 
dengan persoalan seperti ini. Lebih jengkel lagi kalau tahu bagaimana 
kesulitan itu dibuat oleh para direksinya di masa lalu.
Dan, kasus seperti Djakarta Lloyd ini di BUMN tidak hanya satu.
Sebenarnya, kita harus kasihan kepada direktur utama Djakarta Lloyd 
yang sekarang, Syahril Japarin. Orangnya cerdas, gigih, dan mau bekerja 
keras. Dia juga tahan menderita: sejak diangkat menjadi Dirut setahun 
yang lalu belum pernah gajian.
Dia memang bertekad belum mau mengambil gaji sebelum Djakarta Lloyd 
mampu menggaji karyawannya. Postur badannya yang kecil dan bakat 
kurusnya membuat saya lebih iba lagi melihatnya.
Tapi,  persoalan Djakarta Lloyd memang terlalu berat. Kalau 
dipertahankan,  pengorbanan tidak gajian itu akan terlalu lama. Bahkan 
bisa sampai seumur hidupnya. Padahal, dia tidak memiliki pekerjaan lain.
Juga, menurut pengakuannya, tidak memiliki tabungan yang cukup. 
Nasionalisme dan geregetanlah yang menantangnya untuk mau menjadi Dirut 
Djakarta Lloyd.
Tapi, persoalannya tidak lagi cukup dengan pengorbanan. Tanggung 
jawab dan nasib Syahril Japarin sudah persis seperti syair lagu Sam 
D”lloyd, berjudul “Apa Salah dan Dosaku”:
Aku tak sanggup lagi
Menerima derita ini
Aku tak sanggup lagi
Menerima semuanya
Apa salahku dan dosaku
Sampai ku begini
- ” – ” – ” – ” – ” – ” – ” – ” – ” – ” “
- ” – ” – ” – ” – ” – ” – ” – ” – ” – ” – ” – ” – ” – “
***
Karena itulah, perusahaan BUMN seperti pabrik kertas Leces di 
Probolinggo atau Industri Kapal Indonesia (IKI) di Makassar harus 
belajar banyak dari pengalaman Djakarta Lloyd. Dua perusahaan ini juga 
sangat-sangat sulit. Juga sampai tidak mampu menggaji karyawannya. 
Namun, masih ada cahaya kecil di kejauhan sana. Cahaya itulah yang harus
 dikejar.
Dua perusahaan ini tidak akan bisa diselamatkan hanya dengan cara 
menggerojokkan uang dari negara. Komisi VI DPR memang sudah menyetujui 
pemberian dana ratusan miliar rupiah kepada keduanya, namun saya memilih
 membenahi dulu manajemennya. Penggerojokan itu sudah pernah dilakukan, 
toh tidak bisa menolong banyak.
Karena itu, untuk Leces, saya minta banting setir dulu. Boiler baru 
yang sedang dibangun itu tidak perlu untuk menggerakkan mesin-mesin 
kertas. Boiler itu lebih baik untuk membangkitkan listrik.
Saya melihat 4 buah turbin lama yang menganggur di PLN. Masing-masing
 10 MW. Ini bisa dipakai di Leces. Setelah menghasilkan listrik 60 MW, 
listriknya jangan untuk menggerakkan mesin-mesin kertas, tapi dijual 
saja ke PLN. Industri kertas sekarang lagi sulit. Apalagi ada krisis 
Eropa dan Amerika.
Dengan menjual listrik ke PLN, setidaknya gaji untuk karyawan akan 
cukup. Demikian juga pabrik sodanya. Soda itu tidak perlu untuk membuat 
kertas. Jual saja sodanya ke pasar. Akan ada tambahan penghasilan lagi. 
Setelah karyawan bisa gajian, perusahaan akan lebih tenang. Manajemennya
 bisa sedikit bernapas sambil mencari akal apa lagi yang bisa dilakukan.
 Tentu, saya tetap terbuka untuk ide baru dari direksi dan karyawan 
Leces yang lebih baik.
Demikian juga IKI di Makassar. Perusahaan ini harus dihidupkan dengan
 memperbaiki dasar-dasar manajemennya. Bukan dengan tiba-tiba 
menggerojokkan uang besar-besaran. Perusahaan ini seharusnya tidak 
sulit. Sebab, pasarnya sangat besar. Banyak kapal yang antre untuk 
diperbaiki. Masalahnya, dok milik IKI sudah hancur. Dermaganya sudah 
rusak. Tempat peluncuran kapalnya sudah keropos.
Saya sudah minta perusahaan BUMN yang di Surabaya, PT Dok Perkapalan 
Surabaya (DPS), untuk turun tangan. Dirut DPS Firmansyah saya tugasi 
memperbaiki manajemen IKI. Juga menjadi penjamin perbaikan-perbaikan 
fasilitas dok yang rusak. DPS yang kinerjanya sangat bagus tentu bisa 
menularkan kemampuannya kepada IKI. Toh bidang usahanya persis sama.
PT Semen Tonasa, BUMN yang ada di Makassar, juga turun tangan. Pabrik
 semen yang lagi membangun unit yang ke-5 itu membutuhkan crane besar. 
Kebetulan, IKI memiliki crane yang sudah 10 tahun lebih menganggur. 
Daripada Tonasa membeli crane lebih baik memanfaatkan crane milik IKI 
yang sangat besar: 450 ton. Saya minta crane ini disewakan ke Tonasa. 
IKI bisa dapat pemasukan puluhan miliar.
Bahkan, Dirut Semen Tonasa M. Sattar Taba yang selama membangun 
tambahan pabrik semen memerlukan tenaga kerja sanggup menampung 100 
orang karyawan IKI yang belum bekerja karena masih menunggu perbaikan 
sarana dok. Kelak, ketika pembangunan pabrik semen sudah selesai, 
perbaikan dok sudah selesai juga. Mereka bisa kembali bekerja keras di 
IKI.
Kalau IKI nanti kembali hidup,  kapal-kapal di Indonesia Timur yang 
kalau rusak harus diperbaiki di Surabaya atau Jakarta cukup dikirim ke 
Makassar. Tentu, saya salut dengan karyawan di Leces dan IKI. Di samping
 cukup sabar, mereka juga rajin ikut berpikir apa yang terbaik yang bisa
 dilakukan.
Malam Idul Adha yang lalu saya bermalam di Leces. Paginya, setelah 
salat Id, saya berdialog dengan karyawan yang ternyata memang sangat 
memprihatinkan. Hampir 2.000 karyawan tidak memiliki pekerjaan karena 
mesin-mesin pembuat kertas itu sudah lama berhenti.
Bagaimana galangan kapal IKI Makassar? Saya sudah dua kali meninjau 
IKI. Tanpa memberi tahu siapa pun. Yang pertama tengah hari. Yang kedua 
nyaris tengah malam, minggu depannya.
Kedatangan saya yang pertama akhirnya memang diketahui beberapa 
karyawan. Mereka lantas tergopoh-gopoh bikin poster. Mereka berdemo. 
Mungkin karena tergesa-gesa, beberapa poster tidak bisa dibaca. Saya pun
 mendatangi mereka untuk mengingatkan bahwa memegang posternya terbalik.
Sepusing-pusing Leces dan IKI, kelihatannya tidak akan sepusing 
pabrik gula. Bukan hanya satu atau dua pabrik gula yang sulit. Tapi satu
 rombongan! Kini ada sekitar 25 pabrik gula milik BUMN yang keadaannya 
sangat sulit. Akibatnya,  Indonesia harus impor gula. Mau diapakan 
pabrik-pabrik gula ini?
Saya sudah mempelajarinya. Sakitnya pabrik gula ini sudah seperti 
sakit komplikasi. Mulai dari lahan, tanah, tebang, angkut, giling, 
bibit, pupuk, rendemen, sampai ke manajemen.
Persoalan ini tidak mungkin lagi dipecahkan lewat keluhan, omelan, 
marah, seminar, rapat kerja, sidak,  atau mutasi pejabat. Karena itu,  5
 Februari nanti saya akan mengadakan acara yang saya namakan “bahtsul 
masail kubro pabrik gula”. Saya terpaksa meminjam istilah para ulama NU 
itu untuk menandai betapa sudah rumitnya persoalan pabrik gula ini. (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Rabu, 01 Februari 2012
Dahlan Iskan - Mentri BUMN - MH 11 - Yang Tidak Akan Selesai dengan Keluhan dan Gerojokan
 15.50
15.50
 sopyan
sopyan
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
