Jumat, 08 Juni 2012

PERANG EGO ANTAR KAWAN


Di Balik Liputan Jacko, Singapore ’93 (1)
PERANG EGO ANTAR KAWAN


Bekerjasama harus rukun, agar jadi the dream team. Tapi ego manusia kadang membuat situasi rumit. Pengalaman liputan saya sbg wartawan Jawa Pos (JP) ini, menggambarkan itu.
------------------------------
Mega bintang Michael Jackson (alm) menggelar “The Dangerous World Tour” 1993, menonjolkan lagu Dangerous. Di Asia, digelar di Tokyo, Hongkong, Bangkok, Singapura, dan (tentatif saat itu) Jakarta.
Saat dia tampil di Hongkong, Juli ’93 dipastikan, Bangkok dan Jakarta batal. Alasan pembatalan Jakarta, pihak Jacko meragukan keamanan properti panggung, konon senilai USD 22 juta. Sebelumnya (April ’93) konser Metalica di Lebak Bulus, Jakarta, hancur-hancuran, memang..
Saya disiapkan meliput di Jakarta. Bidang liputan saya ekonomi makro, khususnya moneter. Saya juga bukan penggemar Jacko. Tapi, penugasan dari Pemimpin Redaksi Pak Dahlan, pantang ditolak. Malah, saya kira ini hadiah Pak Dahlan buat saya.
Paling efisien ke Singapura, daripada menunggu berikutnya di Australia. Kebetulan, ada travel di Surabaya buka paket wisata 3 hari, sekaligus nonton Jacko di Singapura. Jadwal nonton bisa pilih 29 atau 30 Agt ’93. Biaya lebih ngirit lagi dibanding penugasan langsung. Efisiensi jadi prinsip Pak Dahlan membesarkan JP, dan saya sependapat.
Redaktur Pelaksana Nani juga menunjuk wartawan spesialis musik Jawa Pos (JP), Hendri. Dan, Pemimpin Redaksi Tabloid Nyata (anak perusahaan JP) @Joko Irianto. Kami bertiga (sekantor) dimasukkan ke paket nonton hari kedua.
Saya menawar, untuk wartawan JP, baiknya pilih salah satu: Saya atau Hendri. Pekerjaannya sederhana kok, tak perlu dikeroyok. Nanti malah berebut. Tapi sudah terlanjur didaftar. Entah siapa yang mendaftarkan, tapi ini menyimpang dari efisiensi.
Nani berkeputusan begini: “Kalau begitu, biar Hendri membantu Joko liputan Nyata. Sebab, Nyata butuh banyak tulisan,” katanya.
Berangkatlah kami bertiga dari kantor JP, Jl Prapanca Jakarta. Kami memegang tiket masing-masing, kiriman dari travel. Rombongan Surabaya langsung ke Singapura, kami akan ketemu di Changi Airport.
Uang SPJ tidak banyak, sebab semuanya sudah ditanggung pihak travel. Saya diberi USD 100 untuk 3 hari, dua kawan saya kayaknya juga segitu. Dan, membawa sebuah mesin ketik untuk bertiga.
Sejak berangkat, saya merasa kami tidak harmonis. Mestinya ini suasana gembira. Liputan gampang dan enak, sekalian rekreasi. Kami bertiga (sudah ngobrol) sama-sama belum pernah ke Singapura. Tapi kegembiraan tidak terpancar di wajah Joko, kawan akrab saya. Begitu juga Hendri.
Joko salah satu wartawan andalan JP seangkatan saya (masuk 1984) yang sejak beberapa tahun lalu ditunjuk jadi Pemred Nyata. Hendri baru 5 bulan jadi wartawan JP. Belum lolos sama percobaan I (6 bulan). Dia mengaku penggemar berat Jacko.
Selama dalam bus Damri (Blok M – Bandara Soeta) Hendri cerita sejarah Jacko, lagu-lagunya, action panggung, kasus pelecehan seksual. “.... Soal action panggung, pokoknya Jacko tak ada duanya di dunia...” ceritanya.
Barangkali dia cerita begitu detil, sebab saya wartawan ekonomi. Perlu disuntik informasi. Sayangnya, telinga saya tertutup headset, menyimak Heal the World (lagu-2 Jacko). Joko, sibuk baca koran. Entah pura-2 atau serius.
Saya melihat Joko kurang suka pada Hendri, bukan sebab menggurui perihal Jacko. Saya menduga, Joko wartawan senior (apalagi dia andalan Pak Dahlan) merasa mampu meliput ini sendiri. Apa sulitnya? Saya yakin dia tidak hanya menyajikan liputan show, tapi bisa lebih dari itu. Lalu, apa gunanya Hendri?
Rasa egois ini pula yang saya alami sebelum berangkat tadi. Sehingga saya tawarkan, pilih salah satu. Mungkin, karena tawaran itu pula Joko jadi kurang suka pada saya. Sebab, Hendri jadi ‘dilempar’ di bawah koordinasi dia, yang bisa saja nanti malah ngrecoki. Andai tidak ngrecoki, mengurangi prestis Joko sebagai wartawan andalan.
Sebaliknya, Hendri kelihatan kecewa saat ditentukan meliput untuk Nyata. Mungkin dia ingin meliput untuk JP, koran kebanggaannya. Tapi dia wartawan baru, tak berani membantah. Apalagi, dia tidak begitu kenal Joko. Jadi serba gak enak.
TAK GENDONG, KEMANA-MANA…
Bandara Soekarno-Hatta riuh-rendah. Turun dari bus, terik matahari menyengat ubun-ubun saya. Joko dan Hendri turun belakangan. Saya dengar Joko menegur Hendri yang buru-buru turun:
“Dri, mesin ketik kamu bawa, nih.”
Baru saya ingat, tadi, mesin (beratnya sekitar 4 kali laptop) itu saya bawa. Waktu naik bus, semua barang dikumpulkan di bagian depan. Waktu turun, mesin tidak saya bawa. Pikir saya, gantian-lah... Ternyata Joko memberi tugas ke Hendri: “Mulai sekarang, mesin kamu bawa terus.” Hendri: “Siap... bos.”
Rasanya, penugasan itu fair juga. Hendri wartawan baru. Cuma, mesin itu selain berat, juga besar (kira-kira sedikit lebih besar dari PC). Dimasukkan ke tas tak cukup. Jadi harus digendong, kayak nggendong bayi begitu. Di tengah kerumunan orang-orang keren di bandara, tentu Hendri kelihatan ndeso...
Usai pemeriksaan metal detector, Hendri berjalan cepat mengarah ke eskalator yang menuju ke gate di atas. Aneh. Apakah dia ngambek, sehingga lupa boarding pass?
Joko menggamit lengan saya, lalu tertawa, “Biar saja, mau kemana dia,” katanya. Kami antre, mengabaikan Hendri. Eee... tak lama dia muncul juga mendekati kami. “Ayo... kita nanti terlambat, lho,” ujar Hendri bersemangat.
Kami tercengang melihat kawan satu ini. Lantas Joko mendekati Hendri dan berbisik, “Hei... Bung. Kamu belum pernah naik pesawat, ya?” bisik Joko. Hendri tersenyum malu-malu,menggeleng.
Alamaaaak... dia cerita tentang Jacko begitu meng-international, nggak taunya...
Untung, para pengantre tidak keberatan Hendri menyisip, antre di belakang saya. Sebab, mereka tahu kami berteman. Joko di depan saya, sudah dilayani. Setelah saya dilayani, Joko dan saya tidak segera pergi. Menunggu Hendri. Kasihan pada teman, kalau-kalau terjadi apa-apa.
Hendri meletakkan mesin ke lantai, glodaaak... Lantas dia menyodorkan tiket. Tapi, cewek cantik petugas konter itu lebih tertarik melihat barang berat yang diletakkan Hendri. Lalu menegur, “Itu masuk bagasi, Mas?” tanya si cantik, menunjuk mesin.
Saya segera menjawab: “Tidak usah, Nona. Itu muat, kok... di bagasi kabin.” Lalu si cantik mengabaikan mesin ketik, membuatkan pass untuk Hendri. Usai boarding, kami bertiga meninggalkan konter. Hendri kembali menggendong mesinnya.
Tak lama kami berjalan, Hendri mengeluh. “Wah... tadi mending mesin ini masuk bagasi saja, ya...” ujarnya, memelas. Joko kini maju. Matanya melotot, “Ini barang paling penting bagi kita. Kalau sampai hilang, modaaarr... kita semua,” tegasnya.
Saya menengahi: “Ya, sudah. Gendong saja, Dri. Tinggal sedikit lagi masuk pesawat.” Sekilas Hendri kelihatan acuh. Mungkin saja merasa sebel. Dia naikkan gendongan yang mulai melorot, kami jalan lagi.
Waktu tahu nomor kursi saya B, saya minta tukar dengan Hendri yang A. Sebab kursi Joko C. “Dri, aku ingin duduk dekat jendela, nanti kita tukar tempat, ya,” kata saya. Dia tak keberatan.
Nah, jadilah kini Hendri duduk di tengah. Kalau saya duduk di B, pasti tidak enak rasanya, andai dia cerita tentang Jacko, saya tak mendengarkan. Kini sudah aman. Sebelum dia mulai cerita, telinga saya tutup dengan headset. Lagu Jacko lagi...
Waduh... ternyata Joko juga sudah mengantisipasi. Dia baca koran. Bergaya serius, lagi. Tinggallah Hendri yang kesepian. Hebatnya, dia diam. Bagus-lah.
EXCUSE ME, MISS…
Kami kehilangan rombongan tur di Changi Airport. Meskipun sudah janjian kumpul di halte penjemputan, tapi halte itu panjangnya sekitar 100 meter. Ribuan orang bergegas disitu. Apalagi, kami tidak kenal kepala rombongan (saya lupa namanya). Hanya diberitahu nama.
Bisa saja, memang, menggunakan jasa halo-halo yang suaranya menggema di seluruh bandara. Tapi, kami sepakat, itu tidak perlu. Malah saling bingung cari-mencari. Toh, kami sudah tahu bahwa mereka bakal kumpul di Hotel Hilton.
Supaya gampang, kami naik taksi menuju Hilton. Sopirnya orang Melayu, bisa bahasa Indonesia dialek Melayu. Sebab, katanya, dia sering jalan-jalan ke Batam.
Mengamati bersihnya jalanan, indahnya Singapura, Joko punya ide: “Bagaimana kalo kita tidak pulang bersama rombongan. Setelah liputan, kita rekreasi,” katanya. Semua setuju. Mulailah kami menghitung, antara bekal dengan biaya hidup.
Sopir tidak tahu persis tarif hotel. “Aneka macam-lah... Nak bergantung hotelnya,” ujarnya. Dan, dia tak keberatan berhenti di tiap hotel, lantas kami bertanya tarif.
Tiba di hotel yang kelihatannya tidak mewah (saya lupa namanya) taksi diminta berhenti. Joko menugaskan Hendri bertanya tarif. Yang ditugasi ogah-ogahan, “Kalo cuma nanya-nanya, ya gak enak, Mas,” ujarnya. Joko memaksa: “Sudahlah... kamu pura-pura mau menginap, tanyakan tarifnya.”
Hendri terpaksa turun, kami menunggu di taksi. Tak lama, dia sudah keluar, balik ke taksi. “Mahal, Mas. Semalam 90 dolar,” ujarnya.
Saat itu nilai tukar Rp 1.100 per SGD. Maka, tarif sekitar Rp 99.000. Sedangkan bekal kami USD 100 setara dengan Rp 200.000. Berarti, kami hanya mampu menginap semalam saja.
Taksi jalan lagi. Joko rupanya merasa tidak yakin dengan keterangan Hendri. Dia minta sopir mencari hotel lain lagi. Mobil masuk halaman YMCA Hotel (saya ingat nama ini, sebab sama dengan nama SMP saya di dekat Bioskop Ria, Surabaya).
Setelah Hendri turun dan masuk hotel, Joko mengajak saya mengamati, bagaimana sih, gaya Hendri bertanya ke resepsionis? Ngetes wartawan baru. Kami masuk hotel, melihat Hendri dari kejauhan. Dia berbaur dengan puluhan, mungkin ratusan tamu. Suasana lobby ramai sekali.
Hendri memang berada di dekat meja resepsionis, lebar setengah lingkaran. Tapi, dia tidak mendekat ke cewek-cewek cantik yang selalu siap menyapa. Harusnya, Hendri mendekat: “Excuse me, Miss....
Hendri malah celingukan, seperti mengamati sesuatu. Gaya tak tegas ini sebenarnya dilarang. Tapi, generasi Hendri memang tidak dididik Pak Dahlan langsung. Joko jadi tidak sabar, “Ngapain dia?” bisik Joko ke saya. Mana kutahu?
Lantas, Hendri balik, berjalan sigap ke arah pintu keluar. Saya dan Joko cepat menghindar, menjauhi pintu. Lalu kami mendekati resepsionis. Penasaran, apa sih yang diamati Hendri tadi?
Olalaaa… ternyata tarif hotel terpampang di dinding tak jauh dari resepsionis. Joko geleng-geleng, “Wah... wah... wah... Jangan-jangan, dia tak bisa bahasa Inggris,” ujarnya. Kami terbahak-bahak, tidak sadar disaksikan beberapa tamu yang keheranan. (bersambung, 24 jam)
Di Balik Liputan Jacko, Singapore ’93 (2)


Rambutnya pirang diikat ekor kuda. Matanya biru, dipayungi bulu mata lentik. Bodynya seksi dengan busana ketat. Dialah cewek Swedia yang mendampingi saya liputan kali ini.
---------------------
Jelang sore, lobby Hilton Singapore ramai. Ratusan orang lalu-lalang. Sebagian minum kopi di lounge, atau bergerombol di front desk resepsionis. Wajah-wajah mereka ceria, bau mereka harum, celoteh bahasa Inggris dan sebagian Mandarin.
Di luar cuaca cerah. Dari dinding kaca, ke arah luar, tampak pedestrian yang lebar (sekitar 15 meter) dihias aneka tanaman. Pejalan kaki kebanyakan anak muda, berpakaian modis.
Di arah sana, lalu lintas kendaraan di Orchard Road padat-merayap. Anehnya, begitu banyak kendaraan, tapi tidak macet. Bus juga taksi, tertib mengambil-menurunkan penumpang di halte.
Kami tidak kesulitan menemukan rombongan. Ada spanduk: “Rombongan Tour dari Surabaya, Check In Disini”. Dicantumkan juga nama travel kami (saya lupa namanya). Supaya tidak salah masuk. Sebab, ada beberapa spanduk semacam itu dari travel lain.
Pembagian kamar, satu untuk berdua (sesama jenis kelamin, pastinya). Joko dengan Hendri, saya dengan peserta tur lain (lupa namanya). Sudah tepat. Tak sengaja panitia seperti mengatur, wartawan Nyata kumpul di satu kamar. Cocok.
Joko mendekati saya, “Dwo, ini Hendri biar tukar kamar dengan kamu. Dia setuju. Kamu sekarang dengan saya,” katanya.
Wah… Diatur lagi. Hendri menurut saja. Sambil menggendong mesin ketiknya, dia mendekati saya, meminta kunci atas nama saya. Lantas saya mengikuti Joko, si pemegang kunci, menuju lift.
Di dalam kamar, saya mengkhawatirkan mesin ketik yang mestinya saya bawa. Sudah menjadi ajaran Pak Dahlan: Wartawan, begitu tiba di suatu tempat, sudah bisa langsung bekerja. Apalagi kini belum pukul 13.00. Waktu Jakarta mundur sejam. Jadi masih banyak waktu. Tapi, belum ada yang bisa diketik sekarang. Harus orientasi lapangan. Jadi, nanti saja mesin ketik saya ambil.
Hebatnya, Joko sudah meninggalkan kamar lebih dulu dari saya. Dia sudah koordinasi dengan Hendri via telepon kamar. Dia ke stadion, lokasi konser Jacko mulai besok malam. Sedangkan Hendri ditugasi masuk ke hotel Jacko, dan mengamati situasinya.
Mungkin Hendri menanyakan alamat hotel Jacko, sehingga Joko kesal. “Ah… kamu ini. Tanyakan ke siapa saja di Singapura ini pasti tahu hotelnya,” bentaknya.
Saya dengar dari panitia tur, Jacko menginap di Raffles Hotel di Marina Bay. Percuma kesana. Jacko pasti tak tersentuh. Saya sudah mempelajari kebiasaan Jacko dari beberapa tulisan, dia tidak pernah menggelar konferensi pers jelang konser, seperti kebiasaan musisi kita. Jacko sudah terlalu besar, tak perlu publikasi.
DARI PETUGAS KE PETUGAS
Saya sebenarnya sangat gelisah. Penugasan nonton di hari kedua benar-benar menyulitkan. Semua wartawan Indonesia pasti nonton di hari pertama. Liputan JP bakal ketinggalan dibanding Kompas dan koran lain.
Ingat ajaran Pak Dahlan, wartawan tak boleh berhenti bergerak. Itu yang membuat liputannya bagus.
Saya pilih ke stadion (Singapore National Stadium) di Kallang. Ganti bus dua kali, sampailah di lokasi. Ternyata semua pintu stadion dijaga puluhan bodyguard Negro. Semuanya tinggi besar (tingginya rata-rata sekitar 2 meter). Semuanya membawa HT.
Saya kalungkan kartu pers di leher, maju saja, berniat masuk. Namun, begitu dekat pintu, seorang diantara mereka menghadang. Saya sodorkan kartu pers yang masih terkalung. Dia teliti.
“No... no... no press,” bentaknya. Mungkin dia tak membentak, tapi dengan badan sebesar itu, power suaranya kuat. Saya tawari rokok dia menolak. Saya menyulut rokok sendiri.
“Apakah properti panggung sudah siap digunakan?” tanya saya.
“Ya, tentu saja.”
“Katanya, peralatan panggung canggih. Secanggih apa sih?”
Dia meneliti lagi kartu pers saya. Dia tanya negara asal saya, sebab di kartu pers tidak disebutkan negara. Setelah saya jawab Indonesia, dia tersenyum. Dia pernah ke Bali.
Dia jelaskan, panggung dilengkapi belasan kamera, tergantung di rangkaian tiang besi. Kamera digerakkan remote control, dan fleksibel mengikuti sang mega bintang. Masing-masing kamera dikendalikan seorang kru. Mereka koordinasi melalui HT. Gambarnya ditayangkan ke layar sangat lebar di kanan panggung.
Semua peralatan diangkut khusus dengan 2 pesawat Boeing 747 (jenis baru saat itu). Pertanyaan soal panggung dia jawab semua. Tapi tiap masuk ke pribadi Jacko, dia langsung “no comment”.
“Besok ‘kan hari ulang tahun Jacko, apa yang istimewa di konser besok?” tanya saya.
“Anda saksikan sendiri, besok.”
“Tiket saya untuk konser lusa.”
“O… harusnya anda nonton besok.”
Dia jelaskan, kemarin Jacko sudah mengamati panggung dan memberikan aneka instruksi kepada kru. Tapi belum sempat dia ceritakan detil, HT dia berbunyi, instruksi bahasa sandi.
Kini dia tak lagi mau bicara. Saya perhatikan, dia dan beberapa bodyguard Negro di sekitar pintu kini banyak bergerak, seperti sedang siap-siap. Ternyata ada barang besar yang dimuat truk, masuk ke stadion.
Saya mencari petugas lokal untuk tambahan informasi. Petugas lokal (berseragam, ID Card di dada) tidak berjaga di pintu. Mereka angkat-angkat barang, keluar-masuk stadion. Ketemu anak muda, tapi dia keberatan ditanya-tanya. Ada yang setengah baya, juga ogah didekati.
Saya yakin, saat Jacko cek panggung kemarin, pasti semua petugas menonton. Apa saja yang dilakukan Jacko, instruksi apa ke kru? Akhirnya, ketemu juga petugas yang mau cerita.
Ternyata, kemarin semacam gladi resik. Jacko tidak menyanyi, tapi dia banyak bergerak di semua areal panggung. Juga ada peragaan potong kue tart yang turun dari atas, melalui peralatan hydraulic. Jacko menjelaskan semua urutan skenario konser. Inilah liputan saya pra konser.
Lewat senja, saya kembali ke hotel mencari mesin ketik. Repotnya, kamar Hendri kosong. Zaman itu kami belum ada yang punya HP. Paling sial, naskah akan saya tulis tangan. Lalu saya dikte lewat telepon ke Jakarta. Biayanya pasti sangat mahal, dan ini tidak ditanggung panitia tur.
Namun, saya masuk business centre, ternyata boleh pinjam komputer. Saya merasa benar-benar ndeso membawa mesin ketik dari Jakarta.
Hasil ketikan saya kirim via fax ke Jakarta dari business centre pula. Begini lebih murah. Pukul 20.00 semuanya beres. Saya sudah bisa nonton tv di kamar.
Pukul 23.00 Joko datang. Dia masuk kamar dengan Hendri, bersama mesin ketik besar itu. Mereka heran melihat saya sudah santai. “Luar biasa… wartawan JP memang bekerja lebih cepat,” kata Joko.
Sebenarnya lebih hebat Joko. Dia mengetik hasil liputan sampai tengah malam. Dia juga menuliskan hasil liputan Hendri yang duduk di sebelahnya. Entah sampai pukul berapa mereka bekerja. Saya tertidur di keriuhan bunyi hammer mesin ketik memukul penahan karet.
HASIL LIPUTAN DIADU, KALAH
Esoknya kami berpencar lagi. Kami sama-sama ke stadion, tapi tidak berangkat bersama. Nyata terbit mingguan, harus memiliki strategi liputan beda dengan koran harian. Jika sama, habislah dia.
Tiba di stadion pukul 17.00 puluhan penonton sudah berdatangan. Sejam kemudian sudah ribuan. Padahal, show mulai 20.00. Mereka masuk dengan tertib. Saya mengamati, kalau-kalau bisa nyerobot. Namun, tidak ada celah. Warna tiket mereka merah, tiket saya (untuk besok) hijau.
Lewat 19.30 sebuah heli mendarat di areal dekat stadion. Jacko datang. Tapi, pengamanan sampai sekitar radius 150 meter. Di kegelapan malam, dari jarak itu, saya melihat beberapa orang turun dari heli lantas masuk stadion lewat pintu, persis di belakang panggung.
Saya hanya mendengarkan konser dari lapangan di luar stadion. Di lapangan itu juga ada ribuan orang menyemut, mendengarkan Jacko menyanyi. Pukul 22.00 konser belum usai, saya kembali ke hotel, mengetik berita. Caranya seperti kemarin.
Joko tiba tengah malam, mengetik di kamar. Seperti biasa, saya tetap bisa tidur diiringi irama ketukan mesin.
Saya bangun jelang siang. Telepon kantor, minta office girl Bu Ning kirim fax guntingan koran Kompas berita Jacko. Kiriman saya terima di business centre.
Ada sedikit perbedaan angle liputan. Kompas melaporkan jalannya pertunjukan. JP juga menyajikan pertunjukan, termasuk potong kue tart. tapi kalah rinci. Sedangkan Kompas kalah di detil sistem gerak belasan kamera dan teknologi hydraulic panggung.
Saya bayangkan, Pak Dahlan tadi pagi sudah mengamati JP dan kompetitor. Ini sudah jadi kegiatan mendarah-daging baginya. Saya nilai, JP kalah banding Kompas.
Malam ini saatnya nonton. Saya masih berani menulis laporan jalannya pertunjukan. Sebab, di Kompas laporan panggungnya kurang ‘hidup’. Atmosfer konser yang saya rasakan di luar stadion, tidak saya temukan di tulisan.
Di kamar, saya menyusun daftar judul lagu yang dibawakan Jacko semalam. Pasti nanti malam lagu-lagu ini lagi. Saya dengarkan berulang-ulang. Menghayati, membayangkan gerakan atraktif Jacko. Dengan begini saya punya waktu ‘pendalaman’. Kurang ‘hidup’-nya tulisan Kompas, karena durasi menulisnya terlalu pendek, dikejar deadline.
Kalau saya tidur diiringi mesin ketik, sekarang Joko tidur dibuai lagu-lagu Jacko menghentak dari tape kecil, volumenya saya besarkan. Eee… Joko tetap ngorok, saking lelahnya.
Siang kami bertemu teman lama, Abdul Muis (AMU), wartawan JP yang ditugaskan di Malaysia, sekitar 4 tahun. Amu salah satu wartawan andalan JP. Mungkin dia dikontak Joko, sehingga kami bertemu di dekat hotel.
Dari Amu, kami diajari cara murah menelepon kantor. “Cukup kamu masukkan koin recehan ke telepon umum, lalu tekan angka ini,” katanya. Hubungan akan tersambung ke Telkom, lalu ke kantor. Beban pulsa pada kantor JP.
Petunjuk Amu ini sangat berharga buat saya dan Joko. Kami gunakan berulang-ulang.
OH… CAROL
Sore, saya, Joko, Hendri meninggalkan hotel, menuju stadion. Kini saya sudah merasa sangat dekat dengan Jacko. Lagu dan gayanya menari-nari di benak saya. Dalam menulis, apalagi liputan model begini, imajinasi menjadi sangat penting.
Saat kami jalan meninggalkan hotel, mendadak Joko punya rencana lain, “Hendri, kamu berangkat duluan ke stadion. Saya dengan dwo ada janjian ketemu cewek,” katanya, ketawa. Busyet… apa pula ini?
Hendri berangkat. Ternyata Joko tidak bergurau. “Kemarin aku kenal cewek bule. Dia juga punya tiket nonton malam ini,” ujarnya. “Kami janjian berangkat bersama dari Mc Donald. Ayo kita jemput,” tambahnya. Wah… wah… wah… Joko hebat juga, bisa memadukan pekerjaan dengan yang lain.
Saya tanya, “Dia punya teman cewek nggak?” Ternyata si cewek sendirian. Saya persilakan Joko jemput sendiri. Tapi, kata Joko: “Nggak papa. Orang Barat bebas, kok. Kita bisa gantian.”
Apa maksud kata “gantian”? “Bukan apa-apa. Kita nonton bareng-bareng. Nggandengnya gantian, gitu loh….” jawabnya, tertawa cekikikan.
Saya antara senang dan tidak. Sulit membayangkan, kira-kira 10 menit dia gandeng, 10 menit berikutnya saya. Lalu balik ke dia lagi. Masak bisa begitu? Juga apakah ceweknya mau?
“Apakah kamu kemarin sudah tidur dengan dia?” tanya saya blak-blakan. Joko terbahak-bahak. Cukup lama saya menunggu dia berhenti tertawa. Saya tidak tahu arti tawanya. Lantas dia menegaskan, “Belum. Sumprit… belum.” Oo…
Biar tidak penasaran, saya ikuti dia. Ternyata si cewek memang cantik, khas wajah bule. Cuma, badannya terlalu tinggi untuk saya dan Joko. Tingginya kayaknya lebih dari 175 cm. Saya 163, Joko sekitar 4 atau 5 senti di atas saya.
Dia tersenyum ke arah kami (mungkin ke Joko, kali). Saya kenalan (lupa namanya). Sebut saja Carol. Melihat wajahnya, terbersit lagu The Beatles: “Oh Carol. Don’t let him steal your heart away…
Dia dari Swedia, tidak sengaja nonton Jacko. Hanya melancong ke Asia, dari Hongkong. Usianya 21, kuliah jurusan sejarah, kebetulan sedang libur. Sepekan lalu dia beli tiket Jacko.
“Let's go to the stadium…” kata saya, khawatir terlambat. Jalan bertiga cewek di tengah. Joko tak menggandengnya. Saya ‘wait and see’ saja.
Carol ramah. Dari gaya bicaranya, dia terpelajar. Rambut pirangnya dikuncir ekor kuda. Matanya biru kehijauan, dipayungi bulu mata lentik. Badannya seksi, bobot sekitar 60 sampai 65. Celana blue jeans ketat, T shirt hijau lengan sangat pendek. Luar biasa… Joko nemu dimana boneka begini…
Naik bus juga pencar-pencaran. Joko tidak menggandengnya. Tiba di stadion Joko malah hilang di keramaian massa. Tinggallah saya dan Carol. Kami ngobrol di luar stadion, sambil menunggu kalau-kalau Joko mencari kami.
Sampai setengah jam jelang konser, Joko belum muncul. Kami masuk berdua. Sekarang baru bergandengan… Bukan apa-apa, Dul… Sebab masuk pintu stadion berdesakan.
Kami duduk di tribun, sekitar 150 meter dari panggung. Kapasitas stadion, berdasar data: 55 ribu orang. Penuh, baik tribun maupun lapangan rumput. Panggung sangat mewah. Bagian atas, samping kiri-kanan, pipa besi centang-perenang. Disitulah belasan kamera bergelantungan.
Duduk mepet-pet dengan Carol (karena penonton penuh) membuat konsentrasi terpecah. Senang sekaligus sedih. Senang, karena ditemani cewek cantik yang aktif ngajak bicara. Sedih, karena sekarang saya sedang tugas.
Sampai 21.00 belum ada tanda-tanda dimulai. Sudah sejam dari jadwal. Kemarin tepat waktu. Tapi, penonton tenang saja dihibur lagu-lagu Barat lama dan baru, dari sound yang suaranya sangat jernih. Andai ini terjadi di Indonesia, pasti sudah ribut.
Lewat dari 21.30 mulai ada beberapa penonton menyalakan lilin. Itu diikuti yang lain. Ternyata banyak penonton membawa lilin. Mereka goyangkan lilin secara serempak ke kiri dan kanan. Menghasilkan pemandangan mempesona, di bawah langit yang penuh bintang.
22.00 lagu-lagu berhenti. Panggung tetap sepi. Ada pengumuman. Intinya, konser ditunda lima hari lagi, Jacko mendadak sakit. Tiket tetap berlaku. Bagi yang ingin kembali uang, dipersilakan ke panitia. Tiket yang sudah dibuang, diganti tanda khusus.
Serentak terdengar gerutu puluhan ribu orang. Penonton kecewa. Tapi, hebatnya, mereka keluar stadion dengan tertib. Sama sekali tidak ada teriak kemarahan. Sungguh tak terbayangkan kacaunya, jika ini terjadi di Indonesia.
Saya harus bekerja. Kami sepakat pisah. Saya tanya hotel dia, katanya menginap di rumah sewa daerah Jurong, dan dia tak tahu alamatnya. “Joko tahu tempatnya. Besok kita jumpa lagi, bye…” ujarnya melambai.
ADUH… MENGGELANDANG LAGI
Tidak gampang mendekati panggung. Areal itu diblokade puluhan bodyguard Negro. Dari beberapa titik saya mencoba masuk, selalu diusir. Tak ada celah mendekati panggung.
Saya ganti cara, mendekati petugas lokal. Tidak gampang juga. Semuanya menolak. Dari beberapa, untung ada yang mau cerita: “Jacko masih ada di belakang panggung. Kira-kira 10 menit sebelum jadwal dimulai, dia pingsan. Katanya over dosis,” ujarnya.
Lho, berarti sudah dua jam lebih dia disana. Ngapain? “Kini dirawat tim dokter dari Mount Elizabeth Hospital,” jawabnya. Bagaimana cara melihat itu? Dia, kebetulan, memberitahu jalannya.
Prinsip Pak Dahlan, tidak ada kebetulan di dunia ini. Semua hasil, karena ada gerakan. Gerak fisik atau pikiran. Paling bagus kombinasi keduanya.
Saya masuk ruang ganti pakaian pemain bola, tembus persis di belakang panggung. Tapi, tidak bisa masuk kesana, ada pintu jeruji besi terkunci. Terlihat kesibukan berlangsung. Belasan perawat wanita mondar-mandir. Jacko dan para dokter tak kelihatan, terhalang dinding kayu.
Sekitar 15 menit, tampak Jacko terbaring di brankar didorong dua perawat, diikuti para lelaki berkalungkan stetoskop. Sementara, terdengar mesin heli hidup. Terbang menjauh, mungkin membawa Jacko.
Esoknya, Kompas memberitakan itu. Kelihatan mereka tetap menurunkan wartawan di konser hari kedua. Beritanya singkat: Konser Jacko batal. Kali ini JP unggul. Masak kalah terus?
Tapi, pagi-pagi panitia tur menelepon kamar kami, memberitahukan agar siap check out. “Rombongan akan meninggalkan hotel setelah breakfast. Kumpul di lobby 10.00,” kata suara wanita.
Bagi yang ingin nonton Jacko (empat hari lagi) panitia tur hanya memberikan tiket ke Jakarta. Maka, saya telepon atasan, Kepala Biro Jkt Edhi Aruman, mohon pertimbangan. Jawabnya: “Tetap lanjut… Malah bagus. Jangan-jangan Jacko besok mati.”
Tapi, uang saya tinggal separo (sekitar USD 50) mana bisa bertahan? “Kamu punya kartu Amex?” Gak punya. “Nah, itulah… wartawan global gak punya Amex, berat. Tapi, aku yakin kamu bisa bertahan, minimal sampai show selesai,” perintahnya.
Saya sampaikan ke Joko, saya bertahan. Joko juga. Uang dia malah gak sampai separo dari saat berangkat. Sedangkan Hendri ngotot pulang, meskipun Joko menganjurkan bertahan.
Usai sarapan, saya dan Joko kembali ke kamar mengatur strategi bertahan empat hari. Hendri sudah berangkat ikut rombongan. Dia tinggalkan mesin ketik di kamar kami. Di saat uang mepet, barang berat ini bakal berguna.
Tengah hari, kami meninggalkan hotel. Sudah tidak ada jatah makan siang. Panitia sudah pulang. Joko mengajak makan di Mc Donald. “Setelah itu, kita harus cari makan dan tempat menginap yang murah,” katanya.
Wah… bakal menggalandang lagi, nih. (bersambung, kalo bisa 24 jam)

Di Balik Liputan Jacko, Singapore ’93 (3)
SENANG-SEDIH, BUMBU PERJALANAN


Jangan gampang mengagumi profesi wartawan. Jika anda mengalami peristiwa ini, pasti anda tidak akan bangga jadi wartawan. Saya sebenarnya tidak enak menceritakannya. Tapi, sudah terlanjur…
---------------------
Tarif hotel bukan bintang. kata Hendri kemarin: SGD 90 (sekitar USD 48 kurs saat itu). Uang saya segitu juga, idem dengan Joko. Andai itu ditanggung berdua, cukup dua malam, lalu uang kami sama-sama habis. Tidak bisa makan. Padahal, harus empat hari lagi disini.
Makan di Mc D, pikiran saya menghitung uang. Terlalu mahal Joko pilih disini. Tapi, restoran seputar Orchard Road memang tidak ada yang murah. Pilih Mc D sebab harga terpampang jelas. Itu pun di atas SGD 10 atau USD 5,5. Tak ada warteg atau bubur kacang ijo..
Usai makan, saya dan Joko meluncur ke Hotel Raffles, tempat Jacko di Marina Bay. Wuiiih... penjagaan ketat. Tiga pintu masuk, termasuk pintu masuk khusus truk di belakang, dijaga bodyguard Negro.
Hotel sudah dipesan rombongan Jacko sejak sehari sebelum mereka datang, sepekan lalu. Tidak ada tamu lain. Ratusan kamar (hanya 3 lantai) diisi rombongan mereka, lebih dari 120 orang. Mobil catering masuk pintu belakang pun, diperiksa ketat. ID Card sopir dan kenek diteliti. ID Card karyawan hotel yang masuk, dicocokkan dengan catatan. Mereka bekerja cermat.
Setelah mengitari hotel, dan tidak menemukan celah masuk, kami nongkrong di halaman depan. Disana bergerombol ratusan fans Jacko. Ada Indonesia, Bule, China, Melayu, India, Entah, ngapain mereka disana? Mungkin menunggu kalau-kalau Jacko keluar.
Bentuk bangunan hotel kuno, dibangun tahun 1887 (berdasar data). Warna dominan putih dengan pilar-pilar tinggi kokoh, mirip Istana Negara kita. Halaman depan luas sekitar 100 X 100 sebagian besar rumput hias dengan tanaman perdu aneka bunga di sudut-sudutnya.
Orang berteduh dari sengatan matahari di beberapa pohon Tanjung. Sebagian besar anak muda. Diantaranya berbahasa Indonesia. Dari obrolan mereka saya dengar, Jacko tidak ada di hotel, tapi dirawat di Mount Elizabeth Hospital. Mereka tahu saja. Lantas, menunggu apa mereka? Inilah gilanya ngefans.
“Dwo, aku akan ke Mount Elizabeth. Bagaimana?” ujar Joko dengan nada tanya. Itu juga rencana di benak saya. Pertanyaan dia sudah memblokir langkah saya. Pertanyaan itu menyiratkan: Kalau aku kesana, kamu jangan. Sebab, dia bekerja untuk mingguan, saya harian. Jika liputan kami sama, habislah dia.
“DI (inisial Joko) selamat bertugas… Kita tentukan, ini tempat kita berkumpul. Persisnya, di bawah pohon Tanjung ini,” kata saya.
“Kamu mau liputan apa?”
“Gampang…nanti saya pikirkan.”
“Aku akan balik kesini sore nanti, sambil memikirkan cara menginap.”
DICARI: KARYAWAN RAFFLES YANG….
DI menghilang naik bus. Jam menunjuk 13.30. Saya bengong, sebagaimana ratusan fans Jacko disini. Ke stadion percuma. Tak akan ada apa-apa disana. Masuk hotel? Harus punya seragam karyawan, bordir nama di dada, lengkap dengan ID Card.
Mungkinkah pinjam karyawan yang wajahnya mirip dengan saya? Mungkin saja. Orang Negro pasti sulit membedakan wajah Asia, sebagaimana kita sulit membedakan wajah sesama Negro. Andai lolos di pintu, harus paham tugas-tugas dan kebiasaan harian. Di dalam pasti dikenali sebagai orang asing oleh sesama karyawan.
Tapi, masak saya diam mematung? Kata Pak Dahlan, wartawan harus selalu bergerak. Gerak fisik atau pikiran. Paling bagus kombinasi keduanya.
Saya pindah ke dekat pintu belakang. Karyawan mungkin lewat sini. Nanti, saat pergantian shift, mereka bisa ditempel. Kalau bisa mendekati orang yang tepat, segalanya bisa diatur.
Enaknya, hotel ini seperti dikepung fans. Ada belasan orang di sekitar pintu belakang. Sehingga saya bisa membaur, walau orang disini tidak sebanyak di halaman depan. Pintu belakang ini pas dengan pedestrian. Saya berdiri belasan meter dari pintu. Supaya bisa bergerak cepat.
Pukul 17.30 pintu dibuka. Ada 2 minibus hendak masuk. Alamaaak… penumpangnya karyawan semua. Berarti mereka dijemput dari rumah masing-masing. Mereka yang pulang nanti kemungkinan besar juga diantar.
Ternyata benar. Tak sampai setengah jam kemudian 4 minibus keluar, penumpangnya… karyawan. Ancur, deh… Bayangan saya, seperti bubaran pabrik rokok di Indonesia, karyawannya jalan kaki atau naik sepeda. Ndeso…
ASYIK… CAROL MUNCUL LAGI
Hari hampir gelap, saya kembali ke halaman depan, di bawah pohon Tanjung. Joko sudah disana. Ngobrol dengan… Carol.
Asyiiik…. Si ekor kuda muncul lagi. Celana jeans ketat hitam, T shirt merah, ditutupi jaket krem. Gadis ini memang cantik. Mengapa orang tuanya berani melepasnya keliling dunia sendirian? Pasti pribadi anak ini sudah matang. Atau budaya mereka yang beda dengan saya?
Dia tersenyum ke saya. “How are you, mister John….” sapanya mengulurkan tangan. Salaman, dia menarik tangan saya, ternyata diajaknya cipika-cipiki…
Dada saya berdebar (lagi). Bukan apa-apa. Saya tak terbiasa salaman model begini. Pipi putih kemerahan itu membuat saya berdebar. Saya ikut budaya dia saja. Panggilan mister yang tidak enak. Terasa saya tua. Usia saya 34, memang wajar begitu banding dia yang 21. Lebih tak enak lagi, saya sudah beristeri.
Kami ngobrol. Carol banyak cerita tentang show yang batal, semalam. Di sela Carol mengoceh, saya sisipi gurauan ke Joko:
“Masak ketemu di Mount Elizabeth?”
“Hahaha… ya, kebetulan.”
“Tak ada kebetulan di dunia ini, kata Pak dahlan.”
Kami terbahak-bahak. Carol protes, sebab dia tak mengerti. Dia minta, penyebab kami tertawa harus diterjemahkan. Joko hanya tertawa, mengarahkan tangannya ke saya. Asal saja, saya terjemahkan, “Kamu gadis cantik, Carol… Kami kagum padamu.”
“No… no… pasti bukan begitu. Itu bukan kata yang lucu,” ujar Carol.
Saya jadi kerepotan. Jika saya terjemahkan pun, belum tentu lucu bagi dia. Sebab, ini bukan jenis lucu universal. Ini lucu etnik Surabaya. Lucu terkait internal JP. Lucu terkait gender, sesama lelaki.
Tapi, Carol memaksa saya menterjemahkan juga. Setelah saya terjemahkan, dia berpikir sejenak. Lalu, “No… no… bukan begitu…” katanya sambil menjejak-jejakkan kedua kakinya, seperti jalan di tempat.
Luar biasa… Baru kali ini saya berhadapan dengan gadis bule yang merajuk. Pipinya yang putih kemerahan, kian merona. Dia berdiri dengan latar belakang temaram senja. Langit jingga di ufuk barat, membuat rambut blonde itu berkilau-kilau. Sungguh indah Allah menciptakan manusia dan alam ini. Subhanallah… dengan indah ciptaan-Nya.
“Kita makan, yuk…” ajak Joko, memenggal pemandangan baru bagi saya itu. Kami akhiri perdebatan, jalan bersama mencari tempat makan. Posisi Carol di tengah, lagi. Joko tidak menggandengnya. Saya juga tidak.
Kini saya mengerti maksud Joko kemarin: “Kita bisa gantian”. Saya sudah diberi kesempatan dekat Carol, kemarin. Sepanjang siang tadi, mungkin Joko. Mungkin besok….
Saya terkejut, Joko memilih restoran. “Ayo…” ajak Joko yang jalan duluan, masuk Mc D. Saya menyela, “Apa tidak cari di pinggiran? Sambil jalan-jalan menikmati senja.” Dia menggeleng, menyahut: “Aku yang traktir.”
Sambil makan, saya pikir: Bakal semakin cepat kami kelaparan, nih. Carol saya lihat tetap ceria. Atau, Joko sudah ‘memeras’ Carol? Untuk mengetahuinya, harus diuji. Saya berbahasa Indonesia: “Apakah malam ini kita bisa kruntelan (bersatu) di kamar Carol?” Joko menggeleng. “Sudah saya tanyakan, dia gak mau.”
Carol protes lagi. “Ini Singapore, man… Bukan desa kalian,” ujarnya. Kali ini dia sewot. Saya jelaskan, bahwa kami sedikit menyinggung pekerjaan. Tapi dia memotong, “Wooow… mengapa ada namaku?” Saya berkelit, bukankah Carol ikut saya ke stadion? Tapi dia geleng-geleng. “No… no…”
Usai makan, Joko yang bayar. Billing nyaris SGD 40. Lalu kami pisah. Saya dengan Joko, Carol pulang. Ada yang janggal di logika saya. Pertemuan dengan Carol sore ini, bagi saya, rasanya baru awal. Sedangkan bagi Joko, kayaknya akhir suatu proses. Tapi, ah…. Sudahlah….
JADI FANS JACKO? DIAMPUT…
Joko mengajak saya menuju Jurong. “Disana ada kamar-kamar yang disewakan murah. Ini diberitahu Abdul Muis,” katanya. Saya menurut saja.
Tiba di sebuah rumah besar dua lantai. Ruang tamu dibentuk seperti resepsionis mini. Tarif SGD 45 per kamar untuk berdua, tanpa breakfast. Dada saya kini menggos-menggos (tersengal-sengal). Tambah cepat mati ini…
Kata “Jurong” mengingatkan saya pada ucapan Carol saat saya pisah dengannya di stadion, kemarin. Berarti, Carol tinggal di sekitar sini. Sudah saya cek, belasan kamar disana, tak ada Carol. Tiap kamar saya amati, saat penghuninya keluar-masuk.
Tapi, wilayah itu memang beda dengan pusat kota. Disini lebih sederhana. Tak jauh dari situ ada masjid. Saya dan Joko shalat Subuh disitu. Jamaahnya kebanyakan orang Pakistan. Sarapan juga murah, sebab saya makan nasi lauk gorengan. Joko masih berani ambil telur ceplok. Ini baru ketemu warteg-nya Singapura.
“Dwo, kita tidak mungkin lanjut nginap disini. Waktu masih tiga hari.”
“Jelas. Tapi, saya sudah menemukan hotel kita.”
“Dimana?”
“Hotel Raffles…”
Sejenak dia diam, menghentikan mengunyah makanan. Lantas kami tertawa. Dia terpingkal, geleng-geleng, sambil menunjuk-nunjuk ke saya. Dia sudah menangkap maksud saya: Lapangan rumput di halaman Hotel Raffles. Disitu selalu ramai. Lokasi tepat untuk penyamaran.
“Jadi, kita siap check in di rumput Raffles, ya?” tegasnya. Saya mengangguk sampai menggoyangkan punggung, begitu meyakinkan. Dia mengangkat tangan kanan yang terbuka. Kami tos, tanda sama-sama mantap, siap menggelandang.
Check out dari hotel rumahan itu, kami masih makan siang di warteg lagi. Kami akan banyak bolak-balik antara Raffles di Marina Bay ke Jurong, naik bus. Menginap di Raffles, makan di Jurong.
Di rumput Raffles kami pilih tempat. Sepakat lokasinya pencar, supaya tidak mencolok sebagai gelandangan bersaudara. Saya pilih di bawah pohon Tanjung. Siang ini adem, nanti malam pasti sejuk banget. Suejuuuk pol…
Jelang sore, saya dikagetkan oleh teriakan gemuruh dan suit-suit riuh. Ternyata Jacko sudah di dalam hotel. Dia membuka jendela di lantai 3 lalu melambaikan tangan ke arah ratusan orang di halaman depan. Dia mengenakan jaket hitam. Menempelkan tangannya ke mulut, lalu melambai. Histeria massa pun meledak. Sampai ada gadis bule berteriak histeris, “Jacko…. Jacko… oh, Jacko….
Hanya sekitar satu-dua menit Jacko melambai, lalu pintu jendela ditutup lagi. Saya mencari tempat agak terang di pedestrian, lalu mengetik disitu dengan mesin besar yang kini saya bawa. Menulis berita, Jacko sudah pulang dari Mount Elizabeth, dan kondisi hotelnya.
Berita jadi, saya cari semacam wartel, lalu kirim fax ke Jakarta. Untuk memastikan fax diterima, saya ke telepon umum, menelepon kantor gratis menggunakan cara ajaran Abdul Muis.
Penerima telepon atasan saya, Edhi Aruman, mengeluh: “Wah… kemarin kamu seharian tak kirim berita, juga hilang kontak. Padahal, tulisan-tulisanmu dipuji Pak Dahlan. Dia telepon saya dari Surabaya,” tuturnya. Tentu saya senang. Bisa jadi itu hanya cara Pak Dahlan membangkitkan semangat saya, yang dia perkirakan mulai merosot.
Balik ke Raffles, hari sudah larut. Masih banyak saja orang. Sampai 24.00 masih saja ramai. Tapi, mereka silih-berganti. Datang dan pergi. Saya mulai rebahan di rumput. Banyak juga yang duduk di rumput sekitar saya.
Saat saya terlentang berbantalkan tas, seorang gadis Melayu berbicara ke temannya, setelah melirik saya, “Ooow… fans Jacko sampe tidur-tiduran begitu.” Saya pura-pura tak dengar. Diamput…
Sulit tidur, barangkali tubuh belum menyesuikan diri. Sampai 03.00 saya belum bisa tidur juga.
Ketika saya hampir terlelap, mendadak dikejutkan sesuatu. Punggung saya digigit semut. Kayaknya jumlahnya banyak. Saya buka baju, mengibas-kibaskannya. Sekelompok pemuda di dekat saya tertawa. Entah apa arti tawanya.
Saya terbangun saat mata saya tertusuk sinar matahari. Selamat pagi, Singapura… Aku sudah memelukmu, lelap di bumimu. (bersambung, 24 jam)

Di Balik Liputan Jacko, Singapore ’93 (4 - Tamat)
JALAN TEMBUS MENUJU MONYET


Tindakan remeh-temeh seringkali disepelekan. Namun, sebagai bagian ikhtiar, sebaiknya jangan dihindari. Sebab, semua perjuangan selalu ada hasilnya, walau kadang tertunda.
----------------------

Mendadak, ratusan orang di halaman depan Hotel Raffles lari berhamburan. Bunyi sirine meraung dari arah pintu samping hotel. Saya dan Joko jadi ikut gerakan para fans, berlari ke samping.
Sirine ternyata dari sepasang voorijders yang sulit bergerak, tertahan puluhan orang di depan pintu samping. Di belakangnya, tiga limousine hitam terpaksa berhenti. Begitu juga dua minibus di belakangnya. Massa menghambur mendekati mobil. Seketika 4 bodyguard Negro keluar dari minibus. Menghalau massa.
Tidak sulit mereka mengamankan situasi. Tinggi badan mereka rata-rata sekitar 2 meter, tubuh kekar dibalut T shirt ketat, wajah mereka mirip Mike Tyson. Disibaknya massa. Sehingga voorijders (polisi lokal) dapat jalan. Rombongan melesat ke utara.
Saya tak berdaya. Dengan keuangan kelas gelandangan, tak mampu mengejar Jacko. Bahkan, dengan uang yang normal sekali pun, belum tentu bisa. Jacko benar-benar gila. Dia tak tersentuh. Saya sudah pelajari, dia belum pernah interview langsung dengan wartawan.
Kesal dengan kondisi ini, saya dan Joko jalan-jalan, asal naik bus tak tentu arah. Bus disini murah. Dibanding taksi untuk jarak yang sama, ongkos kira-kira beda 20 kali.
Pernah, saya naik taksi, pas pukul 24.00 sopir menawari, lanjut atau stop? Kalau lanjut, masuk over midnight, tarifnya 2 kali dari semula. Ya, pasti lanjut-lah... Masak turun di lokasi yang tidak saya kenal?
Di Orchard Road, lalu-lintas macet. O... ada macetnya juga, to? Tapi... macet karena pengemudi mobil pada turun. Jalan kaki, memotret sesuatu di arah sana. Anehnya, itu dilakukan beberapa orang dengan arah yang sama. “Jacko... Jacko... ,” teriak gadis penumpang bus yang langsung turun.
Tentu, saya dan Joko turun. Benar. Jacko di dalam toko buku. Dinding toko yang seluruhnya kaca, menampakkan sang Mega Bintang membaca buku. Tapi, pengamanan bodyguard itu yang nggak kuat.
Di dalam toko, ‘clean’ tak ada pengunjung lain. Di luar, puluhan bodyguard siaga di pintu dan seputar dinding kaca. Puluhan wartawan (berkamera foto dan kamera TV) tak berkutik dihadangnya. Ampun...
Saya bayangkan, Jacko ini orang baik. Mungkin, setiap ada Negro pengangguran yang datang padanya, asal badan tinggi berotot, langsung dijadikan satpam-nya. Masak, rombongan dia sampai 127 orang? Sebagian besar bodyguard.
Kami hanya bisa mengamati Jacko yang membaca, memilih buku. Di sebelahnya, ada cewek bule membawa keranjang, siap menampung buku yang dipilih Jacko. Keranjang sampai penuh, lalu ganti keranjang baru.
Yang menarik, Jacko tak pernah diam barang semenit pun. Tubuhnya yang tinggi langsing selalu bergerak, meski sedang membaca. Kakinya yang jenjang aktif bergerak. Sesekali menjentikkan jari tangan, seperti sedang mengikuti irama. Saya duga, dia sambil mendengarkan lagu lewat earphone.
Dia mengenakan celana ketat, hitam mengkilap, kaos ketat merah lengan panjang. Postur tinggi kurus terlihat jelas. Badannya begitu lentur, gerak ke kiri-kanan. Selentur rambut keritingnya, yang bagian depan dibiarkan menjuntai, meliuk-liuk.
Dia tahu, puluhan fans dan wartawan bergerombol di depan kaca toko, menontonnya. Sesekali dia lambaikan tangan ke massa. Hanya dengan begitu saja, puluhan orang sudah berteriak-teriak memanggil namanya. Tapi, massa tertib. Tak ada yang memaksa masuk toko.
Sirine voorijders hidup, massa kian penasaran. Ternyata Jacko masuk mobilnya yang berhenti persis di depan pintu toko. Tak ada celah orang mendekat. Konvoi melaju di keramaian Orchard Road. Saya dan Joko kembali naik bus, tak jelas arah.
Liputan macam apa ini? Tapi, inilah maksimal. Tiap hari saya baca koran setempat: harian Bernama dan The Straits Times edisi Singapore. Tak ada wawancara dengan Jacko. Liputan mereka, di luar konser, ya... remeh-temeh begini.
DIMANA BUMI DIPIJAK, DISITU BANTAL DIGELAR
“DI... ayo kita cari bantal model tiup. Biar agak nyaman di rumput,” kata saya di dalam bus.
“Bantal yang bagaimana itu?”
“Aku pernah lihat di penerbangan internasional, wanita pakai itu.”
Kami tiba di sebuah pasar (lupa nama daerahnya) dan mencarinya. Tanya ke penjual, ternyata mereka langsung paham barang yang dimaksud. Ditunjukkan arah tokonya. Ketemulah barangnya.
Bentuknya, setelah ditiup, persegi panjang. Di tengah ada lingkaran untuk leher, dan ‘pintu’ masuknya. Warnanya coklat muda, berbahan kain beludru. Saya coba pakai dan bersandar pada dinding, rasanya empuk. Ini barang penting. Harganya murah. Setelah dikempeskan, dilipat, hanya sebesar dompet.
Setelah mengetik berita remeh-temeh itu, dan kirim ke Jakarta, saya kembali ke ‘hotel’. Jacko ternyata sudah di dalam. Tandanya, jumlah massa di halaman depan sangat banyak. Itu berarti, Jacko sudah melambai dari balik jendela di lantai 3. Sejam sekali, itu dia lakukan.
Saya tak sabar mencoba bantal baru. Senja baru saja lewat, bantal sudah saya tiup. Hasilnya, memang sungguh nyaman. Bukan hanya untuk tidur terlentang, tapi juga untuk miring kiri-kanan. Kecuali telungkup, tentunya.
Saya berdiri, melihat Joko yang mengambil jarak sekitar 10 meter dari saya, juga terlentang berbantal itu.
Dari jauh dia melihat saya, sambil mengacungkan jempol. “Top.... dwo. Uenaaak...” teriaknya. Saya tersenyum: Dasar... dia memang bakat menggelandang. Saya, ‘kan cuma fasilitator gelandangan.
Tapi, malam ini rasanya rumput lebih empuk banding kemarin. Wangi bunga Tanjung jadi parfumnya. Sorak-sorai massa ketika Jacko buka jendela, akrab di hati. Saya merasa sudah menyatu dengan situasi-kondisi. Nyaman. Belum pernah saya alami, tempat menginap jadi satu dengan tujuan liputan, seperti ini.
Berdasar pengalaman dirubung semut, kemarin, kini saya punya persiapan. Kemeja dimasukkan, dilapisi jaket. Ujung bawah celana dikareti seperti celana tentara. Tak ada celah binatang masuk. Hembusan angin jadi segar sejuk.
Kebetulan cuaca cerah. Bulan bundar di posisi sekitar 70 derajat arah timur. Sinarnya putih kekuningan, dengan corona transparan melingkarinya. Bintang-bintang bertaburan di seantero langit. Sebagian bintang kelap-kelip di sudut utara. Seisi cakrawala bagai bernyanyi, menyemangati kami. Tapi, lagunya sendu. Lagu Rhoma Irama:
Langit sebagai atap rumahku......
Dan, bumi sebagai lantai
Hidupku, menyusuri.... jalan....
MENCOCOKAN WAJAH dengan MONYET
Bangun tidur, gelisah lagi. Konser masih besok malam. Hari ini diisi apa? Masak cuma melaporkan gerakan Jacko buka jendela? Pembaca pasti bosan. Sekuat apa pun tulisan deskriptif, kalau obyek liputannya tidak variatif, hasilnya tentu jeblok.
Masuk Raffles tidak mungkin. Persiapan stadion sudah lengkap, beberapa hari lalu. Penyebab Jacko pingsan sudah jelas over-dosis. Itu pun sudah lewat, basi. Saya mulai kehilangan akal.
Sementara, Joko tenang-tenang saja. Tugas dia beda dengan saya. Dia mengumpulkan semua bahan liputan, dirangkum dalam laporan mingguan. Pantas, bangun tidur dia kelihatan tetap semangat.
“Dwo... ayo kita sarapan (ke Jurong) lalu kita jalan-jalan aja.”
Saya mengangguk saja. Joko yang pernah bertahun-tahun jadi wartawan JP, mengerti kegelisahan saya. Dia menghibur, “Kamu sudah maksimal. Aku juga baca koran lokal, tak ada yang mereka tulis sejak konser batal,” katanya. “Malah kamu tiap hari menulis.”
“Tiap hari kita jalan-jalan. Mau kemana?” tanya saya.
“Kebon binatang. Di katalog, katanya bagus.”
Nyaris tawa meledak, tapi bisa saya tahan. Tidak enak, mimik Joko serius. Khawatir dikira melecehkannya. Saya ini lahir dan dibesarkan di Surabaya. Pilihan Joko itu seperti anak dari Desa Ndiwek di pedalaman Jombang, yang baru pertama kali ke Surabaya. Begitu tiba, tujuannya: Kebon binatang.
“Nonton apa, sih? Paling, kita mirip nyemot.”
“Ah... daripada bengong. Rekreasi, Bung. Ini hari terakhir disini.”
TERJEBAK di AKUARIUM
Ucapan dia tidak salah. Saya juga belum menemukan ide liputan. Siapa tahu di perjalanan muncul ide. Joko sudah bertanya diantara fans Jacko, arah menuju kebon binatang.
Kami naik MRT. Hebatnya, kereta bawah tanah ini melewati beberapa pertokoan di atasnya. Turun di stasiun, ganti naik bus. Lalu jalan kaki. Pukul 10.00 tibalah di “Singapore Zoo” di Mandai. Kami foto-foto di bawah tulisan kebon hewan, buat kenang-kenangan.
Repotnya, dengan begini makan siang jadi mahal. Saya menghitung, harus cukup sampai bayar airport tax di Changi. Tanpa mengeluarkan uangnya, saya hitung luar kepala: Cukup. Asal, setelah ini makan di Jurong terus. Jika tidak, besok puasa.
Sudahlah... Betapa pun, saya harus menikmati perjalanan. Keindahan taman dan kesegaran hewan, cukup menghibur. Kualitasnya jauh melebihi di Surabaya. Kebersihannya luar biasa. Jumlah pengunjung memang tidak banyak, mungkin karena bukan hari libur. Tapi, tak ada sampah, bahkan secuil kertas sekali pun.
Tiba-tiba ada pengumuman di pengeras suara, kebon binatang akan ditutup 15 menit lagi. Pengunjung diminta keluar. Ada pembersihan kotoran hewan besar-besaran, membuat tidak nyaman. Jam belum pukul 14.00.
“Baru jam segini sudah tutup. Kita terakhir aja, dwo.”
“Nanti kita terkunci disini, DI.”
“Halaaah...”
Kami masih berkeliling di ruang akuarium, mengabaikan peringatan hitungan waktu mundur dari pengeras suara. Sampai waktu habis, kami masih mengamati aneka ikan. Lokasinya jauh dari pintu gerbang keluar-masuk.
Sampai lewat setengah jam, kami masih asyik. Saya keluar mengamati, koridor sudah sepi. Semua areal tak ada orang. Sungguh tertib warga disini. Hanya Joko yang gendheng, tenang saja mengamati ikan. Edan....
Sirine meraung-raung di kejauhan. Nah, apa pula ini? Joko pun meninggalkan ikan, keluar ruang akuarium bersama saya. Jalan menuju perempatan yang jaraknya sekitar 100 meter. Dari perempatan, menengok kanan, arah pintu gerbang, jauh disana.
Luar biasa... ada sepasang voorijders berhenti di gerbang. Di belakangnya, 2 limousine hitam dan beberapa minibus. Spontan, kami jingkrak-jingkrak. Itu Jacko.... itu Jacko....
“Dwo... cepat ngumpet,” sentak Joko. Dia beringsut, mepet sebuah bangunan. Kami mundur mencari pintu bangunan. Itu semacam museum mini, berisi fosil. Disanalah kami mengatur strategi.
Ternyata di dalam bangunan juga ada pasangan muda dan seorang anak perempuan usia sekitar 5 tahun. Kami sama-sama kaget. Mereka tahu kami wartawan, sebab menyiapkan kamera, mengaturnya tersembunyi di balik jaket. Sssst.... Mereka mengangguk, tanda paham.
Jacko jalan santai mengamati hewan demi hewan. Dia mengenakan celana biru tua, stelan jas panjang warna senada. Puluhan tukang pukulnya mengepung, berjarak sekitar radius 20 meter dari sang bos.
Sungguh, Jacko bagai raja. Kemana pun dia bergerak, puluhan bodyguard otomatis mengikuti, membentuk formasi kepung, dengan jarak tetap terjaga. Pengamanan sangat rapi. Obyek sudah sekitar 100 meter di depan mata, tapi situasi sangat sulit. Dada saya berdebar-debar.
Saya ambil beberapa moment dengan lensa tele, dapat. Kami memotret dari balik taman. Untung cuaca cerah, sehingga sinar cukup.
Di perempatan, Jacko pilih lurus. Itu berarti mengarah ke kami. Jarak kian dekat. Keluarga yang sejak tadi ingin keluar melihat Jacko, kami tahan. Mulut bocah itu ditutup tangan ibunya, sesuai permintaan kami.
Pada jarak sekitar 20 meter, kami minta keluarga itu keluar, jalan mendekati Jacko. Kami tetap sembunyi. Sontak, ada teriakan: “Stop....get out you...”
Suasana hening. Kami intip, keluarga itu berhenti. Diam terpaku. Gadis kecilnya menangis.
Jacko mengamati si bocah, jalan mendekati. Lantas menggendongnya. Aneh, bocah itu diam di gendongan Jacko. Diajaknya melihat monyet.
Para bodyguard mendekati orang tua, menggiring, menjauhkannya dari Jacko. “Distance hundred feet,” kata bodyguard. Kali ini tak berteriak lagi.
Ayo... Kapan lagi kami mendekat? Sekaranglah saatnya. Atau tidak sama sekali. Dengan kedipan mata, kami bergerak bersama: Maju. Tidak membuang waktu, langsung memotret moment itu.
Baru beberapa langkah, bentakan merobek keheningan. “No.... no.... You, back off. Move.... move.... back off.”
Puluhan bodyguard berlarian ke arah kami. Merampas paksa kamera saya dan Joko. “Kalian wartawan?” tanya salah satunya. Bersamaan kami menggeleng.
Jacko mengamati kami. Saat bodyguard hendak membanting kamera, Jacko cepat mencegahnya. Lalu Jacko menjentikkan jari, menunjuk pintu gerbang, meminta kami keluar. Bodyguard menarik baju kami, mendorongnya menjauh, sambil mengembalikan kamera.
“Just one question, please...” kata Joko ke arah Jacko. Dibalas teriakan Jacko: “No.... no.... Go out...” Ini yang mengagetkan para bodyguard.
Segera mereka mengejar, kami lari. Mereka mengumpat: “Damned you...” Untung, mereka dicegah Jacko, sehingga tak lanjut mengejar.
Kami digiring dua petugas lokal, keluar. Tiba di pintu gerbang yang tertutup, kami terkejut lagi. Puluhan, mungkin seratusan wartawan mengelu-elukan kami. Mereka terkurung di luar. Mereka rupanya melihat kejadian tadi, pada jarak sekitar 150 meter.
Diantaranya ada wartawan Kompas dan Suara Merdeka. “Gile... bener... bisa saja kalian masuk,” ujar wartawan Kompas. “Bagi fotonya, dong,” kata Suara Merdeka. Kami dikerubuti, ditanya-tanya, ditawari rokok.
Kami basa-basi sejenak dengan mereka. Pelan-pelan menyelinap di sela kerumunan massa yang ingin melihat Jacko. Lalu kabur...
Betapa pun mereka kompetitor. Ajaran Pak Dahlan: Jangan kompromi dengan kompetitor, walau mereka kawan.
Malam itu, usai kirim berita, saya kian akrab dengan rumput Raffles. Enak saja tidur-tiduran. Saya merasa, lapangan dan kerumunan massa ini bagian dari rekreasi paling mewah dalam hidup. Terasa begitu mesra....
Jelang tidur, memandang lagit. Lagunya berubah lagi. Kali ini lagunya Iwan Fals:
Kemesraan, ini.....
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan, ini.....
THE SHOW MUST GO ON
Konser Jacko, pusat perhatian saya yang tertunda. Jumlah penonton penuh, sama seperti sepekan lalu. Jacko benar-benar prima di atas panggung.
Lagu “Heal the World” membuat stadion berkelap-kelip, ribuan lilin bergoyang rancak, kiri dan kanan. Bagai ribuan kunang-kunang di hamparan ilalang. Alunan slow pop itu membius puluhan ribu manusia. Menyatu dalam damai.
Heal the world...
make it a better place
For you and for me....
and the entire human race
Seketika, Jacko terhuyung-huyung ke kiri. Geraknya tak lagi beraturan. Terseok-seok, dan nyaris ambruk.... Namun, berhenti dalam posisi nyaris jatuh. Kiwir-kiwir...
Kaki kirinya menahan, kanan merentang.
Ternyata itu bagian dari action. Sedetik kemudian dia berkelit, alunan musik menyajikan break pendek dan cepat. Lantas, dia kembali berlari lincah ke tengah panggung. Sungguh, atraksi di luar prediksi. Amazing...
Saya mengetik laporan pertunjukan itu dengan sepenuh hati. Saya tetap berani melaporkannya, meski koran lain sudah memuatnya sepekan sebelumnya. Sebab, saya sudah mengakrabi lagu-lagu dia. Menjiwai tiap gerakan dia. Bahkan, tidur nyenyak di rumput depan hotelnya.
Saat pesawat kami meninggalkan Changi Airport, hari masih pagi. Hidung saya mengalami semacam halusinasi: Tercium wangi bunga Tanjung. Bunga yang tumbuh di depan Raffles.
Aku pulang, dari rantau....
Berhari-hari di negri orang,
Oh Singapura.....
Oh, di mana... kawan dulu...
Kawan dulu, yang sama berjuang....
(Pembaca, dengan terdengarnya lagu ini, maka sampai disini tulisan saya. Jika ada kesalahan, saya mohon maaf. Sampai jumpa di tulisan lain.) Depok, 5 Juni 2012


by DWO

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost