Komite Yang Tentukan Tarif Listrik
Kamis, 03 Februari 2011
Di India, badan otorita independen tidak hanya untuk jalan tol (lihat bagian pertama tulisan saya kemarin),
tapi juga untuk listrik. India memang punya cara sendiri untuk
membenahi keruwetan listriknya. “PLN” New Delhi selalu rugi besar dan
pelayanannya sangat parah. Pembenahan itu sudah diuji coba di negara
bagian New Delhi yang tak lain juga ibu kota India.
Pemerintah negara bagian New Delhi sudah tidak tahan lagi menanggung
beban subsidi listrik. Kerugian “PLN”-nya dari tahun ke tahun terus
meningkat. Padahal tarif listrik yang dikenakan kepada masyarakat sudah
cukup mahal. Jauh lebih mahal dari tarif listrik di Indonesia. Rata-rata
sudah sekitar Rp 1.000/kWh (Indonesia rata-rata Rp 730/kWh).
Dengan tarif seperti itu, seharusnya listrik di New Delhi sudah tidak
lagi byar-pet. Tapi, kenyataannya byar-petnya gawat sekali. Sebulan
30.000 pengaduan masuk ke “PLN”-nya New Delhi. Padahal jumlah
pelanggannya hanya sekitar 4 juta orang (pelanggan Jakarta 3,7 juta,
tahun lalu pengaduannya 5.000).
Penyebab utama kerugian itu ternyata di sistem distribusi listrik.
Peralatannya sudah tua dan, ini dia yang keterlaluan: pencurian listrik
oleh penduduknya luar biasa. Kerugian tersebut kian lama kian besar
sehingga “PLN” New Delhi tidak mampu memperbaiki jaringan, mengganti
trafo, dan akhirnya jadi pengemis subsidi.
Yang sangat memalukan: kebocoran listrik (loses) di New Delhi
mencapai 53 persen. Bandingkan dengan loses di Indonesia yang tahun lalu
sudah berhasil diturunkan menjadi tinggal 9,85 persen. Loses yang tidak
masuk akal itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Petugas “PLN” India
kalah gesit oleh kepintaran rakyatnya mengakali meteran listrik. Operasi
pemberantasan pencurian listrik tidak pernah berhasil dilakukan. Hari
ini diberantas, besok sudah mencuri lagi.
Saya sempat berkeliling bagian kota yang disebut Old Delhi. Saya
masuk gang-gang yang kumuh di kota itu. Saya perhatikan kabel-kabel
listriknya malang-melintang dan saling bergulat dengan serunya. Saya
membayangkan betapa sulit memang mengatasi pencurian listrik di sana.
Maka, sebagai senjata pemungkas, sampailah pada keputusan ini:
mengubah sistem distribusi secara radikal. Distribusi listriknya
dikerjasamakan saja dengan swasta. Kalau swasta yang menangani, mau
tidak mau menggunakan pendekatan untung-rugi. Petugas penertiban dari
swasta akan lebih ampuh dalam bekerja.
Untuk itu, diadakanlah tender. Pemerintah mencari partner swasta
untuk mendistribusikan listrik di tiap wilayah. Di New Delhi diadakan
tiga paket tender: wilayah utara-barat, wilayah timur-tenggara, dan
selatan-barat daya. Peminat tender itu ternyata cukup banyak.
Mengapa? Tarif listrik yang rata-rata Rp 1.000/kWh rupanya cukup
menarik bagi swasta. Itu akan berbeda kalau tarif listriknya masih
rendah. Dengan tarif seperti itu, asal pencurian listriknya rendah,
perusahaan sudah bisa untung.
Tingkat kebocoran itulah yang kemudian menjadi pokok yang
ditenderkan. Barang siapa bisa menurunkan loses paling rendah, dialah
yang menang tender. Di wilayah Delhi utara-barat, grup Tata (konglomerat
nomor satu India) memenangi tender tersebut. Waktu tender, Tata
menawarkan: sanggup menurunkan loses dari 53 menjadi 31 persen secara
bertahap dalam lima tahun. Ternyata
Tata mampu. Bahkan terlampaui menjadi 24 persen. Dua tahun berikutnya
menurun drastis lagi. Akhir Desember 2010, kebocoran listrik di Delhi
sudah tinggal 13 persen.
Meski masih kalah oleh Jakarta (tahun lalu Jakarta berhasil
menurunkan loses-nya menjadi 8,3 persen), pencapaian itu luar biasa.
Dalam delapan tahun turun dari 53 menjadi 13 persen. Maka, Delhi Utara,
setelah delapan tahun pembenahan, tercatat sebagai wilayah paling kecil
kebocoran listriknya. Loses yang 13 persen tersebut sudah langsung
menjadi buah bibir di seluruh negeri.
Di Indonesia saat ini sudah banyak daerah yang loses-nya tinggal 6
persen (sudah setara dengan di Korea). Misalnya, di Surabaya Barat,
Bukittinggi, Salatiga, dan banyak lagi. Namun, masih ada satu daerah
lebih buruk dari New Delhi. Yakni, di Madura yang loses-nya masih 15
persen (sudah turun dari 24 persen dua tahun lalu tapi masih yang
tertinggi di Indonesia).
Kalau saja dalam beberapa tahun ke depan loses di New Delhi bisa
mencapai apa yang terjadi di Jakarta, perusahaan patungan
swasta-pemerintah tersebut bisa meraih untung yang cukup. Maksudnya,
cukup untuk terus memperbarui peralatan listriknya.
Demikian juga, pemerintah negara bagian New Delhi tidak lagi direpotkan
oleh subsidi. Dengan penanganan seperti sekarang saja, penghematan
subsidinya mencapai USD 3 miliar (sekitar Rp 27 triliun) tahun lalu. Dan
yang lebih penting, masyarakat tidak ribut karena byar-petnya teratasi
dan pengaduannya menurun drastis.
Dari mana perusahaan distribusi tersebut mendapat pasokan listriknya?
Di India, seperti juga di banyak negara, perusahaan listriknya tidak
monopoli dari hulu sampai hilir, dari barat sampai timur, dari utara
sampai selatan, seperti PLN. Masing-masing negara bagian memiliki
perusahaan khusus untuk mendistribusikan listrik.
Perusahaan-perusahaan distribusi itu masing-masing membeli listrik
sendiri-sendiri pula dari perusahaan-perusahaan pembangkit listrik. Tiap
tahun perusahaan distribusi listrik tersebut melakukan tender pembelian
listrik. Perusahaan pembangkit yang menawarkan listrik termurah, dialah
yang menang.
Bagaimana kalau perusahaan pembangkitnya itu berada jauh di selatan,
sedangkan New Delhi di Utara? India, sebagaimana juga di negara lain,
memiliki perusahaan transmisi secara nasional. Listrik dari pembangkit
tersebut dialirkan ke perusahaan distribusi dengan cara membayar sewa
transmisi. Dengan demikian, perusahaan transmisi mirip dengan perusahaan
jalan tol. Mengenakan tarif untuk listrik yang lewat berdasar besarnya
daya dan jauhnya jarak.
Di samping membeli listrik lewat tender seperti itu, perusahaan
distribusi listrik kadang juga membeli listrik secara spot. Misalnya,
kalau tiba-tiba ada lonjakan pemakaian listrik pada jam-jam tertentu.
Mengingat banyaknya perusahaan distribusi dan perusahaan pembangkit,
transaksi listrik itu terus terjadi sepanjang hari. Mirip dengan yang
terjadi di bursa saham.
Dengan naiknya harga batu bara dan gas belakangan ini, pembelian
listrik dari perusahaan pembangkit juga naik. Itu memukul perusahaan
distribusi mengingat tarif listrik kepada pelanggan tidak bisa mengikuti
kenaikan harga beli listrik. Perusahaan-perusahaan distribusi itu pun
lantas meminta kenaikan tarif listrik kepada badan otorita yang
independen tadi.
Di India, badan independen itulah yang menentukan tarif listrik.
Bukan pemerintah atau DPR seperti di Indonesia. Komite tersebut memang
ditunjuk pemerintah, tapi tidak bertanggung jawab kepada pemerintah.
Komite itu benar-benar independen.
Seperti komite gaji wali kota dan anggota DPRD di Jepang. Di Jepang,
gaji seorang bupati/wali kota dan anggota DPRD ditentukan oleh komite
yang ditunjuk pemda. Anggota komite tersebut terdiri atas sembilan
orang. Ada pengusahanya, petani, guru, pensiunan, dan sebagainya. Komite
itulah yang menilai berapa sebaiknya gaji para pejabat tersebut.
Demikian juga komite listrik di India. Komite itu berisi berbagai
unsur yang dianggap mengerti listrik dan bersifat independen. Komite
tersebut bisa mewakili perasaan masyarakat, kalangan industri, dan bisa
mengerti juga kesulitan perusahaan listrik. Tidak selalu permintaan
kenaikan tarif dikabulkan.
Komite akan membahas usul kenaikan tarif secara komprehensif.
Perusahaan listrik akan dievaluasi dulu, apakah permintaan kenaikan
tarif tersebut wajar atau tidak. Bisa saja setelah dievaluasi ternyata
ketahuan kinerja perusahaan listrik tersebut yang kurang baik. Misalnya,
loses-nya yang masih tinggi. Karena itu, di dalam komite tersebut
terdapat ahli-ahli manajemen, ahli loses, ahli pembangkitan, dan
seterusnya.
Sebaliknya, kalau secara objektif melihat tarif listrik sudah
seharusnya naik, komite akan menaikkannya. Kalau tidak, perusahaan
listrik tersebut akan merugi dan ujung-ujungnya akan byar-pet lagi.
Sekali komite itu sudah menetapkan tarif listrik yang baru, pemerintah
dan DPR tidak bisa ikut campur.
Adanya komite listrik maupun komite jalan tol ternyata menjadi solusi
bagi negara demokrasi untuk mempercepat kemajuan pembangunan
infrastrukturnya.(***)
Sabtu, 16 Juli 2011
Dahlan Iskan - CEO PLN Note - Tekan Pencurian Listrik dengan Sistem Tender
23.19
sopyan