Senin, 28 Maret 2011
Saya merasa berhutang besar kepada Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah. Dua provinsi yang menjadi satu sistem kelistrikan itu termasuk
yang kurang sukses dalam menjalankan program mengatasi pemadaman
bergilir.
Penyebabnya adalah melesetnya janji pengusaha yang memenangkan tender
pengadaan pembangkit di Kalsel-Kalteng (Kalselteng). Bahkan, pengusaha
tersebut akhirnya gagal memenuhi kontraknya. PLN kehilangan waktu yang
sangat mahal. PLN harus memperbaiki diri dalam kaitannya dengan
penilaian terhadap bonafide tidaknya perusahaan yang menjadi pemasok.
Sebagai penebusan atas kekeliruan itu, PLN menetapkan empat langkah
sekaligus untuk Kalsel dan Kalteng. Ini saya kemukakan dalam “rapat
darurat” dengan para pimpinan PLN di Palangkaraya Sabtu pagi lalu. Saya
menggunakan istilah “rapat darurat” karena rapatnya saya adakan di
halaman Stadion Toeah Pahoe, Palangkaraya, jam 06.30. Yakni setelah saya
bersama teman-teman PLN jalan pagi mengelilingi stadion itu.
Kebetulan di halaman stadion tersebut ada hamparan pasir yang sangat
rata karena baru saja terkena hujan malam sebelumnya. Enak sekali pasir
itu untuk menuliskan angka-angka kebutuhan listrik di Kalsel-Kalteng. Di
situlah kami menganalisis kebutuhan listrik dan bagaimana mengatasinya.
Misalnya, untuk Palangkaraya. Selama ini hanya punya pembangkit 16
MW. Dalam rapat darurat itu, kami memutuskan untuk menambah 22 MW lagi.
Kata-kata “menambah” itu sebenarnya kurang tepat karena justru lebih
besar daripada pembangkit yang sudah ada. Sampit yang semula
direncanakan hanya akan bertambah 2,5 MW kami ubah untuk sekalian
ditambah 10 MW.
Dengan demikian, sebelum hari kemerdekaan nanti Palangkaraya harus
merdeka dari kekurangan listrik.Termasuk hotel dan mal yang selama ini
masih diminta untuk menghidupkan genset sendiri-sendiri.
Dengan program ini, tidak perlu lagi seperti itu. Hotel, kalau harus
memiliki pembangkit sendiri, akan sangat menderita. Bisa-bisa 25 persen
hasil jualan kamarnya habis hanya untuk membiayai listrik. Kalau keadaan
seperti itu dibiarkan berlangsung terus, iklim investasi di
Kalsel-Kalteng sulit bersaing dengan Jawa.
Perbaikan juga akan dilakukan untuk dua daerah yang selama ini
kualitas listriknya jelek. Tegangannya sangat rendah. Tiga daerah itu
adalah Kasongan daerah Tumbang Samba, Sampit daerah Parenggean, dan
Panggkalan Bun daerah Pangkalan Banteng.
Penyebab buruknya tegangan di tiga daerah tersebut adalah lokasinya yang
terlalu jauh dari gardu induk atau dari pusat pembangkit. Jarak dari
gardu induk Palangkaraya ke Kasongan Tumbang Sambah 165 km, dari
Pembangkit Sampit ke Parenggean 252 km, dan dari Pembangkit Pangkalan
Bun ke Pangkalan Bangteng Asem Baru 268 km.
Tidak mustahil kalau listrik yang dikirim dari gardu induk atau
pembangkit sudah banyak “hilang” di perjalanan. Untuk itu, di
tengah-tengah jarak tersebut akan “diisi” dengan pembangkit skala 2 MW
untuk memperbaiki tegangan tersebut.
Perbaikan juga akan dilakukan di Buntok. Beberapa kawasan yang selama
ini dilayani dari gardu induk yang terlalu jauh bakal dialihkan ke
sistem Buntok. Demikian juga di Muara Teweh, penyulang yang terlalu
panjang akan diawasi secara khusus.
Sabtu lalu saya memang melakukan perjalanan darat dari Muara Teweh,
Buntok, hingga Palangkaraya. Meski pinggang serasa dikocok di sepanjang
perjalanan, banyak juga ide keluar untuk memperbaiki sistem kelistrikan
di wilayah itu.
Empat langkah sebagai “penebusan” dosa tersebut adalah, pertama,
mengadakan pembangkit secara cepat yang harus sudah “menyala”. Dalam
empat bulan ke depan sebelum 17 Agustus 2011, seluruh Kalsel-Kalteng
harus merdeka dari kekurangan pembangkit. Khusus untuk Kalsel masih akan
diputuskan minggu ini karena keperluannya jauh lebih besar.
Meski begitu, penambahan tersebut diperlakukan sama, yakni harus
sudah beres sebelum 17 Agustus 2011. Dengan demikian, para pengusaha
mal dan hotel di Kalsel juga diperlakukan sama dengan di Kalteng.
Kedua, seluruh daftar tunggu sudah harus habis sebelum 30 Mei 2011.
Itu berarti rumah-rumah yang selama ini meminta listrik dan belum
terlayani sudah harus dilayani. Kecuali yang rumahnya memang sangat jauh
dari jaringan listrik.
Ketiga, keperluan listrik di beban puncak pun akan dipenuhi PLN.
Dengan begitu, tidak akan ada lagi permintaan dari PLN agar mal dan
hotel harus menyalakan genset sendiri. Permintaan seperti itu hanya akan
dilakukan sesekali kalau keadaannya darurat. Misalnya, ada bencana yang
mengakibatkan pembangkit PLN rusak. Itu pun PLN akan memberikan biaya
kemahalan akibat menyalakan genset sendiri tersebut. Itu sudah harus
terjadi sebelum 17 Agustus 2011.
Keempat, mencukupi jangka panjang listrik di Kalsel-Kalteng. Memang
sekarang sudah ada dua proyek PLTU. Asam-Asam 2 x 65 MW dan Pulang Pisau
2 x 65 MW. Dua-duanya sudah dalam pengerjaan. Minggu lalu kami putuskan
untuk mempercepat tambahan dua lagi. Asam-Asam akan kami tambah
pembangkit yang lebih besar lagi, 2 x 100 MW, dan proyek Sampit 2 x 25
MW juga dipercepat.
Selama proyek-proyek besar tersebut belum jadi, listrik di
Kalsel-Kalteng bukan berarti tidak cukup. Seperti yang saya sebutkan,
dengan penambahan secara besar-besaran yang akan terjadi sebelum 17
Agustus 2011, listrik di dua provinsi tersebut sudah sangat cukup.
Cadangannya juga sudah ada. Hanya, semua itu dilakukan PLN dengan harga
energi yang sangat mahal. Itu berarti PLN bakal rugi sangat besar.
Nah, kalau proyek-proyek besar tersebut selesai, harga energi yang
didapat PLN akan lebih murah. Sebab, pembangkit-pembangkit besar
tersebut menggunakan batu bara. Sedangkan pembangkit yang bakal kami
adakan dalam waktu dekat ini menggunakan BBM yang sangat mahal.
Persoalan lainnya lagi adalah byar-pet atau mati lampu. Kalau
masalah-masalah pembangkit tersebut belum terselesaikan, target di
bidang mati lampu masih sulit dirumuskan.
Misalnya, pada 2009, mati lampu terjadi sebanyak 150 kali per
pelanggan per tahun. Tahun lalu sudah sangat membaik menjadi 50 kali
per pelanggan per tahun. Tahun ini secara nasional sebenarnya sudah kami
tetapkan harus turun lagi menjadi 9 kali per pelanggan per tahun
rata-rata.
Kalau target jumlah mati lampu itu tercapai, kita sebenarnya sudah
bisa mengalahkan Malaysia dari segi jumlah terjadinya mati lampu.
Tanda-tanda ke arah sana sudah terlihat. Di Palangkaraya, misalnya, di
antara 418 unit gardu trafo yang ada, yang dulu sering rusak, selama
tiga bulan ini baru dua unit yang rusak. Itu terjadi gara-gara banyak
trafo atau gardu yang kelebihan beban.
Karena itu, jumlah trafo juga akan terus ditambah. Tahun lalu saja
PLN membeli lebih dari 10.000 unit trafo distribusi. Tahun ini PLN akan
membeli lagi 15.000 unit trafo sejenis. Tentu yang sebagian digunakan
untuk Kalsel-Kalteng juga.
Kalau bebang trafo-trafo tahun ini berhasil diseimbangkan, persoalan
di Kalsel-Kalteng tinggal ini: mengatasi bagaimana agar kabel-kabel
penyulang yang melewati hutan-hutan itu tidak terganggu oleh pohon yang
tumbang. Itulah penyebab mati lampu terbesar di Kalsel-Kalteng tahun
depan. (*)
Sabtu, 16 Juli 2011
Dahlan Iskan - CEO PLN Note - “Balas Dendam” untuk Kalselteng
23.37
sopyan