Tentu saya mencoba ini: naik kereta cepat jurusan Beijing -Shanghai
yang masih kinyis-kinyis. Saya memang sudah mengaguminya sejak kereta
ini direncanakan. Waktu itu, sambil berbaring di rumah sakit menunggu
dilaksanakannya operasi ganti hati, saya bertekad, kalau saja diberi
kesehatan dan umur panjang, saya akan mencoba kereta ini.
Inilah kereta cepat yang direncanakan dengan cepat dan dilaksanakan
dengan cepat. Padahal, panjang jalur ini 1.350 km, hampir sama dengan
Jakarta-Medan atau Jakarta-Makassar. Tepat 1 Juli lalu, bersamaan dengan
hari kelahiran Partai Komunis Tiongkok, kereta ini sudah jadi dan sudah
dioperasikan. Kalau saja saya tidak menjabat CEO PLN, tentu saya ingin
mencobanya di hari pertama. Tapi, karena sekarang saya bukan lagi orang
bebas, kesempatan itu baru datang di hari ke-18, saat saya ada urusan di
Chengdu, Chongqing, Beijing, dan Shanghai.
Memasuki gerbong kereta ini, saya tidak begitu kaget. Ini bukan
kereta tercepat yang dimiliki Tiongkok. Juga bukan kereta termewah di
negeri itu. Saya sudah mencoba kereta tercepat di dunia yang dibangun
Tiongkok dengan interior yang lebih mewah: maglev! Yang kecepatannya 430
km/jam. Yang menghubungkan bandara Shanghai Pudong ke kota Shanghai.
Saya juga sudah mencoba kereta yang kecepatannya 350 km/jam dan
interiornya juga lebih mewah. Yakni, kereta cepat jurusan
Tianjin-Beijing (jarak 200 km ditempuh dalam 29 menit) dan kereta cepat
yang sama jurusan Shanghai-Hangzhou yang jaraknya sekitar 300 km.
Sebaliknya, saya juga pernah naik kereta malam tradisional di
Tiongkok. Yang kecepatannya masih 120 km/jam. Yang di setiap kabinnya
terdapat empat tempat tidur. Yakni, tempat tidur susun dua seperti
kereta Bima jurusan Surabaya-Jakarta. Dulu jurusan Beijing-Shanghai
dilayani kereta jenis ini. Jarak tempuhnya 9 jam. Harga karcisnya Rp
600.000/orang. Banyak penumpang memilih berangkat petang atau agak malam
agar tiba di tujuan pagi hari dalam keadaan segar karena bisa tidur
sepanjang perjalanan.
Meski kini sudah ada kereta cepat yang baru, kereta jenis lama itu
tidak dihapus. Hanya tinggal dua kali sehari. Sedangkan jadwal kereta
cepatnya 42 kali sehari. Dengan kecepatan 300 km/jam, jarak
Beijing-Shanghai ditempuh 4,50 menit.
Harga karcis kereta ini cukup mahal: Rp 850.000/orang untuk kelas
ekonomi dan Rp 1,2 juta untuk kelas eksekutif. Dengan harga segitu,
tentu inilah tiket kereta yang lebih mahal daripada pesawat terbang.
Tiket pesawat Beijing-Shanghai bisa diperoleh dengan harga Rp 800.000
untuk kelas ekonomi. Apalagi pada hari-hari pertama beroperasinya kereta
cepat ini. Ada penerbangan yang mendiskon tiket pesawat hingga 50
persen. Sebagian karena ketakutan yang tidak berdasar, sebagian lagi
memang ngeri kehilangan penumpang.
Setelah kereta cepat ini dua minggu beroperasi, barulah perusahaan
penerbangan merasa sedikit lega. Yakni, setelah kereta cepat ini
mengalami gangguan. Sistem listriknya down sebanyak empat kali. Bukan
disebabkan pemadaman bergilir, tapi karena terjadi gangguan sistem.
Penumpang kecewa karena kereta terlambat sampai dua jam. Ternyata memang
ada yang kurang sempurna pada sistem listrik kereta ini. Terutama untuk
mengahadapi cuaca ekstrem: badai atau petir. Banyak penumpang yang
kembali memilih pesawat. Perang diskon pun tidak terjadi lagi. Tarif
pesawat kembali normal.
Susunan kursi di kereta ini mirip dengan di pesawat, tapi lebih
lapang. Jarak dengan kursi depannya sangat longgar. Dengan kursi seperti
itu, banyak penumpang yang langsung terlelap. Apalagi tidak ada
gangguan suara glek-glek, glek-glek, glek-glek dari rodanya.
Di tengah lelapnya penumpang itu, tiba-tiba banyak yang terbangun.
Yakni, ketika dari balik pintu yang memisahkan satu gerbong dengan
lainnya terdengar teriakan orang yang sangat keras dengan nada marah
yang hebat. Ketika pintu tertutup, suara itu hilang. Tapi, setiap pintu
terbuka karena ada orang yang hendak ke toilet, suara itu kembali
mengagetkan seluruh penumpang. Tiga jam lamanya orang itu
berteriak-teriak seperti itu di telepon genggamnya. Tanpa henti. Dari
kata-katanya dengan jelas bisa diketahui bahwa dia sedang bertengkar
dengan ceweknya. Entah istri, entah pacar. Dia mengutuk habis-habisan
ceweknya yang keluar rumah sampai jam 02.00. Dan segudang maki-makian
lainnya.
Saya sendiri tidak menghiraukan. Saya memang memutuskan untuk tidak
tidur sepanjang perjalanan ini. Tapi, itu karena saya ingin tahu apa
saja yang terjadi sepanjang perjalanan. Saya juga berjalan-jalan ke
gerbong ekonomi, ke gerbong restoran, dan ke toiletnya yang dua macam
itu: duduk dan jongkok.
Tentu saya juga ingin tahu bagaimana kalau kereta ini melewati
stasiun besar. Apakah tetap dengan kecepatan 300 km/jam atau
dilambatkan. Stasiun besar pertama yang harus dilewati adalah Tianjin,
kota yang saya pernah lama tinggal di sana. Memang tidak semua kereta
cepat singgah di Tianjin. Yang saya naiki ini, GT 98, yang berangkat jam
16.00 dari Beijing, termasuk yang tidak berhenti di Tianjin.
Ternyata untuk kereta yang tidak perlu berhenti di Tianjian tidak
perlu melewati stasiunnya. Ada rel khusus yang mem-by-pass. Keretanya
tidak perlu masuk kota Tianjin, melainkan melambung di luar kota.
Meski jalur kereta Beijing-Shanghai ini melewati banyak kota, yang
saya naiki ini hanya berhenti di dua stasiun: Jinan (ibu kota Provinsi
Shandong) dan Nanjing (ibu kota Provinsi Jiangshu).
Ke depan, banyak sekali jalur kereta cepat jarak jauh seperti ini
dibangun di seluruh Tiongkok. Tiongkok tidak akan lagi mengembangkan
kereta maglev yang kecepatannya 430 km/jam. Terlalu mahal. Juga tidak
lagi mengembangkan kereta dengan kecepatan 350 km/jam seperti jurusan
Beijing-Tianjin karena terlalu boros listrik.
Menurut hasil studi di Tiongkok, kecepatan kereta yang paling
ekonomis adalah 270 km/jam. Dari segi kecepatan sudah sangat cepat. Dari
segi pemakaian listrik masih maksimal. “Kalau ingin kereta dengan
kecepatan 350 km/jam atau lebih, sebaiknya tidak boleh lagi dengan
sistem roda yang menempel di rel,” ujar hasil studi itu. Sepanjang masih
menggunakan sistem roda yang menempel di rel, sebaiknya kecepatan
maksimal 270 km/jam.
Itu ada pengecualian. Kecepatan 300 km/jam masih ekonomis manakala
ditemukan sistem penghemat listrik. Sebenarnya beban listrik yang sangat
besar terjadi saat kereta mulai berangkat. Tarikan pertama di setiap
stasiun itulah yang memakan banyak listrik. Untuk menghindari hal itu,
Tiongkok sedang menyiapkan sistem baru: jangan ada kereta yang berhenti
di stasiun. Cukup mengurangi kecepatannya sambil “menyaut” gerbong baru
yang sudah disiapkan berikut penumpangnya di stasiun itu.
Kalau sistem itu nanti berhasil, penumpang di suatu stasiun sudah
harus naik gerbong sebelum kereta tiba di situ. Gerbong tersebut
letaknya di atas dan harus siap digendong kereta yang segera menyautnya
di stasiun itu. Dengan demikian, keharusan berhenti di stasiun bisa
dihindari dan konsumsi listrik bisa lebih kecil.
Kini juara I, juara II, dan juara III kereta tercepat di dunia ada di
Tiongkok. Ini kian meneguhkan posisi negara itu sebagai calon
superpower baru. Kian bulat pendapat ahli yang mengatakan bahwa Tiongkok
akan berhasil melampaui Amerika Serikat tahun 2016. Tidak lama lagi.
Pada tahun itu, size ekonomi Tiongkok naik USD 8 triliun, dari USD 11
triliun saat ini menjadi USD 19 triliun pada tahun 2016. Sedangkan zise
ekonomi Amerika Serikat hanya naik USD 3 triliun, dari USD 15 trilun
saat ini menjadi USD 18 triliun pada tahun 2016. Semoga saya masih bisa
menyaksikannya! (*)
Dahlan Iskan
CEO PLN
Sabtu, 16 Juli 2011
Dahlan Iskan - CEO PLN - Kecepatan Kereta Cepat yang Amat Cepat
23.13
sopyan