Jumat, 20 Februari 2015

Joko Intarto: GUNTORO, LIMA TAHUN KEMUDIAN


GUNTORO, LIMA TAHUN KEMUDIAN
Guntoro adalah nama teman kuliah saya. Kami berteman sejak 1986. Sudah lebih dari 25 tahun.
Sejak lulus dari Universitas Diponegoro Semarang tahun 1991, saya hanya sempat berjumpa Guntoro tiga kali. Seusai wisuda, saya bekerja di ''Jawa Pos'' Surabaya. Guntoro tidak saya ketahui rimbanya. Putus kontak.
Pada 2009, saya mendengar kabar Guntoro ternyata sudah menjadi seorang redaktur di surat kabar ''Media Indonesia''. Saya sedang ditugaskan Pak Dahlan Iskan di Jak TV. Melalui Syaifurrahman Ahmad, senior saya di kampus, yang menjadi redaktur senior di ANTV, bertemulah saya dengan Guntoro.
Saat itu, Guntoro sedang rasan-rasan ingin keluar dari ''Media Indonesia'' karena tertarik dengan bisnis kayu sengon. Saya sempat menawarkan peluang bergabung ke redaksi Jak TV, tetapi Guntoro kurang berminat. Rupanya bisnis sengon lebih menarik hatinya.
Setahun kemudian, saya berjumpa sekali lagi dengan Guntoro. Dalam acara makan siang di sebuah restoran di Blok M Plaza, Guntoro bercerita sudah punya lahan sengon 200 hektar di kawasan Purwakarta. Lahan tandus itu disewa dari penduduk dan dikelola lagi oleh penduduk itu dengan bimbingan manajemen dari Guntoro.
Dalam soal manajemen pemberdayaan masyarakat, Guntoro memang jagoan. Soalnya, untuk urusan ''beginian'', Guntoro terlatih sejak mahasiswa. Saat kuliah, Guntoro dan saya sama-sama aktif di Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) yang didirikan Adi Sasono.
Guntoro menjadi ketua PPM di Universitas Diponegoro, Saya menjadi stafnya. Setiap minggu berdiskusi membahas konsep-konsep pemberdayaan masyarakat marginal melalui progran-program ekonomi kerakyatan.
Kamis dini hari, Guntoto mendadak mengirim pesan pendek. ''Saya ingin bertemu Pak Dahlan Iskan. Bagaimana caranya? Saya ingin diskusi tentang Kaliandra. Bisa telepon balik?'' kata Guntoro.
Sebagai bekas anak buah di PPM, saya pun segera menelepon Guntoro. Biar pun sudah pukul 02.30, kami berbincang sambil ''ngekek-ngekek''.
Jumat siang, Guntoro tiba-tiba menelepon. ''Saya dalam perjalanan dari Bandung menuju Jakarta. Saya ketemu di kantor UCS TV ya,'' kata Guntoro.
Menjelang magrib, Guntoro tiba di kantor baru saya di Jl Tebet Timur Dalam Raya 41, Jakarta Selatan. Tidak ada yang berubah pada penampilan Guntoro, selain kulitnya kian legam. ''Saya sekarang jadi orang kampung. Hidup di dalam kebun sengon,'' kata Guntoro dengan gayanya yang khas.
Rupanya, Guntoro sudah benar-benar meninggalkan dunia media massa. Sejak resign dari ''Media Indonesia'' tahun 2010, Guntoro berkonsentrasi total di usaha kebun sengon.
Dimulai dari lahan 200 hektar pada tahun 2010, sekarang Guntoro mengusahakan kebun sengon seluas 680 hektar di Purwakarta dan kawasan Jawa Barat Selatan. Selain sengon, Guntoro juga mengelola lahan seluas 1.200 hektar yang ditanami pohon gamal dan kaliandra yang saat ini sudah siap ditebang atau siap panen.
''Saya akan membuat wood pellet untuk memasok permintaan pasar di Korea Selatan, Jerman, Belanda dan beberapa negara kawasan Skandinavia yang 10 bulan dalam setahun tidak melihat matahari. Saya ingin mengisi permintaan pasar 2.500 ton sebulan. Karena itu, saya butuh bertemu Pak Dahlan,'' kata Guntoro.
''Hubungannya apa?'' tanya saya yang benar-benar belum paham.
''Pak Dahlan kan menanam kaliandra besar-besaran. Saya ingin tahu, mengapa Pak Dahlan menanam kaliandra untuk pembangkit listrik dalam negeri, sementara di luar negeri harga wood pellet kaliandra cukup bagus,'' kata Guntoro.
Saya pun mencoba menjelaskan alasan Pak Dahlan menanam kaliandra. ''Agar petani bisa mendapat penghasilan dari mengusahakan madu dan bisa membayar listrik dengan kayu bakar,'' kata saya.
Mendengar penjelasan saya, Guntoro pun manggut-manggut. ''Saya ingin bertemu beliau. Soalnya, saya punya lahan kaliandra 1.200 hektar dan bersama jejaring saya, saat ini sudah ada kaliandra 7.000 hektar yang siap panen. Saya yakin Pak Dahlan punya ide untuk kaliandra saya ini,'' kata Guntoro.
Tanpa menunggu waktu, saya coba kirim pesan pendek mengabarkan rencana Guntoro. Dalam waktu kurang dari 1 menit, Pak Dahlan menjawab pesan saya. ''Senin pukul 11.00 saya ada waktu bertemu Mas Guntoro,'' jawab Pak Dahlan.
Guntoro terlihat sumringah mendapat jawaban dari Pak Dahlan yang das des set set wet itu. ''Saya akan siapkan bahannya. Sampai jumpa hari Senin,'' kata Guntoro.
Sebelum pulang, Guntoro sempat menanyakan apakah ada kenalan yang punya pabrik pengolahan chip dan pembuat wood pellet. Saya lantas teringat Mas Esti Rahardjo aktivis pemberdayaan masyarakat desa yang asli Wonosobo dan sekarang bermukim di Tulung Agung.
Melalui sambungan telepon, Mas Esti menyampaikan kabar baik. Ada salah satu kenalannya yang punya pabrik wood pellet yang sudah tidak beroperasi karena tidak punya bahan baku. Lokasinya di Banyumas, tiga jam perjalanan dari Ciamis, lokasi lahan kaliandra milik Guntoro.
''Minggu depan setelah bertemu Pak Dahlan kita lihat sama-sama lokasi pabriknya ya Jok. Mungkin ini kita ketemu jalan yang menarik. Kita dapat pabrik wood pellet sehingga bisa segera memenuhi pasar ekspor di Korea Selatan, Jerman, Belanda dan negara kawasan Skandinavia serta memenuhi kebutuhan pembangkit listrik tenaga kayu bakar dalam negeri yang digagas Pak Dahlan,'' kata Guntoro.
Sungguh saya sangat terkesan dengan Guntoro. Lima tahun lalu, dia seorang wartawan seperti saya. Sekarang dia menjadi pengusaha dengan lahan yang luasnya tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost