Di Balik Liputan Jacko, Singapore ’93 (1)
PERANG EGO ANTAR KAWAN
Bekerjasama harus rukun, agar jadi the dream
team. Tapi ego manusia kadang membuat situasi rumit. Pengalaman liputan
saya sbg wartawan Jawa Pos (JP) ini, menggambarkan itu.
------------------------------
Mega bintang Michael Jackson (alm) menggelar “The Dangerous World Tour”
1993, menonjolkan lagu Dangerous. Di Asia, digelar di Tokyo, Hongkong,
Bangkok, Singapura, dan (tentatif saat itu) Jakarta.
Saat dia tampil di Hongkong, Juli ’93 dipastikan, Bangkok dan Jakarta
batal. Alasan pembatalan Jakarta, pihak Jacko meragukan keamanan
properti panggung, konon senilai USD 22 juta. Sebelumnya (April ’93)
konser Metalica di Lebak Bulus, Jakarta, hancur-hancuran, memang..
Saya disiapkan meliput di Jakarta. Bidang liputan saya ekonomi makro,
khususnya moneter. Saya juga bukan penggemar Jacko. Tapi, penugasan dari
Pemimpin Redaksi Pak Dahlan, pantang ditolak. Malah, saya kira ini
hadiah Pak Dahlan buat saya.
Paling efisien ke Singapura, daripada menunggu berikutnya di Australia.
Kebetulan, ada travel di Surabaya buka paket wisata 3 hari, sekaligus
nonton Jacko di Singapura. Jadwal nonton bisa pilih 29 atau 30 Agt ’93.
Biaya lebih ngirit lagi dibanding penugasan langsung. Efisiensi jadi
prinsip Pak Dahlan membesarkan JP, dan saya sependapat.
Redaktur Pelaksana Nani juga menunjuk wartawan spesialis musik Jawa Pos
(JP), Hendri. Dan, Pemimpin Redaksi Tabloid Nyata (anak perusahaan JP)
@Joko Irianto. Kami bertiga (sekantor) dimasukkan ke paket nonton hari
kedua.
Saya menawar, untuk wartawan JP, baiknya pilih salah satu: Saya atau
Hendri. Pekerjaannya sederhana kok, tak perlu dikeroyok. Nanti malah
berebut. Tapi sudah terlanjur didaftar. Entah siapa yang mendaftarkan,
tapi ini menyimpang dari efisiensi.
Nani berkeputusan begini: “Kalau begitu, biar Hendri membantu Joko liputan Nyata. Sebab, Nyata butuh banyak tulisan,” katanya.
Berangkatlah kami bertiga dari kantor JP, Jl Prapanca Jakarta. Kami
memegang tiket masing-masing, kiriman dari travel. Rombongan Surabaya
langsung ke Singapura, kami akan ketemu di Changi Airport.
Uang SPJ tidak banyak, sebab semuanya sudah ditanggung pihak travel.
Saya diberi USD 100 untuk 3 hari, dua kawan saya kayaknya juga segitu.
Dan, membawa sebuah mesin ketik untuk bertiga.
Sejak berangkat, saya merasa kami tidak harmonis. Mestinya ini suasana
gembira. Liputan gampang dan enak, sekalian rekreasi. Kami bertiga
(sudah ngobrol) sama-sama belum pernah ke Singapura. Tapi kegembiraan
tidak terpancar di wajah Joko, kawan akrab saya. Begitu juga Hendri.
Joko salah satu wartawan andalan JP seangkatan saya (masuk 1984) yang
sejak beberapa tahun lalu ditunjuk jadi Pemred Nyata. Hendri baru 5
bulan jadi wartawan JP. Belum lolos sama percobaan I (6 bulan). Dia
mengaku penggemar berat Jacko.
Selama dalam bus Damri (Blok M – Bandara Soeta) Hendri cerita sejarah
Jacko, lagu-lagunya, action panggung, kasus pelecehan seksual. “....
Soal action panggung, pokoknya Jacko tak ada duanya di dunia...”
ceritanya.
Barangkali dia cerita begitu detil, sebab saya wartawan ekonomi. Perlu
disuntik informasi. Sayangnya, telinga saya tertutup headset, menyimak
Heal the World (lagu-2 Jacko). Joko, sibuk baca koran. Entah pura-2 atau
serius.
Saya melihat Joko kurang suka pada Hendri, bukan sebab menggurui perihal
Jacko. Saya menduga, Joko wartawan senior (apalagi dia andalan Pak
Dahlan) merasa mampu meliput ini sendiri. Apa sulitnya? Saya yakin dia
tidak hanya menyajikan liputan show, tapi bisa lebih dari itu. Lalu, apa
gunanya Hendri?
Rasa egois ini pula yang saya alami sebelum berangkat tadi. Sehingga
saya tawarkan, pilih salah satu. Mungkin, karena tawaran itu pula Joko
jadi kurang suka pada saya. Sebab, Hendri jadi ‘dilempar’ di bawah
koordinasi dia, yang bisa saja nanti malah ngrecoki. Andai tidak
ngrecoki, mengurangi prestis Joko sebagai wartawan andalan.
Sebaliknya, Hendri kelihatan kecewa saat ditentukan meliput untuk Nyata.
Mungkin dia ingin meliput untuk JP, koran kebanggaannya. Tapi dia
wartawan baru, tak berani membantah. Apalagi, dia tidak begitu kenal
Joko. Jadi serba gak enak.
TAK GENDONG, KEMANA-MANA…
Bandara Soekarno-Hatta riuh-rendah. Turun dari bus, terik matahari
menyengat ubun-ubun saya. Joko dan Hendri turun belakangan. Saya dengar
Joko menegur Hendri yang buru-buru turun:
“Dri, mesin ketik kamu bawa, nih.”
Baru saya ingat, tadi, mesin (beratnya sekitar 4 kali laptop) itu saya
bawa. Waktu naik bus, semua barang dikumpulkan di bagian depan. Waktu
turun, mesin tidak saya bawa. Pikir saya, gantian-lah... Ternyata Joko
memberi tugas ke Hendri: “Mulai sekarang, mesin kamu bawa terus.”
Hendri: “Siap... bos.”
Rasanya, penugasan itu fair juga. Hendri wartawan baru. Cuma, mesin itu
selain berat, juga besar (kira-kira sedikit lebih besar dari PC).
Dimasukkan ke tas tak cukup. Jadi harus digendong, kayak nggendong bayi
begitu. Di tengah kerumunan orang-orang keren di bandara, tentu Hendri
kelihatan ndeso...
Usai pemeriksaan metal detector, Hendri berjalan cepat mengarah ke
eskalator yang menuju ke gate di atas. Aneh. Apakah dia ngambek,
sehingga lupa boarding pass?
Joko menggamit lengan saya, lalu tertawa, “Biar saja, mau kemana dia,”
katanya. Kami antre, mengabaikan Hendri. Eee... tak lama dia muncul juga
mendekati kami. “Ayo... kita nanti terlambat, lho,” ujar Hendri
bersemangat.
Kami tercengang melihat kawan satu ini. Lantas Joko mendekati Hendri dan
berbisik, “Hei... Bung. Kamu belum pernah naik pesawat, ya?” bisik
Joko. Hendri tersenyum malu-malu,menggeleng.
Alamaaaak... dia cerita tentang Jacko begitu meng-international, nggak taunya...
Untung, para pengantre tidak keberatan Hendri menyisip, antre di
belakang saya. Sebab, mereka tahu kami berteman. Joko di depan saya,
sudah dilayani. Setelah saya dilayani, Joko dan saya tidak segera pergi.
Menunggu Hendri. Kasihan pada teman, kalau-kalau terjadi apa-apa.
Hendri meletakkan mesin ke lantai, glodaaak... Lantas dia menyodorkan
tiket. Tapi, cewek cantik petugas konter itu lebih tertarik melihat
barang berat yang diletakkan Hendri. Lalu menegur, “Itu masuk bagasi,
Mas?” tanya si cantik, menunjuk mesin.
Saya segera menjawab: “Tidak usah, Nona. Itu muat, kok... di bagasi
kabin.” Lalu si cantik mengabaikan mesin ketik, membuatkan pass untuk
Hendri. Usai boarding, kami bertiga meninggalkan konter. Hendri kembali
menggendong mesinnya.
Tak lama kami berjalan, Hendri mengeluh. “Wah... tadi mending mesin ini
masuk bagasi saja, ya...” ujarnya, memelas. Joko kini maju. Matanya
melotot, “Ini barang paling penting bagi kita. Kalau sampai hilang,
modaaarr... kita semua,” tegasnya.
Saya menengahi: “Ya, sudah. Gendong saja, Dri. Tinggal sedikit lagi
masuk pesawat.” Sekilas Hendri kelihatan acuh. Mungkin saja merasa
sebel. Dia naikkan gendongan yang mulai melorot, kami jalan lagi.
Waktu tahu nomor kursi saya B, saya minta tukar dengan Hendri yang A.
Sebab kursi Joko C. “Dri, aku ingin duduk dekat jendela, nanti kita
tukar tempat, ya,” kata saya. Dia tak keberatan.
Nah, jadilah kini Hendri duduk di tengah. Kalau saya duduk di B, pasti
tidak enak rasanya, andai dia cerita tentang Jacko, saya tak
mendengarkan. Kini sudah aman. Sebelum dia mulai cerita, telinga saya
tutup dengan headset. Lagu Jacko lagi...
Waduh... ternyata Joko juga sudah mengantisipasi. Dia baca koran.
Bergaya serius, lagi. Tinggallah Hendri yang kesepian. Hebatnya, dia
diam. Bagus-lah.
EXCUSE ME, MISS…
Kami kehilangan rombongan tur di Changi Airport. Meskipun sudah janjian
kumpul di halte penjemputan, tapi halte itu panjangnya sekitar 100
meter. Ribuan orang bergegas disitu. Apalagi, kami tidak kenal kepala
rombongan (saya lupa namanya). Hanya diberitahu nama.
Bisa saja, memang, menggunakan jasa halo-halo yang suaranya menggema di
seluruh bandara. Tapi, kami sepakat, itu tidak perlu. Malah saling
bingung cari-mencari. Toh, kami sudah tahu bahwa mereka bakal kumpul di
Hotel Hilton.
Supaya gampang, kami naik taksi menuju Hilton. Sopirnya orang Melayu,
bisa bahasa Indonesia dialek Melayu. Sebab, katanya, dia sering
jalan-jalan ke Batam.
Mengamati bersihnya jalanan, indahnya Singapura, Joko punya ide:
“Bagaimana kalo kita tidak pulang bersama rombongan. Setelah liputan,
kita rekreasi,” katanya. Semua setuju. Mulailah kami menghitung, antara
bekal dengan biaya hidup.
Sopir tidak tahu persis tarif hotel. “Aneka macam-lah... Nak bergantung
hotelnya,” ujarnya. Dan, dia tak keberatan berhenti di tiap hotel,
lantas kami bertanya tarif.
Tiba di hotel yang kelihatannya tidak mewah (saya lupa namanya) taksi
diminta berhenti. Joko menugaskan Hendri bertanya tarif. Yang ditugasi
ogah-ogahan, “Kalo cuma nanya-nanya, ya gak enak, Mas,” ujarnya. Joko
memaksa: “Sudahlah... kamu pura-pura mau menginap, tanyakan tarifnya.”
Hendri terpaksa turun, kami menunggu di taksi. Tak lama, dia sudah
keluar, balik ke taksi. “Mahal, Mas. Semalam 90 dolar,” ujarnya.
Saat itu nilai tukar Rp 1.100 per SGD. Maka, tarif sekitar Rp 99.000.
Sedangkan bekal kami USD 100 setara dengan Rp 200.000. Berarti, kami
hanya mampu menginap semalam saja.
Taksi jalan lagi. Joko rupanya merasa tidak yakin dengan keterangan
Hendri. Dia minta sopir mencari hotel lain lagi. Mobil masuk halaman
YMCA Hotel (saya ingat nama ini, sebab sama dengan nama SMP saya di
dekat Bioskop Ria, Surabaya).
Setelah Hendri turun dan masuk hotel, Joko mengajak saya mengamati,
bagaimana sih, gaya Hendri bertanya ke resepsionis? Ngetes wartawan
baru. Kami masuk hotel, melihat Hendri dari kejauhan. Dia berbaur dengan
puluhan, mungkin ratusan tamu. Suasana lobby ramai sekali.
Hendri memang berada di dekat meja resepsionis, lebar setengah
lingkaran. Tapi, dia tidak mendekat ke cewek-cewek cantik yang selalu
siap menyapa. Harusnya, Hendri mendekat: “Excuse me, Miss....
Hendri malah celingukan, seperti mengamati sesuatu. Gaya tak tegas ini
sebenarnya dilarang. Tapi, generasi Hendri memang tidak dididik Pak
Dahlan langsung. Joko jadi tidak sabar, “Ngapain dia?” bisik Joko ke
saya. Mana kutahu?
Lantas, Hendri balik, berjalan sigap ke arah pintu keluar. Saya dan Joko
cepat menghindar, menjauhi pintu. Lalu kami mendekati resepsionis.
Penasaran, apa sih yang diamati Hendri tadi?
Olalaaa… ternyata tarif hotel terpampang di dinding tak jauh dari
resepsionis. Joko geleng-geleng, “Wah... wah... wah... Jangan-jangan,
dia tak bisa bahasa Inggris,” ujarnya. Kami terbahak-bahak, tidak sadar
disaksikan beberapa tamu yang keheranan. (bersambung, 24 jam)
Di Balik Liputan Jacko, Singapore ’93 (2)
Rambutnya pirang diikat ekor kuda. Matanya biru,
dipayungi bulu mata lentik. Bodynya seksi dengan busana ketat. Dialah
cewek Swedia yang mendampingi saya liputan kali ini.
---------------------
Jelang sore, lobby Hilton Singapore ramai. Ratusan orang lalu-lalang.
Sebagian minum kopi di lounge, atau bergerombol di front desk
resepsionis. Wajah-wajah mereka ceria, bau mereka harum, celoteh bahasa
Inggris dan sebagian Mandarin.
Di luar cuaca cerah. Dari dinding kaca, ke arah luar, tampak pedestrian
yang lebar (sekitar 15 meter) dihias aneka tanaman. Pejalan kaki
kebanyakan anak muda, berpakaian modis.
Di arah sana, lalu lintas kendaraan di Orchard Road padat-merayap.
Anehnya, begitu banyak kendaraan, tapi tidak macet. Bus juga taksi,
tertib mengambil-menurunkan penumpang di halte.
Kami tidak kesulitan menemukan rombongan. Ada spanduk: “Rombongan Tour
dari Surabaya, Check In Disini”. Dicantumkan juga nama travel kami (saya
lupa namanya). Supaya tidak salah masuk. Sebab, ada beberapa spanduk
semacam itu dari travel lain.
Pembagian kamar, satu untuk berdua (sesama jenis kelamin, pastinya).
Joko dengan Hendri, saya dengan peserta tur lain (lupa namanya). Sudah
tepat. Tak sengaja panitia seperti mengatur, wartawan Nyata kumpul di
satu kamar. Cocok.
Joko mendekati saya, “Dwo, ini Hendri biar tukar kamar dengan kamu. Dia setuju. Kamu sekarang dengan saya,” katanya.
Wah… Diatur lagi. Hendri menurut saja. Sambil menggendong mesin
ketiknya, dia mendekati saya, meminta kunci atas nama saya. Lantas saya
mengikuti Joko, si pemegang kunci, menuju lift.
Di dalam kamar, saya mengkhawatirkan mesin ketik yang mestinya saya
bawa. Sudah menjadi ajaran Pak Dahlan: Wartawan, begitu tiba di suatu
tempat, sudah bisa langsung bekerja. Apalagi kini belum pukul 13.00.
Waktu Jakarta mundur sejam. Jadi masih banyak waktu. Tapi, belum ada
yang bisa diketik sekarang. Harus orientasi lapangan. Jadi, nanti saja
mesin ketik saya ambil.
Hebatnya, Joko sudah meninggalkan kamar lebih dulu dari saya. Dia sudah
koordinasi dengan Hendri via telepon kamar. Dia ke stadion, lokasi
konser Jacko mulai besok malam. Sedangkan Hendri ditugasi masuk ke hotel
Jacko, dan mengamati situasinya.
Mungkin Hendri menanyakan alamat hotel Jacko, sehingga Joko kesal. “Ah…
kamu ini. Tanyakan ke siapa saja di Singapura ini pasti tahu hotelnya,”
bentaknya.
Saya dengar dari panitia tur, Jacko menginap di Raffles Hotel di Marina
Bay. Percuma kesana. Jacko pasti tak tersentuh. Saya sudah mempelajari
kebiasaan Jacko dari beberapa tulisan, dia tidak pernah menggelar
konferensi pers jelang konser, seperti kebiasaan musisi kita. Jacko
sudah terlalu besar, tak perlu publikasi.
DARI PETUGAS KE PETUGAS
Saya sebenarnya sangat gelisah. Penugasan nonton di hari kedua
benar-benar menyulitkan. Semua wartawan Indonesia pasti nonton di hari
pertama. Liputan JP bakal ketinggalan dibanding Kompas dan koran lain.
Ingat ajaran Pak Dahlan, wartawan tak boleh berhenti bergerak. Itu yang membuat liputannya bagus.
Saya pilih ke stadion (Singapore National Stadium) di Kallang. Ganti bus
dua kali, sampailah di lokasi. Ternyata semua pintu stadion dijaga
puluhan bodyguard Negro. Semuanya tinggi besar (tingginya rata-rata
sekitar 2 meter). Semuanya membawa HT.
Saya kalungkan kartu pers di leher, maju saja, berniat masuk. Namun,
begitu dekat pintu, seorang diantara mereka menghadang. Saya sodorkan
kartu pers yang masih terkalung. Dia teliti.
“No... no... no press,” bentaknya. Mungkin dia tak membentak, tapi
dengan badan sebesar itu, power suaranya kuat. Saya tawari rokok dia
menolak. Saya menyulut rokok sendiri.
“Apakah properti panggung sudah siap digunakan?” tanya saya.
“Ya, tentu saja.”
“Katanya, peralatan panggung canggih. Secanggih apa sih?”
Dia meneliti lagi kartu pers saya. Dia tanya negara asal saya, sebab di
kartu pers tidak disebutkan negara. Setelah saya jawab Indonesia, dia
tersenyum. Dia pernah ke Bali.
Dia jelaskan, panggung dilengkapi belasan kamera, tergantung di
rangkaian tiang besi. Kamera digerakkan remote control, dan fleksibel
mengikuti sang mega bintang. Masing-masing kamera dikendalikan seorang
kru. Mereka koordinasi melalui HT. Gambarnya ditayangkan ke layar sangat
lebar di kanan panggung.
Semua peralatan diangkut khusus dengan 2 pesawat Boeing 747 (jenis baru
saat itu). Pertanyaan soal panggung dia jawab semua. Tapi tiap masuk ke
pribadi Jacko, dia langsung “no comment”.
“Besok ‘kan hari ulang tahun Jacko, apa yang istimewa di konser besok?” tanya saya.
“Anda saksikan sendiri, besok.”
“Tiket saya untuk konser lusa.”
“O… harusnya anda nonton besok.”
Dia jelaskan, kemarin Jacko sudah mengamati panggung dan memberikan
aneka instruksi kepada kru. Tapi belum sempat dia ceritakan detil, HT
dia berbunyi, instruksi bahasa sandi.
Kini dia tak lagi mau bicara. Saya perhatikan, dia dan beberapa
bodyguard Negro di sekitar pintu kini banyak bergerak, seperti sedang
siap-siap. Ternyata ada barang besar yang dimuat truk, masuk ke stadion.
Saya mencari petugas lokal untuk tambahan informasi. Petugas lokal
(berseragam, ID Card di dada) tidak berjaga di pintu. Mereka
angkat-angkat barang, keluar-masuk stadion. Ketemu anak muda, tapi dia
keberatan ditanya-tanya. Ada yang setengah baya, juga ogah didekati.
Saya yakin, saat Jacko cek panggung kemarin, pasti semua petugas
menonton. Apa saja yang dilakukan Jacko, instruksi apa ke kru? Akhirnya,
ketemu juga petugas yang mau cerita.
Ternyata, kemarin semacam gladi resik. Jacko tidak menyanyi, tapi dia
banyak bergerak di semua areal panggung. Juga ada peragaan potong kue
tart yang turun dari atas, melalui peralatan hydraulic. Jacko
menjelaskan semua urutan skenario konser. Inilah liputan saya pra
konser.
Lewat senja, saya kembali ke hotel mencari mesin ketik. Repotnya, kamar
Hendri kosong. Zaman itu kami belum ada yang punya HP. Paling sial,
naskah akan saya tulis tangan. Lalu saya dikte lewat telepon ke Jakarta.
Biayanya pasti sangat mahal, dan ini tidak ditanggung panitia tur.
Namun, saya masuk business centre, ternyata boleh pinjam komputer. Saya
merasa benar-benar ndeso membawa mesin ketik dari Jakarta.
Hasil ketikan saya kirim via fax ke Jakarta dari business centre pula.
Begini lebih murah. Pukul 20.00 semuanya beres. Saya sudah bisa nonton
tv di kamar.
Pukul 23.00 Joko datang. Dia masuk kamar dengan Hendri, bersama mesin
ketik besar itu. Mereka heran melihat saya sudah santai. “Luar biasa…
wartawan JP memang bekerja lebih cepat,” kata Joko.
Sebenarnya lebih hebat Joko. Dia mengetik hasil liputan sampai tengah
malam. Dia juga menuliskan hasil liputan Hendri yang duduk di
sebelahnya. Entah sampai pukul berapa mereka bekerja. Saya tertidur di
keriuhan bunyi hammer mesin ketik memukul penahan karet.
HASIL LIPUTAN DIADU, KALAH
Esoknya kami berpencar lagi. Kami sama-sama ke stadion, tapi tidak
berangkat bersama. Nyata terbit mingguan, harus memiliki strategi
liputan beda dengan koran harian. Jika sama, habislah dia.
Tiba di stadion pukul 17.00 puluhan penonton sudah berdatangan. Sejam
kemudian sudah ribuan. Padahal, show mulai 20.00. Mereka masuk dengan
tertib. Saya mengamati, kalau-kalau bisa nyerobot. Namun, tidak ada
celah. Warna tiket mereka merah, tiket saya (untuk besok) hijau.
Lewat 19.30 sebuah heli mendarat di areal dekat stadion. Jacko datang.
Tapi, pengamanan sampai sekitar radius 150 meter. Di kegelapan malam,
dari jarak itu, saya melihat beberapa orang turun dari heli lantas masuk
stadion lewat pintu, persis di belakang panggung.
Saya hanya mendengarkan konser dari lapangan di luar stadion. Di
lapangan itu juga ada ribuan orang menyemut, mendengarkan Jacko
menyanyi. Pukul 22.00 konser belum usai, saya kembali ke hotel, mengetik
berita. Caranya seperti kemarin.
Joko tiba tengah malam, mengetik di kamar. Seperti biasa, saya tetap bisa tidur diiringi irama ketukan mesin.
Saya bangun jelang siang. Telepon kantor, minta office girl Bu Ning
kirim fax guntingan koran Kompas berita Jacko. Kiriman saya terima di
business centre.
Ada sedikit perbedaan angle liputan. Kompas melaporkan jalannya
pertunjukan. JP juga menyajikan pertunjukan, termasuk potong kue tart.
tapi kalah rinci. Sedangkan Kompas kalah di detil sistem gerak belasan
kamera dan teknologi hydraulic panggung.
Saya bayangkan, Pak Dahlan tadi pagi sudah mengamati JP dan kompetitor.
Ini sudah jadi kegiatan mendarah-daging baginya. Saya nilai, JP kalah
banding Kompas.
Malam ini saatnya nonton. Saya masih berani menulis laporan jalannya
pertunjukan. Sebab, di Kompas laporan panggungnya kurang ‘hidup’.
Atmosfer konser yang saya rasakan di luar stadion, tidak saya temukan di
tulisan.
Di kamar, saya menyusun daftar judul lagu yang dibawakan Jacko semalam.
Pasti nanti malam lagu-lagu ini lagi. Saya dengarkan berulang-ulang.
Menghayati, membayangkan gerakan atraktif Jacko. Dengan begini saya
punya waktu ‘pendalaman’. Kurang ‘hidup’-nya tulisan Kompas, karena
durasi menulisnya terlalu pendek, dikejar deadline.
Kalau saya tidur diiringi mesin ketik, sekarang Joko tidur dibuai
lagu-lagu Jacko menghentak dari tape kecil, volumenya saya besarkan.
Eee… Joko tetap ngorok, saking lelahnya.
Siang kami bertemu teman lama, Abdul Muis (AMU), wartawan JP yang
ditugaskan di Malaysia, sekitar 4 tahun. Amu salah satu wartawan andalan
JP. Mungkin dia dikontak Joko, sehingga kami bertemu di dekat hotel.
Dari Amu, kami diajari cara murah menelepon kantor. “Cukup kamu masukkan
koin recehan ke telepon umum, lalu tekan angka ini,” katanya. Hubungan
akan tersambung ke Telkom, lalu ke kantor. Beban pulsa pada kantor JP.
Petunjuk Amu ini sangat berharga buat saya dan Joko. Kami gunakan berulang-ulang.
OH… CAROL
Sore, saya, Joko, Hendri meninggalkan hotel, menuju stadion. Kini saya
sudah merasa sangat dekat dengan Jacko. Lagu dan gayanya menari-nari di
benak saya. Dalam menulis, apalagi liputan model begini, imajinasi
menjadi sangat penting.
Saat kami jalan meninggalkan hotel, mendadak Joko punya rencana lain,
“Hendri, kamu berangkat duluan ke stadion. Saya dengan dwo ada janjian
ketemu cewek,” katanya, ketawa. Busyet… apa pula ini?
Hendri berangkat. Ternyata Joko tidak bergurau. “Kemarin aku kenal cewek
bule. Dia juga punya tiket nonton malam ini,” ujarnya. “Kami janjian
berangkat bersama dari Mc Donald. Ayo kita jemput,” tambahnya. Wah… wah…
wah… Joko hebat juga, bisa memadukan pekerjaan dengan yang lain.
Saya tanya, “Dia punya teman cewek nggak?” Ternyata si cewek sendirian.
Saya persilakan Joko jemput sendiri. Tapi, kata Joko: “Nggak papa. Orang
Barat bebas, kok. Kita bisa gantian.”
Apa maksud kata “gantian”? “Bukan apa-apa. Kita nonton bareng-bareng.
Nggandengnya gantian, gitu loh….” jawabnya, tertawa cekikikan.
Saya antara senang dan tidak. Sulit membayangkan, kira-kira 10 menit dia
gandeng, 10 menit berikutnya saya. Lalu balik ke dia lagi. Masak bisa
begitu? Juga apakah ceweknya mau?
“Apakah kamu kemarin sudah tidur dengan dia?” tanya saya blak-blakan.
Joko terbahak-bahak. Cukup lama saya menunggu dia berhenti tertawa. Saya
tidak tahu arti tawanya. Lantas dia menegaskan, “Belum. Sumprit…
belum.” Oo…
Biar tidak penasaran, saya ikuti dia. Ternyata si cewek memang cantik,
khas wajah bule. Cuma, badannya terlalu tinggi untuk saya dan Joko.
Tingginya kayaknya lebih dari 175 cm. Saya 163, Joko sekitar 4 atau 5
senti di atas saya.
Dia tersenyum ke arah kami (mungkin ke Joko, kali). Saya kenalan (lupa
namanya). Sebut saja Carol. Melihat wajahnya, terbersit lagu The
Beatles: “Oh Carol. Don’t let him steal your heart away…
Dia dari Swedia, tidak sengaja nonton Jacko. Hanya melancong ke Asia,
dari Hongkong. Usianya 21, kuliah jurusan sejarah, kebetulan sedang
libur. Sepekan lalu dia beli tiket Jacko.
“Let's go to the stadium…” kata saya, khawatir terlambat. Jalan bertiga
cewek di tengah. Joko tak menggandengnya. Saya ‘wait and see’ saja.
Carol ramah. Dari gaya bicaranya, dia terpelajar. Rambut pirangnya
dikuncir ekor kuda. Matanya biru kehijauan, dipayungi bulu mata lentik.
Badannya seksi, bobot sekitar 60 sampai 65. Celana blue jeans ketat, T
shirt hijau lengan sangat pendek. Luar biasa… Joko nemu dimana boneka
begini…
Naik bus juga pencar-pencaran. Joko tidak menggandengnya. Tiba di
stadion Joko malah hilang di keramaian massa. Tinggallah saya dan Carol.
Kami ngobrol di luar stadion, sambil menunggu kalau-kalau Joko mencari
kami.
Sampai setengah jam jelang konser, Joko belum muncul. Kami masuk berdua.
Sekarang baru bergandengan… Bukan apa-apa, Dul… Sebab masuk pintu
stadion berdesakan.
Kami duduk di tribun, sekitar 150 meter dari panggung. Kapasitas
stadion, berdasar data: 55 ribu orang. Penuh, baik tribun maupun
lapangan rumput. Panggung sangat mewah. Bagian atas, samping kiri-kanan,
pipa besi centang-perenang. Disitulah belasan kamera bergelantungan.
Duduk mepet-pet dengan Carol (karena penonton penuh) membuat konsentrasi
terpecah. Senang sekaligus sedih. Senang, karena ditemani cewek cantik
yang aktif ngajak bicara. Sedih, karena sekarang saya sedang tugas.
Sampai 21.00 belum ada tanda-tanda dimulai. Sudah sejam dari jadwal.
Kemarin tepat waktu. Tapi, penonton tenang saja dihibur lagu-lagu Barat
lama dan baru, dari sound yang suaranya sangat jernih. Andai ini terjadi
di Indonesia, pasti sudah ribut.
Lewat dari 21.30 mulai ada beberapa penonton menyalakan lilin. Itu
diikuti yang lain. Ternyata banyak penonton membawa lilin. Mereka
goyangkan lilin secara serempak ke kiri dan kanan. Menghasilkan
pemandangan mempesona, di bawah langit yang penuh bintang.
22.00 lagu-lagu berhenti. Panggung tetap sepi. Ada pengumuman. Intinya,
konser ditunda lima hari lagi, Jacko mendadak sakit. Tiket tetap
berlaku. Bagi yang ingin kembali uang, dipersilakan ke panitia. Tiket
yang sudah dibuang, diganti tanda khusus.
Serentak terdengar gerutu puluhan ribu orang. Penonton kecewa. Tapi,
hebatnya, mereka keluar stadion dengan tertib. Sama sekali tidak ada
teriak kemarahan. Sungguh tak terbayangkan kacaunya, jika ini terjadi di
Indonesia.
Saya harus bekerja. Kami sepakat pisah. Saya tanya hotel dia, katanya
menginap di rumah sewa daerah Jurong, dan dia tak tahu alamatnya. “Joko
tahu tempatnya. Besok kita jumpa lagi, bye…” ujarnya melambai.
ADUH… MENGGELANDANG LAGI
Tidak gampang mendekati panggung. Areal itu diblokade puluhan bodyguard
Negro. Dari beberapa titik saya mencoba masuk, selalu diusir. Tak ada
celah mendekati panggung.
Saya ganti cara, mendekati petugas lokal. Tidak gampang juga. Semuanya
menolak. Dari beberapa, untung ada yang mau cerita: “Jacko masih ada di
belakang panggung. Kira-kira 10 menit sebelum jadwal dimulai, dia
pingsan. Katanya over dosis,” ujarnya.
Lho, berarti sudah dua jam lebih dia disana. Ngapain? “Kini dirawat tim
dokter dari Mount Elizabeth Hospital,” jawabnya. Bagaimana cara melihat
itu? Dia, kebetulan, memberitahu jalannya.
Prinsip Pak Dahlan, tidak ada kebetulan di dunia ini. Semua hasil,
karena ada gerakan. Gerak fisik atau pikiran. Paling bagus kombinasi
keduanya.
Saya masuk ruang ganti pakaian pemain bola, tembus persis di belakang
panggung. Tapi, tidak bisa masuk kesana, ada pintu jeruji besi terkunci.
Terlihat kesibukan berlangsung. Belasan perawat wanita mondar-mandir.
Jacko dan para dokter tak kelihatan, terhalang dinding kayu.
Sekitar 15 menit, tampak Jacko terbaring di brankar didorong dua
perawat, diikuti para lelaki berkalungkan stetoskop. Sementara,
terdengar mesin heli hidup. Terbang menjauh, mungkin membawa Jacko.
Esoknya, Kompas memberitakan itu. Kelihatan mereka tetap menurunkan
wartawan di konser hari kedua. Beritanya singkat: Konser Jacko batal.
Kali ini JP unggul. Masak kalah terus?
Tapi, pagi-pagi panitia tur menelepon kamar kami, memberitahukan agar
siap check out. “Rombongan akan meninggalkan hotel setelah breakfast.
Kumpul di lobby 10.00,” kata suara wanita.
Bagi yang ingin nonton Jacko (empat hari lagi) panitia tur hanya
memberikan tiket ke Jakarta. Maka, saya telepon atasan, Kepala Biro Jkt
Edhi Aruman, mohon pertimbangan. Jawabnya: “Tetap lanjut… Malah bagus.
Jangan-jangan Jacko besok mati.”
Tapi, uang saya tinggal separo (sekitar USD 50) mana bisa bertahan?
“Kamu punya kartu Amex?” Gak punya. “Nah, itulah… wartawan global gak
punya Amex, berat. Tapi, aku yakin kamu bisa bertahan, minimal sampai
show selesai,” perintahnya.
Saya sampaikan ke Joko, saya bertahan. Joko juga. Uang dia malah gak
sampai separo dari saat berangkat. Sedangkan Hendri ngotot pulang,
meskipun Joko menganjurkan bertahan.
Usai sarapan, saya dan Joko kembali ke kamar mengatur strategi bertahan
empat hari. Hendri sudah berangkat ikut rombongan. Dia tinggalkan mesin
ketik di kamar kami. Di saat uang mepet, barang berat ini bakal berguna.
Tengah hari, kami meninggalkan hotel. Sudah tidak ada jatah makan siang.
Panitia sudah pulang. Joko mengajak makan di Mc Donald. “Setelah itu,
kita harus cari makan dan tempat menginap yang murah,” katanya.
Wah… bakal menggalandang lagi, nih. (bersambung, kalo bisa 24 jam)
Di Balik Liputan Jacko, Singapore ’93 (3)
SENANG-SEDIH, BUMBU PERJALANAN
Jangan gampang mengagumi profesi wartawan. Jika
anda mengalami peristiwa ini, pasti anda tidak akan bangga jadi
wartawan. Saya sebenarnya tidak enak menceritakannya. Tapi, sudah
terlanjur…
---------------------
Tarif hotel bukan bintang. kata Hendri kemarin: SGD 90 (sekitar USD 48
kurs saat itu). Uang saya segitu juga, idem dengan Joko. Andai itu
ditanggung berdua, cukup dua malam, lalu uang kami sama-sama habis.
Tidak bisa makan. Padahal, harus empat hari lagi disini.
Makan di Mc D, pikiran saya menghitung uang. Terlalu mahal Joko pilih
disini. Tapi, restoran seputar Orchard Road memang tidak ada yang murah.
Pilih Mc D sebab harga terpampang jelas. Itu pun di atas SGD 10 atau
USD 5,5. Tak ada warteg atau bubur kacang ijo..
Usai makan, saya dan Joko meluncur ke Hotel Raffles, tempat Jacko di
Marina Bay. Wuiiih... penjagaan ketat. Tiga pintu masuk, termasuk pintu
masuk khusus truk di belakang, dijaga bodyguard Negro.
Hotel sudah dipesan rombongan Jacko sejak sehari sebelum mereka datang,
sepekan lalu. Tidak ada tamu lain. Ratusan kamar (hanya 3 lantai) diisi
rombongan mereka, lebih dari 120 orang. Mobil catering masuk pintu
belakang pun, diperiksa ketat. ID Card sopir dan kenek diteliti. ID Card
karyawan hotel yang masuk, dicocokkan dengan catatan. Mereka bekerja
cermat.
Setelah mengitari hotel, dan tidak menemukan celah masuk, kami nongkrong
di halaman depan. Disana bergerombol ratusan fans Jacko. Ada Indonesia,
Bule, China, Melayu, India, Entah, ngapain mereka disana? Mungkin
menunggu kalau-kalau Jacko keluar.
Bentuk bangunan hotel kuno, dibangun tahun 1887 (berdasar data). Warna
dominan putih dengan pilar-pilar tinggi kokoh, mirip Istana Negara kita.
Halaman depan luas sekitar 100 X 100 sebagian besar rumput hias dengan
tanaman perdu aneka bunga di sudut-sudutnya.
Orang berteduh dari sengatan matahari di beberapa pohon Tanjung.
Sebagian besar anak muda. Diantaranya berbahasa Indonesia. Dari obrolan
mereka saya dengar, Jacko tidak ada di hotel, tapi dirawat di Mount
Elizabeth Hospital. Mereka tahu saja. Lantas, menunggu apa mereka?
Inilah gilanya ngefans.
“Dwo, aku akan ke Mount Elizabeth. Bagaimana?” ujar Joko dengan nada
tanya. Itu juga rencana di benak saya. Pertanyaan dia sudah memblokir
langkah saya. Pertanyaan itu menyiratkan: Kalau aku kesana, kamu jangan.
Sebab, dia bekerja untuk mingguan, saya harian. Jika liputan kami sama,
habislah dia.
“DI (inisial Joko) selamat bertugas… Kita tentukan, ini tempat kita
berkumpul. Persisnya, di bawah pohon Tanjung ini,” kata saya.
“Kamu mau liputan apa?”
“Gampang…nanti saya pikirkan.”
“Aku akan balik kesini sore nanti, sambil memikirkan cara menginap.”
DICARI: KARYAWAN RAFFLES YANG….
DI menghilang naik bus. Jam menunjuk 13.30. Saya bengong, sebagaimana
ratusan fans Jacko disini. Ke stadion percuma. Tak akan ada apa-apa
disana. Masuk hotel? Harus punya seragam karyawan, bordir nama di dada,
lengkap dengan ID Card.
Mungkinkah pinjam karyawan yang wajahnya mirip dengan saya? Mungkin
saja. Orang Negro pasti sulit membedakan wajah Asia, sebagaimana kita
sulit membedakan wajah sesama Negro. Andai lolos di pintu, harus paham
tugas-tugas dan kebiasaan harian. Di dalam pasti dikenali sebagai orang
asing oleh sesama karyawan.
Tapi, masak saya diam mematung? Kata Pak Dahlan, wartawan harus selalu
bergerak. Gerak fisik atau pikiran. Paling bagus kombinasi keduanya.
Saya pindah ke dekat pintu belakang. Karyawan mungkin lewat sini. Nanti,
saat pergantian shift, mereka bisa ditempel. Kalau bisa mendekati orang
yang tepat, segalanya bisa diatur.
Enaknya, hotel ini seperti dikepung fans. Ada belasan orang di sekitar
pintu belakang. Sehingga saya bisa membaur, walau orang disini tidak
sebanyak di halaman depan. Pintu belakang ini pas dengan pedestrian.
Saya berdiri belasan meter dari pintu. Supaya bisa bergerak cepat.
Pukul 17.30 pintu dibuka. Ada 2 minibus hendak masuk. Alamaaak…
penumpangnya karyawan semua. Berarti mereka dijemput dari rumah
masing-masing. Mereka yang pulang nanti kemungkinan besar juga diantar.
Ternyata benar. Tak sampai setengah jam kemudian 4 minibus keluar,
penumpangnya… karyawan. Ancur, deh… Bayangan saya, seperti bubaran
pabrik rokok di Indonesia, karyawannya jalan kaki atau naik sepeda.
Ndeso…
ASYIK… CAROL MUNCUL LAGI
Hari hampir gelap, saya kembali ke halaman depan, di bawah pohon Tanjung. Joko sudah disana. Ngobrol dengan… Carol.
Asyiiik…. Si ekor kuda muncul lagi. Celana jeans ketat hitam, T shirt
merah, ditutupi jaket krem. Gadis ini memang cantik. Mengapa orang
tuanya berani melepasnya keliling dunia sendirian? Pasti pribadi anak
ini sudah matang. Atau budaya mereka yang beda dengan saya?
Dia tersenyum ke saya. “How are you, mister John….” sapanya mengulurkan
tangan. Salaman, dia menarik tangan saya, ternyata diajaknya
cipika-cipiki…
Dada saya berdebar (lagi). Bukan apa-apa. Saya tak terbiasa salaman
model begini. Pipi putih kemerahan itu membuat saya berdebar. Saya ikut
budaya dia saja. Panggilan mister yang tidak enak. Terasa saya tua. Usia
saya 34, memang wajar begitu banding dia yang 21. Lebih tak enak lagi,
saya sudah beristeri.
Kami ngobrol. Carol banyak cerita tentang show yang batal, semalam. Di sela Carol mengoceh, saya sisipi gurauan ke Joko:
“Masak ketemu di Mount Elizabeth?”
“Hahaha… ya, kebetulan.”
“Tak ada kebetulan di dunia ini, kata Pak dahlan.”
Kami terbahak-bahak. Carol protes, sebab dia tak mengerti. Dia minta,
penyebab kami tertawa harus diterjemahkan. Joko hanya tertawa,
mengarahkan tangannya ke saya. Asal saja, saya terjemahkan, “Kamu gadis
cantik, Carol… Kami kagum padamu.”
“No… no… pasti bukan begitu. Itu bukan kata yang lucu,” ujar Carol.
Saya jadi kerepotan. Jika saya terjemahkan pun, belum tentu lucu bagi
dia. Sebab, ini bukan jenis lucu universal. Ini lucu etnik Surabaya.
Lucu terkait internal JP. Lucu terkait gender, sesama lelaki.
Tapi, Carol memaksa saya menterjemahkan juga. Setelah saya terjemahkan,
dia berpikir sejenak. Lalu, “No… no… bukan begitu…” katanya sambil
menjejak-jejakkan kedua kakinya, seperti jalan di tempat.
Luar biasa… Baru kali ini saya berhadapan dengan gadis bule yang
merajuk. Pipinya yang putih kemerahan, kian merona. Dia berdiri dengan
latar belakang temaram senja. Langit jingga di ufuk barat, membuat
rambut blonde itu berkilau-kilau. Sungguh indah Allah menciptakan
manusia dan alam ini. Subhanallah… dengan indah ciptaan-Nya.
“Kita makan, yuk…” ajak Joko, memenggal pemandangan baru bagi saya itu.
Kami akhiri perdebatan, jalan bersama mencari tempat makan. Posisi Carol
di tengah, lagi. Joko tidak menggandengnya. Saya juga tidak.
Kini saya mengerti maksud Joko kemarin: “Kita bisa gantian”. Saya sudah
diberi kesempatan dekat Carol, kemarin. Sepanjang siang tadi, mungkin
Joko. Mungkin besok….
Saya terkejut, Joko memilih restoran. “Ayo…” ajak Joko yang jalan
duluan, masuk Mc D. Saya menyela, “Apa tidak cari di pinggiran? Sambil
jalan-jalan menikmati senja.” Dia menggeleng, menyahut: “Aku yang
traktir.”
Sambil makan, saya pikir: Bakal semakin cepat kami kelaparan, nih. Carol
saya lihat tetap ceria. Atau, Joko sudah ‘memeras’ Carol? Untuk
mengetahuinya, harus diuji. Saya berbahasa Indonesia: “Apakah malam ini
kita bisa kruntelan (bersatu) di kamar Carol?” Joko menggeleng. “Sudah
saya tanyakan, dia gak mau.”
Carol protes lagi. “Ini Singapore, man… Bukan desa kalian,” ujarnya.
Kali ini dia sewot. Saya jelaskan, bahwa kami sedikit menyinggung
pekerjaan. Tapi dia memotong, “Wooow… mengapa ada namaku?” Saya
berkelit, bukankah Carol ikut saya ke stadion? Tapi dia geleng-geleng.
“No… no…”
Usai makan, Joko yang bayar. Billing nyaris SGD 40. Lalu kami pisah.
Saya dengan Joko, Carol pulang. Ada yang janggal di logika saya.
Pertemuan dengan Carol sore ini, bagi saya, rasanya baru awal. Sedangkan
bagi Joko, kayaknya akhir suatu proses. Tapi, ah…. Sudahlah….
JADI FANS JACKO? DIAMPUT…
Joko mengajak saya menuju Jurong. “Disana ada kamar-kamar yang disewakan
murah. Ini diberitahu Abdul Muis,” katanya. Saya menurut saja.
Tiba di sebuah rumah besar dua lantai. Ruang tamu dibentuk seperti
resepsionis mini. Tarif SGD 45 per kamar untuk berdua, tanpa breakfast.
Dada saya kini menggos-menggos (tersengal-sengal). Tambah cepat mati
ini…
Kata “Jurong” mengingatkan saya pada ucapan Carol saat saya pisah
dengannya di stadion, kemarin. Berarti, Carol tinggal di sekitar sini.
Sudah saya cek, belasan kamar disana, tak ada Carol. Tiap kamar saya
amati, saat penghuninya keluar-masuk.
Tapi, wilayah itu memang beda dengan pusat kota. Disini lebih sederhana.
Tak jauh dari situ ada masjid. Saya dan Joko shalat Subuh disitu.
Jamaahnya kebanyakan orang Pakistan. Sarapan juga murah, sebab saya
makan nasi lauk gorengan. Joko masih berani ambil telur ceplok. Ini baru
ketemu warteg-nya Singapura.
“Dwo, kita tidak mungkin lanjut nginap disini. Waktu masih tiga hari.”
“Jelas. Tapi, saya sudah menemukan hotel kita.”
“Dimana?”
“Hotel Raffles…”
Sejenak dia diam, menghentikan mengunyah makanan. Lantas kami tertawa.
Dia terpingkal, geleng-geleng, sambil menunjuk-nunjuk ke saya. Dia sudah
menangkap maksud saya: Lapangan rumput di halaman Hotel Raffles. Disitu
selalu ramai. Lokasi tepat untuk penyamaran.
“Jadi, kita siap check in di rumput Raffles, ya?” tegasnya. Saya
mengangguk sampai menggoyangkan punggung, begitu meyakinkan. Dia
mengangkat tangan kanan yang terbuka. Kami tos, tanda sama-sama mantap,
siap menggelandang.
Check out dari hotel rumahan itu, kami masih makan siang di warteg lagi.
Kami akan banyak bolak-balik antara Raffles di Marina Bay ke Jurong,
naik bus. Menginap di Raffles, makan di Jurong.
Di rumput Raffles kami pilih tempat. Sepakat lokasinya pencar, supaya
tidak mencolok sebagai gelandangan bersaudara. Saya pilih di bawah pohon
Tanjung. Siang ini adem, nanti malam pasti sejuk banget. Suejuuuk pol…
Jelang sore, saya dikagetkan oleh teriakan gemuruh dan suit-suit riuh.
Ternyata Jacko sudah di dalam hotel. Dia membuka jendela di lantai 3
lalu melambaikan tangan ke arah ratusan orang di halaman depan. Dia
mengenakan jaket hitam. Menempelkan tangannya ke mulut, lalu melambai.
Histeria massa pun meledak. Sampai ada gadis bule berteriak histeris,
“Jacko…. Jacko… oh, Jacko….
Hanya sekitar satu-dua menit Jacko melambai, lalu pintu jendela ditutup
lagi. Saya mencari tempat agak terang di pedestrian, lalu mengetik
disitu dengan mesin besar yang kini saya bawa. Menulis berita, Jacko
sudah pulang dari Mount Elizabeth, dan kondisi hotelnya.
Berita jadi, saya cari semacam wartel, lalu kirim fax ke Jakarta. Untuk
memastikan fax diterima, saya ke telepon umum, menelepon kantor gratis
menggunakan cara ajaran Abdul Muis.
Penerima telepon atasan saya, Edhi Aruman, mengeluh: “Wah… kemarin kamu
seharian tak kirim berita, juga hilang kontak. Padahal,
tulisan-tulisanmu dipuji Pak Dahlan. Dia telepon saya dari Surabaya,”
tuturnya. Tentu saya senang. Bisa jadi itu hanya cara Pak Dahlan
membangkitkan semangat saya, yang dia perkirakan mulai merosot.
Balik ke Raffles, hari sudah larut. Masih banyak saja orang. Sampai
24.00 masih saja ramai. Tapi, mereka silih-berganti. Datang dan pergi.
Saya mulai rebahan di rumput. Banyak juga yang duduk di rumput sekitar
saya.
Saat saya terlentang berbantalkan tas, seorang gadis Melayu berbicara ke
temannya, setelah melirik saya, “Ooow… fans Jacko sampe tidur-tiduran
begitu.” Saya pura-pura tak dengar. Diamput…
Sulit tidur, barangkali tubuh belum menyesuikan diri. Sampai 03.00 saya belum bisa tidur juga.
Ketika saya hampir terlelap, mendadak dikejutkan sesuatu. Punggung saya
digigit semut. Kayaknya jumlahnya banyak. Saya buka baju,
mengibas-kibaskannya. Sekelompok pemuda di dekat saya tertawa. Entah apa
arti tawanya.
Saya terbangun saat mata saya tertusuk sinar matahari. Selamat pagi,
Singapura… Aku sudah memelukmu, lelap di bumimu. (bersambung, 24 jam)
Di Balik Liputan Jacko, Singapore ’93 (4 - Tamat)
JALAN TEMBUS MENUJU MONYET
Tindakan remeh-temeh seringkali disepelekan.
Namun, sebagai bagian ikhtiar, sebaiknya jangan dihindari. Sebab, semua
perjuangan selalu ada hasilnya, walau kadang tertunda.
----------------------
Mendadak, ratusan orang di halaman depan Hotel Raffles lari berhamburan.
Bunyi sirine meraung dari arah pintu samping hotel. Saya dan Joko jadi
ikut gerakan para fans, berlari ke samping.
Sirine ternyata dari sepasang voorijders yang sulit bergerak, tertahan
puluhan orang di depan pintu samping. Di belakangnya, tiga limousine
hitam terpaksa berhenti. Begitu juga dua minibus di belakangnya. Massa
menghambur mendekati mobil. Seketika 4 bodyguard Negro keluar dari
minibus. Menghalau massa.
Tidak sulit mereka mengamankan situasi. Tinggi badan mereka rata-rata
sekitar 2 meter, tubuh kekar dibalut T shirt ketat, wajah mereka mirip
Mike Tyson. Disibaknya massa. Sehingga voorijders (polisi lokal) dapat
jalan. Rombongan melesat ke utara.
Saya tak berdaya. Dengan keuangan kelas gelandangan, tak mampu mengejar
Jacko. Bahkan, dengan uang yang normal sekali pun, belum tentu bisa.
Jacko benar-benar gila. Dia tak tersentuh. Saya sudah pelajari, dia
belum pernah interview langsung dengan wartawan.
Kesal dengan kondisi ini, saya dan Joko jalan-jalan, asal naik bus tak
tentu arah. Bus disini murah. Dibanding taksi untuk jarak yang sama,
ongkos kira-kira beda 20 kali.
Pernah, saya naik taksi, pas pukul 24.00 sopir menawari, lanjut atau
stop? Kalau lanjut, masuk over midnight, tarifnya 2 kali dari semula.
Ya, pasti lanjut-lah... Masak turun di lokasi yang tidak saya kenal?
Di Orchard Road, lalu-lintas macet. O... ada macetnya juga, to? Tapi...
macet karena pengemudi mobil pada turun. Jalan kaki, memotret sesuatu di
arah sana. Anehnya, itu dilakukan beberapa orang dengan arah yang sama.
“Jacko... Jacko... ,” teriak gadis penumpang bus yang langsung turun.
Tentu, saya dan Joko turun. Benar. Jacko di dalam toko buku. Dinding
toko yang seluruhnya kaca, menampakkan sang Mega Bintang membaca buku.
Tapi, pengamanan bodyguard itu yang nggak kuat.
Di dalam toko, ‘clean’ tak ada pengunjung lain. Di luar, puluhan
bodyguard siaga di pintu dan seputar dinding kaca. Puluhan wartawan
(berkamera foto dan kamera TV) tak berkutik dihadangnya. Ampun...
Saya bayangkan, Jacko ini orang baik. Mungkin, setiap ada Negro
pengangguran yang datang padanya, asal badan tinggi berotot, langsung
dijadikan satpam-nya. Masak, rombongan dia sampai 127 orang? Sebagian
besar bodyguard.
Kami hanya bisa mengamati Jacko yang membaca, memilih buku. Di
sebelahnya, ada cewek bule membawa keranjang, siap menampung buku yang
dipilih Jacko. Keranjang sampai penuh, lalu ganti keranjang baru.
Yang menarik, Jacko tak pernah diam barang semenit pun. Tubuhnya yang
tinggi langsing selalu bergerak, meski sedang membaca. Kakinya yang
jenjang aktif bergerak. Sesekali menjentikkan jari tangan, seperti
sedang mengikuti irama. Saya duga, dia sambil mendengarkan lagu lewat
earphone.
Dia mengenakan celana ketat, hitam mengkilap, kaos ketat merah lengan
panjang. Postur tinggi kurus terlihat jelas. Badannya begitu lentur,
gerak ke kiri-kanan. Selentur rambut keritingnya, yang bagian depan
dibiarkan menjuntai, meliuk-liuk.
Dia tahu, puluhan fans dan wartawan bergerombol di depan kaca toko,
menontonnya. Sesekali dia lambaikan tangan ke massa. Hanya dengan begitu
saja, puluhan orang sudah berteriak-teriak memanggil namanya. Tapi,
massa tertib. Tak ada yang memaksa masuk toko.
Sirine voorijders hidup, massa kian penasaran. Ternyata Jacko masuk
mobilnya yang berhenti persis di depan pintu toko. Tak ada celah orang
mendekat. Konvoi melaju di keramaian Orchard Road. Saya dan Joko kembali
naik bus, tak jelas arah.
Liputan macam apa ini? Tapi, inilah maksimal. Tiap hari saya baca koran
setempat: harian Bernama dan The Straits Times edisi Singapore. Tak ada
wawancara dengan Jacko. Liputan mereka, di luar konser, ya...
remeh-temeh begini.
DIMANA BUMI DIPIJAK, DISITU BANTAL DIGELAR
“DI... ayo kita cari bantal model tiup. Biar agak nyaman di rumput,” kata saya di dalam bus.
“Bantal yang bagaimana itu?”
“Aku pernah lihat di penerbangan internasional, wanita pakai itu.”
Kami tiba di sebuah pasar (lupa nama daerahnya) dan mencarinya. Tanya ke
penjual, ternyata mereka langsung paham barang yang dimaksud.
Ditunjukkan arah tokonya. Ketemulah barangnya.
Bentuknya, setelah ditiup, persegi panjang. Di tengah ada lingkaran
untuk leher, dan ‘pintu’ masuknya. Warnanya coklat muda, berbahan kain
beludru. Saya coba pakai dan bersandar pada dinding, rasanya empuk. Ini
barang penting. Harganya murah. Setelah dikempeskan, dilipat, hanya
sebesar dompet.
Setelah mengetik berita remeh-temeh itu, dan kirim ke Jakarta, saya
kembali ke ‘hotel’. Jacko ternyata sudah di dalam. Tandanya, jumlah
massa di halaman depan sangat banyak. Itu berarti, Jacko sudah melambai
dari balik jendela di lantai 3. Sejam sekali, itu dia lakukan.
Saya tak sabar mencoba bantal baru. Senja baru saja lewat, bantal sudah
saya tiup. Hasilnya, memang sungguh nyaman. Bukan hanya untuk tidur
terlentang, tapi juga untuk miring kiri-kanan. Kecuali telungkup,
tentunya.
Saya berdiri, melihat Joko yang mengambil jarak sekitar 10 meter dari saya, juga terlentang berbantal itu.
Dari jauh dia melihat saya, sambil mengacungkan jempol. “Top.... dwo.
Uenaaak...” teriaknya. Saya tersenyum: Dasar... dia memang bakat
menggelandang. Saya, ‘kan cuma fasilitator gelandangan.
Tapi, malam ini rasanya rumput lebih empuk banding kemarin. Wangi bunga
Tanjung jadi parfumnya. Sorak-sorai massa ketika Jacko buka jendela,
akrab di hati. Saya merasa sudah menyatu dengan situasi-kondisi. Nyaman.
Belum pernah saya alami, tempat menginap jadi satu dengan tujuan
liputan, seperti ini.
Berdasar pengalaman dirubung semut, kemarin, kini saya punya persiapan.
Kemeja dimasukkan, dilapisi jaket. Ujung bawah celana dikareti seperti
celana tentara. Tak ada celah binatang masuk. Hembusan angin jadi segar
sejuk.
Kebetulan cuaca cerah. Bulan bundar di posisi sekitar 70 derajat arah
timur. Sinarnya putih kekuningan, dengan corona transparan
melingkarinya. Bintang-bintang bertaburan di seantero langit. Sebagian
bintang kelap-kelip di sudut utara. Seisi cakrawala bagai bernyanyi,
menyemangati kami. Tapi, lagunya sendu. Lagu Rhoma Irama:
Langit sebagai atap rumahku......
Dan, bumi sebagai lantai
Hidupku, menyusuri.... jalan....
MENCOCOKAN WAJAH dengan MONYET
Bangun tidur, gelisah lagi. Konser masih besok malam. Hari ini diisi
apa? Masak cuma melaporkan gerakan Jacko buka jendela? Pembaca pasti
bosan. Sekuat apa pun tulisan deskriptif, kalau obyek liputannya tidak
variatif, hasilnya tentu jeblok.
Masuk Raffles tidak mungkin. Persiapan stadion sudah lengkap, beberapa
hari lalu. Penyebab Jacko pingsan sudah jelas over-dosis. Itu pun sudah
lewat, basi. Saya mulai kehilangan akal.
Sementara, Joko tenang-tenang saja. Tugas dia beda dengan saya. Dia
mengumpulkan semua bahan liputan, dirangkum dalam laporan mingguan.
Pantas, bangun tidur dia kelihatan tetap semangat.
“Dwo... ayo kita sarapan (ke Jurong) lalu kita jalan-jalan aja.”
Saya mengangguk saja. Joko yang pernah bertahun-tahun jadi wartawan JP,
mengerti kegelisahan saya. Dia menghibur, “Kamu sudah maksimal. Aku juga
baca koran lokal, tak ada yang mereka tulis sejak konser batal,”
katanya. “Malah kamu tiap hari menulis.”
“Tiap hari kita jalan-jalan. Mau kemana?” tanya saya.
“Kebon binatang. Di katalog, katanya bagus.”
Nyaris tawa meledak, tapi bisa saya tahan. Tidak enak, mimik Joko
serius. Khawatir dikira melecehkannya. Saya ini lahir dan dibesarkan di
Surabaya. Pilihan Joko itu seperti anak dari Desa Ndiwek di pedalaman
Jombang, yang baru pertama kali ke Surabaya. Begitu tiba, tujuannya:
Kebon binatang.
“Nonton apa, sih? Paling, kita mirip nyemot.”
“Ah... daripada bengong. Rekreasi, Bung. Ini hari terakhir disini.”
TERJEBAK di AKUARIUM
Ucapan dia tidak salah. Saya juga belum menemukan ide liputan. Siapa
tahu di perjalanan muncul ide. Joko sudah bertanya diantara fans Jacko,
arah menuju kebon binatang.
Kami naik MRT. Hebatnya, kereta bawah tanah ini melewati beberapa
pertokoan di atasnya. Turun di stasiun, ganti naik bus. Lalu jalan kaki.
Pukul 10.00 tibalah di “Singapore Zoo” di Mandai. Kami foto-foto di
bawah tulisan kebon hewan, buat kenang-kenangan.
Repotnya, dengan begini makan siang jadi mahal. Saya menghitung, harus
cukup sampai bayar airport tax di Changi. Tanpa mengeluarkan uangnya,
saya hitung luar kepala: Cukup. Asal, setelah ini makan di Jurong terus.
Jika tidak, besok puasa.
Sudahlah... Betapa pun, saya harus menikmati perjalanan. Keindahan taman
dan kesegaran hewan, cukup menghibur. Kualitasnya jauh melebihi di
Surabaya. Kebersihannya luar biasa. Jumlah pengunjung memang tidak
banyak, mungkin karena bukan hari libur. Tapi, tak ada sampah, bahkan
secuil kertas sekali pun.
Tiba-tiba ada pengumuman di pengeras suara, kebon binatang akan ditutup
15 menit lagi. Pengunjung diminta keluar. Ada pembersihan kotoran hewan
besar-besaran, membuat tidak nyaman. Jam belum pukul 14.00.
“Baru jam segini sudah tutup. Kita terakhir aja, dwo.”
“Nanti kita terkunci disini, DI.”
“Halaaah...”
Kami masih berkeliling di ruang akuarium, mengabaikan peringatan
hitungan waktu mundur dari pengeras suara. Sampai waktu habis, kami
masih mengamati aneka ikan. Lokasinya jauh dari pintu gerbang
keluar-masuk.
Sampai lewat setengah jam, kami masih asyik. Saya keluar mengamati,
koridor sudah sepi. Semua areal tak ada orang. Sungguh tertib warga
disini. Hanya Joko yang gendheng, tenang saja mengamati ikan. Edan....
Sirine meraung-raung di kejauhan. Nah, apa pula ini? Joko pun
meninggalkan ikan, keluar ruang akuarium bersama saya. Jalan menuju
perempatan yang jaraknya sekitar 100 meter. Dari perempatan, menengok
kanan, arah pintu gerbang, jauh disana.
Luar biasa... ada sepasang voorijders berhenti di gerbang. Di
belakangnya, 2 limousine hitam dan beberapa minibus. Spontan, kami
jingkrak-jingkrak. Itu Jacko.... itu Jacko....
“Dwo... cepat ngumpet,” sentak Joko. Dia beringsut, mepet sebuah
bangunan. Kami mundur mencari pintu bangunan. Itu semacam museum mini,
berisi fosil. Disanalah kami mengatur strategi.
Ternyata di dalam bangunan juga ada pasangan muda dan seorang anak
perempuan usia sekitar 5 tahun. Kami sama-sama kaget. Mereka tahu kami
wartawan, sebab menyiapkan kamera, mengaturnya tersembunyi di balik
jaket. Sssst.... Mereka mengangguk, tanda paham.
Jacko jalan santai mengamati hewan demi hewan. Dia mengenakan celana
biru tua, stelan jas panjang warna senada. Puluhan tukang pukulnya
mengepung, berjarak sekitar radius 20 meter dari sang bos.
Sungguh, Jacko bagai raja. Kemana pun dia bergerak, puluhan bodyguard
otomatis mengikuti, membentuk formasi kepung, dengan jarak tetap
terjaga. Pengamanan sangat rapi. Obyek sudah sekitar 100 meter di depan
mata, tapi situasi sangat sulit. Dada saya berdebar-debar.
Saya ambil beberapa moment dengan lensa tele, dapat. Kami memotret dari balik taman. Untung cuaca cerah, sehingga sinar cukup.
Di perempatan, Jacko pilih lurus. Itu berarti mengarah ke kami. Jarak
kian dekat. Keluarga yang sejak tadi ingin keluar melihat Jacko, kami
tahan. Mulut bocah itu ditutup tangan ibunya, sesuai permintaan kami.
Pada jarak sekitar 20 meter, kami minta keluarga itu keluar, jalan
mendekati Jacko. Kami tetap sembunyi. Sontak, ada teriakan: “Stop....get
out you...”
Suasana hening. Kami intip, keluarga itu berhenti. Diam terpaku. Gadis kecilnya menangis.
Jacko mengamati si bocah, jalan mendekati. Lantas menggendongnya. Aneh,
bocah itu diam di gendongan Jacko. Diajaknya melihat monyet.
Para bodyguard mendekati orang tua, menggiring, menjauhkannya dari
Jacko. “Distance hundred feet,” kata bodyguard. Kali ini tak berteriak
lagi.
Ayo... Kapan lagi kami mendekat? Sekaranglah saatnya. Atau tidak sama
sekali. Dengan kedipan mata, kami bergerak bersama: Maju. Tidak membuang
waktu, langsung memotret moment itu.
Baru beberapa langkah, bentakan merobek keheningan. “No.... no.... You, back off. Move.... move.... back off.”
Puluhan bodyguard berlarian ke arah kami. Merampas paksa kamera saya dan
Joko. “Kalian wartawan?” tanya salah satunya. Bersamaan kami
menggeleng.
Jacko mengamati kami. Saat bodyguard hendak membanting kamera, Jacko
cepat mencegahnya. Lalu Jacko menjentikkan jari, menunjuk pintu gerbang,
meminta kami keluar. Bodyguard menarik baju kami, mendorongnya menjauh,
sambil mengembalikan kamera.
“Just one question, please...” kata Joko ke arah Jacko. Dibalas teriakan
Jacko: “No.... no.... Go out...” Ini yang mengagetkan para bodyguard.
Segera mereka mengejar, kami lari. Mereka mengumpat: “Damned you...” Untung, mereka dicegah Jacko, sehingga tak lanjut mengejar.
Kami digiring dua petugas lokal, keluar. Tiba di pintu gerbang yang
tertutup, kami terkejut lagi. Puluhan, mungkin seratusan wartawan
mengelu-elukan kami. Mereka terkurung di luar. Mereka rupanya melihat
kejadian tadi, pada jarak sekitar 150 meter.
Diantaranya ada wartawan Kompas dan Suara Merdeka. “Gile... bener...
bisa saja kalian masuk,” ujar wartawan Kompas. “Bagi fotonya, dong,”
kata Suara Merdeka. Kami dikerubuti, ditanya-tanya, ditawari rokok.
Kami basa-basi sejenak dengan mereka. Pelan-pelan menyelinap di sela kerumunan massa yang ingin melihat Jacko. Lalu kabur...
Betapa pun mereka kompetitor. Ajaran Pak Dahlan: Jangan kompromi dengan kompetitor, walau mereka kawan.
Malam itu, usai kirim berita, saya kian akrab dengan rumput Raffles.
Enak saja tidur-tiduran. Saya merasa, lapangan dan kerumunan massa ini
bagian dari rekreasi paling mewah dalam hidup. Terasa begitu mesra....
Jelang tidur, memandang lagit. Lagunya berubah lagi. Kali ini lagunya Iwan Fals:
Kemesraan, ini.....
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan, ini.....
THE SHOW MUST GO ON
Konser Jacko, pusat perhatian saya yang tertunda. Jumlah penonton penuh,
sama seperti sepekan lalu. Jacko benar-benar prima di atas panggung.
Lagu “Heal the World” membuat stadion berkelap-kelip, ribuan lilin
bergoyang rancak, kiri dan kanan. Bagai ribuan kunang-kunang di hamparan
ilalang. Alunan slow pop itu membius puluhan ribu manusia. Menyatu
dalam damai.
Heal the world...
make it a better place
For you and for me....
and the entire human race
Seketika, Jacko terhuyung-huyung ke kiri. Geraknya tak lagi beraturan.
Terseok-seok, dan nyaris ambruk.... Namun, berhenti dalam posisi nyaris
jatuh. Kiwir-kiwir...
Kaki kirinya menahan, kanan merentang.
Ternyata itu bagian dari action. Sedetik kemudian dia berkelit, alunan
musik menyajikan break pendek dan cepat. Lantas, dia kembali berlari
lincah ke tengah panggung. Sungguh, atraksi di luar prediksi. Amazing...
Saya mengetik laporan pertunjukan itu dengan sepenuh hati. Saya tetap
berani melaporkannya, meski koran lain sudah memuatnya sepekan
sebelumnya. Sebab, saya sudah mengakrabi lagu-lagu dia. Menjiwai tiap
gerakan dia. Bahkan, tidur nyenyak di rumput depan hotelnya.
Saat pesawat kami meninggalkan Changi Airport, hari masih pagi. Hidung
saya mengalami semacam halusinasi: Tercium wangi bunga Tanjung. Bunga
yang tumbuh di depan Raffles.
Aku pulang, dari rantau....
Berhari-hari di negri orang,
Oh Singapura.....
Oh, di mana... kawan dulu...
Kawan dulu, yang sama berjuang....
(Pembaca, dengan terdengarnya lagu ini, maka sampai disini tulisan saya.
Jika ada kesalahan, saya mohon maaf. Sampai jumpa di tulisan lain.)
Depok, 5 Juni 2012
by DWO