Rabu, 16 Juli 2014

Oala Dahlaaan... Tega Nian Dikau (Lengkap)

by : Djono W Oesman

Oala Dahlaaan… Tega Nian Dikau (1)

Pemimpin tegas dan terarah, membuat organisasi solid dan cepat mencapai tujuan. Sekaligus berisiko: Bisa menyakiti anggotanya. Semua orang bebas memilih, dipimpin orang tegas atau tidak. Seperti halnya Pembaca cerita ini bebas berpendapat, Dahlan Iskan seperti apa?
--------------------

Suatu hari di akhir 1984, saya tak punya berita. Pagi sampai jelang petang keliling Surabaya yang panas dengan motor, hasilnya nihil. Sudah 4 bulan saya jadi wartawan Jawa Pos (JP), baru kali ini tak punya berita. Rasanya grogi luar biasa.

Zaman itu, Pemimpin Redaksi JP, Dahlan Iskan (kini bos PLN) sangat rajin dan galak. Sebelumnya, saya sudah jadi wartawan Radar Kota. Pemrednya Zawawi Lematang, tapi tak serajin dan segalak Pak Dahlan (dia biasa pakai kode: Dis).

Contoh: Dis setiap sore berjaga-jaga di pintu masuk kantor JP di Jalan Kembang Jepun, Surabaya. Tujuannya satu: Tanya ke setiap wartawan yang masuk, "Beritamu apa?” Selalu begitu. Setiap hari, seperti tak pernah lelah.

Kalau ada wartawan menjawab: "Konferensi pers Dharma Wanita, persiapan acara…" Dis langsung memotong: "Itu bukan berita. Apa lagi?"

Wartawan cepat menjawab: "Ada press release dari Humas Walikota…" Dis sudah memotong lagi: "Juga bukan berita. Apa lagi?"

Bila wartawan menjawab : "Tak ada lagi, Pak.” Maka, Dis akan angkat tangan tinggi-tinggi: "Sudah, kamu pulang saja. Hari ini kamu bukan wartawan Jawa Pos." Artinya, mungkin besok dia wartawan JP, jika membawa berita layak JP. kalau tidak, ya diusir lagi. Seminggu berturut-turut diusir, dipecat.

Bagaimana bentuk berita layak Jawa Pos? Sudah diberikan di briefing Dis, rutin setiap malam. Rumit, dan cara mendapatkannya berat. Saya tahu, sebab sebelum di JP saya sudah wartawan. Standar “Layak JP” lebih tinggi dibanding “Layak Muat”. Berita “Layak Muat” yang dijadikan standar koran-koran lain (termasuk Surabaya Post, saat itu rajanya di Surabaya), belum tentu “Layak JP”.

Kata Dis saat itu, hanya dengan begitu (standar tinggi) kita (Koran JP) bisa mengalahkan Surabaya Post. “Kalau tidak, mending kita bubar saja. Cari pekerjaan lain,” ujarnya.

Saat itu tiras JP sekitar 12.000. Ketika diambil-alih Majalah Tempo dan menunjuk wartawannya (Pak Dahlan) jadi Pemred, 1982 (2 tahun sebelumnya) tiras 2.000. Sedangkan Surabaya Post stabil 100.000 sejak 1970-an. (Belasan tahun kemudian terbukti, Surabaya Post tersungkur).

DIUSIR? SIAPA TAKUT?
Jelang 16.00 saya ngopi di pinggir jalan dekat Tugu Pahlawan. Mau ke kantor, ragu. Kabur (pulang) berarti menyerah. Ke kantor berarti siap malu, diusir. Jika kabur, ada kemungkinan besok atau lusa akan terjadi seperti ini lagi. Kalau sering terjadi, berarti saya tidak layak jadi wartawan.

Akhirnya saya pilih ke kantor, siap malu.

Pukul 16.00 lewat, saya tiba di kantor. Motor tidak parkir di tempat biasa (halaman kantor yang mepet trotoar), tapi di warung kopi, persis seberang kantor. Saya ngopi lagi, sambil mengawasi pintu masuk kantor.

Tampak Dis berdiri, bersandar di meja front desk. Dia menyapa setiap wartawan yang masuk. Sesekali dia ngumpet di balik pintu, tapi saya tahu dia ada. Buktinya, wartawan yang baru masuk selalu tertahan sejenak di dekat pintu. Pasti itu karena ditanya-tanya Dis.

Satu demi satu kawan-kawan saya masuk. Artinya, mereka punya berita beneran, bukan abal-abal. Istilah kami “Layak JP”, bukan “Layak Muat”.

Sekitar sejam menunggu, pria setengah baya masuk kantor, salaman dengan Dis, lantas mereka tertawa-tawa. Mereka ngobrol disitu sambil berdiri. Inilah kesempatan. Hari hampir gelap, Bung. Kalau tak maju sekarang, kapan lagi? Saya maju.

DUH... TERJEBAK dalam TOILET
Saat menyeberang jalan, dada saya bergetar kencang. Spekulasi habis. Andai gagal, malunya tambah fatal. Sebab, selain malu di depan karyawan front desk dan bagian iklan (cewek cantik semua), ada tambahan penonton: Tamunya Dis.

Seandainya saya tak disapa Dis, semuanya bakal beres. Saya sudah punya strategi. Saya akan cari berita via telepon kantor. Dalam waktu singkat, pasti saya bisa menghubungi beberapa narasumber. Persoalan beres.

Ternyata saya lolos. Perhitungan saya tepat. Dis memang melihat saya, tapi tak menyapa. Dia malah senyum, sambil tetap ngobrol dengan sang tamu. Saya cepat lari naik tangga lantai 2, menuju mesin ketik, mengetik "Surabaya, JP”. Sudah. Tujuannya supaya mesin ketik itu tak dipakai wartawan lain. Maklum, jumlah mesin terbatas. Lanjut ke meja telepon, ngebel sana-sini.

Saat ngebel dan belum dapat berita, saya lihat Dis naik tangga, menuju ruang redaksi. Dari jauh, dia sudah melihat saya. Pasti dia mau menyapa. Raut wajahnya kelihatan geram melirik saya.

Sebagai gambaran, mencari berita via telepon: Dilarang keras, kecuali untuk keperluan konfimasi (sudah dapat berita di lapangan, lalu konfirmasi ke pejabat). Sebab, selain pemborosan pulsa, juga – ini paling penting – berita yang dibuat wartawan pasti jelek, tanpa deskripsi.

Segera telepon saya letakkan, dan bergerak menuju toilet. Dis tak punya kesempatan menyapa, karena jarak kami masih lebih dari 10 meter. Apalagi, puluhan wartawan dan redaktur hiruk-pikuk, sibuk luar biasa.

Di dalam toilet, saya benar-benar terdesak. Panik hebat. Harapan saya satu-satunya, moga-moga Dis larut dengan kesibukan. Sehingga dia lengah. Lalu saya bisa kembali ke telepon, atau… nggak usah, deh. Lebih baik kabur, pulang.

Jika saya sampai dicegat Pak Dahlan, saya bakal dipermalukan di khalayak Redaksi. Puluhan Redaktur dan Wartawan akan memandang saya sebagai orang tolol. Takut sekaligus menyesal. Kalau tahu begini jadinya, mending tadi pulang saja.

Betapa pun lamanya di toilet, toh saya harus keluar juga. Begitu pintu saya buka, Dis sudah siaga sekitar dua meter dari toilet. Jadi, selama beberapa menit terakhir dia hanya mengejar saya. "Beritamu apa, Dwo?" sapanya. Wajahnya mengkerut, jelas kelihatan marah. Saya sudah kencing, rasanya kok mau kencing lagi.

PERMAINAN, BARU DIMULAI...
Reflek saya jawab : "Biografi pembunuh yang tertangkap kemarin, Pak". Dia takjub, tak menyangka. Berita pembunuhan yang dimuat semua koran hari ini, menghebohkan Surabaya. Dengan wajah heran, dia bertanya: "Narasumbernya siapa?" Saya berusaha tegas: "Keluarganya, Pak.”

Seketika wajah Dis berubah berseri-seri. Dia lantas berteriak keras-keras: "Dirman.... Dirman.... Ini boksnya. Berita dwo, profil Pembunuh....." Teriakan itu menarik perhatian puluhan wartawan dan redaktur yang semula sibuk. Ini suasana biasa disana, setiap ada berita kategori menarik.

Orang yang dipaggil Dirman adalah Sudirman, Redaktur Kota, beranjak dari duduknya, lalu basa-basi menghampiri Dis. "Siap, Pak," ujarnya. Kemudian Dirman mendekati saya, "Cepat diketik, Dwo. Deadline kita hari ini maju, lho," ujarnya. Saya: “Siap…”

Saya menuju mesin ketik tadi, mencabut kertas bertuliskan "Surabaya, JP”, menggantinya dengan kertas baru. Sebab, boks (berita bawah yang dibatasi garis kotak itu) tak perlu tanda "Surabaya, JP”.

Baru, saya minta izin Dirman, "Saya keluar makan dulu, Mas." Diizinkan, "Cepat, Dwo. Deadline maju lho, ya," katanya mengulang, sambil menunjuk ke wajah saya. Saya gemetar:”Siaaaap…. (Depok, 11 Sept 2011)

(Saya benar-benar merasa sangat tertekan. Tindakan gendheng ini jangan ditiru wartawan muda. Lalu, bagaimana saya mengatasinya? Tunggu sambungan posting ini, Sabtu, 14 Apr 2012)


Oala Dahlaaan... Tega Nian Dikau (2-Habis)

Spekulasi bisa menimbulkan kesulitan. Tapi dengan spekulasi, hidup berputar cepat. Menghasilkan dinamika. Menghasilkan greget. Spekulasi sudah menjebak saya dalam kebohongan.
--------------------

Di halaman kantor, saya masih mencari cara mendapatkan berita profil pembunuh. Tapi saya sudah lega bisa lolos dari tekanan. Dibanding saat di dalam toilet, kini saya merasa merdeka. Walaupun bingung. Merdeka tapi bingung.

Saya berusaha menenangkan diri. Kemerdekaan harus dinikmati, mengabaikan bingungnya. Saya berlari-lari di tempat, sambil menggerakkan badan, supaya stress hilang. Tak terasa ditegur Satpam, Pak Kotjo (alm): “Laopo (ngapain), Mas, sampeyan kok seperti petinju mau naik ring?” Saya tersenyum, baru sadar bahwa gerak-gerik saya dipandang aneh.

Sebenarnya, sejak siang tadi saya sudah memburu berita itu, tapi gagal. Alamat yang saya minta dari Eddy Soedaryono (Wartawan JP yang ngepos di Polda Jatim) ternyata salah. Alamat di sebuah gang di kawasan Kalimas itu ternyata rumah kosong. Tanya Ketua RT, RW, dan beberapa pemuda disana, semua menyatakan tak tahu. Yang begini kan tidak mungkin dilaporkan ke Pak Dis.
*****

DUNIA BELUM KIAMAT, BRO...
Langit di ufuk barat kemerahan. Matahari belum benar-benar tenggelam. Rombongan burung Kuntul terbang ke arah selatan. Mungkin mereka pulang, setelah seharian mencari makan, ikan di Selat Madura. Tanda sebentar lagi hari akan gelap.

Motor saya starter, berangkat ke Kalimas lagi. Saya harus bisa. Saya ini Wartawan Republik Indonesia. Masak cari alamat orang saja tak bisa? Kalau hanya cari berita via telpon, siapa yang tak bisa? Maaf... saya ngerem-ngerem (meredam) hati yang galau.

Tiba di Kalimas, saya gunakan cara begini: Masuk dari rumah ke rumah, tanya ke tuan rumah, mana alamat pembunuh?. Saya targetkan, 20 rumah saya datangi, masak tak ada yang mau memberitahu?

Saat saya datang siang tadi, sebenarnya saya sudah curiga pada orang-orang yang saya tanyai alamat pembunuh. Gaya mereka cenderung menghindar. Main lempar-lemparan. Si A bilang, si B yang tahu. Saya tanya si B, diberitahu si C yang kenal. Tanya ke C, dilempar ke orang lain lagi.

Kelihatan, mereka takut walau hanya memberitahu alamat. Padahal, pembunuhnya sudah di tahanan polisi. Dari gelagat mereka, saya yakin alamat itu di sekitar sini. Cuma, tadi saya tidak habis-habisan.

Kini harus digenjot. Kapling halaman sudah disiapkan, Dis sudah yakin berita ini bagus, kawan-kawan sudah terlanjur kagum. Kalau sampai saya tidak dapat, tamatlah dunia ini. Saya terjebak dengan kebohongan saya sendiri.

Rumah demi rumah saya masuki. Semua penghuninya menggeleng. Tapi, belum sampai 10 rumah saya masuki, seorang ibu berbisik: "Dulu rumah keluarganya disitu (rumah kosong), kemarin pindah kesana.”

Luar biasa. Ada saja cara Allah SWT menolong saya. Saat pamitan, saya berterima kasih pada ibu itu yang wanti-wanti (berpesan berulang-ulang) minta namanya dirahasiakan.

Ibu itu memberitahu, katanya, kagum pada profesi wartawan. Dia ingin, kelak anaknya jadi wartawan. Dia sudah melihat saya pada kedatangan saya di kampung itu siang tadi. Dia lihat saya bertanya ke beberapa pemuda. Cuma, karena saat itu saya tak bertanya padanya, dia juga enggan memberitahu.

Jarak rumah yang ditunjuk si ibu (alamat pembunuh) dengan rumah kosong sekitar 200 meter, masih di kawasan Kalimas. Juga melewati gang sempit (lebar sekitar 3 meter).

Motor yang semula saya tuntun, karena terlalu banyak banyak kecil berlarian, dianjurkan warga agar dinaiki saja. Saya menurut, menjalankan motor sangat pelan. Sesekali mengerem mendadak, karena bocah-bocah lari dengan bebasnya.

Begitu motor berhenti di depan rumah yang saya tuju, ibu-ibu yang semula petan (mencari kutu) sambil duduk di pinggir jalan, menghentikan kegiatannya. Mereka mengamati saya. Bocah-bocah yang semula berlarian, menghentikan permainannya, ikut memperhatikan saya.

Rumah itu sangat sederhana. Lebar sekitar 3 meter, berdempetan dengan rumah-rumah di sebelahnya. Pintu rumah warna hijau, pas dengan batas pinggir jalan. Tak ada halaman sama sekali. Pinu itu tertutup, hanya jendela kaca nako yang terbuka.

Rumah ini pasti spesial bagi warga. Sebab, kemarin heboh. Ada penggerebekan. Sehingga warga pasti ingin tahu, apa lagi yang akan terjadi sekarang. Jaket kulit hitam saya menambah rasa ingin tahu mereka. (kayak intel, Bro....)

UNTUNG, WARTAWAN REPUBLIK INDONESIA
Saya disambut lelaki usia sekitar 60. Wajahnya kelihatan sangat lelah. Dia berusaha tersenyum ramah. Saya tanya namanya dan hubungannya dengan pembunuh (saya sebut nama pembunuh), dia menyatakan, sebagai bapaknya. Orang yang tepat. Pas...

Namun, saat saya memperkenalkan diri (wartawan) wajahnya seketika mengkerut. Sambil garuk-garuk kepala, dia mengatakan: “Saya tidak mengundang wartawan, ya Mas.”

Cepat saya jawab, bahwa berita di koran-koran hari ini sudah menyudutkan nama baik keluarga Bapak. “Saya yakin semua orang punya sisi baik dalam hidupnya. Saya akan menulis sisi baik anak Bapak,” kata saya, spekulasi.

Jangan berharap narasumber langsung senang dengan rayuan model begini. Dia tampak gelisah. Saya sadari, dia sedang mencari cara halus mengusir saya.

Sebelum dia menemukan cara itu, saya ceritakan bahwa saya kawannya si A (preman terkenal Surabaya Utara). Masa lalu saya kelam. Semua ini trik. Saat bicara, saya menggerak-gerakkan tangan, agar dia lihat saya bertato di lengan kiri. Gaya saya seperti ibu-ibu memamerkan gelangnya saat bicara. Berhasil. Dia melirik tato saya.

Pelan-pelan wajahnya melunak. Tapi, begitu menyinggung materi wawancara, meskipun dibalut obrolan, dia kembali sensitif. Proses wawancara sangat alot. Saya harus melakukan improvisasi.

Saya paham, keluarganya malu. Apalagi, saat wawancara orang bergerombol, persis dekat pintu masuk rumah. Diantara mereka yang bergerombol, ada beberapa pemuda yang masih kerabatnya. Ini dikatakan si bapak.

Data cukup, saya keluarkan kamera poket (kecil) dari tas. Aturan JP, berita boks (yang dibatasi garis kotak di bagian bawah halaman koran) selalu sepaket dengan foto.

Mendadak, suasana berubah tegang dan panas. Bapaknya membentak-bentak, menolak dipotret. Bentakan itu membuat tiga pemuda yang semula di luar rumah, masuk mendekati saya.

Sebelum dipukul, saya katakan setengah berteriak: “Awas... saya Wartawan Republik Indonesia. Saya tidak memotret.” Sambil berkata begitu, kamera saya masukkan lagi ke tas.

Suasana tegang. Saya perhatikan, tiga pemuda yang berjarak sekitar 3 meter dari saya itu, tidak lagi maju. Wajah mereka yang semula sangar, berangsur-angsur kendor. Saya simpulkan mereka grogi (mungkin gara-gara tambahan kata Republik Indonesia itu).

Tapi, mata mereka tetap memandang tajam ke saya. Sebaliknya, saya juga tidak menghindari pandangan mereka. Saya tahu, mereka sudah grogi, sehingga saya paksakan menatap mata mereka, meskipun sebenarnya saya takut. Posisi saya tidak memungkinkan menghindar, seandainya dikeroyok.

Beberapa saat kemudian, bapak tuan rumah buka suara: “Sudah... sudah. Pokoknya saya tidak mau difoto. Kalau kamu sudah selesai, sudah... pulang saja. Tapi saya tidak mengusir, ya,” katanya.

Saya pamit diiringi pandangan mata tidak suka semua orang yang bergerombol. Motor saya tuntun. Tapi, lagi-lagi ada ibu yang menyuruh saya menjalankan motor. Saya starter, meninggalkan rumah itu.

Di atas motor, di ujung gang, saya potret suasana gang. Harus ada foto. Kilatan lampu membuat orang berteriak-teriak marah. Tapi saya sudah tancap gas, kabur.

Di kantor 21.00, Dirman marah-marah. "Kamu makan di Sidoarjo, ya?” Gelagatnya benar-benar marah, meskipun perkataannya kedengaran guyon. Pak Dis lebih marah lagi. Dia menggebrak-gebrak meja. “Beritanya memang ada atau tidak?” bentaknya.

Saya jawab: “Ada Pak. Ini segera saya ketik,” sambil memasang kertas di mesin ketik. Anehnya, saya sudah tidak takut seperti saat terjebak di dalam toilet. Padahal, kini Pak Dis lebih marah dibanding tadi. Saya lebih takut saat berada di rumah narasumber. Mungkin, kini saya kekenyangan rasa takut. Akhirnya jadi kebal.

Berita saya hajar tulisannya di mesin ketik, sampai kertas melompat. Sebab ketikan sudah sampai lembar paling bawah, handel mesin ketik kuno merek Olivetti itu masih saya kokang. Ganti kertas, lembar kedua...

Pak Dis jalan mondar-mandir gelisah. Deadline sudah lewat. Dalam kondisi begini biasanya dia mengedit sendiri berita wartawan, tidak dilakukan Redaktur. Tapi kali ini lain, “Dwo, kalau sudah selesai, langsung ke layout,” ujarnya. Nada suaranya sudah tidak marah. Artinya, berita langsung ke layouter untuk dipasang, tanpa editing lagi. Waktu mestinya sudah habis.

PASRAH, DIHABISI PAK DAHLAN
Cak Lan, juru cetak foto, nggrundel (menggerutu). Dia baru selesai mencetak foto di ruang cetak. Katanya, foto terlalu gelap. Mendengar itu Pak Dis menghampiri Cak Lan, melihat fotonya.

Disinilah hati saya berdebar-debar. Pak Dis pasti tahu bahwa berita ini baru saya dapatkan (malam), melihat fotonya gelap. Bukan siang tadi, seperti saya katakan ke dia waktu di depan toilet. Kali ini saya pasrah. Terserah, mau dihabisi pun, saya pasrah. Aduh biyung.... malangnya nasibku...

Belum sempat Pak Dis bergerak, ketikan berita selesai. Saya lari masuk ruang layouter menyerahkan berita ini, sekaligus menghindari dia. Ternyata dia tidak mengikuti saya ke ruang layouter. Buktinya, foto dibawa Cak Lan (bukan Pak Dis) ke ruang layouter untuk diserahkan ke petugas layout.

Di ruang layouter, berita diketik lagi di komputer. Hasilnya diserahkan ke petugas pra-cetak. Saya mengawalnya terus sampai berita dipasang, jangan sampai saya bertemu Pak Dis. Sebenarnya saya hanya menunda-nunda ‘diadili’.

Usai semua proses, saya keluar dengan lutut gemetar. Bagaimanapun saya harus keluar. Pasrah saja, Bung.

Pak Dis ternyata tidak kelihatan. Kata seorang teman, dia sudah turun ke percetakan di lantai 1. Saya bersyukur, hati rasanya plong.

Muncul rasa hormat saya yang luar biasa besar terhadap Pak Dis. Sebagai wartawan senior, dia tahu saya berbohong. Tapi rupanya dia lebih memperhatikan hasil daripada proses. Hebatnya, dia sengaja turun ke percetakan di lantai 1, supaya saya bisa pulang tanpa takut bertemu dia lagi.

Pulang, sambil nyetir motor, saya menyanyi. Lagunya Rhoma: “Ya, nasib... ya nasib.... mengapa begini....” (Depok, 12 Sept 2011)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost