Neraka dari “Manajemen Musyrik”
Alangkah hebatnya Indonesia kalau semua potensi tersebut disatukan dalam koordinasi yang utuh.
Kalau saja ada kesatuan di dalamnya, kita bisa memproduksi pabrik apa pun, alat apa pun, dan kendaraan apa pun.
Hanya kepada orang-orang yang bisa fokuslah saya banyak berharap. Hanya di tangan pimpinan-pimpinan yang fokuslah negara bisa bangkit.
Mentri BUMN - Dahlan Iskan
Created by Roni Indrajaya
Manufacturing Hope 2
Minggu, 27 November 2011
Manufacturing hope
tentu juga harus dilakukan untuk bandara-bandara kita. Selain
mencarikan jalan keluar untuk hotel-hotel yang ada di Bali, selama
mengikuti KTT ASEAN saya berkunjung ke pelabuhan perikanan Benoa,
melihat aset-aset BUMN yang tidak produktif di Bali dan diajak melihat
proyek Bandara Ngurah Rai yang baru.
Tanpa dilakukan survei pun semua orang sudah tahu betapa tidak
memuaskannya Bandara Internasional Ngurah Rai itu. Semua orang ngomel,
mencela, dan mencaci maki sesaknya, ruwetnya, dan buruknya. Bandara itu
memang tidak mampu menanggung beban yang sudah empat kali lebih besar
daripada kapasitasnya.
Memang, PT Angkasapura I, BUMN yang mengelola bandara tersebut, sudah
mulai membangun terminal yang baru. Tapi, terminal baru itu baru akan
selesai paling cepat dua tahun lagi.
Berarti selama dua tahun ke depan keluhan dari publik masih akan
sangat nyaring. Bahkan, keluhan itu akan bertambah-tambah karena di
lokasi yang sama bakal banyak kesibukan proyek. Bongkar sana, bongkar
sini. Pindah sana, pindah sini. Membangun terminal baru di lokasi
terminal yang masih dipakai tentu sangat repot. Lebih enak membangun
terminal baru di lokasi yang baru sama sekali.
Menghadapi persoalan yang begitu stres, hanya hope-lah yang bisa
di-manufacture! Karena itu, memajang maket bandara baru tersebut
besar-besar di ruang tunggu atau di tempat-tempat strategis lainnya
menjadi penting. Saya berharap, penumpang yang ngomel-ngomel itu bisa
melihat gambar bandara baru yang lebih lapang dan lebih indah. Perhatian
penumpang harus dicuri agar tidak lagi selalu merasakan sumpeknya
keadaan sekarang, melainkan diajak merasakan mimpi masa depan baru yang
segera datang itu.
Demikian juga, PT Angkasapura II yang mengelola Bandara
Soekarno-Hatta harus membantu manufacturing hope itu. Caranya, ikut
membantu memasangkan maket bandara baru Ngurah Rai di lokasi Bandara
Soekarno-Hatta. Bahkan, maket baru Bandara Soekarno-Hatta sendiri juga
harus lebih banyak ditampilkan secara atraktif.
Tentu, sambil menunggu yang baru itu, bandara yang ada harus tetap
diperhatikan. Mungkin memang tidak perlu membuang uang terlalu banyak
untuk sesuatu yang dalam dua tahun ke depan akan dibongkar. Tapi, tanpa
membuat bandara yang ada ini lebih baik, orang pun akan kehilangan
harapan bahwa bandara yang baru itu kelak bakal mengalami nasib tak
terurus yang sama. Itulah sebabnya, khusus Bandara Soekarno-Hatta,
manajemen Angkasapura II akan melakukan survei persepsi publik yang
bakal dilakukan oleh lembaga survei yang kredibel dan independen.
***
Manufacturing hope kelihatannya juga harus lebih banyak diproduksi untuk
industri rekayasa. PT Dirgantara Indonesia (pembuatan pesawat), PT PAL
Surabaya (pembuatan kapal), PT Bharata Surabaya (mesin-mesin), PT Boma
Bisma Indra Surabaya-Pasuruan (mesin-mesin), PT INKA (pembuatan kereta
api), dan banyak lagi industri jenis itu sangat memerlukannya.
Semua BUMN di bidang ini sulitnya bukan main. Kesulitan yang sudah
berlangsung begitu lama. Di barisan ini termasuk Dok Perkapalan IKI
Makassar, Dok Perkapalan Koja Bahari Jakarta, dan industri sejenis?yang
menjadi anak perusahaan BUMN seperti jasa produksi milik PLN dan
perbengkelan di lingkungan BUMN lainnya. Beberapa di antaranya bahkan
sangat-sangat parah. PT PAL, misalnya, sudah terlalu lama merah dalam
skala kerugian yang triliunan rupiah.
PT IKI Makassar idem ditto. Sudah dua tahun perusahaan galangan kapal
terbesar di Indonesia Timur itu tidak mampu membayar gaji karyawan.
Perusahaan tersebut terjerumus ketika menerima order pembuatan kapal
penangkap ikan modern sebanyak 40 unit, tapi dibatalkan pemerintah di
tengah jalan. Kini 14 kapal ikan yang sudah telanjur jadi itu mengapung
mubazir begitu saja. Sudah lebih dari sepuluh tahun kapal-kapal modern
itu berjajar menganggur.
Bahan-bahan kapal yang belum jadi pun sudah menjadi besi tua dan
berserakan memenuhi kawasan galangan kapal itu. Peralatan produksinya
juga sudah menganggur bertahun-tahun. Salah satu di antaranya bisa
membuat ngiler siapa pun: crane 150 ton! Dok Perkapalan Surabaya yang
ordernya begitu banyak dan sibuk saja hanya punya crane terbesar 50 ton!
Dulu, sekitar 15 tahun yang lalu, saya pernah mengkritik pemerintah
di bidang itu. Saya menulis di media mengapa nasib industri rekayasa
kita begitu jelek.Mengapa kita impor permesinan bertriliun-triliun
setiap tahun, tapi industri rekayasa di dalam negeri telantar berat.
Bahkan, tokoh sekaliber B.J. Habibie pun tidak berhasil mengatasinya.
Waktu itu saya sudah membayangkan alangkah hebatnya Indonesia kalau
semua potensi tersebut disatukan dalam koordinasi yang utuh. Kalau saja
ada kesatuan di dalamnya, kita bisa memproduksi pabrik apa pun, alat apa
pun, dan kendaraan apa pun. Pembangkit listrik, pabrik gula, pabrik
kelapa sawit, pesawat, kapal, kereta, motor, mobil, dan apalagi sepeda,
semua bisa dibuat di dalam negeri.
Sebagai orang yang kala itu sering mengunjungi pabrik-pabrik sejenis
di Tiongkok, saya selalu mengeluh: alangkah lebih modernnya peralatan
yang dimiliki pabrik-pabrik kita jika dibandingkan dengan pabrik-pabrik
yang saya kunjungi itu. Peralatan yang dimiliki PT Bharata, misalnya,
jauh lebih modern daripada yang saya lihat di Tiongkok saat itu. Ahli
pesawat dari Eropa mengagumi modernya peralatan di PT Dirgantara
Indonesia.
Kini, dalam posisi saya yang baru ini, saya tidak bisa lagi hanya
mengkritik. Tanggung jawab itu kini ditumpukkan di pundak saya. Saya
tidak boleh lupa bahwa saya pernah mengkritik pemerintah. Saya tidak
boleh mencari kambing hitam untuk menghindarkan diri dari tanggung
jawab. Tentu saya juga menyadari bahwa saya bukanlah seorang yang genius
seperti Pak Habibie. Saya hanya mengandalkan hasil dari manufacturing
hope.
Tidak mudah perusahaan yang sudah mengalami kemerosotan yang panjang
bisa bangkit kembali. Karena itu, saya harus menghargai dan memuji upaya
yang dilakukan manajemen PT Dirgantara Indonesia (DI) belakangan ini.
Rasanya, untuk bidang ini, DI akan bangkit yang pertama. Thanks to
kesungguhan Presiden SBY yang telah menginstruksikan pengadaan seluruh
keperluan militer dilakukan di dalam negeri. Kecuali peralatan sekelas
tank Leopard, helikopter Apache, atau kapal selam yang memang belum bisa
dibuat sendiri. Pesawat tempur sekelas F-16 Block 52 pun, tekad
Presiden SBY tegas: harus diproduksi di dalam negeri meski harus bekerja
sama dengan pihak luar.Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro juga
sangat serius dalam mengontrol pelaksanaan instruksi presiden itu.
Maka, PT DI kelihatannya segera mentas. Kegiatan jangka pendek,
menengah, dan panjangnya sudah tertata. Dalam waktu pendek ini, sampai
dua tahun ke depan, pekerjaannya sudah sangat banyak: membuat pesawat
militer CN-295 dalam jumlah yang besar. Order ini akan berkelanjutan
menjadi program jangka menengah karena PT DI juga sekaligus diberi hak
keagenan untuk Asia Pasifik. Sedangkan jangka panjangnya, PT DI
memproduksi pesawat tempur setara Block 52 bekerja sama dengan Korea
Selatan.
Adanya kebijakan yang tegas dari Presiden SBY, komitmen pembinaan
yang kuat dari Kementerian Pertahanan, kapabilitas personel PT DI yang
unggul (terbukti satu bagian dari sayap pesawat Airbus 380 yang gagah
dan menarik itu ternyata selalu diproduksi di PT DI), dan fokus
manajemen dalam melayani keperluan Kementerian Pertahanan adalah kunci
awal bangkitnya industri pesawat PT DI.
Instruksi Presiden SBY itu juga berlaku untuk PT Pindad. Maka,
kebangkitan serupa juga akan terjadi untuk PT Pindad. Semoga juga di PT
Dahana. Karean itu, tidak ada jalan lain bagi PT PAL untuk tidak
mengikuti jejak PT DI. Kalau saja PT PAL fokus melayani keperluan
pembuatan dan perawatan kapal-kapal militer nasibnya akan lebih baik.
Apalagi, anggaran untuk peralatan militer kini semakin besar.
Menyerap semaksimal mungkin anggaran militer itu saja sudah akan bisa
menghidupi. Dengan syarat, pelayanan kepada keperluan militer itu sangat
memuaskan: mutunya dan waktu penyelesaiannya.
Lupakan dulu menggarap kapal niaga yang ternyata merugikan PT PAL
begitu besar. Lupakan menggarap bisnis-bisnis lain, apalagi sampai
menjadi kontraktor EPC seperti yang dilakukan selama ini. Semua itu
hanya mengganggu kefokusan manajemen dan merusak suasana kebatinan
jajaran PT PAL sendiri. Memang ada alasan ilmiah untuk mengerjakan
banyak hal itu.
Misalnya untuk memanfaatkan idle capacity. Tapi, godaan memanfaatkan
idle capacity itu bisa membuat orang tidak fokus. Dalam bahasa agama,
“tidak fokus” berarti “tidak mengesakan”. “Tidak mengesakan” berarti
“tidak bertauhid”. “Tidak bertauhid” berarti “musyrik”. Memanfaatkan
idle capacity di satu pihak sangat ilmiah, di pihak lain bisa juga
berarti godaan terhadap fokus. Saya sering mengistilahkannya “godaan
untuk berbuat musyrik”. Padahal, orang musyrik itu masuk neraka.
Nerakanya perusahaan adalah negative cash flow, rugi, dan akhirnya
bangkrut.
Kalaupun PT PAL kelak sudah fokus menekuni keperluan militer, tapi
masih juga rugi, negara tidak akan terlalu menyesal. Tapi, kerugian PT
PAL karena menggarap kapal niaga asing sangatlah menyakitkan. Apalagi,
kerugian itu menjadi beban negara. Rugi untuk memperkuat militer kita
masih bisa dianggap sebagai pengabdian kepada negara. Tapi, rugi karena
menggarap kapal niaga asing dan kemudian minta uang kepada negara sama
sekali tidak bisa dimengerti.
Hanya kepada orang-orang yang bisa fokuslah saya banyak berharap.
Hanya di tangan pimpinan-pimpinan yang fokuslah BUMN bisa bangkit. (*)
Dahlan Iskan
Menteri Negara BUMN