Jumat, 18 Juli 2014

Terbenam di Hiruk-pikuk Tokyo (1-4)


By DWO
Orang paling saya benci: Dahlan Iskan, saat peristiwa ini terjadi. Karena dia, saya terlunta-lunta di negeri orang. Tapi, ada hikmah di balik itu. Apakah pembaca bisa mengambil hikmahnya? Coba saja.
-------------------------


Suatu hari di Mei 1989 kantor Jawa Pos Surabaya mendapat undangan dari asosiasi pengusaha travel. Undangan untuk 1 wartawan liputan 5 hari ke Osaka, Jepang. Biasanya, wartawan ke luar negeri ditentukan redaktur masing-2 rubrik. Kali ini agak lain, Pemimpin Redaksi Dahlan Iskan yang menentukan.
“Biar dwo (saya) yang meliput ini,” ujar Pak Dahlan kepada Redaktur Pelaksana (Redpel). “Sebab, dia belum pernah keluar negeri. Juga, liputan Talangsari (karya saya itu, lho… jangan lupa) bagus,” ujarnya. Mungkin semacam hadiah.

Redpel lalu menghubungi Kabiro Jakarta, menyampaikan pesan tersebut. Sebab, posisi saya saat itu wartawan JP Biro Jakarta.

Kabiro Jkt Edhi Aruman, pagi-pagi menelepon rumah saya. “Dwo, kamu besok sore berangkat ke Jepang. Kamu punya paspor?” tanyanya. Saya gak punya-lah. Buat apa pegang paspor? Edhi menggerutu: “Mangkanya, semua wartawan sudah saya perintahkan ngurus paspor. Kalau ada tugas dadakan begini ini repot.” Dia mengomel.

Meski saya belum pernah ke luar negeri, tapi saya tahu, mengurus paspor butuh waktu. Belum lagi minta izin visa. Kayaknya tidak mungkin saya berangkat. Kabar mendadak yang sangat menggembirakan, berubah seketika jadi mengecewakan. Sedih.

Saya terpaksa, pasrah, “Ya sudah, Mas. Tugaskan wartawan lain yang punya paspor,” kata saya. Ternyata, Edhi ngotot, “Persoalannya, ini perintah Pak Dahlan: Harus dwo. Undangan ini saja mestinya untuk wartawan JP Surabaya, malah kamu yang ditunjuk.”

Busyet… Gile bener ini. Perasaan gembira langsung muncul lagi. Tapi, kini dibarengi rasa tertekan. Bingung. “Trus… bagaimana caranya?” tanya saya. Edhi tak segera menjawab. Mungkin dia bingung juga.

Lalu, “Sudah, begini saja. Hari ini kamu tidak usah liputan. Sekarang berangkat ke kantor. Saya buatkan surat untuk ngurus paspor. Cepat berangkat…” katanya setengah berteriak.

WAHAI, JEPANG... TUNGGULAH AKU...

Waktu pukul 07.00. Saya mengkalkulasi: Rumah saya di Depok, masuk wilayah Kantor Imigrasi Bogor, di arah selatan dari rumah. Sedangkan dari rumah ke kantor di Jalan Prapanca, Jkt, di arah utara, jaraknya 33 km. Waktu tempuh dengan motor paling cepat 1,5 jam. Jalanan setiap pagi padat merayap.

Dari kantor meluncur ke Bogor (balik lagi melewati pagar depan rumah) jarak sekitar 60 km. Waktu tempuh sekitar 3 jam. Itu pun saya masih harus mencari letak Kantor Imigrasi Bogor. Jadi, tiba di lokasi persis saat karyawan istirahat makan siang, yang biasanya sampai 1,5 jam.

Wadoh… ancooor pese’na telor (remuklah telor saya, dibuat mondar-mandir naik motor). Pak Dahlan ini kalau tidak menyiksa saya, mungkin badannya gatal semua. Dasar…

Tapi, betapa pun tugas harus dilaksanakan. Situasi begini ‘kan sudah biasa. Masak wartawan Republik Indonesia pakai mengeluh? Andai gagal, ya sudah. Ukurannya, saya sudah berusaha maksimal. Mentok.

Motor Suzuki A 100 saya pacu, naik-turun trotoar, menghindari macet. Shock breaker belakang sampai menjerit-jerit, seperti minta ampun. Pejalan kaki sumpah-serapah, jalan mereka saya potong. Tiba di kantor 08.25. Lumayan, lebih cepat 5 menit dari prediksi.

Saya tergopoh-gopoh, ketemu Bu Ning (Office Girl). “Ada apa, Mas?” sapanya. “Mana Mas Edhi?” jawab saya. Ternyata Edhi sedang mandi (Kabiro sering menginap di kantor). Saya gedor pintu kamar mandi. “Mas, mana suratnya?” teriak saya.


Mungkin dia kaget, jadi misuh-misuh (mengumpat), “Jiancuk… aku lagi be’ol, kamu ngageti. Kurang ajar…” teriaknya pula. Saya: “Lho… waktunya mepet ini. Suratnya sampean letakkan dimana? Biar saya ambil sendiri.”

Surat sudah dia buat, dia simpan di tas. Sialnya, dia melarang saya mengambil sendiri, sebab katanya, tas itu banyak duitnya. Diampuuut… saya terpaksa menunggu.


Saya baru meninggalkan kantor hampir 09.00.
Di jalan bertarung lagi dengan keruwetan lalu lintas. Selain patuh pada tugas, bayangan gadis-gadis Jepang yang cantik, kulit putih mulus kayak di film-film, berkelebat di mata saya, setiap menyalip deretan mobil yang macet. Deru knalpot bus kota menyembur hitam, di telinga saya terdengar seperti: Geisha… geisha… geisha…

“JALUR CEPAT? CUMA 400 RIBU”

Kantor Imigrasi Bogor baru saja rehat, saat saya tiba hampir 12.00. Cocok dengan perkiraan saya.
Dalam kondisi galau, saya malah dikerubuti calo-calo. “Mau ngurus paspor, mas? Sini, saya uruskan,” kata mereka sambil berusaha merebut tas saya. Tak kuhiraukan. Terus saja jalan masuk halaman kantor.

Petugas loket menyatakan, “Sudah istirahat, mas. Nanti saja jam 13.00,” katanya. Saya katakan, “Saya wartawan Jawa Pos, mau wawancara Pak Kepala.” Maka, wajah pemuda loket itu berubah, memandang saya dengan teliti. Dia bilang, “Tapi, Pak Kanim (Kepala Kantor Imigrasi) sedang makan, tak bisa diganggu.”

Saya menyodorkan surat, “Kalau begitu sampaikan ini saja ke beliau sekarang. Sangat penting soalnya.” Dia seperti ragu-ragu menerimanya, membolak-balik amplop tertutup itu. Saya mendesaknya, “Kalau bisa segera, Mas. Soalnya urgent. Saya tunggu.”

Dia masuk ke ruang dalam, saya menunggu. Mondar-mandir melihat jam. Hampir satu setengah jam, pemuda itu tak kelihatan di loket. Padahal, kantor ini akan tutup dua setengah jam lagi. Perut saya mual, menahan stress.

Saya gelisah, sambil terus menolaki para calo yang secara bergantian mendekati saya. Calo-calo ini gigih merayu, “Kalau jalur biasa selesainya tiga bulan, Mas. Lewat saya sebulan juga jadi. Cuma 400,” ujar salah satunya. Ampun….

Hampir 13.30 loket dibuka, panggilan dimulai. Saya mendekati pemuda itu, “Bagaimana?” tanya saya. Dia langsung paham. “Ntar, mas akan diurus pak Yayat. Tunggu saja,” jawabnya, sambil melanjutkan panggilan.

Saya lantas mencari tahu dari calo, siapa nama Pak Kepala. Diberitahu (saya lupa namanya, bukan Yayat). Mungkin Yayat orang kepercayaan Pak Kepala. Tapi, hati saya plooong…. Ada yang mengurus, nih. Mantap-surantap.

Benar saja. Tak lama nama saya dipanggil, tapi bukan dari arah loket, melainkan dari pintu ruang yang baru dibuka. Saya maju, mendekati lelaki setengah baya yang memanggil, saya salami, sambil melirik tag name di dadanya, “Pak Yayat, saya Djono. Kelihatan anda sibuk sekali, nih,” sapa saya, sok akrab.
Dia menyambut sambil menggerutu, “Wah… anda ini merepotkan saya. Wartawan mintanya selalu mendesak begini. Tidak bisa selesai hari ini. Paling cepat besok siang. Itu sudah mati-matian kami bekerja,” katanya. Saya lemas… Putuslah harapanku…

INI, SAATNYA MAIN DRAMA


Improvisasi, saya main drama, memelas, “Kalau besok, saya bisa langsung dipecat, Pak… Anak saya baru saja lahir, bisa telantar, Pak…” ujar saya stel kendor. Dia memandang heran, “Masak sampai segitunya, sih?” ujarnya. Saya cepat menyahut, “Sumpah, bos saya Pak Dahlan raja tega, Pak.”

Dia diam membisu. Barangkali dia berhitung waktu, atau menunggu inisiatif sogokan dari saya. Rasanya sogokan tidak mungkin, sebab dia tahu saya wartawan. Masak sih dia berani? Lagi pula, saya cuma dibekali kantor Rp 25 ribu. Katanya, itu tarif resmi. Uang saya pribadi Rp 12 ribu, belum isi bensin dan makan. Ruwet sekali.

Saya terpekur dalam kegalauan, dia beranjak berdiri. “Sebentar, ya. Mudah-mudahan tukang foto belum pulang,” ujarnya.


Wajah saya serasa dihembus angin segar, ketika dia menepuk pundak saya sambil berjalan. Saya provokasi, “Tolonglah, Pak. Saya bisa dipecat kalau….” Dia langsung memotong, “Ya… ya… ya… “ ujarnya, bergegas pergi. Saya lekas sadar diri, anjriiiit… main drama jadi over-acting.

Urusan selanjutnya sungguh tergopoh-gopoh. Saya isi berkas, lari foto kopi dokumen. Saat masih menunggu antrean foto kopi, saya dipanggil-panggil. “Cepat… cepat… foto dulu. Petugasnya mau pulang,” kata seorang petugas, bukan Pak Yayat. Saat menuju ruang foto, saya lihat Pak Yayat membawa berkas saya, sibuk keluar-masuk ruangan, rupanya minta berbagai stempel.

Selesai foto, sidik 10 jari. Saat masih berlangsung, petugas lain teriak-teriak, “Djono ini mana kopi dokumennya?” teriaknya pada Pak Yayat. Dia tidak tahu, orang yang dia maksud ada di sebelahnya. Saya menyahut, “Sebentar, Pak. Selesai sidik jari ini, saya ambil di foto kopi di depan.” Kayaknya tahapan berlangsung acakadul.

Jelang 16.00 semua proses selesai. Saya diminta menunggu. Satu demi satu pegawai pulang, termasuk Pak Yayat. Dia tersenyum renyah ke saya, “Bukunya hampir jadi. Tunggu sebentar, terakhir nanti tanda tangan Pak Kanim,” katanya, sambil berjalan menuju parkir mobil.


Hati saya tergetar. Getir rasanya. Segera dia saya kejar. Uang di saku ada 11.000 dan recehan kembalian foto kopi. Sedangkan yang 25.000 sudah saya bayarkan ke kasir. Terburu-buru saya rogoh kantong, dan memindahkan semua isinya ke kantong celana Pak Yayat. “Mohon maaf, Pak. Saya berterima kasih,” ujar saya sambil memasukkan uang.

Pak Yayat sebenarnya tidak mau, tapi tangan saya lebih cepat masuk ke kantong dia. Lantas dia saya salami. Dia, lagi, menepuk pundak saya, “Hebat, kamu main sandiwara tadi,” ujarnya. Alamaaaak…. Aku ketahuan…

Tak lama Pak Yayat menghilang dengan mobilnya, saya dipanggil petugas. Saya terima buku paspor dari Pak Kanim. Dia tersenyum saat saya salami. “Wah… wah… wah… saya dikerjain wartawan, nih,” ujarnya. “Jangan tulis berita jelek Imigrasi, lho,” pesannya. Saya mengangguk, pada posisi terdikte pejabat.

Pulang, sebelum starter motor, saya merogoh kantong. Benar-benar kosong blong. Saya belum makan, motor belum minum bensin. Sulitnya.... hidup ini. (bersambung, 24 jam)


Terbenam di Hiruk-pikuk Tokyo (2)
“Jangan seperti katak dalam tempurung,” titah guru SD saya, dulu. Dalam benak saya waktu itu: Saya harus jadi katak liar, jangan sampai dikurung tempurung. Tapi, kebebasan itu tidak murah.
-----------------------

Perjalanan Bogor - rumah terlalu lama, sebab motor saya pakai bensin campur. Maksudnya, campur dorong, kehabisan bensin di tengah jalan. Saya dorong sampai ketemu SPBU, lalu tanya ke petugasnya, “Mas, saya kehabisan uang. Bolehkah saya beli, ninggal KTP?”


Untungnya dia mau. KTP saya dia teliti, memastikan tidak kadaluarsa. Dia memandang heran ke saya, “Mas wartawan, ya?” tanyanya. Aduh… biyung. Secara tidak sengaja saya sudah memalukan korps. Apa boleh buat, saya mengangguk.

Ketika dia mengisi bensin, mendadak saja saya ingat Pak Dahlan yang (zaman itu) kemana-mana sering tidak membawa uang. Apakah begini, ya cara Pak Dahlan mengatasi, jika ada problem di tengah jalan? (Mohon paragraf ini diabaikan, sebab saya hanya mereka-reka).

Tiba di rumah ba’da Isya. Saya telepon ke kantor, melapor ke Kabiro Edhi Aruman, paspor sudah saya pegang. “Trus… apa yang harus saya lakukan, Mas?” tanya saya. Edhi: “Ya sudah. Malam begini tak ada yang bisa kau lakukan. Saya kira kamu sudah sekalian pegang visa.”

Inilah virus kerja Pak Dahlan, jika diserap secara berlebihan. Jadinya tidak logis. Dia abaikan hitungan jarak dan waktu. Emangnya ngurus paspor bisa dalam beberapa menit? Apalagi di Bogor, sedangkan visa di Kedutaan Besar Jepang, Jalan Thamrin, Jakarta. Logika kerja begini berkembang subur di JP waktu itu.

Pagi-pagi ngantor, mengambil surat pengantar, langsung mengurus visa. Ternyata pengurus visa antre puluhan orang. Berkas ditumpuk urut sesuai antrean. Saya gelisah. Kepada local staff, saya katakan, saya wartawan yang harus berangkat ke Osaka di penerbangan pukul 16.00 sore ini. Dia menjawab, “Maaf, siapa pun harus antre.” Menggelisahkan.

Gaya kerja disini beda dibanding di Imigrasi. Meskipun berkas menggunung, panggilan sangat cepat. Saat ngobrol dengan pengantre, hati jadi was-was. Dia, “Pelayanan disini sangat cepat. Saya sering ke Jepang. Paling lama visa keluar tiga hari,” katanya. Paling cepat? tanya saya. “Ya… ada yang sehari.” Aduh…

Untung, sebelum rehat siang saya sudah dipanggil. Hanya konfirmasi data. Namun, saat petugas mengamati data, dia kaget. Dia baru tahu saya anggota rombongan penerbangan perdana Garuda Indonesia rute Surabaya – Osaka.

Mestinya saya tidak antre di pemohon visa umum, tapi di counter khusus. Mungkin ada kepentingan pariwisata Indonesia-Jepang disitu. “Anda harus cepat. Tiga jam lagi rombongan dari Surabaya sudah berangkat, transit Jakarta, lalu ke Osaka,” katanya.


Visa di tangan, saya ke kantor mengambil tas. Di kantor ketemu Pak Dahlan yang kebetulan ke Jakarta. Dia menyapa, “Anda berangkat kapan?” Saya sebutkan. Dia kaget, “Lho, anda harus cepat. Kalau ketinggalan, saya nggak mau tahu,” katanya. Siaaap, pak.
Sebelum berangkat, dia menugaskan saya membuat laporan KA Shinkanzen, tercepat di dunia saat itu. “Disana kamu jalan saja kemana-mana, lalu buat laporan. Wartawan itu kalau kesasar, semakin baik,” wejangannya.
Lantas, saya mengambil sangu di bagian keuangan. Dijelaskan Endang, bagian keuangan, karena semua biaya dan uang saku saya ditanggung pengundang, maka sangu tidak sebesar standar penugasan luar negeri JP. Sangu saya USD 5 per hari. Saya, pokoknya siaaap…

GALAU, DIKUNCI PANITIA

Pesawat kami hampir mendarat di Bandara Kansai, Osaka, pukul 02.00 (24.00 WIB). Kota terbesar kedua Jepang ini rupanya tak pernah tidur. Dari udara tampak kendaraan di jalan raya masih mengular. Lampu warna-warni memendar di segala penjuru kota.


Kami turun disambut rombongan staf Garuda. Ada seremonial pengalungan bunga. Wartawan di rombongan kami ada 12, tiga dari Jakarta. Selebihnya, puluhan pengusaha travel biro dari Jakarta dan Surabaya. Semua kelelahan digoyang delapan jam penerbangan.
Rombongan kami langsung dibawa ke Hilton. Heran juga, dini hari gini gadis-gadis cantik Jepang yang menyambut kami di hotel wajahnya ceria semua. Mereka mengenakan kimono, dan selalu membungkuk setiap ada tamu masuk.

Jika cewek petugas hotel berkimono rapat, cewek-cewek tamu berpakaian sangat terbuka. Disitulah mulusnya. Gaya berpakaian mereka bukan lagi berciri Timur. Mereka sudah liberal.
Liberalisme seks kian jelas, di telepon umum hotel. Ada buku telepon tebal di tiap unit telepon. Sekitar 50 halaman bagian akhir, ada foto cewek-2 “call me” lengkap dg spesifikasi. (Ternyata itu ada di semua telepon umum).


Bagaimana jika itu dilihat remaja? Bagaimana jika call me adalah saudara, kerabat, tetangga mereka? Hebatnya, liberalisme tidak keluar Jepang, misalnya, melalui film, buku, media massa. Yang keluar film-2 seperti Oshin, Samurai, dan sejenisnya. Bahkan sampai sekarang.

Jadwal acara rombongan ternyata sangat padat. Dari pagi sampai jelang malam, acara terus berganti-ganti pemaparan potensi wisata Indonesia – Jepang. Praktis tak ada jeda, kecuali makan dan tidur. Panitia ‘mengunci’ para wartawan harus ikut semua acara, kecuali rela kehilangan uang saku dan fasilitas lain. Tiga hari di Osaka, dilanjut di Hotel Sheraton, Nagoya yang juga padat acara.

Tugas dari Pak Dahlan tidak bisa saya laksanakan. Padahal, KA Shinkansen rute Osaka – Tokyo (515 km) mestinya sudah bisa saya coba saat di Osaka. Tapi saya ‘terkunci’ acara.

Hari terakhir, panitia menawari wartawan, boleh tidak ikut pulang bersama rombongan. “Tiket pulang kalian bisa kami cancel berangkat dari kota mana saja, kapan saja. Tapi, kami tidak menyediakan fasilitas apa-apa selain cancel,” kata kepala rombongan.

Ternyata yang berani tidak ikut rombongan hanya 3 wartawan: Kompas, Suara Pembaruan, dan saya. Kami bertiga sama-2 minta keberangkatan diundur 2 hari. Tapi kami berpencar. Kompas dan Pembaruan ke Osaka, saya pilih Tokyo.

Ada kawan wartawan menakuti saya, “Biaya hidup di Tokyo termahal di dunia, lho. Uang saku dari panitia lima hari itu bisa habis dalam sehari,” katanya. Saya tetap nekat. Toh masih ada sangu dari kantor. Ingat tugas Pak Dahlan: Tulislah Shinkansen. Wartawan kesasar, justru bagus. Walaupun peringatan kawan itu membuat saya ketir-ketir juga.

MAJU… PANTANG BALIK KUCING

Akhirnya saya bebas dari ‘gembok’ rombongan. Saya tak lagi jadi katak dalam tempurung. Kini saya jadi katak bebas.


Kami berpisah di lobby Sheraton Nagoya. Tujuan saya ke stasiun, naik Shinkansen ke Tokyo. Ketika tiba di stasiun, turun dari taksi, baru saya merasakan: Peringatan kawan tadi mungkin mungkin benar. Ongkos taksinya mahal.

Makan, saya pilih Mc Donald. Mengikuti saran pengusaha travel peserta rombongan yang sudah sering ke Jepang, katanya, lumayan murah dibanding restoran Jepang. Ternyata tidak juga (menurut ukuran saya).

 Sekali makan – itulah makan pertama bayar sendiri – 100 Yen atau setara USD 5. Berarti, uang saku dari kantor per hari, senilai sekali makan McD. Busyet….


Balik ke rombongan, tidak mungkin saya lakukan. Dalam bahasa Surabaya, itu namanya “balik kucing”. Memalukan. Lebih baik mbambung (menggelandang) daripada balik kucing.


Saya beli tiket Shinkansen 10.000 Yen. Whuiiik… setara Rp 1 juta (zaman itu). Saya menelan ludah, tenggorokan kering. Diantara kawan-2 rombongan yang saya tanya, tidak ada yang tahu pasti harga tiket Shinkansen. Ada yang bilang 1.000 Yen, 2.000 Yen. Info mereka menyesatkan,

Masuk KA disambut cewek Jepang cuantik, memberi saputangan putih dingin. Sambil tersenyum dia membungkuk. “Ohayou gozaimasu…” ujarnya sambil menyodorkan nampan isi tumpukan sapu tangan. Saya tidak lagi konsen pada cantiknya senyuman gadis itu, tapi kira-kira bayar berapa, ini? Jiangkrik…

Namun, semua penumpang mengambilnya begitu saja. Saya ambil juga. Saya membungkuk juga, “Arigato Gozaimasu… “ ujar saya. Cewek itu tersenyum senang.


Baru saja KA berangkat, dua cewek cantik-cantik berjalan menawari kopi atau teh, serta sepotong roti kepada penumpang. Karena saya duduk di bagian depan, maka tidak ada contoh soalnya, apakah ini bayar atau tidak?

Tidak usah repot-repot, saya tolak saja. Setelah gadis itu lewat, dan menawari penumpang di belakang, saya meliriknya. Eeee… ternyata itu gratis. Gak ngomong-2, mbak. Tahu gitu…


Tak lama kemudian cewek-cewek cantik lewat lagi. Kali ini membawa nampan berisi piring-piring makanan khas jepang, ada juga seperti nasi goreng. Semua piring tertutup plastik. Ini asli saya tolak. Dan, kali ini saya benar. Terbukti, jarang penumpang yang mengambilnya.

Saya baru merasakan awalnya kemahalan kota besar dunia. Kini saya percaya pada nasihat kawan wartawan tadi. Belum masuk Tokyo, kayaknya duit saya sudah tinggal separo. Saya benar-benar jadi wong ndeso bersangu mepet. (bersambung, 24 jam lagi)
Terbenam di Hiruk-pikuk Tokyo (3)


Jangankan bertugas sebagai wartawan, penyeberang jalan saja berisiko tertabrak mobil. Tak ada kegiatan manusia tak berisiko. Hanya saja, dalam episode ini risikonya, aduh…. Baca sendiri, deh.
-------------------

Kalau saya larut terganggu keuangan, bisa stress sendiri. Bisa gila. Padahal, perjalanan di Shinkansen ini indah. Saya harus tenang, ikhlas, tapi lurus ke tujuan (Ini nasihat Pak Dahlan, lho...). Supaya bisa menikmati keindahannya, sekaligus tugas sukses. Yang penting, kantong sudah saya gembok. Gak beli-beli.


KA ini luar biasa bersih (untuk ukuran saya). Kabin harum semerbak, interior mirip pesawat yang terawat. Lantainya karpet merah, kayaknya berbahan karet, mantap di tapak sepatu. Deret kursi dua-dua, lega untuk selonjor, bahkan bagi tubuh orang Barat dewasa. Kursi juga empuk.

Goncangan nyaris tak ada. Dengan kecepatan 225 km/jam (1989) tidak terasa naik KA(ukuran KA kita). Saya mengeluarkan sebutir telur rebus dari tas (sssst... ngambil beberapa dari breakfast hotel Sheraton Nagoya, tadi) saya letakkan di meja kecil. Apakah telur ini bakal jatuh? Ternyata tidak. Hanya goyang-goyang sedikit.

Toilet, wah... jangan tanya. Bersih mewah, mirip di pesawat. Dilengkapi sensor penyiram, kaca rias, dan harum. Dengan jumlah penumpang 3 miliar orang per tahun (saat itu) sesuai brosur, bisa dibayangkan betapa rajin petugas kebersihan toilet. Kalau petugasnya orang kita, mungkin sudah merasa terbongkok-bongkok. Mestinya pegawai PT KA melihat semua ini, dan meniru.

Di luar, hamparan kebon sangat luas, sejak meninggalkan kota Nagoya tadi. Di kejauhan tampak Gunung Fuji (tertinggi di Jepang) yang puncaknya tertutup awan putih. Pemandangan jadi terasa indah, mungkin karena KA-nya nyaman.


Di KA ini kebencian saya ke Pak Dahlan memudar, mengingat pesannya: “Saya beberapa kali naik Shinkansen. Kamu rasakan nanti, lalu tulis versi kamu sendiri,” ujarnya. Allah menggerakkan hati Pak Dahlan agar memerintah saya, menikmati keindahan ini. Alhamdulillah…

GAYA KINGFISHER TERKAM IKAN

Nagoya-Tokyo (442 km) ditempuh 1 jam 50 menit. Tiba di Stasiun Shinjuku, Tokyo, jelang tengah hari. Saya menuju telepon umum, menghubungi Seichi Okawa. Kami sudah janjian lewat telepon sejak saya di Jakarta.


Okawa wartawan Yomiuri Shimbun, koran terbesar kedua Jepang di bawah Asahi Shimbun. Okawa merangkap wartawan Majalah Tempo yang sesekali mengirimkan tulisan ke JP. Dia doktor anthropologi budaya yang mengambil tesis Suku Asmat, Papua. Jadi, dia lancar berbahasa Indonesia.

Saat saya telepon, dia sedang di kantornya di Shinjuku, tak jauh dari stasiun. Saya sampaikan niat saya menulis tentang Shinkansen. dia lalu memberi petunjuk menemui kepala penerangan Japanese National Railways, pengelola Shinkansen.

Kantornya di Distrik Shibuya, Tokyo. Lengkap diberi petunjuk arah naik bus dari stasiun. “Setelah itu, Djono San datang ke kantor saya,” katanya. Ok. (kata San di belakang nama artinya saudara atau mas)

Saya ketemu narasumber. Pemuda 35 tahun (saat itu Mei 1989) yang saya sudah lupa namanya. Jabatan dia kepala humas, sarjana aerodinamika dari Universitas Tokyo. Bandannya tinggi ramping, mengenakan dasi yang ikatannya dikendorkan, tanpa jas. Penampilannya trendy, dan kelihatan cerdas.


Shinkansen (sejak 1964) pasti sudah ditulis dari berbagai angle oleh banyak media massa dunia. Saya mengambil angle: Mengapa KA ini tidak menimbulkan berisik saat masuk terowongan?

Itu saya rasakan saat masuk terowongan, menembus bukit selama sekitar 5 menit lebih. Bandingkan KA Depok-Jakarta (kecepatan 50 km/jam) jelang masuk Stasiun Cawang, melewati terowongan kecil di bawah jalan MT Haryono. Berisik sekali.

Penjelasannya ternyata menarik (bagi saya). Bentuk lokomotif Shinkansen yang berujung lancip seperti peluru itu rahasianya. Pencipta (saya lupa namanya) mendapat ilham dari paruh burung Kingfisher, burung pemakan ikan. Nama Indonesianya kalau tak salah, Raja Udang, sebab paruhnya lancip warna merah seperti udang.


Dijelaskan, saat KA masuk terowongan dengan kecepatan 225 km/jam, maka udara di dalam terowongan bagai dihantam benda besar yang bergerak super cepat. Semestinya, memang berisik luar biasa.

Dia paparkan teknis ilmiah perhitungan gaya tekan pemampatan udara. Saat menjelaskan, dia membuka beberapa buku tebal. Intinya, menghasilkan ledakan berkelanjutan.

“Untuk menghilangkan berisik, kami menggunakan dua cara. Pertama, bangunan peredam suara yang ada di dua ujung terowongan. Kedua, lokomotif paruh burung itu,” tuturnya.


Pencipta Shinkansen mengamati burung Kingfisher saat memangsa ikan. Ketika dia melihat ikan di permukaan air, segera menukik. Lalu… cleeep. Ikan tertangkap paruh. Perburuan ini nyaris tak pernah lolos. Padahal, saat burung sudah dekat air, ikan selalu lebih dulu masuk ke dalam.

Mengapa ikan kena? “Karena paruh Kingfisher lancip, hampir tidak menimbulkan bunyi saat menusuk air,” katanya. Andai paruhnya tumpul, bukan saja berisik, tapi menimbulkan kecopak air, mengagetkan ikan. Subhanallah… alam menyimpan teknologi canggih sejak jutaan tahun lalu.

Penjelasan lancar dan gamblang. Saya duga, pasti ini sudah banyak ditulis berbagai media massa. Namun, media massa kita saat itu belum. Jadi, saya tulis digabung deskripsi naik Shinkansen.

HOTEL 18.000 YEN, TERPAKSA OK


Saya tiba di kantor Okawa sore, disambut senyum pemuda berambut gondrong itu. Usianya hamper 40, kulitnya putih, tinggi sekitar 170 cm, berbadan gemuk. Baru kali ini saya ketemu dia, tapi saya sok akrab, begitu juga dia. Kami salaman berpelukan seperti sahabat lama tak jumpa. Lalu saya mengeluarkan sesuatu dari tas.

“Ini dari Indonesia untuk Okawa San,” kata saya sambil menyodorkan satu slop rokok Gudang Garam kretek merah. Melihat itu wajah dia binar merona. “Wow…..” teriaknya sambil mengatakan bahasa Jepang yang saya tidak mengerti. “Ini buat saya?” tanyanya. Saya mengangguk. Dia kembali memeluk saya.


Soal rokok kegemaran Okawa ini saya diberitahu Redpel JP, Nani Wijaya. “Rokok merek itu bagi Okawa lebih berharga dari emas,” ujarnya. Sebab, Okawa selama tiga tahun meneliti suku Asmat di Papua, telanjur kecanduan itu. Sedangkan di Tokyo, tidak ada yang jual.

Selama kami ngobrol, saya heran. Kantor ini hanya ada Okawa dan seorang gadis yang selalu mengetik. Mana wartawan lain? “Ini kantor saya pribadi,” jawabnya.

Wartawan Jepang beda dengan di kita. Mereka menyewa ruang kantor sendiri, memiliki sekretaris sendiri. Penugasan dari surat kabarnya melalui telepon, lalu berita diketik dan dikirim via faksimil ke kantor surat kabar. Tentu saja mereka mampu menyewa kantor, tiras surat kabarnya hampir 19 juta eksemplar per hari.

Okawa menjamu saya dengan makanan Jepang. Namun, sebenarnya saya ingin tidur di kantor ini selama dua hari di Tokyo. Cuma, tidak enak menyampaikannya.


“Menginap dimana?” tanya Okawa. Saya jawab belum jelas, karena keuangan saya terbatas. “Sebentar, saya carikan hotel murah,” ujarnya sambil beranjak menuju meja telepon. Dia menghubungi beberapa orang.
Lalu, “Ada ini hotel 25.000 Yen, Ok?” tanyanya, mengagetkan saya. Tanpa pikir, saya jawab, carikan yang lebih rendah dari itu. Hati saya dag dig dug. Saya memperkirakan, berapa sisa uang. Mungkin tidak sampai 30 ribu. Dia telepon ke beberapa nomor lagi.

Akhirnya, “Ini yang terendah 18 ribu. Semua hotel penuh, sebab hari ini awal musim libur panjang sekolah,” katanya. Terpaksa saya mengangguk. Saat Okawa kembali menelepon, saya ke toilet, menghitung sisa uang. Aduh…. Tinggal 32 ribu dan beberapa recehan. Matilah aku….

Saat saya keluar dari toilet, Okawa berkemas-kemas. Hari memang menjelang gelap. “Djono San akan diantar driver saya ke hotel. Tenang saja, nikmatilah Tokyo,” ujarnya. “Ini saya juga siap pulang. Bila lewat pukul enam, kena biaya over-time,” tambahnya. Wuiiih… berarti memang saya tidak mungkin tidur di kantor ini.

Sekretaris menelepon sopir yang segera datang, lantas siap mengantar saya. Kami berpisah. Saya menyalami Okawa. Dia membungkuk, saya ikut juga.

Ternyata hotel pilihan Okawa berbentuk pencakar langit, entah daerah mana itu. Check ini saya katakan untuk sehari, bayar 18 ribu. Diberi kamar di lantai 49. Sisa uang 14 ribu dan recehan. Sungguh saya melangkah lemas menuju lift.

Di kamar, saya membongkar isi tas. Dua hari lalu saya sempat menyimpan uang di tas. Barangkali masih ada sisanya. Kosong. Baru ingat, saya membayar makan di McD dengan uang dari tas. Berarti, asli tinggal 14 ribu plus receh. Keberangkatan lusa 17.30.


Saya memandang keluar jendela kaca. Kamar ini menghadap ke barat. Tampak jelas matahari hampir terbenam di ufuk barat. Lalu lintas di bawah begitu meriah. Aneka lampu menyala dimana-mana. Tokyo begitu meriahnya. Saya terbenam di kemeriahannya.
O… TERBENAM KIAN DALAM


Saya terbangun 08.00 lewat, tak ada yang saya lakukan. Saya sudah tidak bisa berpikir liputan. Di kepala saya hanya ada ini: Tidur dimana nanti malam?

Saat galau, saya ingat bahwa hotel di Osaka dan Nagoya menutup waktu breakfast 09.00. Maka, bagai disengat lebah saya meloncat ke kamar mandi. Sepuluh menit kemudian saya di lift, turun mencari tempat breakfast. Kalau sampai ketinggalan, artinya sarapan harus bayar. Tambah ancur ini.

Benar kata Okawa, hotel ini mungkin penuh. Tempat breakfast ada belasan ruang. Semuanya penuh manusia. Tapi, dengan ramainya pengunjung, saya bisa dengan mudah memasukkan makanan ke tas pinggang. Telor rebus, roti, kentang, minuman, apa saja saya, membuat tas penuh. Fokus saya kini: Survive.

Saat makan, ingat ucapan Okawa: “Hari ini (kemarin) awal musim libur panjang.” Jangan-jangan…. Aduh, kemarin saya diminta konfirm ke Garuda, tapi belum sempat saya lakukan.

Makanan belum habis, saya lari ke telepon umum hotel, menghubungi konter Garuda di Bandara Narita. Hasilnya: “O, bapak terlambat konfirm. Tidak bisa berangkat besok. Tempat diisi penumpang lain,” kata wanita di seberang sana.


Trus… bagaimana? “Bapak bisa berangkat tanggal… (saya lupa tanggalnya, tapi 10 hari kemudian). Apakah bapak ok?” jawabnya balik bertanya.
Kepala saya mendadak pening. “Saya wartawan rombongan Garuda yang mestinya berangkat dari Nagoya kemarin. Tolonglah beri satu seat untuk besok,” desak saya. Wanita itu tahu semuanya.

Dia sudah menerima pesan dari kepala rombongan (orang Garuda, saya sudah lupa namanya) kemarin pagi. Tapi, kesalahan saya tidak confirm sore harinya. Sedangkan kini peak season, saatnya orang bepergian.


Sialnya, saya tidak mencatat nomor telepon rumah kepala rombongan di Surabaya (saat itu hanya beberapa orang saja yang punya HP). Akhirnya, saya minta tolong petugas konter Garuda untuk menghubungi kepala rombongan yang kini sudah tiba di rumahnya.

Setiap lima menit saya telepon petugas konter. Pada telepon keempat dapat kepastian: “Saya sudah hubungi Bapak Kepala Rombongan. Keputusan tanggal… (saya lupa, tapi seminggu kemudian),” wanita itu.
“Tolonglah, saya berangkat besok,” suara saya mulai lemah. Dia jawab: “Tidak bisa pak. Ini peak season. Jadwal tadi sudah maksimal.” (terpaksa bersambung, 24 jam lagi)


Terbenam di Hiruk-pikuk Tokyo (4-Habis)
“Syukuri kondisimu apa pun adanya.” Kalimat ini sering diucapkan orang, namun tidak gampang dijalani ikhlas. Saat terombang-ambing masalah, kadang saya mengumpat, walau kemudian diralat. Itu ada di episode terakhir ini. Ayo… ayo…
-------------------------


Check out dari hotel, tujuan saya tidak jelas. Asal jalan saja, menyusuri pedestrian di bawah terik matahari. Tas di punggung membuat cepat lelah. Satu-satunya teman bicara hanya Seichi Okawa. Tapi, saya enggan ke kantornya lagi. Dia terlalu formal, juga - percuma -saya tak bisa tidur disitu.

Mau utang ke Okawa, sulit ngomongnya. Dia bukan wartawan JP. Hanya sesekali mengirim tulisan. Setahun kadang satu naskah. Malah sudah hampir dua tahun ini saya tidak baca tulisan dia. Tapi, siapa tahu dia bisa mengusahakan saya pulang besok.

Dari telepon umum, saya hubungi kantor Okawa. Diterima sekretaris. “Seichi San sedang hunting berita. O… anda Djono San yang kesini kemarin?” katanya ramah.

Saya lihat kemarin, Okawa punya HP. Besar, seperti Handy Talky Satpam. Tapi, sekretaris keberatan memberi nomornya. Itu aturan Okawa, dia tak berani melanggar. Dia minta saya telepon sekitar sejam lagi. Bagus, sekretaris yang patuh.

Jelang 13.00 saya tenggelam di ratusan orang di pedestrian. Tidak ada gelandangan atau pengemis. Hampir semua pria berdasi, wanitanya stelan seperti safari. Gaya jalan mereka sangat cepat. Mungkin mereka pegawai, kembali ke kantor setelah rehat siang. Mereka masuk gedung-gedung tinggi yang semua papan namanya huruf Jepang.


Nasionalisme mereka, huruf mereka. Semua tulisan kanji, kecuali merek internasional seperti Hilton, Sheraton, McD huruf latin. Orang asing dipaksa menyesuaikan, meski Tokyo kota besar dunia. Presiden Soeharto pernah melarang istilah asing di tempat umum. Akibatnya, “Setia Budi Building” di Kuningan, Jkt, diganti “Gedung Setia Budi”. Setelah Pak Harto lengser, balik lagi.

BEDA WARTAWAN REPUBLIK INDONESIA dengan JEPANG

Sejam berselang, telepon kantor Okawa lagi. Diterima Okawa sendiri. Saya ceritakan soal terlambat confirm, sekaligus minta saran.


“Memang, sekarang peak season,” kata Okawa. Dia jelaskan, ekonomi Jepang sudah bagus (1989). Tiap musim libur, sekitar 90 persen warga bepergian. Separonya keluar negeri, hanya sebagian kecil ke Indonesia. Itu pun jumlahnya ribuan.
“Saya coba hubungi Garuda,” ujar Okawa. Pembicaraan stop, beberapa menit berselang saya telepon lagi. Hasilnya:

“Nama Djono San terdaftar penerbangan minggu depan, tidak bisa lebih awal,” katanya


“Bagaimana cara saya berangkat lebih cepat?”
“Bagaimana kalau ganti Japan Airlines?”
“O… saya tak ada uang lagi,” kata saya, siapa tahu ditawari utang.
“Tiket Garuda batalkan, lost 25 persen. Beli JA.”
Saya tidak tahu harga tiket. Di tiket rombongan Garuda ini tidak tercantum harganya. Sehingga, tidak bisa dihitung, apakah 14.000 Yen cukup. Tapi, spekulasi saya ok. “Kalau bisa hari ini Seichi San, atau besok.” Pembicaraan stop.


Dua kali saya telepon, on-line. Okawa sedang memperjuangkan saya segera pulang. Tampaknya dia suka menolong. Tapi saya tidak bisa mengatakan utang. Di telepon ketiga, tersambung.
“Ah…. JA ke semua kota Indonesia penuh sampai 2 minggu.”
“Penerbangan lain?”
“Hanya ada JA dan Garuda.”


“Arigato gozaimatsu, Seichi San…”
Wartawan Jepang tidak memiliki daya tekan seperti Indonesia. Barangkali, negara yang tidak korup memang begitu. Aturan berlaku bagi siapa pun. Sebaliknya, di negara korup pejabat takut pada wartawan, pers memiliki daya tekan kuat. Efeknya, banyak wartawan palsu. Di negara tidak korup, 90 persen warga bepergian memenuhi hotel dan penerbangan dalam dan luar negeri. Di negara korup, makan pun sulit.

Bahwa saya mengurus paspor hanya 2 jam, sedangkan umumnya masyarakat 3 bulan, apakah diduga ada korupsi? Masyarakat tahu jawabnya.

PENGEMBARA MULAI EKSPLORASI

Dari cerita Okawa, tarif taksi memang mahal. Dibanding bus, bisa 20 : 1 untuk jarak yang sama. Saya harus berani eksplorasi naik bus. Mencari kantong-kantong kumuh, misalnya, seperti Terminal Pasar Minggu. Siapa tahu disana ada gelandangan.

Kini saya mulai naik bus. Sekali naik untuk terusan 350 Yen. Tidak terusan, variatif 40 – 150 Yen. Uang saya 14.000, jika pulang seminggu lagi, rata-rata pengeluaran per hari maksimal 2.000. Andai tanpa hotel (tersisa tarif minimal 18.000) sebenarnya cukup.

Sampai hari jelang gelap, tidak ketemu tempat kumuh. Semua tempat bersih. Tapi, ada temuan menarik. Makanan ternyata murah dan ada di setiap toko dekat terminal. Roti sekepal orang dewasa harga 200. Minumnya susu murni sebotol 750 CC harga 150. Jika sehari tiga kali 1.050 rokok Mild 7 harga 200. Jatah 2.000 per hari masih sisa sebenarnya.

Saat menghitung-hitung uang, terlintas Bandara Kansai, Osaka (awal tiba di Jepang) yang tak pernah tidur. Pukul 02.00 saat itu masih ratusan orang hilir-mudik, baik di terminal kedatangan juga keberangkatan.


Segera saya ganti bus khusus menuju Bandara Narita, di pinggiran Tokyo. Pasti disana ada tempat bersandar. Go… go… go…

Jarak pusat kota Tokyo ke Narita kurang lebih sama dengan Bandara Soekarno-Hatta. Bedanya, jalanan disana tidak macet meskipun jumlah kendaraan lebih banyak dibanding Jakarta. Narita ternyata tiga lantai. Masing-masing lantai terhubung langsung dengan jalan yang juga tiga susun.

Tiba di terminal keberangkatan 20.00 ramainya luar biasa. Sekalian saya konfirmasi keberangkatan yang masih tujuh hari mendatang. Daripada terlambat lagi. Tiket distempel tanggal keberangkatan.

Ruang tunggu yang begitu luas dengan jumlah tempak duduk ratusan, mungkin ribuan, penuh manusia. Inilah hotelku. Pura-pura ketiduran di bangku, bisa melewatkan malam.

Sejam mondar-mandir disana, baru dapat bangku. Mata tak bisa terpejam, meski badan lelah. Masih malu-malu. Apalagi sekitar 23.00 jumlah manusia menyusut. Bangku-bangku di sekitar saya mulai kosong. Saya pindah ke lokasi yang ramai. Pukul 01.00 pindah lagi ke arah pojok karena keramaian bubar. Akhirnya ketiduran juga.


Saya terbangun oleh senggolan pemuda brewok berwajah India. “Whre you come from?” tanyanya. Kami berkenalan (namanya saya lupa, tapi dia dari Bangladesh). Dia sengaja membangunkan saya supaya tidak ditangkap petugas, sebab kini sudah 05.00. Saya juga diajari menyimpan tas di loker. Bayar 100 per hari. Dia tunjukkan arah tempatnya. Dia tak bawa tas. Kayaknya dia gelandangan seperti saya, dan mungkin dia tahu saya seperti dia.

Saat kami ngobrol, dua petugas berseragam berjalan ke arah kami. Pada jarak sekitar 20 meter, pandangan mereka lurus ke kami. Pemuda Bangladesh berdiri. Setengah berbisik dia katakan: “Run…” Kami berdua bubar berpencar. Saya menuju pintu keluar. Kebetulan, bus tujuan kota siap berangkat, saya naik.

Syukur saya menemukan ‘hotel’ Narita. Saya juga dapat pelajaran dari si Bangladesh. Pagi ini saya sudah tidak kalut lagi. Bisa menikmati Tokyo. Sayangnya, sejak pisah dari rombongan, saya tak pernah shalat.

MASJID TOKYO BUKAN TEMPAT TIDUR

Turun di terminal, saya tanya lokasi masjid ke seorang pemuda Jepang. “Tokyo mosque in Shibuyaku,” jawabnya, sambil memberi petunjuk nomor bus yang menuju kesana. Alhamdulillah saya shalat Dzuhur berjamaah disana. Imamnya seperti orang Arab, juga para makmumnya. Ternyata mereka orang Turki.

Kepada pemuda pengepel lantai, saya tanya, “Bolehkan saya tidur di masjid malam ini?” Dia keheranan memandang saya. Lantas wajahnya mengkerut, menggoyangkan tangan, “No… no…” Ya sudah, saya sudah punya hotel. Cuma butuh hotel yang tidak ada petugas security mengincar.

Usai shalat semua orang meninggalkan masjid. Tinggal saya sendiri duduk di terasnya dan pemuda yang terus ngepel itu. Maksud saya akan disini sampai Isya. Tapi, pengepel itu terus memandang curiga ke saya. Akhirnya saya tinggalkan masjid. Lagi pula disini tak ada penjual roti dan susu.

Kembali berkelana naik bus kota. Tanpa tujuan, ngawur saja. Jelang senja, turun di taman kota yang luas. Bersih sekali disini (dibanding Monas). Saya duduk di salah satu bangku.


Pohon-pohon bunga Sakura hanya berdaun, tak ada bunganya. Kata Okawa, musim semi telah lewat. Di musim semi bunganya mekar indah. Tapi ada ratusan merpati disini, mungkin juga ribuan. Terbang dan hinggap dimana-mana dengan bebasnya. Saya menikmati senja diantara ribuan burung. Jelang gelap, sebagian burung naik ke pohon Sakura sekitar taman, sebagian terbang menjauh.

ADUH… AKU TERTANGKAP JUGA

Lokasi loker saya temukan di Narita. Bayar 100, tas masuk, kunci saya pegang. Wah… bener juga saran si Bangladesh. Kini saya tak terlihat seperti pengembara lagi. Pindah-pindah tempat duduk pun enak. Bisa lebih gesit.
Terlintas ingin menemui orang kita di KBRI. Namun keinginan saya batalkan. Betapa pun saya membawa nama Jawa Pos. tidak boleh ada orang Indonesia tahu bahwa wartawan menggelandang.


Belum sempat tidur, mendadak muncul dua petugas security di hadapan saya. “Your passport, please…” kata salah satunya. Wah, ketangkap, nih. Saya keluarkan paspor, mereka meneliti. “Ah… you are journalist.” Ya, di paspor ada kolom pekerjaan.

Seketika mereka lebih ramah. Lalu dengan sopan meminta tiket. Kali ini wajah pemeriksa merengut. Petugas pemeriksa tiket diskusi dengan temannya. Lalu mereka mengajak saya jalan mengikuti mereka. Paspor dan tiket masih mereka pegang. Aduh… bener-bener ketangkep.

Saya disilakan masuk ruangan besar. Ada puluhan security disitu. Mungkin ini kantor mereka. Sebagian mereka menghadapi komputer, sebagian mondar-mandir. Saya diajak masuk ke sebuah ruangan di bagian dalam.

Ruang ukuran 5 X 5 ini lebih nyaman: Harum dan dingin. Banyak monitor CCTV berderet di dinding. Seorang lelaki setengah baya duduk di meja kerja. Dua petugas yang membawa saya menghadap, lalu hormat padanya. Itu komandan. Lantas petugas melapor ke komandan, sambil menyerahkan paspor dan tiket saya.

Setelah meneliti, komandan berjalan mendati saya. Dia buka suara, “Keberangkatan anda masih enam hari lagi, tapi kemarin malam anda sudah tidur disini,” katanya. Dia memencet-mencet tombol remote dan diarahkan ke CCTV.

Ya, ampuuun…. Gambar saya tidur kemarin ada di layar. Komandan memencet remote. Kini, beberapa layar yang berderet itu menampilkan gambar saya semua. Mulai dari kedatangan, duduk, pindah, lalu pindah lagi, lalu pindah lagi, sampai tertidur. Komandan menunjuk data waktu di sudut kanan bawah layar. Sialan, ini sih ketangkap basah.


Komandan lantas menyarankan saya menginap di hotel dekat bandara. Dia tahu masih ada kamar kosong sekarang. Tarif 23.000. Saya langsung menolak, saya katakan tidak punya uang. Saya jelaskan, mestinya saya berangkat kemarin, tapi terlambat konfirmasi.

Sang komandan membalikkan badan, jalan ke mejanya. Mengetuk-ngetuk meja. Beberapa saat kemudian dia bicara kepada dua anak buahnya yang sejak tadi menonton. Lantas, para anak buahnya memberi hormat, “Haik…” teriak mereka serempak. Hati saya dag dig dug, menunggu apa lagi yang terjadi.

Dua petugas lalu mendekati saya. Salah satunya membungkuk dan berkata, “Djono San, mari ikut saya.” Wah, bakal ditahan.

Sebelum meninggalkan ruangan, saya pamit, membungkuk pada komandan. Ternyata komandan membalasnya dengan membungkuk juga. Lalu saya berjalan di tengah diiringi dua petugas. Kok saya tidak diborgol? Ini semua gara-gara Pak Dahlan: “Semakin kesasar, semakin baik.”


UNTUNG ADA BANGLADESH
Anehnya, dua petugas ini bersikap lebih sopan dibanding saat awal tadi. Kami jalan sejajar. Ketika akan belok kiri, petugas di kiri memberi arah tangan agar saya ke kiri. Jika akan ke kanan, petugas di kanan memberi arah. Malah saya kayak pejabat (maaf), bukan tahanan.

Kami berhenti di ujung ruang tunggu bandara. Dua petugas menghentikan langkahnya. Lho… ada si Bangladesh duduk di bangku. Petugas mengatakan: “Djono San, boleh tidur disini,” ujarnya sambil menunjuk sebuah bangku. Plaaas… hati saya senang luar biasa. Saya membungkuk pada petugas, “Haiiiik…”

Mungkin suara saya terdengar aneh bagi petugas Jepang. Mereka ketawa sambil membungkuk, membalas hormat saya. Lantas mereka pamit, meninggalkan saya.

Setelah petugas menghilang di keramaian pengunjung bandara, si Bangladesh tertawa ngakak sambil menuding saya. Penasaran, saya tanya: “Do you also journalist?” Ketawanya malah semakin kencang, sambil teriak, “Of course….” “Dasar… wedhus gibas,” teriak saya. Dia tidak mengerti, tapi tetap saja terbahak-bahak.


Kasus si Bangladesh tidak sama dengan saya. Dia datang beli tiket dua hari lalu, minta langsung berangkat. Tidak bisa. Akhirnya diundur 10 hari kedepan. Sejak malam itu saya tidur bersebelahan dengan dia.

Begitulah, siang sampai jelang malam saya keliling Tokyo naik bus kota. Malamnya merapat ke Narita Hotel. Gaya ini ternyata juga dilakukan Bangladesh. Hanya saja, saya tidak pernah mau jalan bareng dia. Bukan apa-2, dia sering minta uang receh dan rokok. Beberapa kali saya beri. Lama-lama saya khawatir kehabisan juga.


Akhirnya tiba juga saat pulang. Bangladesh yang biasanya suka ketawa cekakakan jadi pendiam saat saya pamitan. Tak terduga, dia terus terang minta uang.

Saya keluarkan semua recehan logam dari kantong. Jumlahnya masih 650 Yen dan Rp 20.000. Semua Yen saya serahkan ke dia. Saya yang melarat ternyata ada yang lebih melarat lagi. Lantas kami berpisah. 


(Depok, 9 Mei 2012)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost