Masih kuat dalam ingatan saya lamanya Suharto menjadi presiden. Tidak perlu bertanya kenapa begitu lama. Sebagian berpendapat itu sudah menjadi cerita usang. Tapi sebagian menjadikan sebuah history yang tidak boleh begitu saja dibiarkan.
Melirik ke persoalan masa kepemimpinan sekarang tentu tidak bisa disamakan dengan masa kepemimpinan dulu. Kita bisa saja memiliki sudut pandang yang berbeda untuk masalah ini. Tapi saya cenderung melihat beberapa calon pemimpin malah asyik dengan saling menjegal, saling mengejek calon yang lain.
Coba lihat di TV-TV para calon presiden yang sudah berkeliaran dengan iklan-iklannya. Memetakan kemiskinan, mempertontonkan ketidakmampuan pemerintah dll. Mulailah dengan sesuatu yang santun.
Sungguh ironis, menjadi seorang presiden tidak bisa disamakan dengan menjadi walikota, gubenur, pemimpin perusahaan atau pemimpin partai sekalipun. Permasalahan begitu kompleks, begitu banyak, begitu crowded. Kematangan manajerial, kematangan emosi dan kematangan ilmu sangat diperlukan.
Saya mempelajari negara tetangga yang kecil. Yang tidak jauh dari tempat saya tinggal. Hanya perlu 45 menit dengan mengunakan Ferry. Singapura… ya Negara kecil yang tidak lebih besar dari Batam. Negara yang minim dengan sumber daya alam tapi mampu mengendalikan perdagangan dunia.
Lee Kuan Yew, dia-lah sang arsitek singapura yang mampu merubah singapura menjadi negara maju mengalahkan negara tetangganya. Dia sangat sadar jika membangun bangsa itu perlu proses yang berkelanjutan dengan road map yang tertata.
Yang beliau pikirkan pertama adalah membangun sebuah dasar (base). Sebelum Negara bisa melompat atau diasumsikan dengan terbang. Maka diperlukan landasan yang kuat. Perlu perubahan perilaku orang-orangnya. Sistem adalah yang pertama disusun dan diterapkan kemudian hukum ditegakkan, Infrastruktur dibenahi. Daya saing pun naik peringkat dikancah internasional.
Mentor saya pernah bilang, inilah perbedaan antara Singapura dengan Jepang. Jika orang Jepang membuang sampah pada tempatnya karena kesadaran tapi orang Singapura karena paksaan. Orang Singapura akan berfikir dua kali ketika akan melakukan pelanggaran. Keduanya memiliki proses yang berbeda tapi hasil akhir yang sama.
Singapura perlu sepuluh tahun untuk membuat landasan yang diinginkan. Dan kemudian mulai naik. Kondisi landasan yang baik mampu menarik banyak investasi dari negara luar. Keamanan terkontrol, hukum melindungi semua lapisan, investasi terjamin membuat negara-negara Eropa, Jepang, Korea berlomba masuk ke Singapura.
Dengan investasi dari luar yang begitu massif, ekonomi Singapura melesat. Berubahlah Singapura menjadi Negara kecil dengan kekuatan Raksasa.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita masih berkutat dengan saling senggol seperti diawal saya singgung. Pemimpin mendatang harus melihat kondisi landasan yang ada sekarang dan menjadikannya sebagai pijakan ke depan. Ini sangat penting sehingga kita tidak bergerak dari nol lagi.
Hanura sudah menentukan capres dan cawapresnya, Gerindra sudah menentukan capresnya, Demokrat sedang dalam Konvensi. Yang lain masih malu-malu atau masih wait and see.
Dari sisi sini saya melihat demokrat tidak ingin mengulang kesalahan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Konvensi diharapkan mampu meneruskan landasan yang sudah dibangun pemerintah sekarang. Tentu dengan penguatan-penguatan di berbagai sisi.
Dahlan Iskan sebagai salah satu peserta konvensi yang menonjol saat ini selalu saya amati. Saya mengikuti update visi misi peserta konvensi dan debat bernegara yang diadakan Demokrat dari berbagai media. Dahlan Iskan memang memiliki karakter yang kuat, terbiasa tertata, visioner, matang dan selalu berfikir out of box.
Asam garam yang dimilikinya dalam membesarkan Jawa Pos memberikan kemampuan managerial yang sangat baik apalagi sebagai mantan wartawan yang sering mengumpulkan data dilapangan membuatnya matang dan kaya dengan masalah-masalah negara.
Melihat cara beliau memaparkan visi misi bidang energi akan membuat kita kagum, beliau mampu menjelaskan dengan singkat padat dan jelas arah kebijakan energi yang akan dilakukan tanpa teks. semua keluar dari mulut beliau begitu saja.
Di beberapa kesempatan Dahlan Iskan selalu mengatakan jika kita tidak boleh bergerak dari nol, landasan untuk terbang sudah ada. Tinggal memoles dari berbagai sisi kemudian kita bisa terbang dengan lelusa.
Salam Demi Indonesia
sopyan.thamrin