Suatu sore di thn ’85, aku duduk dekat Dahlan Iskan di kantor Jawa Pos (JP), Jln Kembang Jepun, Surabaya. Aku (pakai kode dwo) wartawan baru JP, sedangkan Dahlan (pakai kode dis) Pemred JP.
-----------------
-----------------
Saat itu aku baru selesai mengetik berita. Dahlan istirahat sejenak, di sela kesibukan memeriksa semua berita. Tapi, di tangannya masih ada selembar kertas berisi berita teman wartawan JP.
Dis: Hobimu apa, dwo?
Aku agak kaget, tak menyangka Pemred yg sedang rehat dari kesibukannya yg luar biasa, bertanya enteng-2an. Spontan kujawab jujur: “Nonton bioskop dan main biliar, Pak.”
Dahlan diam. Dia mengamati naskah berita di tangannya.
Supaya gak mati suasana, aku balik bertanya: “Kalo Pak Dahlan hobinya apa?”
Ternyata jawabnya sangat pendek: “Kerja.”
Ternyata jawabnya sangat pendek: “Kerja.”
Aku jadi malu dg jawaban dia. Seolah, jawaban itu menampar mukaku. Dlm hati aku mengumpat diriku sendiri: “Goblok kamu. Ditanya Pak Bos, kok dijawab terlalu jujur. Mestinya kujawab: Membaca, kek… atau memburu berita, kek… atau apa-lah yg menggambarkan semangat kerja.
Tapi, di sisi lain, aku juga curiga, jawaban bosku ini tidak jujur. Jaim, sok kerja, pencitraan, biar anak buahnya semangat, biar dia kharismatik, intinya itu jawaban gombal. Orang ini sok keren.
Dwo: Kerja ‘kan bukan hobi, Pak? Itu kewajiban kita.
Dis: Tapi hobi saya memang kerja. (intonasi suaranya naik)
Kami terdiam. Kembali hening. Hanya terdengar hummer mesin ketik kuno merk Olivetti, klotekan bertalu-talu. Beberapa wartawan dan redaktur masih bekerja, mengetik berita.
Aku merasa bersalah, menyodok dengan pertanyaan begitu. Gara-garanya kecurigaanku tadi. Tapi, mau apa lagi, sudah terlanjur. Sekarang aku mau menyingkir dari Dahlan, rasanya kok gak enak. Gak etis. Tapi, diam disini malah jadi kikuk.
Untungnya, redaktur memanggilku: “Dwo, rencana liputanmu besok, apa?” Maka, bergegas aku menghampiri redakturku, meninggalkan Dahlan. Aku bersyukur bisa kabur dari orang yg sok idealis ini.
Hari-hari berikutnya, aku terkaget-kaget. Sebab, sejak itu aku sengaja mengamati semua kegiatan Dahlan di kantor.
Hasil pengamatanku: Pagi-pagi sekali (sekitar pk 07.00) dia sudah ngantor. Dia membaca beberapa koran: Memorandum, Suara Indonesia, agak siang dikit Kompas (tiba di Sby sktr pk 10.00). Tujuannya, dia membandingkan kualitas berita JP dengan koran-2 tsb. Dan, kalau kualitas berita JP kalah (dibanding salah satu kompetitor), dia akan marah-2 kpd wartawan sore harinya, saat semua wartawan sudah ngantor (dari seharian meliput berita).
Sebelum wartawan ngantor, pada tengah hari, dia mengecek (hasil kerja) dan memberi briefing karyawan bagian iklan. Sorenya, mencegat semua wartawan yg ngantor, untuk ditanyai satu demi satu: Apa beritamu? Trus, wartawan menjelaslan, sebelum berita diketik.
Jika dari interogasi itu Dahlan menilai, berita yg didapat wartawan ternyata jelek, maka dia berkata begini: “Itu bukan berita layak JP. Gak usah diketik. Apa lagi?” Dia bertanya “apa lagi?”, sebab syarat seorang wartawan JP harus membawa minimal 3 berita berbeda per hari.
Parahnya, jika 3 berita itu dinilai Dahlan jelek semua, dia tidak segan mengatakan: “Kamu pulang saja. Hari ini kamu bukan wartawan JP. Besok cari berita yg layak, ya…”
Sore, Dahlan memimpin rapat redaksi, mengedit berita, memimpin rapat perencanaan berita esok bersama redaktur. Itu semua sampai malam, sktr pk 23.00.
Setelah semua pekerjaan redaksi di lantai 2 selesai (sktr 23.00) dia turun ke lantai 1 mengamati proses cetak. Mesin cetak ada di lantai 1. Proses cetak selesai sktr 03.00. Barulah dia pulang ke Trenggilis Mejoyo, Rungkut (jarak dg kantor sktr 10 km).
Beberapa jam kemudian (sktr 07.00) dia sudah di kantor lagi. Ini setiap hari, kecuali Minggu dan tgl merah (saat itu JP tidak terbit hari Minggu dan tgl merah).
Malah, di saat tingkat kenaikan laku koran JP dinilai terlalu lambat (naik, tapi tdk banyak), Dahlan tidak pulang berhari-hari. Kemana? Dari percetakan sktr pk 03.00 dia langsung menuju pusat berkumpulnya koran terbesar di Surabaya, di dekat Tugu Pahlawan. Disana para agen koran se Surabaya mengambil koran.
Dini hari begitu Dahlan ndodok (jongkok) tak jauh dari pusat distribusi koran. Maaf, aku dua kali melihat dia begitu, tanpa sepengatahuan dia. Itu berarti aku ikut tdk pulang, hanya gara-2 ingin memantau dia.
Saat dia ndodok disitu, tdk ada yg tahu, bahwa itulah Pemred JP. Sebab, saat itu Dahlan belum terkenal spt sekarang. Pemred itu hanya terkenal namanya, tapi publik tak tahu orangnya.
Apa yg dilakukan Dahlan saat ndodok? Dia hanya diam, pura-2 baca koran, mendengar celoteh para agen: “Whalaaaah… berita walikota maneh. Bakal kurang laris dino iki,” ucap seorang agen koran. (Aduuuh… berita tentang walikota lagi. Bakal kurang laku koran –JP- hari ini).
Semua celoteh agen itu akan dibawa ke rapat redaksi sore harinya. Para wartawan dan redaktur akan ‘diumbah’ habis-2an jika berita JP dinilai para agen sebagai: Kurang menarik. Saya pikir: Suara agen adalah suara pembeli koran. Mereka berpengalaman langsung di lapangan. Dan, mereka rugi jika berita JP jelek.
Sktr 05.00 bursa koran di Tugu Pahlawan bubar. Dahlan pun meninggalkan lokasi tsb. Dia tidak mungkin pulang, sebab dua jam lagi sudah harus di ktr. Maka, dia langsung ke kantor. Apa yg dia lakukan di ktr? Tidur sktr 1 smp 2 jam.
Rasionalkah jam tidur manusia sesingkat itu? Tentu saja tidak. Sebab, Dahlan juga tidur (lagi) di kantor pd sekitar 14.00 selama sktr 2 jam, sebelum wartawan berdatangan ke ktr mulai sktr 16.00.
Aku mengamati itu sepanjang jadi wartawan JP di Surabaya selama 3 thn. Sejak Okt ‘87 aku dipindah tugas ke Jakarta. Dahlan jika di Jakarta, tak bisa kupantau, sebab gerakan dia bisa kemana saja. Aku pun sibuk hunting berita. Tapi, dia sering mendadak muncul ke ktr Jakarta tengah malam pk 23.00.
Kini, jika masyarakat menilai bahwa Dahlan sok kerja, adalah salah besar. Sama salahnya dg persepsiku padanya di thn ’85.
Andaikan suatu hari anda ditanya Dahlan: “Hobimu apa?” maka, jangan jawab: “Main biliar, Pak.” Sebab, anda bakal malu. Sebaiknya, jawab saja pertanyaan dia itu begini: Hobi saya kerja, Pak. Pekerjaan, main biliar… (Jkt, 30 Sept ’13)