Rabu, 03 September 2014

Lari Pagi dengan Dahlan (Bagian 2-Tamat)


Liku-liku Negosiasi Peminta

“Saya ingin bicara empat mata dengan pak menteri,” kata seorang tamu kepada Menteri BUMN Dahlan Iskan. Dia rapi, wangi, berwibawa. Dia yg pertama (dari 15 tamu, termasuk saya dan Jo) diminta Dahlan menyampaikan niatnya.

---------------------

Semua tamu terkejut. Semua terhenyak. Ruang kerja menteri sekitar 10 X 10 meter itu, hening. Para tamu duduk terpekur, mengelilingi meja rapat bentuk oval besar. Dahlan duduk di ujung, sedangkan si peminta ‘empat mata’ duduk paling dekat dengan Dahlan.

Seperti dugaan saya, semua orang yg mendekati Dahlan pasti peminta-minta (termasuk saya). Sekecil apa pun permintaannya. Seremeh apa pun permohonannya. Contohnya, peminta ‘empat mata’ ini.

Dahlan menteri, kami rakyat. Ada interaksi tidak seimbang. Tidak equal. Untung di kami, tidak untung di Dahlan. Walau permintaan kecil, minta foto bersama, misalnya. Bagi kami, foto itu membanggakan. Bisa dipamerkan ke khalayak, meningkatkan personal value. Karena pada diri Dahlan kini melekat power.

Sebaliknya bagi Dahlan, foto itu tidak ada untungnya. Beda, andai Dahlan sudah bukan menteri, kelak. Atau saat dia masih miskin, dulu. Kendati, memang, banyak juga kawan kita yg foto semata kagum pada Dahlan.

Saya agak lega. Permintaan saya (beli limbah di salah satu BUMN) sudah tuntas di mobil tadi, secara delapan mata (Dahlan, saya, Jo, dan sopir). Sedangkan tamu lain tak punya kesempatan itu. Mereka harus menyampaikan niatnya di forum tamu ini.

Permintaan bicara empat mata, mengindikasikan rahasia. Dan, rahasia bisa berarti apa saja, termasuk KKN. Jika KKN bisa berakhir di KPK. Ini alur logis.

Mendadak, Dahlan menyentak: “Tidak ada empat mata. Semua orang bicara terbuka disini,” kata Dahlan dengan wajah mengkerut. Suaranya lantang, menyobek keheningan pagi, menyadarkan orang betapa tegas menteri ini.

Yang terjadi kemudian, tamu itu bicara pelan, mirip berbisik. Membuka data, menyodorkan selembar kertas ke Dahlan. Tempat duduk saya di posisi paling jauh dari Dahlan, sehingga tidak bisa mendengar apa yg dikatakan tamu. Kayaknya, dia berupaya nego.

Tapi suara Dahlan keras, memotong penjelasan tamu. Kesimpulannya, tamu itu karyawan perusahaan BUMN di Sumatera. Ada masalah hukum di internal perusahaan dia, terkait bupati setempat. Lalu dia menyodorkan kertas agar ditanda-tangani Dahlan. Ngeri amat...

Apa jawaban Dahlan? “Persoalan hukum diselesaikan di kepolisian. Tidak boleh saya intervensi,” katanya. Lalu tamu menanggapi (saya tidak dengar suaranya). Dahlan cepat memotong: “Tidak bisa.”

Tamu masih menawar lagi, “Kalau begitu, tolonglah pak menteri menghubungi pak bupati.” Dahlan berpikir sejenak, lalu: “Mana nomor telepon bupati?” Ternyata si tamu tak punya. Ya sudah. Selesai.

Dahlan bertanya ke tamu itu: “Ada persoalan lain lagi?” Dijawabnya, tidak. Lantas Dahlan mengalihkan pandangan ke tamu-tamu lain. “Siapa lagi punya persoalan? Coba, sekarang anda,” katanya, menunjuk tamu lain. Otomatis, tamu peminta ‘empat mata’ mohon diri.

Minta Dijadikan Komisaris

Saya hitung waktu, pembicaraan Dahlan dengan tamu pertama hanya 16 detik. Luar biasa...

Tamu-tamu peminta-minta (tolong) lain, juga dipatahkan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Saya nilai, posisi Dahlan benar, dan dia menyampaikan kebenaran dengan sangat tegas.

Saya paham kini, mengapa Dahlan tidak membatasi tamu, sebagaimana umumnya pejabat tinggi negara. Karena dia menghadapi tamu dengan cara begitu. Terbuka, logis, jujur, cepat, dan tegas.

Untuk item yg disebut terakhir itu, pasti bisa memalukan si peminta (tolong). Yakni: Ditolak tegas di depan orang banyak. Malu-lah... Dan, sangat mungkin perangai Dahlan ini sudah tersebar di kalangan tertentu. Sehingga orang ngeri minta-minta (tolong) yg gak jelas. Sehingga kuantitas tamu terseleksi secara alamiah. Sehingga dia tidak perlu repot-2 membatasinya. Hebat...

Tapi, di pagi yg cerah itu tak semua tamu ditolak. Tamu dari Perumnas minta Dahlan memberikan sepatah kata (shooting video) dalam rangka HUT Perumnas. Oke... dilakukan dengan cepat.

Ada lagi tamu meminta Dahlan hadir di kampanye Capres Jokowi-JK di Depok, Bogor. Diterima: “Boleh, asal bukan di hari kerja.” Lantas ditentukan waktunya. Tamu ini dipuji Dahlan, sebab berani keluar dari pegawai negeri, beralih menjadi pengusaha.

Proses minta-meminta (disebut juga lobbying, audiensi, atau apa pun) berlangsung cepat. Kini tinggal empat orang tamu. Terdiri dari dua kelompok permintaan, saya dan Jo di satu kelompok, dan dua orang bapak di kelompok sana.

Dahlan lalu menunjuk kelompok sana agar bicara. Berarti, saya dan Jo benar-benar yg terakhir. Asyik... andai ditolak gak malu.

Ternyata suara bapak itu sangat-lah pelan. Sampai-sampai Dahlan yg hanya berjarak tak sampai semeter gak dengar. “Apa? Apa?” tanya Dahlan sambil meringis.

Bapak yg satu lagi membantu bicara, tapi pelan juga. Saya sungguh tak dengar. Baru-lah Dahlan mempertegas, “Anda minta dijadikan komisaris Telkom?” tanyanya lantang.

Dua bapak itu mengangguk, terus menunduk. Saya mengamati wajah mereka. Terkenang saat saya masih di bangku SD, dulu, dimarahi guru karena belum mengerjakan PR. Menunduk sambil menggaruk-garuk jari yg tidak gatal. Alamaaak...

Jadi ingat gaya pelawak Srimulat. Seorang pelawak minta sesuatu ke lawan mainnya. Tapi, karena takut ditolak, permintaan disampaikan dengan gerak tubuh melilit-lilit, memilin bagian bawah baju, mulut monyong, dan bicaranya gak jelas.

“Apa? Aku gak dengar? Kamu minta dijadikan komisaris Telkom?” begitu kira-kira pertanyaan pelawak. Lantas yang ditanya tambah grogi, salah tingkah. Menunduk sambil mengangguk.

Maka, pelawak yang dimintai menyatakan dengan tegas: “Lha kok nyimuuuut...”

Tapi, sang tamu kemudian mengatakan sesuatu. Dengan suara pelan lagi. Segera Dahlan menanggapi, “Ingat, saya tidak meminta anda mengerahkan Dahlanis lho,” katanya. Kesimpulan saya, orang itu mengerahkan Dahlanis. Trus, minta kompensasi dijadikan komisaris Telkom.

Giliran Saya, Nih...

Tiba-tiba, Dahlan menunjuk saya, sambil berkata: “Dia itu teman baik saya. Datang kesini tidak minta apa-apa, malah mau membeli. Saya sulit mengabulkan. Padahal dia teman sangat baik saya,” ujarnya.

Diampuuut... (dalam hati). Dengan ucapannya itu Dahlan sebenarnya sudah menolak dua permintaan sekaligus. Dari dua kelompok tamu terakhir. Lemes saya. Ya gak masalah. Namanya juga upaya. Kadang sukses, kadang gagal.

Namun, Dahlan menjelaskan berbagai hal terkait permintaan saya. Dia paparkan teknologi produksi energi berbahan baku limbah. Dia ajarkan trik-trik membeli limbah di perusahaan swasta.

Menurutnya, jika membeli ke BUMN bisa membawa dia dan saya diperiksa KPK. Saya memang agak ngeyel (nego-lah), dengan mengatakan, tidak mungkin tender. Sebab, investor Korea bersama mitra lokal ini membawa teknologi baru. Sehingga belum ada pesaing.

Dahlan membalas, bisnis tidak mungkin tanpa pesaing. “Andai ini saya terima, lalu dalam tiga bulan produksi itu kelihatan menguntungkan, maka langsung muncul pesaing. Dan, pesaing itu bisa mengajak LSM mempersoalkan hal ini ke KPK, karena tanpa melalui tender.” Ah... bener logikanya. Bisa ke KPK.

Tamu calon komisaris Telkom tak dihiraukan Dahlan lagi. Lebih dari setengah jam dia memberi wejangan ke saya dan Jo. Lantas Jo ikutan nego, “Perusahaan ini sudah membeli limbah dari koperasi yang sumber limbahnya dari BUMN di Sumatera, pak.”

Cepat Dahlan menyahut, “Nah... kalau beli ke koperasi tidak ada masalah. Bukan dengan BUMN,” tandasnya.

Anehnya, dua tamu di kelompok sana gak pulang-pulang juga. Mereka malah ikut mendengarkan arahan Dahlan. Anjriiit banget tuh orang...

Akhirnya, saya berdiri, mendatangi Dahlan, berpamitan. Dia kaget: “Lho... anda mau kemana?” Saya jadi ikut kaget, tapi lemes: “Ya... pulang, Pak Bos.”

Setelah saya dan Jo keluar dari ruangan Dahlan, baru saya sadar bahwa saya masih mengenakan keplek (tanda tamu) apartemen Capital Residence (rumah Dahlan) di dada saya. Maka, saya pulang ke rumah Dahlan dulu, baru kemudian ngantor.

Kini, upaya saya dan Jo sedang proses, dengan swasta dan koperasi. Saya mendapat pelajaran berharga dari Dahlan. Bukan hanya berupa gerakan senam yang unik meliuk-liku itu. Tapi juga logika terkait KKN. (Jkt, 16/06/14)

Tulisan Djono W Oesman.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost