Rabu, 03 September 2014

Lari Pagi dengan Dahlan (Bagian 1)

Cara Menteri Hadapi Banyak Tamu

“Hubungan antar manusia harus saling menguntungkan,” kata orang bijak. Di musim dukung-mendukung Capres ini, saya cerita tentang Menteri BUMN Dahlan Iskan ‘dikeroyok’ tamunya (termasuk saya) dengan aneka kepentingan. Seru..
---------------------

Umumnya pejabat tinggi negara membatasi tamu. Sebab kebanyakan tamu minta-minta. Ada yg minta bantuan menangani suatu persoalan, minta proyek, minta memo, minta jabatan, minta duit. Tapi, Menteri BUMN Dahlan Iskan tak membatasi tamu. Semua diterima.

Akibatnya, jumlah tamu Dahlan banyak. Bisa lebih dari 10 orang tiap pagi. Baik dari BUMN, atau luar. Para tamu tidak perlu mengisi buku tamu. Banyak yang mencegatnya di lapangan Monas, karena tiap dini hari Dahlan senam disana.

Tal ayal, permintaan kepadanya bertubi-tubi. Betapa repotnya Dahlan menghindari. Kalau ditolak, diantara tamu banyak yg sahabat. Kalau dituruti, kejeblos KKN, dan bisa dipanggil KPK, trus dibui. Inilah ujian seorang menteri.

Tapi, saya menyaksikan, sungguh cerdas Dahlan mengatasi itu. Pagi itu (sepekan lalu) saya termasuk tamu. Termasuk peminta-minta juga. Walau saya diterima Dahlan secara khusus: Tamu spesial.

Sebenarnya, sejak Dahlan jadi pejabat publik, beberapa orang meminta saya menghubungkannya ke Dahlan. Tujuan mereka macam-2. Intinya minta-2. Tentu mereka menjanjikan hadiah ke saya. Saya tolak semua.

Saya harus jadi filter bagi Dahlan. Dia guru jurnalistik saya. Dulu, saya jadi filter untuk semua berita (news) yang saya dapatkan saat jadi wartawan Jawa Pos di bawah pimpinan Dahlan. Self editing namanya. Kini pun mestinya begitu.

Saya tahu, kawan-2 eks wartawan Jawa Pos mendekat ke Dahlan. Pasti-lah minta ini-itu. Minta pekerjaan, sampai biaya berobat. Ada yg dikabulkan, ada yg ditolak. Dahlan jadi repot, sedangkan yg ditolak pasti malu. Ngeri membayangkannya.

Kini, ada investor asing membawa teknologi terbaru, berniat membangun industri energi di Indonesia. Bahan bakunya limbah. Mereka dengan mitra lokal sudah mohon beli limbah ke salah satu BUMN. Belum direspon. Mereka lantas merekrut saya, dengan syarat: Minta bantuan Dahlan.

Beberapa hari saya timbang-2: Minta beli limbah. Tidak semata-2 minta. Kayaknya tidak merepotkan. Rasanya aman. Paling banter harus tender. Tapi, belum ada pesaing. Ini teknologi baru. Akhirnya, saya siap me-lobby Dahlan.

Saya, Tamu Khusus

Sekitar pukul 19.00 saya SMS ke Dahlan: “Pak Dis, sy dwo, ingin lari pagi bersama Bapak di Monas, jika jadwal Bapak kesana besok pagi.”

Di luar dugaan, Dahlan merespon melebihi harapan saya. Dia menyatakan, “Ayo... kalau mau berangkat bersama saya, anda bisa tunggu di lobby apartemen. Jangan lewat dari jam 5.” Kontan saya jawab: “Siap Pak Bos.”

Saya kontak teman Muhammad Agus Jauhari yg menghubungkan saya dengan si investor. Saya tanya, apakah dia ikut menghadap Pak Dahlan atau cukup saya? Dia mengatakan, ikut...

Jo (panggilan Muhammad Agus Jauhari) langsung meluncur ke kantor saya di Blok M. Malam itu saya di kantor. Jo mengusulkan, sebaiknya kami tidur di kantor saya. Sebab, saya tinggal di Depok dia di Citayam (50 km ke pusat kota Jakarta). Kalo kami dari rumah, paling lambat berangkat pukul 03.00. Ada kemungkinan kesiangan.

Jo tiba di kantor saya pukul 22.00 lewat. Saya tanya, “Sampean tahu ‘kan apartemen Pak Dahlan?” Dia ternyata menggeleng.

Alamaaak... Mati aku... saya juga tak tahu apartemen Pak Dahlan. Sedangkan hari sudah larut untuk mencari tahu. Jo menyesal, “Mengapa sampean tadi gak tanya Pak Dahlan, pak?” Kujawab: “Busyet... gak enak Wak Jo. Mosok kita gak tau rumahnya Pak Dahlan.”

Tapi, saya dan Jo sama-2 wartawan. Soal begini sudah biasa. Apalagi, sekarang internet menjawab segalanya. Melalui internet, saya bisa tahu sampai peta lokasinya.

Saking semangatnya, kami memutuskan tidak tidur. Khawatir bablas (bukan mati, lho...) Kami membuat kopi, gelas besar. Ngobrol sampai pagi. Pukul 04.25 kami berangkat, tanpa mandi. Saya mengenakan kaos pinjaman (karena semula pakai kemeja) dan celana panjang biasa. Jo, malah kemeja dan celana panjang biasa. Gak pantas-lah jadi pelari pagi.

Di lobby apartemen Capital Residences (ya... ini rumahnya Pak Dahlan) pukul 04.40. Kami terpekur di sofa besar. Kami melawan kantuk. Pukul 04.50 sopir Dahlan, Zahidin, muncul membawa Mercy hitam. Dia menyapa kami, terus shalat Subuh.

Dahlan keluar dari lift pukul 04.58. Luar biasa... Saya kagum dengan disiplin waktunya, sejak dulu sampai kini. Bayangkan, ketika saya hubungi pukul 19.00 (beberapa jam sebelumnya) dia masih meeting di Denpasar, Bali.

Saya mendekati Dahlan, bersalaman, cipika-cipiki. Saya rasakan keakraban dengannya bertahun-tahun silam. Keakraban yg sama. Dia bilang, kurang tidur. Wajahnya lesu. Setelah dia salaman dengan Jo, kami berangkat disopiri Zahidin.

Di mobil, Dahlan bertanya tentang anak-anak saya. Teringat nasihat dia ke saya bertahun-tahun silam: “Kalau kamu menghormati narasumber, basa-basi tanyai dia tentang anak-anaknya. Maka, dia pasti senang, dan informasi akan mengalir ke kamu.” Nasihat yg selalu saya terapkan. Berarti, sekarang saya diberi kehormatan.

Tapi, pertanyaan Dahlan tentang 4 anak saya ternyata detil, bukan basa-basi. Saya segera menduga, dia pasti mengira saya mau minta tolong memasukkan anak saya kerja di BUMN atau Jawa Pos. Dia sedang membuka kesempatan ke saya. Sebab, hingga kami tiba di Monas topiknya hanya anak saya.

Turun dari mobil, Dahlan disambut asistennya, Azis, dan seorang pejabat Kementerian BUMN. Juga, sederetan petugas keamanan Monas. Lalu, Dahlan menghampiri satu per satu petugas keamanan, dan memberinya coklat. Saya dan pejabat BUMN berjalan mengapit Dahlan di tengahnya.

Mereka Melompat, Saya Menari

Di lapangan, dia disambut seorang wanita setengah baya keturunan Tionghoa. Dahlan menyapa lebih dulu dengan bahasa Mandarin. Mereka pun nyerocos dalam Mandarin.

Kami tiba di barisan pria-wanita yang sudah siap senam dengan iringan musik dari tape recorder. Mereka berseragam kaos oranye dan celana training, persis seperti yg dikenakan Dahlan dan 2 pengawalnya itu.

“Dwo, anda boleh ikut senam. Boleh juga duduk-duduk merokok disana,” ujar Dahlan. Saya tersenyum. Membaca pikiran Dahlan, bahwa dia menduga-2, saya bukan berniat senam, melainkan suatu kepentingan yg belum saya sampaikan.

“Saya ikut senam, pak,” jawab saya sambil lari di tempat. Dahlan tersenyum. Dia di depan memimpin barisan, saya dan Jo pilih deretan paling belakang.

Gerakannya ternyata unik, melenggang dan meliuk ikut irama lagu. Gampang, tiru saja mereka. Beres. Gerakan saya selalu salah, memang. Mereka ke kiri, saya ke kanan. Mereka melompat, saya masih menari. Aduh... Tapi, saya terus berusaha meniru. Toh, orang tidak perhatikan, sebab saya paling belakang.

Pada momen tertentu, barisan hadap kiri, hadap kanan. Nah... ketika barisan berbalik, maka saya dan Jo berubah jadi deretan paling depan. Disinilah saya grogi. Semua mata kini tertuju ke saya dan Jo. Lantas Jo langsung istirahat.

Saya pantang menyerah. Sambil melirik gerakan di belakang, saya mengikuti irama. Saya dengar ibu-ibu di belakang tertawa. Sialan... tapi, saya terus bergerak. Sampai momen balik kanan, dan Dahlan jadi pemimpin lagi. Aman...

Lama-lama saya memahami dasar-2 gerakan. Sehingga saat barisan berbalik dan saya di depan, saya tetap pede. Saya lirik, Jo duduk merokok, jauh dari lokasi barisan. Dalam hati saya: “Itulah contoh orang yang mendekati Pak Dahlan untuk cari proyek...”

Senam berlangsung cukup lama. Jo menghitung ada 21 lagu. Saya menghitung hampir 90 menit. Begitu usai, belasan orang mendekat ke Dahlan. Saya heran, mereka semua tidak ikut senam. Rupanya mereka sudah mengintai.

Dahlan menanggapi mereka dengan enteng: “Ya... semuanya bertemu di kantor saya. Anda semua ikuti Pak Azis. Dwo, anda ikut saya,” katanya sambil masuk mobil. Saya dan Jo ikut mobil lagi. Formasi dalam mobil, sama saat kami berangkat tadi.

Disitulah, saya sampaikan niat saya ke Dahlan. Singkat padat. Ternyata Dahlan sudah sangat paham persoalan teknologi baru yang akan dibawa investor asing itu. Dia malah menjelaskan, singkat padat berisi. Intinya, belum ada nada penolakan atas permintaan saya.

Di dalam kantor Dahlan, belasan orang termasuk saya dan Jo, duduk di meja rapat. Baru kali ini saya masuk ruang kerja Dahlan. Saat semua berkumpul, Dahlan minta izin ganti pakaian. Beberapa menit kemudian dia keluar, mengenakan kemeja putih celana hitam. Wajahnya cerah bereri-seri. (bersambung)

Tulisan Djono W Oesman

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost