Jumat, 05 September 2014

Tiga Amunisi Jero Wacik untuk Dahlan Iskan

13651265301512301602
Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)
Setelah 50 tahun dikuasai asing akhirnya Indonesia memiliki kesempatan untuk mengelola ladang minyak dan gas Blok Mahakam di Kalimantan Timur. Karena pada tahun 2017 kontrak kerja Total EP Prancis dan Inpex Corporation Jepang berakhir. Tapi jangan senang dulu. Jalan masih panjang. Kontrak boleh saja berakhir namun kontrak bisa juga diperpanjang. Indonesia sekarang berada dipersimpangan itu.

Pertamina dengan dukungan Menteri BUMN Dahlan Iskan sedang giat-giatnya mengampanyekan agar Blok Mahakam dikembalikan ke pangkuan Ibu Pertiwi. Sedangkan Menteri ESDM Jero wacik walau dengan malu-malu berupaya agar Blok Mahakam tidak dikelola oleh Pertamina. Minimal tidak 100% dikelola Pertamina.

Untuk membendung keinginan Pertamina dan Dahlan Iskan, Jero Wacik menyiapkan beberapa amunisi yang berupa alasan-alasan. Mari kita bedah satu persatu. Pertama, Jero Wacik menyangsikan kemampuan keuangan Pertamina. Seperti diketahuai kalau Pertamina ingin mengelola Blok Mahakam mereka harus menyiapkan investasi yang tidak sedikit. Sekitar 200 triliun. Menurut Jero Wacik Pertamina akan kesulitan.

Sebaliknya Pertamina yakin bisa menyiapkan investasi sebesar itu. Sebagai perbandingan untuk 2013 saja Pertamina menyiapkan belanja modal (capex) sebesar 64 triliun. Jadi untuk menyiapkan uang 200 triliun selama 4 tahun tidaklah terlalu sulit bagi Pertamina. Toh juga nanti Pertamina akan mengelola ladang minyak yang sudah berproduksi. Disamping berinvestasi Pertamina langsung mendapat pemasukan dari Blok Mahakam saat itu juga.

Belum lagi dukungan Dahlan Iskan yang sudah terbukti piawai dalam mensinergikan perusahaan BUMN. Seperti proyek spektakuler jalan tol Bali, yang tidak menggunakan APBN sama sekali. Dahlan Iskan tinggal meminta Bank-Bank BUMN membantu Pertamina dalam hal pendanaan. Bank mana juga sih yang tidak tergiur menjadi kreditur perusahaan sekinclong Pertamina?

Tapi tentu saja seperti yang dikatakan Dahlan Iskan. Pemerintah khususnya Jero Wacik mengambil keputusan sekarang. Kalau keputusannya ditunda terus sampai menjelang 2017 tentu Pertamina akan kewalahan. Ini pernah terjadi di Blok Madura (WMO) keputusannya sangat mepet. Pertamina kelabakan, apalagi mendapati tambang yang dalam keadaan tidak baik.

Sekarang yang dibutuhkan oleh Pertamina adalah ya atau tidak. Tidak boleh ada jawaban abu-abu. Kalau ya, Pertamina bisa menyiapkan diri. Kalau tidak, Pertamina bisa berkonsentrasi untuk mengerjakan yang lain.

Kedua, Jero Wacik meragukan kemampuan Pertamina secara teknis. Dia merujuk kepada Blok Madura (WMO) dan Blok ONWJ Cirebon-Kepulauan Seribu yang sebelumnya diserahkan pengelolaannya ke Pertamina. Saat dikelola Kodeco Energy Korsel Blok Madura memproduksi sebesar 13 ribu barel perhari. Saat dikelola Pertamina produksinya anjlok di bawah 10 ribu barel perhari. Tapi penurunan produksi itu bukanlah disebabkan oleh kekurangmapuan Pertamina. Melainkan kekurangsiapan Pertamina karena pemerintah mengambil keputusan yang sangat mepet.

Dua tahun sebelumnya Kodeco tidak berinvestasi sama sekali. Seandainya keputusan cepat tentu Pertamina bisa berinvestasi dua tahun sebelumnya. Sekarang Pertamina membuktikan bisa memulihkan produksi. Bahkan melebihi produksi sebelumnya saat dikelola asing. Yaitu mendekati 20 ribu barel perhari.

Begitu juga dengan Blok ONWJ saat diserahkan ke Pertamina hasilnya menurun. Tapi beberapa saat kemudian hasilnya meningkat drastis. Sebelumnya 10 ribu barel perhari menjadi 40 ribu barel perhari.

Saya heran dengan kesangsian Jero Wacik atas kemampuaan anak negeri. Jangankan hanya teknologi tambang minyak. Teknologi yang lebih rumit dari itu saja sudah banyak dikuasai oleh putra putri Indonesia. Misalnya teknologi pengayaan uranium tingkat rendah yang paling mutakhir, untuk menghasilkan radioisotop. Indonesialah pemiliknya. Amerika dan Jepang saja tidak bisa. Sehingga Amerika harus merangkul PT. Batan Tek untuk membangun reaktor nuklir yang menghasilkan radioisotop.

Belum lagi tenaga-tenaga ahli Indonesia yang banyak bertebaran di luar negeri. Bekerja pada perusahaan-perusahaan dengan teknologi tingkat tinggi. Atau pilihan paling buruk Pertamina membeli teknologi dan mendatangkan ahli luar negeri sekalian. Jadi menurut saya Jero Wacik terlalu mengada-ada apalagi Pertamina dengan tegas menyatakan kemampuannya mengelola Blok Mahakam. Kenapa Jero Wacik pusing-pusing memikirkan teknologi?

Ketiga, Jero Wacik hawatir pemasukan negara akan menurun jika Blok Mahakam diambil alih oleh Pertamina. Selama ini tanpa susah payah, tanpa mengeluarkan keringat pemerintah sudah mendapat bagian yang besar dari Blok Mahakam. Jero Wacik hawatir dengan investasi Pertamina yang begitu besar tidak sebanding dengan pendapatan yang akan diterima oleh negara.

Bisa jadi perkiraan Jero Wacik benar. Terutama jika pengelolaan Blok Mahakam oleh pertamina diputuskan dalam waktu yang sangat mepet. Lain halnya jika diputuskan sekarang. Pertamina bisa mulai masuk pelan-pelan. Pertamina bisa mulai menanamkan investasinya. Sehingga transaksi pada tahun 2017 bisa berjalan dengan mulus. Tidak ada guncangan yang menyebabkan produksi Blok Mahakam anjlok seperti di Blok Madura

Inilah tiga alasan sehingga Jero Wacik enggan mengakhiri kontrak kerja dengan Total EP dan Inpex. Alasan yang sangat lemah. Alasan yang hanya mempertimbangkan perhitungan ekonomi, perhitungan teknis, dan matematis. Jero Wacik lupa bahwa ada hitung-hitungan yang lebih penting dari itu yaitu hitung-hitungan psikologis.

Seperti yang dikatakan Jero Wacik kita jangan emosional dalam mengambil Blok Mahakam. Di sinilah letak kesalahan fatal Jero Wacik. Untuk memajukan bangsa tidak cukup hanya dengan hitung-hitungan logika. Sisi emosional sangat perlu diperhatikan. Percaya diri, semangat, kebanggaan, harga diri tidak kalah penting dari rupiah atau dollar. Dan percaya diri, semangat, harga diri dan rasa bangga akan tumbuh jika kekayaan alam bisa dikelola sendiri oleh bangsa ini.

Seperti yang dikatakan Dahlan Iskan dalam tulisan Manufacturing Hopenya. Pesimisme perorangan adalah hak, pesimisme massal bisa membawa kehancuran. Jero wacik telah lupa menyentuh sisi-sisi emosional bangsa ini. Bangsa yang sedang jatuh terpuruk didera pesimesme. Lupa melibatkan segenap rakyat Indonesia secara jiwa raga. Dia terlalu fokus pada angka-angka.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang cerdas dan berani. Seperti Dahlan Iskan, Mahfud MD, atau Jusuf Kalla. Tidak seperti Jero Wacik, untuk memutuskan harga BBM naik atau tidak saja memerlukan waktu bertahun-tahun. Sedang mengkaji dan terus mengkaji. Menimbang dan terus menimbang. Tidak ada kata pasti. Naik atau tidak, itu saja. Apalagi memutuskan pengelolaan Blok Mahakam?

Walaupun amunisi Jero Wacik lemah jangan juga cepat-cepat beranggapan kampanye Dahlan Iskan akan menang. Karena Total EP dan Inpex tidak akan tinggal diam. Melakukan apa saja untuk mempertahankan Blok Mahakam. Mulai dari lobi korporasi hingga lobi politik. Dan ini pernah terjadi di Blok Cepu. Pertamina KO melawan ExxonMobil Oil karena pemerintah Amerika ikut campur.

Melepas Blok Mahakam adalah mimpi buruk bagi Total EP dan Inpex. Karena mereka sudah ada rencana investasi 2013 hingga 2017 yang harus dilakukan. Agar produksi gas bisa dipelihara untuk memenuhi komitmen dengan pembeli hingga 2022. Betapa susahnya mereka memenuhi komitmen tersebut jika Blok Mahakam terlepas.

Disinilah peranan rakyat Indonesia untuk ikut membantu Dahlan Iskan dan Pertamina menekan pemerintah. Mengimbangi tekanan yang dilakukan Total EP dan Inpex. Karena lobi-lobi tidak bisa dikalahkan hanya dengan presentasi. Lobi-lobi mungkin bisa dikalahkan dengan penggalangan opini dan berteriak ramai-ramai. Mulai dari jalanan sampai layar kaca. Mulai dari dunia nyata hingga dunia maya.
***

by Lukman Bin Saleh

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost