Catatan Dahlan Iskan, 16 Agustus 2005
ADA momentum, ada kemauan, dan ada kecerdikan. Itulah kunci mengapa perdamaian dengan GAM berhasil dicapai dan ditandatangani di Helsinki kemarin. Terjadinya tsunami, keberhasilan militer melemahkan kekuatan GAM, menuanya tokoh-tokoh GAM di Stockholm, dan besarnya anggaran negara untuk operasi militer di Aceh setiap tahun adalah kenyataan yang terjadi di lapangan.
Kombinasi empat kenyataan itulah yang membentuk momentum emas. Lalu dengan kemauan dan kecerdikan pemerintah baru momentum itu dilihat sebagai peluang emas menyelesaikan konflik Aceh.
Presiden SBY tidak menyia-nyiakannya. Presiden lantas menugasi Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk memanfaatkan yang serbaemas itu. Dengan latar belakangnya sebagai pengusaha besar, Wapres tentu juga sangat pandai melihat peluang-emas itu. Bagi seorang pengusaha, begitu melihat peluang-emas, pikirannya hanya satu: jangan sia-siakan. Siapa tahu tidak akan bisa terulang.
Maka, dibukalah perundingan baru, setelah berkali-kali macet di masa lalu. Kali ini tidak boleh lagi buntu. Kuncinya, kata Wapres kepada saya dan juga di berbagai kesempatan, adalah membuat perundingan jangan sampai berkepanjangan. Perundingan yang terlalu panjang akan menimbulkan komplikasi, salah paham, dimanfaatkan pihak lain, dan terasa tidak adanya ketulusan. Ketulusan adalah kunci diperolehnya kepercayaan. Kepercayaan adalah kunci diperolehnya persetujuan.
Cepat, tulus, tepercaya. Itulah ciri perundingan terakhir ini. ”Saya memang memperkirakan dalam lima kali putaran akan bisa selesai,” ujar Wapres. ”Ini sama dengan perdamaian Poso,” katanya. ”Juga perdamaian Ambon,” tambahnya.
Bagi orang bisnis, perundingan untuk kongsi biasanya juga berlangsung tidak lebih dari lima kali. Kalau sudah lebih dari itu, sebaiknya dibatalkan saja. Terlalu banyak ketidakcocokannya.
Tapi, Aceh kan tidak sesederhana perusahaan? Bagaimana bisa begitu cepat?
Kunci pertama, kata Wapres, harus bertemu langsung, baku sapa dan saling menatap matanya. ”Dari tatapan mata bisa kita lihat ketulusannya,” ujar Jusuf Kalla suatu saat. ”Kalau tidak pernah bertatap mata, bagaimana bisa mengukur ketulusan kata-katanya?” tambahnya.
Dulu-dulunya, perundingan dengan GAM selalu menggunakan jasa pihak ketiga. Delegasi pemerintah berada di satu ruangan. Delegasi GAM di ruang lain. Lalu juru rundingnya mondar mandir. Pemerintah bilang begini disampaikan ke delegasi GAM. GAM menjawab begitu disampaikan ke pemerintah. Dan sebaliknya. ”Dengan cara itu kita tidak bisa merasakan langsung nada dan nuansa di balik kalimat yang diucapkan. Akhirnya bisa saja salah paham,” ujar Wapres. ”Padahal, kalimat yang sama didengar langsung oleh kita dan diucapkan orang lain, bisa-bisa berbeda maknanya,” tambahnya.
Maka, begitu delegasi pemerintah bertatap muka langsung dengan delegasi GAM, Wapres menanyakan bagaimana matanya. Bagaimana mimiknya. Bagaimana nada suaranya. Bagaimana rasa jabatan tangannya. Dari situ bisa diperoleh modal harus bagaimana menghadapinya. ”Mereka ternyata tulus. Berarti kita juga harus tulus,” kata Wapres.
Kunci kedua, pihak-pihak yang bisa mengambil keputusan harus terlibat langsung. Dengan demikian, begitu ada peluang bilang ”ya”, kita harus bisa segera bilang ”ya”. Kalau tidak, hilanglah momentum. Bahkan, perundingan bisa molor, terjadi ketidakpercayaan dan berlarut-larut.
Karena itu, selama perundingan Wapres minta juru runding pemerintah (Menkum HAM Hamid Awaluddin, Menkominfo Sofyan Jalil, dan yang lain-lain) selalu melaporkan setiap perkembangan baru. Wapres memang ditunjuk Presiden SBY untuk mengendalikan jalannya perundingan.
Komunikasi tidak sulit karena di kamar tidur Wapres memang terpasang mesin faksimile. Tengah-tengah tidur pun Wapres bisa dihubungi. Ini lantaran perundingan berlangsung di Finlandia yang waktunya enam jam lebih lambat dari Jakarta. Saat Finlandia sore hari, di Jakarta sudah tengah malam. Tidak jarang Wapres harus menerima, membaca, meneliti, dan memberikan disposisi pada pukul 02.00 dini hari. Wapres tidak mau menunda sampai besoknya agar momentum tidak hilang.
Lalu, setiap akhir putaran, Wapres bersama tim juru runding menghadap Presiden SBY untuk melaporkan hasilnya dan menerima arahan berikutnya. Bahkan, Wapres pernah mengatakan kepada saya bahwa dia harus membangunkan Presiden SBY karena ada hal-hal yang begitu penting sehingga harus dibicarakan dengan presiden. Padahal, malam itu sudah pukul 01.00 dini hari.
Itulah contoh konkret bahwa keberhasilan perundingan juga memerlukan komitmen yang kuat, termasuk dari orang tertinggi dalam pemerintahan. Bisa kita bayangkan bagaimana ruwetnya perundingan kalau setiap perkembangan baru dilaporkan esok harinya dan yang dilapori juga tidak bisa segera memberikan keputusan. Apalagi, setiap perkembangan juga harus dilaporkan ke berbagai pihak, seperti DPR, untuk mendapat persetujuan. Tentu akan banyak silang pendapat dan akhirnya pihak GAM akan mengatakan, ”Ah, ternyata pemerintah tidak bisa mengambil keputusan.”
Maka setiap pukul 02.00 Wapres dibangunkan mesin faksimile. Lalu harus dengan kesadaran penuh (artinya: tidak bisa dengan setengah tidur) mempertimbangkan banyak aspek sebelum membuat keputusan dalam beberapa menit: aspek politik, aspek parlemen, aspek militer, dan seterusnya. Begitu keputusan diambil, Wapres harus menuliskan disposisi atau paraf dan mengefakskan kembali dokumen tersebut ke Finlandia. Tidak perlu pembantu, ajudan, atau sekretaris. Wapres mengerjakannya sendiri. Latar belakangnya sebagai pengusaha membuatnya tidak ada hambatan untuk menjadi Wapres sekaligus ajudan sekaligus operator mesin faks.
Ketika draf terakhir sudah disepakati, sekali lagi pada pukul 02.00 dini hari, mesin faks di samping tempat tidurnya menyala. Ini tanda ada dokumen yang masuk. Setelah menimbang banyak hal tadi, akhirnya Wapres mengontak Presiden SBY dan memberi paraf. Selesai. Tepat di akhir pertemuan kelima, kesepakatan dicapai.
Proses itu rupanya tidak diketahui delegasi GAM. Buktinya, di akhir perundingan sore itu pimpinan GAM masih bertanya, apakah pemerintah pusat setuju dengan kesimpulan yang telah dirundingkan? Bagaimana kalau masih ada bagian yang tidak disetujui? Juru runding pemerintah langsung menunjukkan bahwa wakil presiden sudah memberikan parafnya. Lalu ditunjukkanlah paraf yang baru diterima dari kamar tidur Wapres. GAM pun secepat itu pula memberikan parafnya. Benar-benar selesai.
Jangan ada lagi nyawa yang melayang. Tidak perlu lagi dana Rp 1,5 triliun tiap tahun hanya untuk saling bunuh di Aceh. Lebih baik dana itu untuk membangun. Tidak perlu lagi air mata. Jangan lagi bertambah anak yatim karena perang. Juga jangan lagi muncul banyak janda karena suaminya tewas di tengah hutan. Damailah di Aceh. (*)
Jangan ada lagi nyawa yang melayang. Tidak perlu lagi dana Rp 1,5 triliun tiap tahun hanya untuk saling bunuh di Aceh. Lebih baik dana itu untuk membangun. Tidak perlu lagi air mata. Jangan lagi bertambah anak yatim karena perang. Juga jangan lagi muncul banyak janda karena suaminya tewas di tengah hutan. Damailah di Aceh. (*)