Entahlah, tapi sepertinya saya mengenal Dahlan Iskan sejak usia sekolah. 12 atau 13 tahun. Mungkin lebih atau sedikit kurang. Masa-masa yang jauh tapi hanya seperti kerlipan mata saat ini. Waktu itu dunia belum begitu hiruk, uang koin masih lebih berat, limaratusan masih bergambar bunga, buah-buah masih belum semahal sekarang, dan apa yang diputuskan di televisi dan koran hari ini, tidak akan didemo keesokan harinya.
Setiap hari, loper koran mengantar Jawa Pos ke pesantren. Koran yang selalu saya suka aroma kertasnya itu diselipkan ke dalam kaca jendela rumah kyai yang bersisian dengan asrama saya. Kadang-kadang saya melihat koran itu segera lenyap ditarik ke dalam oleh seseorang, mungkin istri pak kyai, anaknya, atau mungkin pak kyai sendiri. Koran itu baru akan dikeluarkan dan diserahkan untuk ditempel di kaca koran setelah beberapa jam setelah kyai selesai membaca. Umumnya siang atau jelang sore. Kami membaca Jawa Pos dan sebuah koran lokal setempat.
Yang saya ingat, selalu ada banyak kepala di depan etalase koran. Kami, para santri membaca koran berjejelan. Yang paling laku, tentu halaman kriminal, lalu artis, lalu sepak bola. Biasanya, selalu begitu urutannya. Tapi, sebelum ke sana, saya selalu suka membaca kolom Dahlan Iskan terlebih dahulu, setidaknya untuk saya sendiri. Saya suka membacanya. Dahlan Iskan, seingat saya, dulunya adalah seorang penulis yang baik. Sekarang pun tetap begitu. Kecuali bahwa sekarang wartawan Jawa Pos itu kini sudah jadi orang besar, jadi Dirut PLN, lalu menteri BUMN, dan menulis banyak hal-hal besar tentang tugasnya mengelola trilyunan uang aset negara ini.
Kadang-kadang, saya merasa bahwa pilihan Dahlan Iskan untuk menjadi seorang pejabat negara adalah sebuah pilihan yang salah. Untuk apa lagi? Dia telah kaya raya, dia punya ratusan perusahaan, dihormati ribuan karyawannya, punya mobil mewah dan helicopter. Baru-baru ini dia masuk dalam urutan orang terkaya di Indonesia. Dengan kekuatan finansial itu dia bisa hidup tenang menikmati masa tua bersama cucu-cucu, menanam tomat, cabai, di pekarangan atau sesekali belajar main golf di Villa Serpong. Untuk apa, mencurahkan segala umur emasnya hanya demi cercaan dan ejekan karena harus menjadi publik figure?
Lalu tibalah masa saat saya mendengar Dahlan Iskan kini ingin jadi presiden.
Saya memikirkan banyak hal saat membaca berita Dahlan Iskan ikut konvensi Partai Demokrat. Benar-benar banyak hal. Presiden, seperti yang selalu dikatakan Dahlan Iskan sendiri, adalah manusia seribu satu. Mungkin sejuta satu atau seratus juta satu. Seseorang yang benar-benar dikehendaki oleh semesta dan secara tepat harus berada pada persilangan momentum dan tempat. Dia harus mulai memikirkan pencitraan, suara-suara teredam di balik meja dewan, arah angin histeria. Dia juga harus punya persiapan, taktik, teknik, pendanaan yang banyak.
Juga takdir.
***
Saya pernah nonton sebuah film yang saat ini judulnya hanya samar-samar bagi saya. Itu film bagus yang dibintangi Matt Damon tentang seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi presiden Amerika. Dia mempunyai ambisi politik yang meluap –luap dan sedang diatur oleh sebuah kekuatan konspirasional untuk meraih cita-citanya. Di usia muda, dia telah menjadi anggota kongres dan sedang dipersiapkan oleh takdir untuk menjadi manusia paling berkuasa di muka bumi. Dia jatuh cinta pada seorang wanita yang membuatnya terus berlari untuk menghindari takdirnya.
Saat menonton filem itu saya mengingat-ingat seberapa jauh takdir berpihak kepada Dahlan Iskan. Seberapa sering dia lolos dari maut?
Mengalami masa muda yang penuh kerja keras, Dahlan iskan mendapatkan sirosis di tubuhnya. Dengan cepat, sirosis itu berubah menjadi kanker. Dokter telah mevonis hidupnya akan segera berakhir. Kerusakan di tubuh dalam Dahlan Iskan sudah amat parah. Organ-organnya ditubuhnya menggelembung , limpanya membesar dan siap pecah kapan saja, livernya memburuk seperti daging panggang.
Secara teori, Dahlan Iskan sudah tak tertolong.
Tapi kemudian, di saat-saat kritis itu, Dahlan Iskan mendapatkan liver baru. Hati seorang pemuda yang meninggal karena kecelakaan. Kecocokannya disebut-sebut nyaris mustahil di dunia medis. Semua sel, jaringan, darah, begitu sesuai. Saat saya memikirkan tentang film –nya Matt Damon, saya memikirkan betapa takdir seperti telah mengatur tentang kematian seorang pemuda dan memberikan kehidupan untuk seorang lain.
Beberapa tahun setelah itu, kematian mendekat dalam bentuknya yang lain: kecepatan. Mobil listrik Tuxuci yang disetiri Dahlan Iskan menabrak tebing di jalanan berbahaya. Melihat foto-foto yang diunggah di internet, rasanya seperti bertahun-tahun kemudian saat melihat foto mobil maut Paul Walker. Dahlan Iskan takkan selamat. Tiada yang selamat dalam kondisi yang seperti itu. Tapi Dahlan Iskan keluar dari dalam mobil dengan hanya luka-luka gores kecil.
Saya selalu ingat ucapan bijak tentang kehidupan: Satu-satunya yang membuat kita masih bernafas sampai saat ini adalah tugas di kehidupan yang belum kita selesaikan.
Tugas besar apa yang dipersiapkan untuk Dahlan Iskan?
***
Saya tidak pernah bertemu Dahlan Iskan. Tapi saya percaya kepadanya. Saya tidak tahu, apakah kepercayaan saya dibentuk oleh sesuatu yang sebenarnya remeh-temeh saja, mungkin karena Dahlan Iskan adalah seorang yang jujur, pantang menyerah, pekerja keras. Lucu. Lugu. Atau mungkin karena dia penulis idola saya, atau hanya karena dia lulusan pesantren tradisional seperti halnya saya.
Di pesantren kami diajari, bahwa dunia tidak seperti layaknya yang terlihat. Bahwa kadang-kadang pandangan bisa memperdaya. Dahlan Iskan dilahirkan dalam keadaan miskin dan saat dia menjadi begitu kaya, caranya memandang dunia ini tak pernah sekalipun berubah. Dengan cepat dia melihat tembus bahwa suatu hari yang ditumpuknya saat ini akan ditinggalkannya.
Saya ingat pernah membaca bahwa kadang-kadang yang diinginkan Dahlan iskan hanyalah melupakan semuanya. Dia ingin menjadi seperti ayahnya, seorang petani yang cepat melupakan. Meninggalkan sesuatu di belakang. Itu adalah filosofi hidup yang paling sufistik di kalangan pesantren. Saat seseorang sudah bisa mengatasi kenangan, penyesalan , hasrat dan keinginan yang berkobar-kobar atas dunia, maka tidak ada sesuatu yang bisa ditakutkan lagi.
Tidak juga kematian .
Atas dasar inilah, harusnya tidak sulit bagi siapapun memahami setiap tindakan Dahlan Iskan. Dia adalah menteri yang tidak pernah takut berkali-kali naik pesawat. Tidak takut mengebut. Tidak takut gagal dan salah. Tidak takut DPR. Tidak takut pers. Tidak takut terjebak atau dijebloskan ke penjara. Tidak takut menjadi apapun, sekalgus tidak takut tidak menjadi siapapun.
Dan memang begitulah seorang muslim yang besar. Saat setiap langkahnya, setiap perkataan, setiap tindakan yang diambil tegak lurus hanya menghadap kepadaNya. Saya teringat kesaksian dari Zainal Muttakin, salah seorang sahabat Dahlan iskan yang mengatakan di tanah suci, Dahlan Iskan menjadi begitu mudah untuk menangis. Kerapkali dia bersembunyi dari pandangan sahabat-sahabtnya, dan dipergoki berderai airmata saat berdoa di dekat kakbah.
Saya tidak pernah bertemu Dahlan Iskan. Tidak pernah berbincang-bincang dengannya. Dan karena itu, bisa saja apa yang sampaikan di sini salah. Tapi ingat-ingatlah ini : Suatu saat di Indonesia kita mungkin telah memilih pemimpin yang santun dan merasa tertipu, dan kemudian kita memilih pemimpin yang merakyat dan masih tetap merasa tertipu.
Kalaupun takdir memang telah memilih Dahlan Iskan, apa yang dapat saya sampaikan hanyalah seperti apa yang dikatakan Zaenal Muttakien saat Dahlan diangkat menjadi Dirut PLN: Selamat bangsa Indonesia, kalian telah memilih seorang yang menjadi panutan, pemimpin yang tak pernah berhenti bekerja, guru yang tak pernah menggurui, sahabat yang takkan mau mengkhianati. ()
http://randualamsyah.wordpress.com/2013/12/25/dahlan-iskan-di-antara-matt-damon-dan-paul-walker/