CATATAN: EKO SATIYA HUSHADA
KETIKA saya menyebut judul tulisan ini, istri saya langsung nyeletuk,”Itu kan kahandakan (kemauan, bahasa Banjar) Ayah.”
Saya langsung tertawa mendengar celetukan itu dan menjawab, ”Bujur ding ai, handak pang kita ini Pak Dahlan jadi presiden (betul dik, kita maunya Pak Dahlan jadi presiden).”
Saya sudah membayangkan akan seperti apa Indonesia ke depan jika Pak Dahlan jadi presiden. Saya sangat mengenal Pak Dahlan. Saya sangat paham isi kepalanya. Saya sangat paham etos kerjanya, sehingga saya dan begitu juga dengan banyak orang yang mengenal Pak Dahlan, punya harapan yang sama; Pak Dahlan harus jadi Presiden.
Sebagai orang yang pernah belajar banyak di Grup Jawa Pos, yang memulai karier dari tingkat paling bawah jajaran redaksi yakni sebagai reporter, saya merasa menjadi orang yang beruntung. Kepada siapa pun saya selalu berkata, bahkan ketika berbicara untuk memberi motivasi kepada anak muda dan karyawan-karyawan saya, kalimat ini selalu saya sebutkan bahwa saya adalah produk Kaltim Post, anak perusahaan Jawa Pos yang memiliki kultur dan etos kerja ala Dahlan Iskan. Saya, alhamdulillah, bisa memperoleh banyak ilmu kepemimpinan, bagaimana menjalankan perusahaan, bagaimana membangun iklim kerja yang partisipatif di perusahaan , itu dari Jawa Pos, yang guru besarnya adalah Dahlan Iskan.
Saya memang bukan murid yang mendapat pendidikan langsung dari Dahlan Iskan, karena saya lebih banyak di grup Kaltim Post, yang dipimpin Pak Zainal Muttaqin, yang bisa disebut jiplakannya Pak Dahlan. Bertemu Pak Dahlan hanya ketika ada pendidikan di Graha Pena Surabaya, rapat-rapat grup di berbagai daerah, saat Pak Dahlan berkunjung ke Kaltim dan saat saya jadi sopirnya Pak Dahlan untuk urusan di Kaltim.
Sampai sekarang, ketika saya sudah tidak berada di Grup Kaltim Post, saya tetap tidak pernah menganggap Pak Dahlan adalah bos saya. Saya lebih menganggap Pak Dahlan adalah sebagai guru saya.
Saya pernah merasa Pak Dahlan menjadi bos saya, ketika Pak Dahlan tiba-tiba di suatu pagi menelpon Pak Zainal Muttaqin, saat kami sedang berada di Banjarmasin untuk mengurusi koran Radar Banjar.
Waktu itu Pak Dahlan minta agar perwajahan Koran Radar Tarakan yang kebetulan saya dandani diubah. Menurut Pak Dahlan, perwajahannya lari dari pakemnya Jawa Pos.
“Ini wajah Radar Tarakan terlalu imajinatif. Harus diganti, Nal. Ini Leak (Leak Kustiya, Pakar perwajahan Jawa Pos, sekarang Pemred Jawa Pos) kirim contohnya dari Surabaya. Diganti ya Nal, diganti,” kata Pak Dahlan.
Pak Zainal mencoba menghibur saya. “Yo wes, diganti saja ya Ko. Aku kalau Pak Dahlan yang ngomong, harus diikuti. Karena Pak Dahlan itu memang selalu benar,” kata Pak Zainal.
Soto Banjar pinggir sungai yang katanya enak itu, yang harusnya menjadi sarapan paling nikmat pagi itu, rasanya jadi anyep. Saya tetap enggak legawa karya kreatif saya ditentang Pak Dahlan. Boleh kan berbeda untuk urusan kreativitas? Hanya inilah momen di mana saya merasa bahwa Pak Dahlan itu adalah bos saya. Selebihnya, dia guru saya.
Pak Dahlan sangat anti dengan orang yang dasar berfikirnya saja sudah salah. Ibaratnya begini; sudah jelas makan itu lewat mulut, tapi kenapa lewat hidung? Atau, lurus itu jalan paling cepat mencapai tujuan, tapi kenapa harus memutar?
Kemudian, Pak Dahlan sangat anti dengan kesalahan yang berulang. Ia selalu menciptakan sebuah momen agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama. Pak Dahlan pernah membanting keyboard sebuah komputer di ruang redaksi Jawa Pos, ketika menemui salah tulis di Jawa Pos yang seharusnya bisa dihindari. Ia melarang siapapun membersihkan pecahan keyboard di lantai itu, agar selalu dilihat dan ingat untuk tidak lagi membuat kesalahan yang sama.
Sifat lainnya, Pak Dahlan tidak pernah memerintah karyawannya untuk melakukan sesuatu. Ia memberi contoh dengan melakukannya sendiri, bahkan untuk urusan kebersihan kamar mandi. Makanya, saya tertawa sekaligus mencibir politisi senayan yang menuding Pak Dahlan melakukan pencitraan saat membersihkan kamar mandi bandara.
Kelakuan Pak Dahlan ya memang seperti itu, bukan pencitraan. Walau sudah jadi bos besar, gaji besar bahkan menjadi pemilik Grup Jawa Pos, Pak Dahlan masih mau membersihkan lantai kantor atau mengelap CPU di meja komputer yang berdebu.
Pelajaran lain dari Pak Dahlan adalah kesederhanaan. Dari dulu penampilannya ya memang seperti itu; baju putih, celana kain dan sepatu kets.
Ketika datang ke Kaltim untuk mengunjungi sejumlah perusahaannya, manajemen Grup Kaltim Post tak pernah menyiapkan layanan kelas VVIP. Yang penting, jangan telat menjemput Pak Dahlan di bandara.
Erwin Dede Nugroho, ketika masih menjadi Pemred Radar Banjar pernah terlambat menjemput Pak Dahlan di Bandara. Tiba-tiba saja Pak Dahlan nongol di kantor Radar Banjar sehingga membuat kaget seisi kantor karena ia naik ojek dari bandara.
“Loh, kok sampean sudah sampai di kantor, bos? Pesawatnya terlalu laju terbangnya ya bos?” kata Erwin ngeles.
Pak Dahlan cuma senyum kecut, tapi nggak marah. Pak Dahlan hanya marah untuk hal-hal prinsip; jangan pernah jadi orang bodoh!
Pak Dahlan tidak pernah sungkan atau malu membawa kresek hitam yang isinya nasi kuning Samarinda kesukaannya ketika harus bepergian naik pesawat sekalipun. Telepon selulernya pun diikat dengan karet gelang. Tak pernah mau ganti. Bukannya pelit, tapi memang nggak kepikiran untuk mengganti dengan yang baru. Begitu juga dengan kacamatanya yang diganjal dengan lidi. Pak Zainal lah yang berhasil menganti telepon seluler dan kacamatanya dengan yang baru. Itu pun dengan seribu rayuan.
Pak Dahlan memang manusia unik, apa adanya, jauh dari urusan pencitraan. Jika ia tidur di rumah petani dalam sebuah kunjungannya sebagai menteri, itu adalah hal biasa. Ketika masih aktif di Grup Jawa Pos dan kerap keliling ke anak perusahaan, tak jarang kami menemukan ia sedang tidur kelelahan di sofa yang biasa digunakan karyawan baring.
Di rumahnya di Samarinda, tepatnya di Jalan Gatot Subroto, saya juga beberapa kali menemukannya sedang tidur di kursi panjang dari kayu di teras rumahnya. Siapa yang mengira bahwa yang sedang terbaring di teras rumah itu adalah bos besar grup Jawa Pos dengan anak perusahaan yang jumlahnya hingga ratusan perusahaan dan tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara.
Sikap sederhana Pak Dahlan itu antara lain juga tercipta oleh prilaku istrinya yang tetap ‘membumi’. Ibu Nafsiah Sabri, sang istri, juga bersikap sederhana dalam kesehariannya. Ia jauh dari urusan perawatan kesehatan yang berjam-jam di pusat kecantikan, atau urusan shopping di pusat perbelanjaan. Ibu Nafsiah masih tetap seorang ibu dan nenek yang sehari-hari berfikir masak apa untuk suami, anak dan cucu tercinta. Ibu Nafsiah masih sibuk dengan urusan menyapu rumah dan sesekali keluar rumah untuk urusan organisasi sosial.
Mantan guru di Loa Kulu, Kutai Kartanegara ini pun tetap bersikap ngemong kepada karyawan suaminya. Kami, karyawannya, selalu dipanggil dengan sebutan sayang, lengkap dengan bahasa Banjarnya.
“Anu yang ai… Ibu ini nah, handak bejalan ke pasar nukarakan ikan gasan abah ikam (Ibu ini mau ke pasar beli ikan untuk Abah mu –sebutan untuk Pak Dahlan). Jemput Ibu Yang ai..” ujar Ibu Nafsiah di telepon ketika suatu ketika sedang berada di Samarinda.
Untuk ukuran kedekatan, saya merasa lebih dekat dengan Ibu ketimbang Pak Dahlan. Ini karena saya lebih sering bersama Ibu menemani beliau untuk sejumlah urusan di Samarinda. Pernah juga saya menyopiri Ibu sampai ke Sangkulirang mengunjungi adiknya di sana.
Masih soal kesederhanaan dan keunikan, Pak Dahlan jarang membawa uang dalam jumlah yang banyak di dompetnya. Tak jarang kami harus menambah uang pembayaran usai makan, walau sebelumnya Pak Dahlan janji yang akan mentraktir. Pernah usai makan di warung ayam goreng Banjar depan gang Kuburan di Jalan Abul Hasan Samarinda, Pak Dahlan hanya punya uang Rp100 ribu di dompetnya. Itupun dilipat hingga beberapa lipatan. Karena uangnya kurang, Pak Syafril Teha Noer – sekarang Wakil Ketua Dewan Redaksi Kaltim Post-- dan saya buru-buru menambah beberapa rupiah.
Selain unik, Pak Dahlan bisa juga disebut manusia ajaib. Keajaiban yang dimiliki Pak Dahlan antara lain adalah isi otaknya. Saya nggak tahu, ada berapa otak di kepala Pak Dahlan. Menjelang konvensi Capres Partai Demokrat, Pak Dahlan mengatakan bahwa ia adalah peserta konvensi berpendidikan paling rendah karena tak lulus S1 di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Samarinda.
Tapi jika bicara masalah ekonomi mikro maupun makro lengkap dengan analisisnya, Pak Dahlan sudah seperti ahli ekonomi bahkan mengalahkan ekonom Sri Mulyani.
Ketika bicara marketing dan sales, Pak Dahlan sudah seperti ahli marketing mengalahkan Hermawan Kertajaya bahkan Philip Kotler. Padahal menurut Pak Dahlan, waktu kecil ia hidup miskin. Hampir dapat dipastikan gizinya bisa jadi kurang. Tapi kenapa Pak Dahlan begitu cerdas? Kami menyebutnya sebuah keajaiban. Ini juga yang membawa Grup Jawa Pos bisa sehebat seperti sekarang dengan jumlah anak perusahaan yang mencapai ratusan dan berbagai bidang usaha.
Kalau menceritakan segala hal tentang Pak Dahlan, bakal bisa jadi puluhan judul buku. Terlalu banyak keunggulan Pak Dahlan, terlalu banyak keajaiban Pak Dahlan, terlalu banyak bentuk-bentuk kesederhanaan Pak Dahlan.
Saya hanya ingin mengatakan, jangan sampai kita kehilangan momen untuk bisa dipimpin oleh orang bernama Dahlan Iskan. Indonesia saat ini sedang membutuhkan sosok ajaib seperti Dahlan Iskan.
Saya sudah dapat membayangkan akan sehebat apa Indonesia kelak jika dipimpin oleh Dahlan Iskan. Keinginan agar Pak Dahlan jadi presiden bukan hanya keinginan saya, tapi Insya Allah keinginan banyak anak bangsa yang punya mimpi bahwa Indonesia harus menjadi bangsa yang kuat, makmur, adil dan sejahtera. Pilpres 2014 adalah momen yang tepat untuk menjadikan Pak Dahlan sebagai presiden. Indonesia harus berubah!
(Eko Satiya Hushada, mantan wartawan di Grup Kaltim Post, sekarang wakil ketua Komisi Informasi Provinsi Kaltim & CEO Grup Esa Kreatif/ekosahus@yahoo.com/che/k7)
Jumat, 06 Desember 2013
Feeling Saya, Pak Dahlan Iskan Presiden
20.57
sopyan