Senin, 16 Desember 2013

Erick Antariksa M, Dahlan Iskan dan Sepatu DI


 Pada suatu malam saya dan istri berkeliling Plaza Senayan, bukan untuk shopping, tapi untuk mempersiapkan tubuh yang akan digelontor oleh seember popcorn mixed (popcorn manis dan asin dicampur menjadi satu) dan segelas besar minuman cola... Supaya cemilan sadis tersebut tidak terlalu meninggalkan jejak nyata ditubuh, sebelum menonton film di bioskop kami biasa jalan berkeliling mal setidaknya dua jam. Walaupun biasanya malah nyangkut di salah satu restoran di mal tempat kami menonton... 


Ketika sedang asyik melihat design-design sepatu di Linea, salah satu toko di Plaza Senayan, mata saya tertegun ke sepasang sepatu yang dipakai salah seorang pengunjung yang juga sedang melihat-lihat sepatu. Sepatu kets abu-abu putih bertuliskan DI. "Lho, itu kan sepatunya Dahlan Iskan" kata saya dalam hati. Melihat seseorang (selain Dahlan Iskan) memakai sepatu DI mungkin sudah lazim saat ini (apalagi di ajang pertemuan para Dahlanis) tapi saat itu Dahlan Iskan baru saja memperkenalkan sepatu DI. Jadi wajar saja saya agak "bergairah" melihat ada orang memakai sepatu sama persis seperti separtu baru Dahlan Iskan. 


Segera saya hampiri si pemakai sepatu. Postur tubuhnya biasa saja, apalagi wajahnya. Pakaiannya sama seperti pakaian yang biasa dikenakan satpam penjaga rumah tetangga. Celana olah raga panjang, kaus berkerah dengan logo/merek sponsor di dada. Warnanya saya agak lupa. Yang jelas sangat tidak matching. "Mungkin di rumahnya tidak ada cermin" gumam saya... Segera saja saya tepuk pundak si pemakai sepatu DI tersebut sambil mengucap "Mas, sepatunya keren." Dengan kaget dia menimpali "ah, enggak om, biasa aja... Kerenan sepatu si om" (duh, gw dipanggil om).


 Segera saya interograsi dia, "ini sepatunya Pak menteri BUMN kan ya?" Lalu dengan wajah lugu dia menjawab "ooo, Dahlan Iskan yaa?". "Iya, Pak Dahlan, ini kan sepatu DI, beli di mana mas?" dengan kurang sabar saya segera memotong ucapannya. Masih dengan wajah lugu malu-malu dia menyahut "saya enggak beli om, ini kantor saya yang buat". Wah, asyik nih, ketemu karyawan pabrik League tempat Dahlan Iskan memproduksi sepatunya. Mungkin dia karyawan pengepakan sepatu yang diam-diam menilep salah satu sepatu pesanan Dahlan Iskan, pikir saya, karena penampilan dan dandanan orang itu cocok seperti seperti karyawan bagian pengepakan di sebuah pabrik sepatu... "Saya bisa beli gak mas?" Langsung to the point saya utarakan maksud saya. "Waduh, belum dijual om" katanya. "Tapi nanti diproduksi banyak kok om" jelasnya lebih lanjut. Lalu dengan tampang yang makin lugu dia bertanya "Kok om tau sepatu DI?" Langsung saya sambar pertanyaan itu dengan jawaban "Wah, saya pengagum berat Pak Dahlan". 


Dengan wajah yang lugu mentok dihiasi kebingungan dia bertanya "Om tau Dahlan Iskan?" (Mungkin dia tidak percaya kalau ada orang yang kagum sama Dahlan Iskan, apalagi orangnya seganteng dan sekeren saya)... "Iya mas, dia itu orang baik, saya kagum banget sama dia" jawab saya. "Trus kapan mas sepatunya dijual bebas" saya balas bertanya. "Nanti om, sekarang kita baru bikin sedikit dulu, nanti kita bikin banyak kok." Karena sepertinya sia-sia berkomunikasi dengan mas-mas itu, saya sudahi saja percakapan itu. Kami saling berjabat tangan dan meneruskan keasyikan masing-masing...


 Dua hari kemudian sebuah telepon masuk, ternyata Pak Dahlan yang menelepon untuk meminta saya datang sore hari ke apartemennya. "Istri saya masak" begitu katanya. Ketika saya mengabari kalau saya sudah tiba lobby di apartemen, Pak Dahlan menyuruh langsung ke lobby belakang, di sana Pak Dahlan tampak sedang duduk bersama beberapa orang pendampingnya dan seorang tamu. Dahlan tampak sibuk berdiskusi dengan tamunya masalah sawah di kalimantan, serbuk bambu, rakyat petani... 


Saya tidak begitu konsentrasi mengikuti diskusi itu karena sudah terlalu fokus memikirkan masak apa kira-kira Mamak Dahlan kali ini... Ternyata hari itu Pak Dahlan dan Pak Aziz sedang berpuasa Senin Kamis (duuh, padahal ketika berdiskusi saya asyik menyeruput iced late), menjelang Maghrib kami berlima naik ke apartemen Pak Dahlan. Oh iya, jangan membayangkan apartemen Pak Dahlan seperti apartemen-apartemen mewah di sinetron. Walaupun terletak di salah satu gedung apartemen terbaik Jakarta, tapi unit apartemen Pak Dahlan ini sangat sederhana. 


Perabot di dalamnya sangat sederhana. "Biasa bangeeet" mungkin istilah itu tepat digunakan untuk menggambarkan isi apartemen Pak Dahlan. Sofa tamunya pun tampak seperti sofa di lobi kantor tahun 80an. Sama sekali tidak mencerminkan keadaan tempat tinggal seorang trilyuner apalagi tempat tinggal menteri... Di dapur yang menjadi satu dengan ruang makan kecil tampak Mamak Dahlan sibuk menyiapkan makanan. Oh iya, apartemen ini blong plong tidak bersekat. Jadi di satu sisi difungsikan sebagai ruang tamu sekaligus ruang keluarga dan di sisi lain menempel sebuah dapur dan diantaranya diletakan sebuah meja makan kecil bertaplak plastik... Ketika adzan berkumandang, kami mulai menyantap cemilan dan minuman yang dihidangkan. Mamak menghidangkan gorengan seperti martabak yang kelihatan sangat menantang. 


Segera saya comot beberapa potong, kesigapan saya diikuti Pak Aziz, orang kedua di CT Corp juga komisaris PLN yang kini menghibahkan hidupnya sebagai pendamping setia Pak Dahlan, belum lagi tangan Pak Aziz sempat menyomot sepotong martabak pun suara menggelegar sang Dahlan terdengar membahana "Heiii! Aziiiiz! Kamu ga boleh makan itu! Kamu makan ini saja!" Pak Aziz tadinya adalah pencinta lahap-melahap sejati yang berhasil diinsyafkan oleh Pak Dahlan. Sejak mendampingi Pak Dahlan, berat badan Pak Aziz turun belasan kilogram. 


Selain dicereweti masalah makanan dan diajak olah raga teratur, mendampingi orang hiperaktif seperti Pak Dahlan pasti memberi efek penurunan berat badan yang signifikan bagi Pak Aziz. Tapi memang, penampilan Pak Aziz makin lama tampak makin muda, segar, dan ...langsing. Tiba-tiba Pak Dahlan sudah menggeser piring martabak menjauh dari Pak Aziz (menempatkannya semakin dekat ke saya). Dari saku celananya Pak Dahlan mengeluarkan dua buah mangga (ini menteri aneh sekali, mengambil mangga di dapur lalu dibawa dengan dimasukan ke saku celana, sementara satu tangannya memegang piring plastik dan satu lagi memegang pisau... Melihat aksinya dipergoki, Pak Aziz bergumam kecil, "enggak kok Bah, saya cuma mau nemenin bos erick ajaa makan martabak..." Pak Dahlan tampak tersenyum geli mendengar jawaban Pak Aziz. Dengan sigap tangannya mengupas mangga yang dikeluarkan dari sakunya, sambil mengupas dan memotong, Pak Dahlan langsung menyorong-nyorongkan buah mangga kepada Pak Aziz. 


Lalu Pak Dahlan berkomentar "yang kayak gitu-gitu biar saja buat yang muda-muda, kita (makan mangga) ini saja" tapi kemudian Pak Dahlan melirik ke timbunan lemak di perut saya yang tampak menggelembung karena saya sedang duduk (kalau berrdiri, sama sekali gak keliatan lho, suerrr) "Antariksa, kamu makan mangga juga yaa. Mau ya? Maniiis lho" sambil menyorongkan mangga yang sedang dipotong langsung dari tangannya... Akhir nya kita semua makan mangga langsung dari tangan Pak Dahlan. Kejadian ini sangat absurd. Seorang menteri beringsut-ingsut di sambil duduk di lantai sementara kami, tamu-tamu kroconya duduk di sofa... 


Sungguh menteri yang aneh. Begitu kedua mangga habis dikupas, Pak Dahlan dibantu Sahidin pengemudi andalannya, menggelar beberapa sajadah untuk shalat maghrib berjamaah. Lalu bergiliran kami ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, anehnya lagi, Pak Dahlan dan Sahidin malah wudhu di kamar mandi pembantu yang ada di belakang. Saya wudhu paling belakangan, setelah Pak Aziz dan dan yang lainya. Sengaja saya memperlama wudhu saya. Supaya ketika saya sampai ditempat shalat saya dapat tempat paling belakang. Saya ngeri kalau ditunjuk sebagai imam. Bukan apa-apa, masa iya memgimami shalat maghrib seorang menteri bermodalkan Qulhu dan An Naas... Selesai shalat Mamak mempersilahkan kami untuk menghabiskan hidangan di yang tersaji di meja. Wuaaah, macaaam-macaaam makanannya, sederhana tapi aneh. Bayangkan ada semacam sayur lodeh tapi dihiasi potongan cingur... Yummmyyy... 


Kami makan di sofa, dan Pak Menteri makan sambil duduk bersila sendiri di lantai. Sambil makan saya teringat mas-mas bersepatu DI yang saya temui di Plaza Senayan tempo hari. "Abah, kemarin saya ketemu orang pakai sepatu DI", "lho, kok bisa, kamu lihat di mana?" Kata Pak Dahlan. (Oh iya, dari banyak literatur saya mengetahui kalau Dahlan Iskan selalu menggunakan kata ganti Anda untuk menyebut orang ke dua tunggal, namun dari apa yang saya lihat, beliau cukup sering juga ber"kamu-kamu") "...di Plaza Senayan Abah, saya lihat malam minggu kemarin". Reaksi Dahlan Iskan sungguh diluar dugaan. Tiba-tiba dia meletakan piring di meja, berdiri, dan memanjat (MEMANJAT) lemari dinding yang lumayan tinggi. Rupanya beliau mengambil sebuah figura foto yang diletakan di bagian agak atas dari lemari dinding. Begitu turun, beliau menyerahkan figura foto itu ke saya sambil bertanya "Ini yaa orangnya? Ini foto paling baru" Saya perhatikan foto tersebut sambil berfikir: Oh iya, ini dia. Ini foto si mas-mas itu. Ngapain Pak Dahlan iseng memajang foto mas-mas karyawan pabrik sepatu? "Ini si (saya lupa apa nama panggilan anak Pak Dahlan itu, tapi bukan Azrul) anak saya" kata Pak Dahlan. Busyeeet... 


Ternyata si mas-mas itu anak Pak Dahlan... Tampang bingung saya rupanya diterjemahkan keliru oleh Pak Dahlan. "Bingung yaa... Bapaknya jelek kok anaknya ganteng" (haduh, hampir keselek saya mendengar si mas-mas dibilang ganteng)... Untuk menutupi kebingungan saya, saya melontarkan pertanyaan asal... "Kok dia gak bilang anak Abah" tawa Abah pecah mendengar pertanyaan saya. "Walaaah mana mauuu dia bawa-bawa saya. Waktu saya baru diangkat (menjadi Dirut) di PLN dia bilang: Untung aku sudah terkenal duluan sebelum bapak saya jadi pejabat" (kembali saya hampir keselek mendengar si mas-mas merasa terkenal)... 


Kemudian saya kembali memberi pertanyaan yang ga kurang asalnya dibanding pertanyaan saya sebelumnya. "Kok dia gak kayak anak menteri ya, Bah?" Kembali Dahlan Iskan tertawa keras, kali ini Mamak Dahlan yang sedang mencuci piring lah yang menjawab "kita orang tuanya kan orang kampung, masak iya anaknya kayak anak mentri" sambil tertawa tidak kalah keras... Oh iya, dari dapur Mamak Dahlan ini selalu nimbrung obrolan kita di ruang tamu. Suaranya tidak kalah cemerlang dengan kerasnya suara Pak Dahlan. 


Sepertinya lucu-lucu ucapan Mamak ini, karena setiap kali Mamak nyeletuk, semua yang mendengar tertawa. Saya cuma ikut-ikutan tertawa padahal tidak mengerti apa-apa, karena Mamak bicara menggunakan bahasa Jawa... Beberapa hari kemudian, sekitar jam 6 sore, Pak Dahlan telpon, "hei, ini saya lagi makan sama anak-anak mentri, di restoran (apa gitu saya lupa) di (kalau tidak salah BRI Tower), kesini yaa.." Dengan reflek saya jawab "siiiip Abaaaah". Begitu telpon terputus, saya baru ingat. Ini jam bubar kantor. 


Saat itu posisi saya di daerah Kemang. Hari sedang hujan. Pasti jalanan macet gila. Naik ojek? Nyari di mana hujan-hujan begini. Kasihan Pak Dahlan dan keluarganya kalau harus menunggu saya dua jam lebih. Akhirnya saya telpon Pak Dahlan. Begitu tersambung beliau langsung bertanya "Sudah di lobby? Saya ke situ." (Busyeeet, berangkat saja saya belum). 


Akhirnya saya jelaskan dengan singkat keadaan saya, dan dengan berat hati saya menolak ajakan beliau yang tidak mungkin saya penuhi tersebut. "Ya sudah ga pa-pa" katanya singkat sambil langsung menyudahi sambungan telpon (cieeeee, ngambek ni yeee...) Nah itu lah cerita semrawut saya mengenai anak Pak Dahlan...


 Dari cerita ini kita bisa melihat kalau Dahlan Iskan sangat berbeda dengan Menteri-menteri lainnya. Keluarganya pun sangat berbeda dengan keluarga Menteri pada umumnya. 


Memang, jujur, saya harus akui, DAHLAN ISKAN TIDAK COCOK MENJADI SEORANG MENTERI...


By Erick Antariksa M

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost