Warna-warna kusam mewarnai sebagian besar tembok rumah susun di Muara Baru, Pluit, Jakara Utara. Cerahnya matahari Sabtu pagi (7/12/2013) tidak mampu menghibur warga bekas penghuni Waduk Pluit yang direlokasi ke rumah baru dengan persiapan ala kadarnya itu.
Nun di seberang waduk Pluit, di lokasi bekas pemukiman mereka, sebuah taman sedang dibangun. Taman itu menjadi tempat jogging bagi penghuni kompleks perumahan mewah di sekitarnya. Tak jauh dari taman, beberapa tenda pesta berdiri dengan megahnya.
Terlihat banyak orang berseragam dari berbagai badan penanggulangan bencana. Kabarnya, para pejabat provinsi akan hadir dalam upacara kesiapan menghadapi bencana banjir.
Seorang penghuni rumah susun, sebut saja Lia, duduk sendirian di sebuah sudut bangunan. Sambil asyik memainkan jemari pada touch screen handphone androidnya, perempuan muda itu tengah menunggui sebuah ember berisi air yang disedot dengan pompa listrik. Tak jauh dari tempatnya, teronggok sebuah gerobak dengan enam jerigen air yang telah kosong.
‘’Kami harus beli air bersih untuk memasak nasi dan sayur. Tiga pikul Rp 20 ribu. Mau bagaimana lagi? Air bersih di komplek ini tidak lancar. Kadang sampai dua minggu tidak mengalir,’’ kata Lia.
Air bersih memang menjadi problem utama warga. Di lokasi hunian liar yang sekarang menjadi taman maupun di kompleks relokasi rumah susun, kondisinya tak jauh berbeda. Air bersih tetap menjadi barang langka. ‘’Terpaksa kami membeli dari bos air di luar sana,’’ kata Lia sambil menunjukkan jarinya ke arah rumah penjual air bersih di luar kompleks.
Untuk membeli air bersih itu, Lia harus mengambil sendiri. Pedagang meminjami gerobak untuk mengangkut air yang sudah ditakar dengan ukuran ‘’pikul’’. Satu pikul berisi dua jerigen. Pedagang menawarkan dua paket: tiga pikul dan empat pikul.
Untuk mengangkut air ke lantai atas, Lia menggunakan pompa listrik. Air dari jerigen dituang terlebih dahulu ke sebuah ember besar. Dengan bantuan pompa listrik, air itu dipindahkan ke bak penampungan di rumahnya di lantai lima. Setelah selesai, Lia mengembalikan jerigen dan gerobak kepada pedagang.
Tidak semua penghuni rumah susun itu memiliki pompa listrik. Mereka harus mengangkat jerigen lewat tangga, atau membeli air dari pedagang yang sudah menyediakan layanan plus berupa pompa listrik.
Pedagang ‘’air bersih plus’’ itu rupanya memberi pelayanan yang lebih baik. Selain menyediakan pompa listrik, pedagang ‘’air bersih plus’’ juga melakukan pengiriman dengan mobil. Harga airnya memang sedikit lebih mahal, karena ada biaya service yang harus dibayar.
Ketersediaan air bersih memang masalah besar bagi warga kota Metropolitan. Masih sangat banyak kawasan di DKI Jakarta yang fasilitas air bersihnya sangat menyedihkan. Air bersih di rusun Muara Baru ibarat slilit, di balik citra keberhasilan relokasi penghuni waduk Pluit. (***)