Suasana di tempat kerja Swandiri Institute siang itu (12/8) begitu sibuk. Sejumlah perkakas tampak berserakan di meja-meja yang disusun memanjang di tengah ruangan. Beberapa kru terlihat serius memelototi layar monitor laptop di depannya. Sebagian lagi asyik dengan peranti berbentuk remote control.
Dari meja panjang itulah kru Swandiri Institute memproduksi pesawat tanpa awak atau drone. Di tangan anak-anak muda tersebut teknologi yang selama ini dikenal mahal itu bisa diaplikasikan dengan biaya terjangkau. Produksi mereka bisa lebih murah seratus kali lipat dibanding produksi impor yang dijual di pasaran.
Drone karya Swandiri Institute beberapa kali telah dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas. Mulai untuk memetakan tanah adat yang bermasalah sampai mengembangkan potensi wisata di daerah terpencil. Lantaran banyak diaplikasikan di desa-desa, pesawat dengan kamera pemotret itu kemudian populer dengan nama Drone Desa.
”Sebenarnya drone semacam itu banyak dijual di pasaran, namun dengan harga yang cukup mahal, bisa mencapai ratusan juta. Kami coba merancangnya sendiri dengan biaya supermurah, hanya sekitar Rp 3 juta,” ujar Irendra Radjawali, inisiator Drone Desa, saat ditemui di ”bengkel” Swandiri Institute di Jalan dr Wahidin, Pontianak.
Sebenarnya, Radja –panggilan Irendra Radjawali– selama ini bekerja dan menetap di Jerman. Namun, dua tahun lalu dia balik ke Indonesia dan tinggal di Pontianak. Dia sedang menggarap proyek penelitian ekologi. Bersama sejumlah aktivis lingkungan hidup, Radja melakukan riset-riset seputar ekologi sosial di Kalimantan Barat.
”Saat melakukan riset itulah, kami menemui beberapa kendala. Salah satunya tak bisa mengakses lokasi yang menjadi objek penelitian,” ujar pria kelahiran Malang tersebut.
Para peneliti dari Swandiri Institute juga sering terhalang izin masuk ke lahan perusahaan perkebunan. Padahal, sangat mungkin terjadi pembalakan liar di lahan tersebut. Dari problem-problem itulah muncul ide untuk melakukan pemantauan lokasi menggunakan pengamatan dari udara.
”Kami sempat terpikir untuk menggunakan helikopter, tapi ternyata biaya sewanya tidak murah,” ungkap Radja.
Pengamatan ekologi memang bisa dilakukan lewat citra satelit seperti halnya Google Maps. Namun, cara itu dinilai masih kurang akurat dan efisien. Maka, tercetuslah gagasan untuk menggunakan pesawat tanpa awak yang dikendalikan dengan remote control.
Salah satu kelemahan pemantauan lewat citra satelit adalah kurang bisa merekam objek dengan detail. Apalagi, beberapa pencitraan satelit masih sering terganggu awan. ”Kalau drone kan terbang di bawah awan, jadi bisa merekam lebih detail. Yang pasti biayanya jauh lebih murah,” jelasnya.
Alumnus Teknik Sipil ITB itu sempat bertemu temannya sealmamater yang bergerak dalam bisnis drone. Dia meminta bantuan agar dibuatkan drone dengan ”harga teman”. Namun, setelah dihitung, biaya pembuatan drone tersebut tetap tak terjangkau Swandiri Institute.
Teman Radja itu biasa menjual drone untuk perusahaan perkebunan di kisaran harga Rp 1,5 miliar. ”Harga teman yang disodorkan ternyata masih tinggi, sekitar Rp 300 juta. Jelas kami tidak mampu,” ujarnya.
”Lantaran mentok, akhirnya kami berinisiatif membuat sendiri drone yang diinginkan,” terang peraih gelar magister dari Universitas Paris 1 Pantheon-Sorbonne, Prancis, itu.
Mereka lantas belajar secara otodidak lewat buku-buku dan internet. Salah satunya dari YouTube dan aktif diskusi dalam forum Do It Your (DIY) Drone. Radja mengaku diuntungkan banyaknya perangkat drone yang open source.
Dengan begitu, dia bisa leluasa melakukan modifikasi untuk menghasilkan drone yang murah, namun dengan kualitas tak kalah dengan yang berharga ratusan juta. ”Dari forum itu saya juga bisa mendapatkan komponen-komponen dari Tiongkok dengan kualitas bagus,” terangnya.
Radja berhasil membuat drone pertama saat pulang ke Jerman. Di negara itu dia sekaligus melakukan uji coba lapangan. ”Ketika itu musim salju. Saya harus berjam-jam di luar rumah untuk mencoba drone,” kisahnya.
Dalam tempo tiga minggu Radja berhasil merancang drone buatan sendiri dengan bodi kayu. ”Saya menghabiskan biaya sekitar 400 euro (Rp 6.240.000 dengan kurs 1 euro = Rp 15.600), tapi itu mahalnya untuk beli komponen otopilot asli dari Amerika,” papar pria kelahiran 8 September tersebut.
Belakangan komponen yang paling penting itu sudah diproduksi di Tiongkok. Harganya pun jauh lebih terjangkau. Dengan begitu, harga pembuatan drone-drone berikutnya pun bisa ditekan hingga sekitar Rp 3 juta.
Drone pertama buatan Radja kemudian dibawa ke Indonesia untuk diujicobakan pada proyek-proyek penelitian Swandiri. ”Di bandara saya sempat mengalami kendala. Drone yang saya bawa sempat dikira bom,” ujar kandidat doktor dari Bremen University itu.
Sesampai di Indonesia, drone model helikopter tersebut diujicobakan di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Di sana pemerintah daerahnya membutuhkan perekaman gambar dari udara untuk mempromosikan pariwisata alam.
Perekaman gambar itu dilakukan dengan menempatkan kamera poket Canon Powershot S100. Kamera berteknologi GPS itu dia beli second dengan harga Rp 700 ribu. Hasilnya tidak mengecewakan. Pemkab Kayong Utara pun puas.
Setelah drone pertama sukses, Radja dan awak Swandiri terus melakukan pengembangan dan penyempurnaan. Sampai sekarang mereka telah memproduksi delapan unit drone, baik berbentuk pesawat maupun helikopter.
”Kami ingin drone yang lebih efisien dan lebih murah. Sampai bahan tali kolor pun kami gunakan,” kelakar Radja sembari menunjukkan drone jenis pesawat yang menggunakan tali kolor untuk menahan beban beberapa peranti elektronik.
Beberapa drone itu telah berhasil digunakan untuk sejumlah proyek sosial di sejumlah wilayah di tanah air. Di antaranya untuk memotret daerah terpencil di Kalimantan, juga dipakai di Biak, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
”Alat ini kami gunakan untuk membantu masyarakat. Misalnya untuk memetakan hutan adat yang bermasalah dengan perusahaan perkebunan,” terang Radja.
Sejauh ini Swandiri memanfaatkan drone itu untuk proyek-proyek nonkomersial. ”Sudah pernah ada seorang pengusaha yang datang meminta bantuan drone, tapi kami tolak. Sebab, drone kami untuk keperluan nonkomersial,” ungkapnya.
Arif Munandar, teman Radja, menambahkan bahwa drone ala Swandiri Institute tersebut juga tidak bermaksud menghilangkan pemetaan partisipatif yang selama ini dilakukan masyarakat adat.
Sebab, menurut dia, hal itu sama dengan menghilangkan nilai-nilai positif yang ada dalam masyarakat.
”Kami hanya membantu mempermudah pemetaan partisipatif yang dilakukan warga. Jika tanpa drone pemetaan satu desa bisa satu tahun, kini hanya dengan beberapa jam,” paparnya.
Drone karya Swandiri mampu terbang hingga 2,5 jam dengan ketinggian 300 meter. Dalam satu jam, drone itu memiliki daya jelajah 100–400 hektare. ”Daya jelajahnya bergantung jenis drone-nya,” jelas Arif.
Meski berhasil membantu masyarakat pedesaan, perjalanan Radja dan timnya membuat drone bukannya tak menemui rintangan. Sebab, beberapa kali pesawat nirawak itu jatuh karena faktor human error.
”Saat di Biak, pesawat kami jatuh di hutan. Tapi, karena titik koordinat terakhirnya masih terekam, kami bisa menemukannya kembali,” kenang Arif.
Pernah juga saat digunakan untuk merekam pulau terluar di Kalimantan Barat, pesawat jatuh ke laut. Radja optimistis, jika pemerintah ingin memanfaatkan drone murah meriah itu untuk kepentingan pemantauan udara terkait pembalakan liar dan pencurian ikan di laut Indonesia, pihaknya bersedia membantu pengadaannya. ”Kami juga bersedia berbagi ilmu, khususnya pembuatan drone ini,” tegas dia.
[sumber : jpnn.com]