(MH139, Senin, 11/08/2014)
SABTU kemarin, sehari penuh, saya praktis mengelilingi Pulau Lombok. Dari Mataram di barat, Gili Trawangan di utara, lokasi PLTU baru di timur, pembangkit hidro di tengah, dan menjelang senja tiba di Lombok Selatan: rapat dimulainya proyek Mandalika.
Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), BUMN yang mengelola BTDC Nusa Dua Bali itu, mendapat tugas membuat "Nusa Dua Baru" yang lebih besar di Lombok Selatan. Luasnya 1.200 hektare. Empat kali lebih luas dari Nusa Dua. Namanya: Mandalika.
Seusai rapat, senja sudah lewat. Saya langsung menuju pantai terindah di kawasan Mandalika, di belakang Novotel: Pantai Kuta. Saya duduk di atas pasir putih menghadap laut selatan. Deburan ombaknya mengingatkan saya pada salah satu pantai di Bali. Angin bertiup sejuk. Bulan yang mendekati purnama tampak menor di langit bersih. Seperti baru keluar dari salon.
Dua teman saya yang datang dari Bali sudah menunggu saya di situ. Menemani istri saya yang sehari penuh saya tinggal keliling Lombok.
"Pantai ini punya empat karakter," ujar Gus Marhaen, tokoh Bali yang duduk di sebelah saya. "Jenis gelombangnya seperti Sanur. Lengkung kanannya seperti Nusa Dua. Pemandangan kirinya seperti Padang Bai. Dan pasir pantainya seperti Kuta Bali," kata dia lagi. Gus Marhaen seorang seniman, pemilik universitas tertua di Bali dan baru saja membangun Museum Bung Karno di Denpasar.
Penilaiannya itu menambah keyakinan saya bahwa proyek Mandalika akan menjadi pusat turis terbaik, sejajar dengan kawasan Sanur-Kuta-Nusa Dua dijadikan satu. Memang, kalau dilihat wujudnya sekarang, kawasan Mandalika masih seperti padang gersang yang berdebu. Hotel yang besar ya baru Novotel itu.
"Tahun 1975 lalu, Nusa Dua pun ya masih seperti ini," ujar Gus Marhaen.
Proyek Mandalika seharusnya dimulai tahun 1990-an: 20 tahun yang lalu. Investornya Emaar Properties dari Dubai. Tapi, krisis ekonomi 1998 yang begitu hebat membuat Mandalika menderita. Investornya tidak hanya angkat tangan, tapi juga angkat kaki. Aset Mandalika disita BPPN. Lalu diserahkan ke BUMN.
Dua tahun terakhir ini segala macam keruwetan bisa diselesaikan. "Semua detail perencanaan juga sudah final," ujar Dirut ITDC IB Wirajaya. Dua bulan lalu semua izin sudah beres. Izin-izin sudah di tangan. Amdal sudah terbit. Bahkan, meski belum jelas apa manfaatnya, status kawasan ekonomi khusus (KEK) sudah terbit.
Maka sudah waktunya pembangunan fisik dimulai: membangun jalan utama di dalam kawasan itu. Kini PT Waskita Karya lagi menyelesaikan badan jalan: lebar 40 meter, panjang 4 kilometer. Tiga bulan lagi pengerasan jalan ini harus sudah selesai agar investor yang akan memulai proyeknya di Mandalika bisa memobilisasi peralatan dan bahan-bahan bangunan.
Dirut ITDC (ib.wirajaya@yahoo.com) memang all-out mengundang investor ke Mandalika. Yang prioritas ditawarkan adalah: farming green house solar cell (gabungan solar cell seluas 40 hektare yang di bawahnya untuk tanam sayur dan hortikultura). Hasil listriknya untuk keperluan kawasan itu sendiri. Sayur-hortikulturanya bisa untuk ekspor.
Lokasi ini ideal. Tidak jauh dari bandara. Tiap hari ada penerbangan ke Singapura. Untuk pasar Jakarta pun oke. Tujuh penerbangan langsung Lombok-Jakarta setiap hari. Ditambah sepuluh penerbangan langsung ke Surabaya.
Yang juga prioritas ditawarkan adalah pembangunan lapangan golf. Harus 18 hole dengan segala fasilitasnya, termasuk resor. Disediakan lahan 120 hektare. Lokasinya istimewa: ada pantai indahnya dan ada bukitnya. Tawaran berikutnya: theme park, convention center, hotel-hotel berbintang, dan fasilitas pendukung turisme lainnya.
Untuk itu, ITDC hanya menerima investor yang serius. Bukan spekulan. Atau pedagang izin. Yang bisa diikat dengan jadwal pembangunan yang ketat. Sebagian fasilitas itu harus selesai November 2017. Sebagian lagi paling lambat November 2018.
Itulah keputusan rapat di Mandalika Sabtu sore lalu. Kalau semua ini terwujud, Lombok benar-benar luar biasa: punya Senggigi, Gili, dan Mandalika. Setelah itu keindahan alam di sekitar Rinjani akan berkembang sendiri. Pulau-pulau terindahnya di lepas pantai timur tinggal tunggu giliran. NTB bukan lagi sekadar Nusa Tergantung Bali.
Yang penting: ada listrik.
Saya teringat saat pertama ke Gili Trawangan empat tahun lalu. Begitu mereka tahu saya adalah Dirut PLN, kedatangan saya langsung dihujani pertanyaan: kapan listrik masuk Gili Trawangan? Masak objek turis yang begini bagusnya tidak ada listriknya? Ketika pulang, saya lupa seperti apa indahnya Gili Trawangan. Yang terbayang hanyalah: bagaimana cara melistriki pulau kecil itu.
Jumat malam lalu saya ke Lombok Utara. Kaget. Pulau Gili Trawangan dan dua pulau lainnya terlihat terang benderang. Alhamdulillah. Kabel bawah laut menuju Gili Trawangan berfungsi dengan baik. Sabtu pagi, saat matahari sudah tinggi, ketika bermaksud jalan kaki mengelilingi pulau itu, saya harus geleng-geleng kepala: begitu banyak listrik yang tidak dimatikan.
Begitu borosnya. Lupa bagaimana tidak ada listrik dulu.
Seorang ibu mengejar saya. Dia pemilik restoran. "Listrik di sini sering drop, Pak," katanya. Maka saya batalkan jalan-jalan. Saya langsung cari kantor PLN Gili Trawangan. Ternyata jauh di ujung.
"Di sini pasti banyak pencurian listrik," ujar saya kepada staf PLN di situ. Saya harus mengetok-ngetok pintu rumah dinasnya. Rupanya dia belum bangun. "Betul, Pak. Lima orang lagi diproses," jawabnya.
Rasanya tidak hanya lima orang. PLN harus lebih kerja keras memberantas pencurian listrik. Agar kasus tegangan drop teratasi. Bahkan kalau PLN mau pakai sistem pengendalian listrik secara otomatis (petugas PLN bisa mematikan listrik siapa pun dengan handphone dari jauh) bisa dicoba kecil-kecilan di sini.
Lombok memang sangat menjanjikan. Mandalika harus menjadi lokomotif besar untuk menggerakkan turisme Lombok.
Setelah lokomotif Mandalika yang lama mogok itu mulai bergerak, ITDC mendapat tugas baru: mengembangkan kawasan Danau Toba.
Saya termasuk orang yang sangat mengagumi keindahan dan kesejukan kawasan Danau Toba. Mengagumi sambil memprihatinkannya. Turisme di Danau Toba tidak berkembang sama sekali.
Ekonomi sekitar Danau Toba begitu-begitu saja. Seperti tidak mendapat berkah dari surga yang diturunkan Tuhan di Tapanuli. Saya khawatir Tuhan akan marah.
Ekonomi sekitar Danau Toba begitu-begitu saja. Seperti tidak mendapat berkah dari surga yang diturunkan Tuhan di Tapanuli. Saya khawatir Tuhan akan marah.
Semoga pembaca tidak marah karena tulisan soal stem cell implant gigi saya harus tertunda lagi Senin depan. Mandalika lebih penting. Juga Danau Toba. (*)
Oleh Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Menteri BUMN