Kalau Indonesia tahun lalu dipusingkan oleh lonjakan harga cabai, di
Tiongkok kini sedang mengalami persoalan serupa. Bahkan dalam bentuk
yang lebih berat: kenaikan drastis harga daging babi.
Kalau harga cabai saja bisa membuat raport inflasi Indonesia merah,
apalagi pengaruh harga daging babi di Tiongkok. Gara-gara kenaikan harga
daging babi itu, inflasi Tiongkok mengejutkan: 6,4 persen. Padahal,
targetnya hanya 4 persen. Ini angka inflasi tertinggi di Tiongkok sejak
2008.
Setahun terakhir harga daging babi memang naik lebih 50 persen di
Tiongkok, mencapai hampir Rp 35.000/kg. Seperti harga cabai di Indonesia
tahun lalu, tingginya harga daging babi di Tiongkok juga menjadi
pembicaraan yang meresahkan masyarakat hampir di seluruh negeri.
Sampai-sampai pemerintah memutuskan untuk melepaskan cadangan daging
babi nasional. Saat harga daging babi murah tahun lalu, pemerintah
memang membuat lumbung daging babi. Tapi, jumlahnya belum sempat besar,
baru 200.000 ton. Padahal, keperluan daging babi seluruh Tiongkok
mencapai 40 juta ton setahun. Cadangan itu hanya cukup untuk keperluan
satu hari saja!
Seperti juga cabai, mengatasi persoalan ini tidak mudah. Rangsangan
untuk para peternak babi memang sudah diberikan. Tapi, untuk menunggu
babi sampai bisa dijual di pasar, perlu waktu 1 tahun. Kalau persoalan
cabai bisa diatasi dengan impor cabai besar-besaran (meski orang
Indonesia mengeluh bahwa cabai impor kurang pedas), persoalan kurangnya
daging babi di Tiongkok tidak bisa diselesaikan dengan cara yang sama.
Harga daging babi di luar negeri lebih mahal. Di Surabaya, misalnya,
harga daging babi mencapai Rp 60.000/kg atau hampir dua kali lipatnya.
Maka, sampai Imlek tahun depan, tidak ada harapan harga daging babi
turun drastis.
Ada kegelisahan lain di Tiongkok: wanitanya kian menyukai melahirkan
dengan cara cesar. Persentasenya naik secara drastis dalam waktu yang
singkat. Kini 51 persen wanita Tiongkok melahirkan dengan cara cesar.
Ini merupakan persentase tertinggi di dunia. Amerika Serikat saja, yang
metode cesarnya sudah sangat lama, baru mencapai 30 persen.
Kenyataan itu dipicu oleh banyak hal. Terutama oleh banyaknya rumah
sakit yang karena tuntutan bisnis merangsang wanita untuk melakukan
cesar. Juga disebabkan oleh majunya teknologi yang membuat cesar lebih
menjamin keselamatan bayi yang dilahirkan. Padahal, wanita di Tiongkok
hanya boleh punya satu anak sehingga harta satu-satunya itu harus lahir
sempurna.
Memang kebijakan hanya boleh punya satu anak sudah mulai
dilonggarkan. Penduduk minoritas boleh punya anak banyak. Penduduk
pedesaan yang memerlukan tenaga kerja muda untuk pertanian boleh
memiliki dua anak sepanjang anak pertamanya perempuan dan jaraknya harus
tujuh tahun. Kini kebijakan itu melonggar lagi untuk wilayah tertentu:
boleh punya dua anak sepanjang bapak dan ibunya adalah anak tunggal.
Provinsi Guangdong, misalnya, kini minta kelongaran seperti itu karena
kian sulitnya mendapatkan tenaga kerja.
Dulu, untuk provinsi yang ekonominya luar biasa ini, bisa dengan
mudah mendapatkan buruh dari daerah-daerah pedalaman. Kini, dengan
pembangunan besar-besaran di daerah pedalaman, merantau ke Guangdong
tidak lagi menarik.
“Dulu mimpi setiap anak yang baru lulus sekolah adalah pergi ke
Guangzhou atau Shenzhen,” ujar seorang manajer pabrik mesin perminyakan
di Chongqing, pedalaman Tiongkok, saat saya ajak ngobrol tentang ini
Jumat lalu di kantornya di Chongqing. “Sekarang mimpi seperti itu tidak
ada lagi,” katanya.
Kota Chongqing sendiri (dulu dikenal dengan sebutan Chunking) memang
sudah berkembang menyerupai Shenzhen. Hutan pencakar langitnya,
bandaranya, stasiun keretanya, monorelnya, jaringan jalan tolnya, hampir
sudah tidak bisa dibedakan dengan kota besar lain di Tiongkok.
Kali ini saya ke Chongqing untuk melihat teknologi mengubah gas
menjadi benda cair (LNG) dan teknologi memadatkan gas (CNG). Dengan
teknologi ini, gas bisa disimpan untuk dipakai di saat masyarakat
menggunakan listrik terbanyak pada pukul 17.00-22.00. Ini sekaligus bisa
dimanfaatkan untuk menghindari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang
sangat-sangat mahal itu.
Dulu teknologi LNG dan CNG memang seperti kemewahan yang sulit
dijangkau. Bayangan kita, membangun LNG itu harus seperti Bontang atau
Tangguh atau Arun. Padahal, kini teknologi itu sudah lebih terjangkau.
Bukan saja sudah ada mini LNG, bahkan sudah ke tingkat mikro LNG.
Sedangkan kita, jangankan mini LNG. CNG pun, kita belum menggunakannya.
Akibatnya, kita terus terbelit untuk menggunakan BBM yang mahal.
Padahal, seperti di Tiongkok ini, mikro CNG sudah digunakan sejak 20
tahun lalu. Waktu itu saya sudah meninjaunya di banyak daerah di
Tiongkok seperti di Qingdao.
Ketika di Chongqing sekarang ini, saya melihat perkembangan mikro LNG
dan CNG yang tidak terbendung lagi. Di kota Chongqing saja kini sudah
ada 80 buah stasiun bensin yang menggunakan CNG. Kian banyak mobil yang
tidak menggunakan BBM lagi. Bahkan, kini sedang dibangun stasiun mikro
LNG yang kapasitasnya hanya 30 m3.
Ketika saya meninjaunya, proyek ini sedang diselesaikan. Tangkinya
sudah terpasang, instalasi pengubah gas cair menjadi gas biasa
(regasifikasi) juga sudah ada di tempatnya. Dari sini, LNG dialirkan ke
stasiun pengisian gas yang ada di sebelahnya sehingga taksi atau bus
kota bisa mendapatkan gas dari LNG itu. Saya bayangkan bagaimana kalau
pembangkit listrik di daerah-daerah kecil menggunakan teknologi itu.
Hanya dengan empat buah mikro LNG seperti itu, pembangkit listrik
sebesar 5 MW bisa berjalan selama sebulan. Atau cukup dengan satu mikro
LNG yang kapasitas tangkinya empat kali lipat dari itu. Kini sudah
tersedia tangki dengan ukuran 30 m3, 40 m3, 60 m3, dan 150 m3.
Semangat saya lebih berkibar lagi manakala pergi ke Kota Chengdu, ibu
kota Provinsi Sechuan. Meski tujuan saya sama, yakni untuk melihat
pabrik lain yang bergerak di bidang mini-mikro CNG dan LNG, tapi di situ
saya mendapat penjelasan mengenai teknologi baru yang setengah tidak
bisa dipercaya. Mereka menemukan teknologi mengubah udara menjadi benda
cair dengan menggunakan kekuatan listrik.
Setelah udara menjadi benda cair, pada jam-jam beban puncak
(17.00-22.00) cairan tersebut diubah lagi menjadi udara. Proses
perubahan ini bisa untuk memutar turbin dengan efisiensi 60 persen.
Memang ini sedikit lebih rendah daripada persentase teknologi hydro
pumped storage seperti yang akan dibangun PLN di Jawa Barat, namun
banyak sekali kelebihannya. Kalau pumped storage memerlukan masa
pembangunan sampai lima tahun, ini hanya 1 tahun. Kalau pumped storage
tergantung lokasi dan jarang ada lokasi seperti itu, ini bisa dilakukan
di mana saja.
Teknologi ini sekarang lagi dipasang di London, Inggris, dengan
kapasitas 20 MW. “Akhir Agustus ini sudah bisa dilihat hasilnya,” ujar
pemilik teknologi di Kota Chengdu tersebut saat rapat bersama tim PLN di
kantornya.
Dengan gambaran seperti itu, perang melawan bahan bakar minyak (BBM)
rasanya benar-benar siap dimulai di PLN. Musuh nomor 5 PLN ini harus
sudah tumbang tahun depan. Seperti yang sudah saya kemukakan, musuh
nomor 1 PLN (krisis listrik) sudah teratasi. Demikian juga musuh nomor 2
(daftar tunggu) dan musuh nomor 3 (wabah kerusakan trafo). Tahun ini
musuh nomor 4 (wabah gangguan jaringan) akan selesai. Tahun depan musuh
nomor 5 itu, yang mengakibatkan PLN boros triliunan rupiah, semoga
menyusul tumbang.
Begitu banyak senjata yang bisa disiapkan untuk memerangi BBM itu. Keterlaluan juga kalau BBM begitu saktinya.
Dahlan Iskan
CEO PLN
Jumat, 06 September 2013
Dahlan Iskan - CEO PLN Note - Mulai Daging Babi sampai Mikro LNG
20.40
sopyan