Badai The Fed
Setelah kurang lebih lima tahun akhirnya kini infus itu dilepas. Bukannya pasien telah sembuh total. Tapi tentu satu keadaan yang tidak boleh terjadi jika sang pasien harus diinfus seumur hidupnya.
Begitulah Amerika. Yang sejak 2008 ekonominya gawat darurat. Sekarang ini sudah mulai merasa sedikit sehat. Bank sentralnya (The Fed)mulai menghentikan infus ekonomi yang bernama stimulus itu. The Fed merasa ekonomi Amerika sudah bisa mulai berjalan tanpa bergantung pada stimulus. Ekonomi sudah bisa menggeliat. Angka pengangguran sudah menurun.
Infus yang telah dialirkan begitu lama. Infus yang mahal luar biasa, 850 triliun/bulan. Selain lama dan mahal, infus itu juga berdampak luar biasa. Peredaran uang di pasar finansial mengalir ke mana-mana berupa dana segar. Manfaatnya dirasakan hampir oleh seluruh negara dunia. Khususnya negara berkembang, termasuk Indonesia.
Indonesia menjadi salah satu surga investasi. Investor berlomba-lomba menyerbu Indonesia. Sampai-sampai Indonesia agak sedikut angkuh menolak dana asing.
Tapi itu dulu. Sebelum The Fed mengumumkan kebijakan penghentian stimulussecara total mulai Juni 2014 dan dikurangi mulai September 2013. Sekarang keadaan berubah 180 derajat.
Investor berbondong-bondong meninggalkan Indonesia. Dolar mengalirkembali ke negara asalnya. Harga rupiah anjlok, mencapai Rp. 11.000/dolar Amerika. Harga saham memerah. Tiba-tiba nilai perusahaan merosot.
Belum lagi isu-isu reformasi dan agenda pepolitikan nasional 2014. Sedikit tidak telah memberikan dorongan agar investor hengkang meninggalkan Indonesia atau tidak mau datang ke Indonesia. Maka semakin dalamlah keterpurukan harga saham dan rupiah.
Seperti biasa. Hiruk pikuk harga dolar dan saham dampaknya tidak hanya dirasakan oleh para pengusaha dan para penentu kebijakan ekonomi makro. Masyarakat kelas bawahpun merasakannya. Tanpa terkecuali, siapapun itu.
Pengerajin tahu tutup, karena tiba-tiba harga bahan bakunya melonjak tinggi. Buruh cemas melihat nasib perusahaannya, yang berarti juga nasib anak istrinya. Konon lagi yang masih menganggur. Kesempatan untuk segera mendapatkan lowongan memudar, seiring lesunya dunia usaha.
Harga-harga kebutuhan pokok, barang elektronik, dan sebagainya merangkak naik. Terutama barang impor atau yang bahan bakunya masih bergantung impor.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Sampai-sampai Menteri Keuangan,Chatib Basri menelpon 500-an investor global. Dengan maksud merayu mereka untuk mengucurkan modalnya ke Indonesia. Atau paling tidak, meminta mereka tidak menarik dananya yang sudah ada di Indonesia.
Namun semua usaha itu nampaknya hanya cukup untuk menahan laju tergerusnya nilai rupiah dan harga saham. Tidak bisa diharapkan untuk segera membuat situasi pulih kembali. Menteri keuangan juga nampak tidak terlalu optimis. Terlihat dari pernyataannya yang mengatakan harga rupiah akan terus mendapat tekanan sampai tahun 2014.
Petarung Sejati
Rupanya dampak penghentian stimulus The Fed dan berbagai faktor lainnya baik yang eksternal maupun internal cukup serius untuk Indonesia. Padahal guncangan ekonomi global kali ini tidaklah separah seperti yang pernah terjadi pada tahun 2008. Tapi cukup membuat Indonesia terancam terperosok seperti saat krisis Asia 1998.
Saat ini hanya beberapa negara dunia yang tertimpa badai ekonomi, khususnya negara berkembang. Masih banyak negara kaya atau lembaga keuangan dunia tempat meminta tolong. Bandingkan dengan krisis dunia 2008 yang memukul hampir 99% negara dunia. Saking parahnya tidak ada lagi yang mengingat idiologi, tidak ada lagi yang mengingat mana lawan mana kawan.
Negara-negara kapitalis harus murtad dengan idiologinya. Pemerintah mengucurkan stimulus ke pasar modal yang seharusnya haram menurut mereka. Negara-negara Islam kaya Timur Tengah asik sendiri memborong saham yang sedang berguguran. Tidak perduli dengan negara Islam lainnya yang sedang menjerit. Amerika dan Rusia tidak perduli lagi dengan negara-negara sekutu mereka. Semua berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Tidak jelas lagi siapa yang menolong siapa yang ditolong.
Saat itu hanya tiga negara yang bisa menahan laju ekonominya tetap positip. Dan salah satu negara tersebut adalah Indonesia. Dan yang menjadi menteri keuangan adalah Sri Mulyani.
Sungguh ajaib. Tapi itulah fakta yang terjadi. Tangan dingin seorang Srimulyani bisa menghindarkan Indonesia dari bencana ekonomi global yang maha dahsyat. Tentu bukan karena aksi Sri Mulyani seorang. Tapi karena kerja tim ekonomi Indonesia saat itu.
Namun Sri Mulyanilah yang nampak paling mecolok. Ibarat tim sepak bola, Sri Mulyani adalah kapten sekaligus strikernya. Di saat yang genting, dengan gigih dia memimpin rapat. Bahkan ada rapat yang dipimpinnya dua hari dua malam non stop.
Meski dengan menitikan air mata. Karena disaat yang bersamaan Sri Mulyani mendapat kabar bahwa ibunya sakit keras mendekati ajal. Dia harus mencucurkan air mata untuk dua kesedihan sekaligus: kesedihan karena ibundanya berada di detik-detik akhir hidupnya dan kesedihan melihat negara dalam bibir kehancuran ekonomi. Dua-duanya tidak bisa ditinggal sedetik pun. Rupiah lagi terus bergerak hancur dan detak jatung ibunya juga lagi terus melemah. Dan, Sri Mulyani memilih menunggui rupiah demi nyawa jutaan orang Indonesia.
Sampai ibunya meninggalpun dia tetap tidak menyempatkan diri untuk berada di sampingnya. Hanya air matanya yang berlinang mengiringi kepergian ibunya. Sungguh nasionalisme yang ditunjukkan dengan aksi nyata tanpa kata-kata. Apalagi pidato yang berkobar-kobar seperti para politisi.
Sebelumnya dengan percaya diri dan meyakinkan Sri Mulyani juga menghadiri pertemuan Internasional KTT G20 di Washington. Dalam rangka mencari solusi mengatasi krisis dunia. Menyampaikan pemikiran briliannya untuk pemulihan ekonomi global.
Sri Mulyani mampu memikirkan keuangan internasional sekaligus keuangan nasional dalam waktu yang sama di belahan dunia yang berbeda. Karena di hari yang sama dia harus kembali ke tanah air untuk mencurahkan perhatian pada ekonomi nasional yang hampir bangkrut itu.
Belum lagi rongrongan dari dalam negeri. Para politisi yang bersikap aneh seakan tidak perduli dengan krisis yang mengancam. Mereka sibuk membangun citra politik untuk medapat simpati masyarakat. Ditambah lagi dengan celotehan para pengamat yang seakan paling serba bisa.
Dan pada akhirnya tidak sia-sia pengorbanan dan jerih payah sang “kapten”. Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara yang tidak terjerembab ke dalam pusaran krisis global saat itu.
Biarpun demikian. Sri Mulyani tidak lantas mendapat tepuk tangan dan bintang kehormatan. Yang terjadi adalah sebaliknya. Sri Mulyani diserang habis-habisan oleh para politisi yang sedang mencari pertunjukkan politik. Kasus Bank Century adalah panggung yang paling gemerlap. Dan Sri Mulyani bisa diseret-seret di sana.
Kelakuan para politisi yang haus popularitas itu diperparah lagi dengan media yang gemar mancari sensasi. Dan semakin lengkap dengan kicauan para pengamat yang berlagak serba bisa dan serba tahu. Perpaduan yang hebat. Sehingga mampu menciptakan opini publik: Sri Mulyani bukan pahlawan tapi seorang pendosa.
Hanya sedikit saja orang dinegeri ini yang menghargai jerih payah dan pengorbanan seorang Sri Mulyani. Diantara yang sedikit itu adalah Menteri BUMN yang sekarang, Dahlan Iskan. Dahlan Iskan sampai membuat artikel yang berjudul “Hati Kecil Saya Untuk Sri Mulyani”(Tiga tahun kemudian Dahlan Iskan menemukan nasib yang hampir sama, dicaci maki setelah menyelamatkan bangsa ini dari krisis listrik).
Tapi opini publik sudah terlanjur liar. Tidak bisa dibendung lagi. Sri Mulyani koruptor, harus ditangkap dan dimasukkan penjara. Sri Mulyani telah bersekongkol membobol uang negara 6,7 triliun melalui dana talangan untuk Bank Century. Atau paling tidak Sri Mulyani telah teledor menggelontorkan uang negara 6,7triliun sehingga uang itu dirampok pemilik Bank Century.
Sri Mulyani benar-benar seperti menolong anjing kejepit. Anjingnyapun tidak satu dua, tapi banyak. Setelah ditolong ternyata pemilik Bank Century sendiri menggigit Sri Mulyani. Setelah diselamatkan dari krisisis ternyata bangsa ini sendiri menggigit Sri Mulyani. Khususnya para politisi, pengamat, dan media.
Padahal apa yang dituduhkan ke Sri Mulyani itu,adalah kebijakan yang masih bisa diperdebatkan benar-salahnya. Bahkan KPK sampai dilibatkan dalam mengambil keputusan itu.
Siapa yang bisa menjamin. Tanpa talangan yang 6,7 triliun itu investor baik-baik saja. Tidak berdampak sistemik kata sebagian pengamat. Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya? Mereka panik karena merasa pemerintah tidak memberi jaminan atas keamanan uang mereka? Dan berbondong-bondong meninggalkan Indonesia dan menarik uang mereka di bank? Dan terjadi rush yang dahsyat.
Apa iya nasib bangsa ini diperjudikan sedemikian rupa? Apalah artinya uang yang 6,7 triliun itu dibanding jika Indonesia harus terseret ke dalam krisis global yang dahsyat itu? Yang akan menyebabkan bangsa ini rugi ratusan bahkan ribuan triliun (lihat Amerika sampai mengucurkan dana talangan 850 triliun/bulan selama bertahun-tahun). Yang akan menyebabkan rakyat menderita dalam waktu lama.
Ingat ini bukan hanya masalah angka-angka. Bukan masalah besar kecilnya Bank Century. Tapi masalah psikologi dunia usaha dan investor. Bahwa uang itu di kemudian hari dirampok pemilik bank itu masalah lain.
Bintang Internasional
Disaat gawat-gawatnya serangan para politisi terhadap Sri Mulyani. Sampai DPR membuat Pansus dan memanggil begitu banyak saksi. Dan disiarkan langsung di TV berhari-hari, berbulan-bulan. Tiba-tiba Bank Dunia memanggil Sri Mulyani untuk berkiprah di sana. Ironis memang. Sri Mulyani dicemooh bangsa sendiri, di sisi lain dunia internasional sangat menghargai dan mengagumi integritas, kemampuan dan kecerdasannya. Tapi inilah kebiasaan bangsa kita. Ingat bagaimana Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, bahkan SBY dan banyak tokoh hebat lainnya diberbagai bidang, dihormati dan dikagumi dunia internasional. Tapi dicaci maki layaknya pesakitan oleh bangsa sendiri.
Selain diangkat menjadi direktur Bank Dunia, berkat prestasi gemilangnya Sri Mulyani juga masuk ke urutan 55 dari 100 wanita paling berpengaruh dunia versi majalah Forbers. Sebelumnya Sri Mulyani menyabet predikat menteri keuangan terbaik dunia dua tahun berturut-turut.
Di dalam negeri sendiri sebenarnya reputasi Sri Mulyani tidak diragukan lagi. Dia merupakan menteri pertama yang berani mereformasi departemannya. Sangat ketat mengendalikan anggaran negara. Satu-satunya menteri yang berani minta berhenti ketika melihat gelagat pemerintah yang ingin membela konglomerat yang tidak seharusnya dibela. Menteri yang tidak segan-segan ikut turun ke laut berpatroli bersama petugas bea-cukai (Anda bisa bayangkan bagaimana resiko blusukan di tengah laut menghadang penyelundup bersenjata).
Tapi masyarakat Indonesia kebanyakan lebih percaya akan celotehan para politisi yang sudah terbukti banyak yang busuk itu. Lebih percaya kepada media yang gemar mencari sensasi untuk menaikkan oplah, hits atau pemirsanya. Masyarakat hanya mengelu-elukan pejabat yang menjadi media darling. Masyarakat lebih percaya ocehan para pengamat yang sengaja didramatisir keadaan agar laris menjadi narasumber.
Bagaimana mungkin kita harus lebih mempercayai para politisi dan pengamat itu? Para politisi itu jangankan akan dipercaya menjadi direktur Bank Dunia, menjadi satpam Bank Dunia pun rasanya mereka tidak akan dipercaya. Jangankan masuk diurutan 55 orang yang paling berpengaruh di dunia. Masuk urutan 1000 saja rasanya tidak. Jangankan sanggup menjadi menteri terbaik dunia, menjadi menteri yang tidak korup saja sudah prestasi yang ajaib, kalau tidak kita katakan hampir mustahil.
Melihat kedaan ekonomi Indonesia yang sekarang. Harga rupiah dan saham merosot. Mengenang aksi heroik dan semangat nasionalisme Sri Mulyani. Menyelamatkan bangsa ini dari krisis global 2008. Mengingat posisi strategis Sri Mulyani saat ini. Tidak berlebihan kiranya kalau sekarang kita menyarankan kepada tim ekonomi Indonesia untuk berkata: “Srimulyani tolonglah kami.”***