Tidak menguasai dengan detail hal-hal kecil dari
Dahlan Iskan memang kadang bisa tersandung menjadi meyakini ketidak benaran yang
terjadi. Maka marilah kita mencoba berbicara semua dengan fakta dan hasil yang
sebenarnya.
Kali ini issue lama kembali menyeruak
"Korupsi 37T Dahlan Iskan". Politik memang kejam, tiada angin tiada hujan
Jaringan Advokat Publik (JAP) melaporkan Menteri Badan Usaha
Milik Negera (BUMN) Dahlan Iskan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Dahlan Iskan dilaporkan terkait kasus dugaan korupsi
inefisiensi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk sejumlah pembangkit
listrik di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sepanjang tahun
2009-2010.
Coba lihat laporan resmi audit yang dilakukan BPK
terhadap PLN, pada bagian Kesimpulan Pemeriksaan Energi Primer -Gas.
PLN tidak dapat memenuhi kebutuhan gas untuk 8 unit
pembangkit listrik sehingga dengan terpaksa mengunakan Solar yang jelas lebih
mahal dari Gas. sehingga PLN kehilangan kesempatan melakukan penghematan biaya
bahan bakar sebesar Rp 17.9T pada 2009 dan Rp 19.7T pada 2010. Total
37.6T
Dalam laporan resmi tersebut dibahas bahwa
Kehilangan kesempatan penghematan "Ineffisiensi" ini disebabkan oleh lima hal
:
1. PLN terlambat mengupayakan pemenuhan
Gas.
2. Beberapa pemasok gas tidak dapat memenuhi
pasokan sebagaimana mestinya.
3. Kementrian ESDM dan BP Migas belum optimal dalam
menetapkan kebijakan dan mengupayakan pemenuhan gas bagi PLN.
4. PT.Perusahaan Gas Negara (Persero) tbk sebagai
pemegang hak akses pipa transmisi SSWJ belum membangun booster compressor untuk
meningkatkan kapasitas system sesuai dengan Rakor Mentri BUMN.
5. PGN harus mengurangi pasokan gas Muara Tawar
sesuai dengan risalah yang disusun Direksi PGN atas rapat 19 Maret 2010 yang
dipimpin oleh Menko Perekonomian.
Pada saat ini saya hanya akan membahas item pertama, sebagai berikut :
Dalam tulisan Dahlan Iskan sebelum menjadi dirut
PLN pun sudah menganalisa harus ada keputusan gila dari seorang dirut PLN untuk
mengatasi Kemelut salah makan pembangkit listrik.
Dampak
Pembangkit Listrik yang Salah Makan
Dicari,
Payung yang Berhemat Rp 10 Triliun
17
November 2009
Direktur
Utama PLN harus melakukan ini. Terutama kalau semua orang menghendaki
kelistrikan Indonesia bisa baik. Tapi, semua direktur utama PLN, baik yang lalu,
yang sekarang, maupun yang akan datang tidak akan bisa melakukan ini.
Bayangkan.
PLN memiliki banyak sekali pembangkit listrik raksasa yang mestinya dijalankan
dengan gas, kini harus diberi makan solar. PLTG “salah makan” ini meliputi
sekitar 5.000 MW! Yang 740 MW dua buah ada di dekat Jakarta. Yang 1.000 MW ada
di Gresik. Yang 750 MW ada di Pasuruan. Dan di beberapa tempat lagi di Jawa
ini.
PLTG
(Pembangkit Listrik Tenaga Gas) itu tentu didesain untuk diberi “makan” gas.
Namun, PLN tidak bisa mendapatkan gas. Bukankah negeri ini punya banyak gas”
Juga dikenal sebagai pengekspor gas” Ya. Itu benar. Tapi, untuk PLN terlalu
banyak persoalannya. Kalau saya uraikan di sini bisa menghabiskan seluruh
halaman surat kabar ini.
Yang
jelas, akibat tidak bisa mendapatkan gas, PLTG-PLTG tersebut diberi makan solar.
Memang desain mesinnya memungkinkan untuk itu, meski kapasitasnya berkurang
sampai 15 persen. Maka PLTG itu sudah sepantasnya kini disebut PLTS (Pembangkit
Listrik Tenaga Solar).
PLTG
“salah makan” inilah salah satu penyebab utama kesulitan PLN dan sekaligus
kesulitan menteri keuangan. PLTG “salah makan” inilah yang menjadi salah satu
penyebab direksi PLN beserta seluruh staf dan karyawannya telah menjadi bangsa
pengemis. Tiap bulan PLN harus mengemis ke menteri keuangan untuk bisa
mendapatkan subsidi. Pada 2008 saja, subsidi itu mencapai Rp 60 triliun setahun.
Baca: Rp 60.000.000.000.000.
Mengapa?
Kalau saja PLN bisa mendapatkan gas, biaya produksi listriknya bisa lebih murah. Tinggal hampir separonya. Harga gas kini sekitar USD 7 dolar/ton ekuivalen. Padahal, harga solar USD 16 dolar/ton ekuivalen.
Kalau saja PLN bisa mendapatkan gas, biaya produksi listriknya bisa lebih murah. Tinggal hampir separonya. Harga gas kini sekitar USD 7 dolar/ton ekuivalen. Padahal, harga solar USD 16 dolar/ton ekuivalen.
Solar
itulah “makanan” PLTG yang harganya lebih mahal, tapi rasanya lebih pahit.
Kapasitas PLTG-nya turun 15 persen. Dengan menggunakan solar itu, asapnya begitu
hitam. Kalau saja Anda melewati tol dari Bandara Cengkareng ke arah Tanjung
Priok (Jakarta), menengoklah ke utara. Anda akan melihat di arah pantai dekat
Ancol sana banyak cerobong yang mengeluarkan asap hitam. Itulah bukti nyata
kasus PLTG “salah makan?. Cerobong yang mengeluarkan asap hitam itu pertanda
PLTG tersebut lagi diberi makanan yang salah dan karena itu kentutnya yang
mestinya tidak kelihatan menjadi jelas berwarna hitam.
Kalau
saja 5.000 MW PLTG “salah makan” tersebut diberi makanan yang benar, PLN akan
menghemat sedikitnya Rp 10 triliun. Itu per tahun! Pasti menteri keuangan yang
cantik itu akan kelihatan semakin cantik karena mulai bisa tersenyum. Sang
menteri barangkali selama ini kesal juga karena setiap bulan harus melayani
pengemis subsidi dengan nilai yang begitu menggemaskan.
Ada
lagi yang lebih menggemaskan. Sebagai orang swasta yang kalau melakukan
investasi menggunakan 10 kalkulator (agar bisa berhemat), saya sangat gemas akan
keputusan investasi seperti itu di masa lalu. Untuk investasi 5.000 MW PLTG
“salah makan” tersebut, menurut perkiraan saya, telah menghabiskan uang sekitar
Rp 100 triliun. Mayoritas dilakukan waktu Orde Baru.
Anehnya,
masih juga diizinkan pembangunan PLTG baru 740 MW di dekat Jakarta. PLTG ini
memang milik swasta. Tidak memberatkan keuangan PLN. Tapi, ketika mulai
membangun dulu, si swasta minta jaminan pemerintah bahwa pemerintah pasti bisa
memberikan gas kepadanya.
PLTG
baru itu akhirnya selesai dibangun. Masih gres. Baru sekitar dua bulan lalu
selesai dan mulai beroperasi. PLTG ini memerlukan gas kira-kira 230 MMBTU
(Million Metric British Thermal Unit). Seperti sudah bisa diduga, pemerintah
tidak bisa menyediakan gas dari sumber yang baru untuk memenuhi janjinya
itu.
Akibatnya,
sangat parah. Baik secara fisik maupun secara akal sehat. Pemerintah dengan
mudah memutuskan mengalihkan gas yang selama ini untuk jatah PLTG milik PLN ke
PLTG baru milik swasta itu. Agar janjinya kepada swasta asing terpenuhi. Saya
tidak sampai hati menuliskan akibat fisik yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan
ini.
Lalu,
bagaimana bisa mengatasi persoalan PLTG “salah makan” ini” Mengapa membangun
PLTG kalau sudah tahu tidak akan bisa mendapatkan gas” Mengapa membangun PLTG
kalau setelah dijalankan mengakibatkan PLN/negara harus menderita kerugian Rp 10
triliun/tahun?
Dirut
PLN harus mengubah itu semua. Tapi, Dirut PLN, yang sekarang maupun yang akan
datang, tidak akan mampu mengubahnya. Kecuali diberi payung hukum untuk boleh
mengatasinya. Inilah payung yang sekali diberikan bisa menghasilkan penghematan
Rp 10 triliun per tahun.
Payung,
begitu sederhana barangnya. Puluhan triliun rupiah manfaatnya.
Dua
Pilihan Akal Sehat Plus Satu Gila
18
November 2009
Pertanyaan:
Indonesia begitu kaya gas. Mengapa PLN sampai tidak bisa mendapatkan gas”
Sehingga sebagian pembangkitnya, sekitar 5000 MW, harus diberi “minum” solar
yang dalam setahun menghabiskan uang PLN Rp 80 triliun?
Urusan
ini rumitnya bukan main. Memang yang berhak mengatur perdagangan gas adalah
pemerintah. Mestinya pemerintah bisa mengaturnya lebih baik. Tapi, saya masih
belum tahu siapa yang disebut pemerintah itu. Yang jelas, pemilik-pemilik ladang
gas adalah perusahaan swasta. Asing maupun domestik.
Para
pemilik ladang gas tentu ingin menjual gasnya dengan harga terbaik. Sebab,
investasi untuk menemukan ladang gas tidak sedikit. Maka, PLN harus bersaing
dengan pembeli-pembeli lain: pedagang luar negeri maupun pedagang dalam negeri
seperti Perusahaan Gas Negara (PGN).
Keinginan
lain para pemilik ladang gas adalah ini: pembeli harus mengambil semua gas yang
dihasilkan suatu sumur, berapa pun jumlahnya. Di sini PLN ditakdirkan kurang
bisa fleksibel. Sebuah pembangkit listrik tentu sudah didesain memerlukan gas
sekian MMBTU (Million Metric British Thermal Unit). Sedangkan produksi sebuah
sumur gas kadang kurang dari kebutuhan itu dan kadang sedikit
kelebihan.
Dalam
hal produksi sebuah sumur gas kelebihan, katakanlah 15 persen, dari kebutuhan
sebuah pembangkit listrik, dilema muncul: dibeli semua PLN rugi, tidak dibeli
semua pemilik sumur gas rugi. Maka, mestinya, tidak ada jalan lain kecuali ada
kerja sama yang sangat khusus antara PLN dan PGN. Kalau PLN mendapatkan sumur
gas yang produksinya kelebihan, kelebihan itu bisa disalurkan ke PGN.
Sebaliknya, kalau produksi sebuah sumur gas kurang dari jumlah yang diinginkan
PLN, PGN yang harus menambah.
Sampai
sekarang kerja sama seperti itu rasanya belum ada. Egoisme setiap perusahaan
masih sangat menonjol. Padahal, dua-duanya milik pemerintah. Memang itu saja
belum cukup. PGN adalah juga sebuah perusahaan yang harus berlaba. Apalagi,
sekarang sudah menjadi perusahaan publik. PGN sendiri kekurangan gas untuk
melayani pelanggannya. Baik pelanggan rumahan dan terutama pelanggan industri.
Maka, terjadilah persaingan ketat antara PLN dan PGN sebagai sama-sama pembeli
gas dari ladang migas. Persaingan ini yang sampai sekarang belum mendapatkan
jalan keluar.
Tentu
ada yang berdoa agar kedua perusahaan itu jangan cepat-cepat rukun. Para
pedagang solar (di dalam maupun di luar negeri) yang setiap tahun mengeruk uang
PLN sampai Rp 80 triliun akan kehilangan bisnis yang mengilap dari pedagangan
solar. Bahwa itu membuat PLN dan pemerintah sulit, yang kurang pintar kan PLN
dan pemerintah sendiri.
Tentu
ide yang paling realistis adalah membangun LNG-gasifikasi terminal. PLN atau
investor yang bekerja sama dengan PLN diminta membangun terminal LNG-gasifikasi.
PLN atau investor bisa membeli LNG (Liquefied Natural Gas atau gas alam cair)
dari mana saja dalam jumlah yang pas untuk kepentingan PLN. Bisa dari Tangguh di
Papua, bisa dari Senoro di Luwuk (Sulteng) bisa juga dari Qatar atau Iran. Atau
dari tempat lainnya.
LNG
itulah yang kemudian diubah menjadi gas di sebuah terminal LNG-gasifikasi.
Terminal ini bisa dibangun di sekitar Cilegon. Bahkan, sudah pula ada teknolgi
baru: terminalnya dibuat terapung di lepas pantai Jakarta. Agar dekat dengan
“PLTG salah makan” yang sekarang membuat masalah itu.
Saya
tidak melihat jalan lain. Hanya dua itulah jalan keluarnya: kerja sama yang baik
dengan PGN atau membangun terminal G-gasifikasi. Yang pertama harus difasilitasi
pemerintah dan yang kedua harus difasilitasi pemerintah. Memang masih ada jalan
lain. Tapi, terlalu radikal. Lelang saja PLTG-PLTG itu! Daripada bikin penyakit
yang mengisap darah keuangan pemerintah. Hasil lelang barang bekas itu untuk
dibelikan PLTU bekas yang direkondisi seperti baru.
Jalan
“gila” itu bisa menyelamatkan uang negara setidak-tidaknya Rp 10
triliun/setahun. Baca: 10.000.000.000.000/setahun. Kalau saja di swasta dan saya
yang menjadi pemiliknya, saya akan lakukan yang terakhir ini. Masih ada
penghematan lain yang juga triliunan rupiah. Tapi, dua seri tulisan ini saja
sudah bisa menggambarkan mengapa PLN mengalami kesulitan selama ini. Dan mengapa
sulit pula dipecahkan. (*)
Dengan membaca tulisan Dahlan Iskan diatas
seharusnya kita mampu menerima dengan akal sehat apakah yang sebenarnya
terjadi.
Setelah menjadi Dirut PLN, Dahlan Iskan sudah sadar
betul bahwa benang kursut yang terjadi saking tidak mendapatkan solusi gas dari
dalam negeri kemudian beliau berusaha mencari ke luar negeri, seperti iran,
qatar, australian dan papua nugini.
Dalam sebuah laporan Dahlan Iskan mengenai angka
37T, beliau membuat penjelasan yang tertuang dalam MH49.
Senin,
29 Oktober 2012
Manufacturing Hope 49
Manufacturing Hope 49
Benarkah
BPK menemukan inefisiensi di PLN sebesar Rp 37 triliun saat saya jadi Dirut-nya?
Sangat benar. Bahkan, angka itu rasanya masih terlalu kecil. BPK seharusnya
menemukan jauh lebih besar daripada itu.
Contohnya
ini: Rabu subuh kemarin saya mencuri waktu sebelum mengikuti acara peresmian
pelabuhan kontainer Kariangau, Balikpapan, oleh Bapak Presiden SBY. Masih ada
sedikit waktu untuk saya menyelinap ke Senipah. Jaraknya memang 1,5 jam dari
Balikpapan, tapi dengan sedikit ngebut masih akan oke.
Di
Senipah sedang dibangun pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 80 mw. Awalnya,
sebelum saya menjabat Dirut PLN, proyek itu menghadapi persoalan birokrasi
besar. Saya datang ke Senipah di dekat muara Sungai Mahakam itu. Persoalan
selesai. Proyek bisa dibangun.
Ini
penting bukan saja agar kekurangan listrik di Kaltim segera teratasi, tapi PLN
pun bisa berhemat triliunan rupiah. Lebih efisien. Kasus Kaltim tersebut (juga
Kalselteng) sangat memalukan bangsa. Daerah yang kaya energi justru krisis
listriknya terparah.
Kini,
ketika pembangunan PLTG Senipah itu hampir selesai, ada persoalan lagi. Untuk
membawa listrik itu ke Balikpapan dan Samarinda, harus melewati tanah Pertamina.
Saya pun harus mencarikan jalan keluar. Beres. Tiga bulan lagi proyek itu sudah
menghasilkan listrik. Efisiensi triliunan rupiah segera terwujud.
Dengan
kata lain, selama ini telah terjadi inefisiensi triliunan rupiah di Kaltim.
Inefisiensi itu tidak ditemukan oleh BPK.
Contoh
lain lagi: Krisis listrik di Jambi juga termasuk yang paling parah. Padahal, di
Jambi ditemukan banyak sumber gas. Tapi, PLN membangkitkan listrik dengan BBM.
Terjadilah inefisiensi triliunan rupiah di Jambi. BPK juga tidak menemukan
inefisiensi di Jambi itu.
Saya
segera memutuskan, pembangkit yang sudah nganggur di Madura dibawa ke Jambi.
Sejak kabel listrik untuk Madura dilewatkan Jembatan Suramadu, tidak ada lagi
kekhawatiran Madura kekurangan listrik. Jambi pun lebih efisien.
Ada
lagi gas Jambi yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Berapa triliun rupiah
inefisiensi telah terjadi. Itu juga tidak ditemukan BPK. Saya segera memutuskan
membangun CNG (compressed natural gas) di Sei Gelam, di luar Kota Jambi. Agar
gas yang ditelantarkan bertahun-tahun itu bisa dimanfaatkan.
Minggu
lalu, tengah malam, dalam rangkaian meninjau proyek sapi di Jambi, saya bersama
Gubernur Jambi Hasan Basri Agus meninjau proyek CNG itu. Sudah hampir selesai.
Saya bayangkan betapa besar efisiensinya. Bahkan, Jambi yang dulu krisis listrik
akan bisa “ekspor” listrik.
Contoh
lagi: Suatu saat pemerintah membuat keputusan yang tepat, yakni gas jatah PLN
dialihkan untuk industri yang kehilangan pasokan gas. Jatah gas PLN dikurangi.
Akibatnya, PLN berada dalam dilema: menggunakan BBM atau mematikan saja listrik
Jakarta. Pembangkit besar di Jakarta itu (Muara Karang dan Muara Tawar) memang
hanya bisa dihidupkan dengan gas atau BBM. Tidak bisa dengan bahan bakar
lain.
Tentu
PLN tidak mungkin memilih memadamkan listrik Jakarta. Bayangkan kalau listrik
Jakarta dipadamkan selama berbulan-bulan. Maka, digunakanlah BBM.
Kalau
keputusan tidak memadamkan listrik Jakarta itu salah, saya siap menanggung
risikonya. Saya berprinsip seorang pemimpin itu tidak boleh hanya mau
jabatannya, tapi tidak mau risikonya. Maka, dia harus berani mengambil keputusan
dan menanggung risikonya.
Kalau
misalnya sekarang saya harus masuk penjara karena keputusan saya itu, saya akan
jalani dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya!
Saya
pilih masuk penjara daripada listrik Jakarta padam secara masif berbulan-bulan,
bahkan bisa setahun, lamanya. Saya membayangkan, mati listrik dua jam saja,
orang sudah marah, apalagi mati listriknya berbulan-bulan.
Sikap
ini sama dengan yang saya ambil ketika mengatasi krisis listrik di Palu. Waktu
itu saya sampai menangis di komisi VII. Saya juga menyatakan siap masuk penjara.
Daripada seluruh rakyat Palu menderita terus bertahun-tahun.
Akibat
keputusan saya untuk tidak memadamkan listrik Jakarta itu memang berat. PLN
mengalami inefisiensi triliunan rupiah. Tapi, pabrik-pabrik tidak tutup, PHK
ribuan buruh terhindarkan, dan Jakarta tidak padam selama setahun!
Apakah
PLN harus memberontak terhadap putusan pemerintah itu? Tentu tidak. Putusan itu
sendiri sangat logis. Kalau industri tidak dapat gas, berapa banyak pabrik yang
harus tutup. Berapa ribu karyawan yang kehilangan pekerjaan. Alangkah ributnya.
Indonesia pun kehilangan kepercayaan.
Sekali
lagi, jangankan dipanggil komisi VII, masuk penjara pun saya jalani dengan sikap
ikhlas seikhlas-ikhlasnya!
Ini
mirip Pertamina yang juga tidak mungkin tidak menyalurkan BBM ke masyarakat
meski kuota BBM bersubsidinya sudah habis. Atau juga seperti BUMN lain, PT Pupuk
Indonesia, yang November/Desember nanti tidak mungkin tidak menyalurkan pupuk ke
petani. Padahal, kuota pupuk subsidi sudah akan habis.
Saya
tahu pepatah ini: Kian tinggi, kian kencang anginnya. Tapi, saya juga tahu
lelucon ini: Kian besar kembung perut, kian besar buang anginnya!
Contoh
lain lagi: Secara mendadak, saat menjadi Dirut PLN saya memutuskan membangun
transmisi dari Tentena ke Palu lewat Poso. Sejauh 60 km. Harus melewati hutan
dan gunung. Tahun depan transmisi tersebut harus jadi. Itu akan bisa mengalirkan
listrik dari PLTA Poso milik Pak Kalla yang begitu murah tarifnya ke Kota
Palu.
Kalau
tidak ada transmisi itu, PLTA di Sulteng tidak bisa untuk melistriki Sulteng,
tapi justru melistriki provinsi lain. Akibatnya, inefisiensi di PLN Sulteng akan
terus terjadi. Dengan nilai triliunan rupiah. Itu juga tidak ditemukan oleh
BPK.
Saya
terus memonitor pembangunan transmisi tersebut agar inefisiensi yang sudah
terjadi bertahun-tahun itu segera berakhir.
Belakangan
ini ada masalah besar di proyek itu. Terutama sejak dua polisi Poso tewas di
hutan oleh teroris. Para pekerja yang memasang transmisi itu tidak berani masuk
hutan. Dua polisi tersebut pernah ikut mengamankan proyek itu.
Karena
begitu pentingnya proyek tersebut, saya minta PLN tidak menyerah terhadap
ancaman teroris. Kalau perlu, minta tolong Zeni TNI-AD untuk
mengerjakannya.
Efisiensi
yang akan terjadi triliunan rupiah. Listrik untuk Palu pun lebih terjamin.
Program itu tidak boleh gagal oleh gertakan teroris.
Contoh
lain yang lebih menarik: Di laut utara Semarang ditemukan sumber gas. Pemilik
sumur gas itu sudah setuju menjual gasnya ke PLN. Harganya pun sudah disepakati.
Tapi, bertahun-tahun perusahaan yang memenangi tender untuk membangun pipa
gasnya tidak kunjung mengerjakannya. Bukan PLN yang mengadakan tender. PLN hanya
konsumen.
PLN
gagal mendapatkan gas sampai 100 MMBtu. Di sini PLN mengalami inefisiensi
triliunan rupiah. BPK juga belum menemukan inefisiensi itu.
Contoh-contoh
inefisiensi seperti itu luar biasa banyaknya. Dan triliunan rupiah nilainya.
Itulah sebabnya saya benar-benar ingin menjabat Dirut PLN sedikit lebih lama
lagi. Agar saya bisa melihat hasil-hasil pemberantasan inefisiensi di PLN lebih
banyak lagi.
Apakah
Komisi VII DPR tidak tahu semua itu? Sehingga memanggil saya untuk
menjelaskannya?
Saya
tegaskan: Komisi VII sangat tahu semua itu. Kalaupun merasa tidak tahu, kan ada
Dirut PLN yang baru, Nur Pamudji. Pak Nur bisa menjelaskan dengan baik, bahkan
bisa lebih baik daripada saya. Apalagi, waktu itu beliau menjabat direktur PLN
urusan energi primer.
Hampir
tidak ada relevansinya memanggil menteri BUMN ke komisi VII. Tapi, kalaupun saya
dipanggil lagi, saya akan hadir. Saya juga sudah kangen kepada mereka. Dan
mungkin mereka juga sudah kangen saya. Sudah setahun saya tidak melucu di komisi
VII. (*)
Dahlan
Iskan
Menteri BUMN
Menteri BUMN
Semoga tulisan diatas bisa menjadi acuan agar kita
tidak terjerembab dalam ilusi para kumpulan "POKOKNYA BUKAN DAHLAN"